Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pelatihan IT

Pelatihan IT di BLC Kabupaten Sragen

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


27 November 2009

Dia Hanya Seorang Pengarang

Oleh ahan syahrul*

''Mengarang, pada awalnya. Dan, pada akhirnya.'' Hanya kalimat itulah yang terucap dari Hamka ketika dipuja tentang kebesarannya. Dia mengatakan hanya seorang biasa saja, seorang pengarang tepatnya. Padahal, kita tahu bahwa Hamka adalah pejuang kemerdekaan, penulis, ulama, agamawan, wartawan Pedoman Masyarakat, serta pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Dia juga tercatat sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Bahkan, Hamka pernah menjabat rektor Universitas Moestopo Jakarta dan Universitas Islam Jakarta. Seorang besar, tetapi dalam hidupnya tidak pernah merasakan tamat dari SD, apalagi diwisuda layaknya sarjana. Seorang yang kebingungan mencari pekerjaan sesaat setelah prosesi seremonial penerimaan ijazah diterima. Gugup menghadapi zaman, bingung mempertautkan nasib, tak tahu arah apa yang harus dilakukan setelah lulus. Hal yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya, meskipun dia berpendidikan rendah.

Mosaik manusia tercerahkan itu wajib kita tiru jejak langkahnya. Berpendidikan formal hanya sampai kelas dua SD. Tetapi, selama hidupnya dia mampu menulis 113 buku. Menafsirkan Alquran dalam penjara saat dituduh kontra terhadap pemerintahan Soekarno. Buku karya Hamka yang terkenal itu berjudul Tafsir Al Azhar. Buku itu diakui sebagai karya terbaiknya. Tercipta saat kesunyiaan di balik terali besi, diselesaikan dalam keterbatasan.

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mencuatkan namanya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri seberang, Malaysia. Di negeri jiran tersebut buku itu sampai dicetak sembilan kali. Di Indonesia, roman berwajah kearifan adat yang dibumbui cinta kasih tersebut naik cetak hingga 14 kali. Namun, buku itu menjadi kontroversi setelah Buya Hamka meninggal. Dia dituduh plagiat. Sebab, karya tersebut mempunyai kemiripan cerita dengan karya sastrawan Prancis Alphonse Karr yang disadur dalam bahasa Arab oleh pengarang Mesir bernama Musthafa Luthfi Al Manfaluthi.

Benarkah seorang yang berani menolak keinginan penguasa Soekarno menjadi pegawai negeri dengan lebih memilih kebebasan hati nuraninya, melakukan hal yang remeh-temeh, bahkan mencuri karya orang lain? Dia adalah seorang genius negeri yang membaca karya Marx, Freud, Toynbee, Sarte, dan Camus bukan dalam bahasa Indonesia, tetapi bahasa Arab. Seorang yang menulis tentang nilai-nilai agama, filsafat, dan moralitas. Seorang yang dengan tekun menimba ilmu kepada HOS Tjokrominoto, Ki Bagus Hadikusumo, A.R. Fachrudin, RM Soerjopranoto, ataupun kepada A.R. Mansur.

Akankah dia melakukan hal memalukan itu? Apakah hal tersebut merupakan pengejawantahan dan penerusan kenakalannya semasa kecil, saat dia lebih senang menjadi wasit sepak bola, menjadi jockey, atau pendekar silat daripada belajar agama walaupun dia dititipkan ayahnya kepada ulama besar di Bukit Tinggi?

Sungguh hal yang patut dipertanyakan. Mempertanyakan pula bagaimana seorang yang tidak lulus SD, tetapi mampu membaca karya-karya besar cendekiawan masa Renaisans, pembawa masa gelap Eropa kepada terang pengetahuan, tidak dalam bahasa ibunya, tetapi dalam bahasa Arab. Bagaimana dia belajar keras menempa dirinya? Di manakah dia menemukan spirit menyala dan berkobar tak pernah padam untuk terus berkarya?

Spirit pembelajaran itulah yang kiranya perlu kita bidik, kita teladani. Dalam masa hidupnya yang relatif panjang, 73 tahun, 113 buku bukan merupakan karya yang sedikit.

Fenomena Buya Hamka adalah realitas sejarah yang harus mendapat apresiasi. Karya-karyanya menunjukkan bagaimana etos kerjanya yang tiada pantang menyerah. Buku-buku karangannya adalah kesejatian dirinya, fosil yang terus hidup sampai akhir zaman. Prasasti kehidupan yang patut kita tiru.

Wujud 113 buku menandakan bagaimana dia teguh menulis di tengah kesibukannya beraktivitas sebagai politikus, dosen, ulama, sastrawan, maupun akademisi. Jarang kita temui tokoh yang bisa hidup dalam kesunyiaan dunia tulis-menulis, tetapi bisa hidup berdampingan dengan ramainya kehidupan. Apalagi, sebagai seorang aktivis politik, Buya seakan tidak terpengaruh untuk terus menulis dan menulis. Kebesarannya cukup diungkapkan dengan kata-kata sederhana bahwa dia hanyalah seorang pengarang. (*)

*) Ahan Syahrul, bergiat di Komunitas Rumah Baca Cerdas Malang
Sumber www.jawapos.co.id

19 November 2009

Di Bawah Kuasa Komersialisme

SALAH satu tugas jurnalisme yang paling pokok dan penting ada­lah dua hal ini: mencerdaskan pu­blik dan melancarkan kritik alias mengontrol kekuasaan. Ini melekat pada media dan juga jurnalis. Un­tuk mencerdaskan publik, jurnalis dituntut meramu dan menyuguhkan suatu yang kompleks dan rumit menjadi bahasa sederhana yang bisa dipahami masya­rakat luas. Ia harus menulis untuk semua orang. Di sini, jurnalis wajib mengawamkan bahasa-bahasa tek­nis, tapi tak boleh kehilangan substansi --apalagi terdistorsi.

Tugas ini yang coba dilakoni penulis buku ini, mantan Kepala Seksi Peliputan RCTI Dandhy Dwi Laksono dalam buku dengan berjudul provokatif Indonesia for Sale. Saya menikmati buku ini se­­bagai reportase hidup penulisnya, khususnya dalam seting wak­tu antara 2006-2009, ketika ia menggawangi sebuah news room Seputar Indonesia. Pun begitu, ia menyi­sipkan pengalaman-pengalamannya di masa awal sebagai jurnalis, akhir 90-an. Jadi ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pe­nulis menggunakan pengalamannya itu untuk mengudar masalah ekonomi politik yang hadir di negeri ini. Kedua, dia membahas sejumlah topik dengan memanfaatkan pengalaman-pengalamannya itu agar dekat dengan pembaca.

Berhasilkah? Saya kira ya, setidaknya dalam mengawamkan topik-topik berat lewat sejumlah tokoh fiktifnya sopir taksi, tukang toilet, tukang parkir, dan ma­hasiswa. Diskursus neoliberalisme yang sempat mencuat ketika Boediono dipilih SBY untuk mendampinginya maju dalam Pilpresadalah suatu yang lebih mudah dilabelkan pada subjek tertentu ketimbang dipahami.

Peraih penghargaan AJI Jakarta untuk liputan investigasi televise tentang pembunuhan Munir tahun 2008 ini mencari jalan lain untuk menjelaskannya. Lewat praktik kebijakan yang mengejawantah di masa Megawati Soekarnoputri hingga SBY. Lihatlah pada bagian pertama (Orang Awam

Menggugat), bagian kedua (Komersialisasi sampai Mati) dan bagian keempat (Neoliberalisme Kegemaran Republik Indonesia). Tiga bagian ini membuat pembaca ''ngeh'' atas persoalan se­perti alasan harga bahan bakar mi­nyak (BBM) naik turun, barang Indonesia tapi harga luar negeri, hingga komersialisasi di bidang pendidikan (makin dikukuhkan dengan terbitnya UU Ba­dan Hukum Pendidikan).

Ia tak sependapat dengan ko­mersialisasi pendidikan yang ditiupkan UU BHP. Baginya ini je­las menghalangi masyarakat -teru­tama warga miskin-- untuk menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi. UU ini memang me­ngatur bahwa biaya pendidikan yang ditanggung peserta didik tak lebih dari sepertiga, namun tetap saja itu tak menyelesaikan urusan. Rakyat kecil tak bakal mampu men­jangkau perguruan tinggi --bahkan andaipun tetap berstatus kampus negeri yang pembiayaannya disuntik dana pemerintah.

Maklum di antara penduduk mis­kin yang berpenghasilan Rp 20 ribu per hari hanya 3,3 persen yang bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Artinya, keluarga miskin yang tak pernah jadi sarjana, selamanya juga tak akan punya keturunan sarjana? Tak punya cucu dan cicit sarjana (hlm. 206-207).

Penulis menyesalkan sikap PDIP dan Golkar yang tak mau mengambil sikap bertolak belakang dengan Demokrat dalam urusan UU BHP. Maka, ''aku agak heran bila dalam kampanyenya, cawapres Prabowo Subianto menandatangani kontrak politik untuk mencabut UU BHP.'' Produk legislasi yang ikut disetujui oleh partai pasangannya (PDIP). Ketimbang berdebat soal komersialisasi pendidikan, penulis mengajak kita kem­bali pada konstitusi, yakni alinea keempat pembukaan UUD 1945. Salah satu alasan dibentuknya negara ini adalah untuk, ''mencerdaskan kehidupan bangsa''.

Apalagi pasal 31 menyebutkan setiap warga negara berhak men­dapat pendidikan. Nah, itu berarti menyediakan pendidikan itu tugas negara. Bukan tugas pasar. Bukan tugas pemodal swasta (hlm. 208). Neoliberalisme adalah paham yang berpangkal pada Friederich August von Hayek dan muridnya Milton Friedman. Keduanya menghendaki kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan peran pemerintah yang minim.

Regulator utama dalam kehidupan ekonomi, apalagi jika bukan mekanisme pasar. Menurut B. Herry Priyono (2007) neoliberalisme adalah bentuk kolonialisasi rangkap dari homo ekonomikus dan homo finansialis.

Yang pertama, kolonisasi homo ekonomikus atas dimensi-dimensi lain hidup manusia. Insting kita akan menghitung untung-rugi me­nurut seorang kapitalis. Ini kolonialisasi terhadap politik, pendidikan, cara berpikir, bahkan bere­lasi dengan orang.

Kedua, kolonisasi homo finansialis --menyangkut masalah ke­uangan-- atas homo realis (nyata). Homo ekonomikus itu berhadapan dengan kalkulasi untung rugi, uang, makanan, perumahan --bagaimana mencukupi kebutuhan hidup. Uang mengolonisasi apa saja yang real dan konkret.

Secara tepat itu dijelaskan Dan­dhy lewat komersialisasi Pantai Ancol atau Anyer. Ini diceritakan lewat Andre Vitchek, seorang warga asing yang heran atas mahalnya hidup di Jakarta. Bayangkan orang Jakarta bila ingin melihat laut di Ancol saja harus membayar, per keluarga Rp 40 ribu. ''Itu untuk masuk dan melihat laut saja. Apalagi di Anyer, laut dikapling-kapling menjadi hotel atau resor. Nelayan harus minggir di tempat tersendiri'' (hlm. 106). Bagi Andre, pantai yang tak boleh untuk umum itu aneh bin ajaib. Beda dengan Pantai Kuta -sentral kunjungan turis-- yang bisa dinikmati wisatawan kapan saja. Ini juga berlaku untuk parkir dan toilet. Kini nyaris tak ada lagi yang gratis di negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Dengan celetukan khas tokoh fiktifnya, penulis menyatakan si­kap atas sejumlah isu, masalah dan kasus yang menghiasi ruang publik. Dia betul-betul meringkus di­rinya untuk tak berperan sebagai pakar, kendatipun ia mampu me­lakukannya jika ditilik dari latar belakang pendidikannya yang jebolan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung serta kelananya ke sejumlah pojok dunia dari Tiongkok hingga Stir­ling, Skotlandia (seting lokasi film Brave Heart yang menceritakan kepahlawanan William Wallace). Ia memilih jadi jurnalis. Menyederhanakan suatu yang rumit, mes­ki tak lupa menyatakan sikap.

Buat penulis, awam kadang memang terjebak untuk berpikir naif. Namun itu bisa berarti kemurnian, menuntun manusia pada hakikat, pada orisinalitas. Pada sesuatu yang nirkepentingan. Suatu yang murni, yang sederhana dan tidak ru­mit atau dirumitkan oleh sistem.

Dengan buku ini, ia ingin mencontoh daya magis lagu-lagu Iwan Fals atau Ebiet G Ade: polos, lugas, murni, awam, naïf, tapi meng­hen­tak nalar (hlm. 124). Selain itu, bu­ku ini mengingatkan media untuk tidak lupa mengkritisi hakikat sistem (satu hal yang melandasi produk kebijakan ekonomi) dan tak hanya bertumpu pada mala­praktik dari dalam sistem yang dianut. Pun demikian, kritik tetap harus diberikan: karena terpedaya untuk mengawamkan topik yang dibahas itu, penulis kerap kali ter­­pelanting untuk melakukan penyederhanaan dan generalisasi. (*)

---

Judul Buku: Indonesia for Sale

Penulis: Dandhy Dwi Laksono

Penerbit: Pedati Surabaya

Cetakan: Oktober 2009

Tebal: xvi+316 halaman

---

Samsul Arifin dari film Anggota Klub film kounoatu dari SCTV
Sumber www.jawapos.co.id

12 November 2009

Revolusi Layanan Perpustakaan Nasional RI Berbasis Teknologi Informasi

Artikel ini dinobatkan sebagai Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

A. Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, Perpustakaan Nasional adalah lembaga pemerintah non departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara.
Mencermati paragraf di atas, terlihat bahwa fungsi yang diemban oleh Perpustakaan Nasional RI tidaklah ringan. Perlu suatu langkah yang cerdas agar aneka fungsi tersebut dapat terlaksana dengan baik. Salah satu langkah cerdas yang dapat ditempuh adalah dengan memberdayakan keberadaan teknologi Informasi dan bukan sekedar menggunakannya untuk menggantikan layanan manual.

Aneka fungsi di atas tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak ditunjang dengan pemberdayaan teknologi Informasi. Dengan teknologi Informasi, aneka fungsi tersebut akan lebih terasa manfaatnya oleh masyarakat. Dengan kata lain teknologi Informasi akan mampu meningkatkan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI.

B. Teknologi Informasi
Teknologi Informasi (selanjutnya disingkat TI) adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global (Wawan Wardiana, 2002)

Melihat perkembangan TI di tanah air terasa seperti ada sesuatu yang salah. Ibaratnya seperti, “sayur tanpa garam”. Kebangkitan Korea Selatan dengan TI menarik untuk dipergunakan sebagai “pisau analisa” untuk membedah fenomena ini. Negara ini terbukti mampu menjadi pemain utama sebagai negara produsen TI.

Korea adalah negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996. Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negeri ini. Disusul capaian spektakuler lain, seperti digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB (2005).

Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadi perekonomian yang jauh lebih kuat. Dalam tiga tahun transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006).

Ekspor produk ICT pun melonjak dari 48,4 miliar dolar AS (2001) menjadi 113,3 miliar dollar AS (2006). Sumbangan komponen ICT dalam produk domestik bruto (PDB) riil nasional melonjak dari 10,1 persen (2001) menjadi 16,2 persen pada kurun waktu yang sama.

Pertumbuhan pesat internet dari industri ICT ini dipicu oleh dua hal. Pertama, cepatnya adaptasi masyarakat terhadap teknologi baru. Antusiasme ini tak bisa dilepaskan dari budaya self education bangsa Korsel. Revolusi di bidang teknologi digital tak mungkin terjadi tanpa ada dukungan konsumen yang sangat terbuka pada teknologi dan inovasi baru.

Tingkat penetrasi internet di level rumah tangga mencapai hampir 80 persen, sementara di kalangan industri hampir 100 persen. Internet dengan cepat menggantikan TV sebagai sumber utama informasi. Dari ibu rumah tangga, siswa SD, pedagang kecil, hingga pekerja kantoran sudah memanfaatkan jasa internet. Dalam empat tahun, pendapatan bisnis jasa internet melonjak 10.000 persen dari 36,4 miliar won (1999) menjadi 3.700 miliar won (2003)

Faktor kedua adalah ketatnya persaingan antar penyedia jasa internet, seperti Korea Telecom, Hanaro, dan Thrunet, yang menyebabkan konsumen bisa menikmati harga murah. Tak kalah penting adalah dukungan kebijakan pemerintah lewat strategi IT839 dan e-korean program melalui pembangunan jaringan infrastruktur informasi dan komunikasi berkecepatan tinggi sejak 1995.

Hasilnya, Korsel berhasil mewujudkan ambisi menjadi information society pada abad ke-21, jauh lebih cepat dari yang ditargetkan. Dalam indeks informatisasi global, posisi Korsel terus meningkat dari urutan 22 (1998) menjadi 12 (2003) dan 3 (2005). Untuk Digital Oppurtinity Index yang disusun Inter national Telecommunication Union, Korsel di urutan teratas selama dua tahun berturut-turut. Sebagai kota, ibu kota Seoul juga masih tetap teratas dalam e-gonernance, mengalahkan Hongkong, Heksinki, Singapura, Madrid, dan London.

Basis pengetahuan dan kultur baca tulis yang kuat merupakan rahasia utama kesuksesan Korea. Basis pengetahuan yang kuat memungkinkan Korea untuk melakukan loncatan besar dalam sebuah creative innovation, hingga akhirnya mampu melakukan inovasi sendiri dan menjadi negara maju saat ini.

Ketika perang Vietnam usai dan Presiden Amerika menawarkan bantuan untuk Korea atas jasanya selama perang tersebut, tak banyak yang diminta Presiden Park saat itu. Amerika akhirnya membangunkan untuk Korea laboratorium Iptek besar yang kemudian bernama KIST (Korean Institute of Science and Technology). KIST inilah yang memiliki peran besar dalam membangun basis pengetahuan yang kuat di Korea.

Basis pengetahuan yang kuat akan sulit diwujudkan tanpa adanya kultur baca tulis yang kuat pula. Hampir semua informasi dan ilmu pengetahuan tersedia dalam bentuk tulisan (buku, majalah, jurnal, koran, brosur, pamflet, dsb). Informasi dalam bentuk tulisan memiliki banyak keunggulan dibanding media-media dalam bentuk lain. Walaupun kini telah tersedia internet yang membantu kita menyediakan berbagai informasi, tapi buku tetap menjadi instrumen utama. Kebijakan yang paling penting dalam mendorong budaya baca tulis ini adalah adanya perpustakaan.

TI dan perpustakaan dapat diibaratkan sebagai “dua sisi dari satu mata uang yang sama”. Keberadaan TI akan memudahkan perpustakaan dalam mengaplikasikan konsep manajemen ilmu pengetahuan. TI akan memudahkan perpustakaan dalam melakukan pengembangan pangkalan data, penelusuran informasi, transformasi digital, dan promosi.

TI tanpa dukungan perpustakaan hanya akan menghasilkan teknologi konsumtif, teknologi yang mandul. Perpustakaan berperan meletakkan dasar yang kuat untuk membentuk masyarakat yang melek informasi. Masyarakat yang mampu memberdayakan informasi bukan sekedar mengkonsumsi informasi. Jadi, perpustakaan berperan untuk menyiapkan masyarakat agar “siap menikmati” TI.

Kesiapan ini cukup penting agar masyarakat dapat memaksimalkan peran TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ironisnya, sampai saat ini kesiapan masyarakat untuk mengoptimalkan TI belum menggembirakan. Fenomena ketidaksiapan ini, tampak pada : pertama, fenomena pornografi dan chatting di internet.

Masyarakat yang tidak siap hanya akan tertarik dengan informasi sampah yang ada di internet dan alergi dengan informasi penuh gizi yang juga disediakan oleh internet. Realitas membuktikan hampir delapan puluh persen pengguna internet kita menyukai situs-situs yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Internet juga hanya dipergunakan untuk keperluan yang tidak produktif semacam “chatting” yang merupakan kemasan baru dari kebiasaan “ngerumpi” masyarakat. Dalam hal ini adanya internet malah makin mengukuhkan tradisi lisan bukan tradisi baca dan tulis masyarakat.
Kedua, fenomena hotspot. Hotspot dengan mudah bisa ditemukan di setiap tempat. Sekolah, kampus, kedai, angkringan, kafe, dan mal. Dengan hanya bermodalkan laptop dan duduk lesehan di kafe, seseorang bisa berselancar sepuasnya di dunia maya. Hal inilah yang mendorong meningkatnya penjualan laptop.

Namun ironisnya, demam hotspot yang saat ini melanda masyarakat belum memicu bangkitnya kesadaran untuk memanfaatakan teknologi dan hanya menunjukkan perayaan konsumerisme belaka. Menurut Arie Sujito (2008), sosiolog Universitas Gadjah Mada, demam hotspot yang terjadi baru sebatas trend gaya hidup. Yakni masih sebatas sebagai pengguna dan belum benar-benar memanfaatkan teknologi itu untuk meningkatkan kