Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


20 Juli 2011

Catatan Cinta Wartawan "Enam Zaman"

Oleh: Ali Rif’an

Judul: Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar & Zuraida Sanawi
Pengarang: Rosihan Anwar
Penerbit: Buku Kompas
Tahun: I, Mei 2011
Tebal: xxxiii + 234 Halaman

Kepergian wartawan senior Rosihan Anwar, Kamis, 14 April lalu, mengetuk hati banyak kalangan. Pejabat negara seperti presiden dan menteri, tokoh nasional, politisi, seniman, budayawan, wartawan, dan para aktivis mahasiswa berbondong-bondong tak ingin ketinggalan memberikan penghormatan terakhir.


Bagi masyarakat Indonesia, Rosihan Anwar merupakan pencatat sekaligus pelaku sejarah. Jika Sartono Kartodirdjo dikenal sebagai gurunya guru sejarawan Indonesia dan Habibie disebut-sebut sebagai “paus” teknologi Indonesia, maka Rosihan Anwar layak disebut “mahaguru” jurnalistik Indonesia.

Buku Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar & Zuraida Sanawi ini adalah karya terakhir almarhum setelah sebelumnya merampungkan buku berjudul Petite Histoire jilid 4, Oktober 2010. Tiga tokoh yang memberi pengantar buku ini adalah Jakob Oetama, Toety Heraty, dan Sabam Siagian.

Kamis (26/5), buku ini diluncurkan di Jakarta. Selain dihadiri tiga tokoh yang menjadi pengatar buku ini, hadir pula para kolega Rasihan Anwar seperti Adnan Buyung Nasution, Halida Hatta, dan Fadli Zon. Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, secara resmi menyerahkan memoar tersebut kepada Aida Fathya Anwar, putri tertua almarhum. Memoar ini sebenarnya didedikasikan kepada pendamping hidupnya selama 63 tahun. Rosihan merasa tak cukup memdampingi dan menemani istrinya secara beradab. Sebab, separuh lebih hidupnya lebih banyak digunakan untuk berjuang ketimbang menikmati romantika percintaan dalam keluarga.

Membaca buku ini ibarat membaca novel. Seperti diduga pembaca sebelumnya, memoar pencitaan ini agaknya disajikan lebih lentur dan mengalir. Banyak kisah-kisah yang mengundang haru dan sesekali romantis. Seperti kisah pertemuan pertama kali Rosihan dengan Zuraida (Ida) di harian Asia Raya pada awal April 1943, atau kisah Rosihan bersama Ida nonton film naik becak dengan kebaya lengkap (halaman 21).

Yang menarik, memoar ini justru dibuka dengan alur terbalik. Dimuai ketika Ida dirawat di rumah sakit, hingga saat pertama kali Rosihan bertatap muka dengan Ida di Kantor Redaksi Koran Asia Raya. Rosihan awalnya agak cuek kepada Ida, akan tetapi karena mereka sering keetemu dalam satu kantor, benih-benih cinta akhirnya semakin bersemi. Kaarena belum ada telepon atau handphone, mereka pun kerap mengirim surat. Saat itu Rosihan di Jakarta dan Ida pindah di Yogyakarta karena rumah keluarga Sanawi di Jakarta dirampas oleh tentara NICA.

Jika ditelisik, kisah romantisme Rosihan dan Ida ini seolah menjadi penanda alur sejarah kemerdekaan Indonesia dan jatuh bangunnya Indonesia sebagai bangsa. Setiap kisah dalam buku ini selalu dibumbui pesan-pesan sejarah dan spirit bagaimana menatap kehidupan. Rosihan digambarkan sebagai sosok yang sabar dan memiliki etos kerja yang baik. Saat kehidupan rumah tangganya dihinggapi benalu, ia tetap tersenyum. Saat orang banyak menghujat dirinya, ia juga tetap tersenyum. Bahkan, saat wartawan-wartawan sebayanya mulai abai dengan tugas dan terjerembab ke dalam iklim pragmatisme, ia tetap dengan penuh dedikasi menjunjung tinggi idealime.

Oleh karena itu, untuk sekarang ini, agaknya sulit mencari wartawan sekaliber Rosihan Anwar. Ia merupakan satu di antara wartawan langka Indonesia yang menjadi prototipe wartawan berdedikasi yang memiliki daya pantau tajam, pengamatan jeli, memori kuat, kecakapan menulis mumpuni, dan pandangan kritis yang mendekati sarkastis. Bahkan, ia juga menguasahi banyak bahasa, seperti Inggris, Jerman,  Belanda, Prancis, dan lain sebagainya.

Tak pelak, sejarawan Taufik Abdullah menjulukinya sebagai wartawan “enam zaman”. Ia menggeluti dunia wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965),  Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang).  Dalam kariernya sebagai wartawan, Rosihan Anwar pernah menjadi pendiri Majalah Siasat (1947-1957), Redaktur Harian Merdeka, dan Pendiri/Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974) yang pernah dibredel tiga kali. Bagi seorang Rosihan Anwar, dunia jurnalistik merupakan panggilan hidup. Nafas jurnalistiknya semakin kentara ketika ia juga menyebarkan gagasan-gagasannya ke media asing, seperti Het Vriye Volk (Belanda), The Hindustan Times (India), The Melbourne Age (Australia), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia) dan Asia Week (Hongkong).

Sosok kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat 10 Mei 1922 ini juga pernah mendapat gelar kehormatan doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 6 Mei 2006. Beberapa penghargaan yang pernah diraihnya yaitu: Bintang Mahaputra III dari Presiden RI, Pena Emas dari PWI Pusat, Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan, dan Life Time Achievement dari PWI pusat.

Pada titik inilah, Rosihan kemudian hadir dalam pentas sejarah Indonesia dengan penuh makna. Ia telah mengajarkan kecerdasan bercerita dan mendedah kata. Banyak orang bilang, ia merupakan wartawan-penyair, yang nyaris pada tiap laporan atau esai-esainya membawa hanyut pembaca. Tulisannya tidak hanya mengandung greget keberanian, tapi juga ketulusan dan pencerahan. Ia mengakui pernah berkaca pada kakak ipar dan teman sekelasnya, Usmar Ismail--legenda perfileman nasional--tentang ketulusan dan kesunggguhan dalam bekerja.

Ia tidak hanya menginspirasi, tetapi juga memberikan amunisi baru bagi wajah wartawan Indonesia yang penuh idiologis dan sakrastis. “Profesi wartawan itu panggilan hidup, bukan pekerjaan atau karier,” begitu ia selalu berpesan. Rosihan Anwar telah mengajarkan banyak hal dalam dunia wartawan yang di dalamnya mencakup kejujuran, dedikasi, tangguungjawab, mencintai profesi, memperjuangkan kebenaran meskipun itu pahit.

Semasa hidup, Rosihan pernah menangis tiga kali. Yaitu pada saat almarhum Usmar Ismail meninggal dunia di tengah usia produktifnya, kehilangan Soedjatmoko sahabat karibnya, dan melihat bocah Irian yang menderita.


Kini Rosihan Anwar telah tiada. Semoga kepergiannya tetap memberikan oase di tengah-tengah profesi wartawan yang dewasa ini mulai kabur dari ruh dan etiknya. Bagi Rosihan, wartawan bukanlah politisi, tetapi ia harus tahu politik, namun tidak bermain politik praktis. Media punya kewajiban dekat dengan rakyat, mendidik dan mencerdaskan bangsa, serta menunjukkan ke mena negara dan bangsa ini harus bergerak.

Media sebagai corong hati nurani masyarakat, sudah seharusnya media mengepakkan empat fungsi utamanya, yakni penyampaikan dan penyebaran informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan penetapan agenda (agenda setting). Sementara wartawan--sebagai “kuli tinta”--haruslah terus meyuarakan kejujuran dan kebenaran.

Membaca memoar ini kita akan diajak untuk berselancar menyusuri rongga-rongga percintaan dan perjuangan dua tokoh legendaris yang akan selalu dikenang negeri ini.

Peresensi adalah Peserta Program Sekolah Demokrasi Tengerang Selatan; Alumnus Pesantren Raudlatul Ulum, Pati, Jawa Tengah

Kompas, 19 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar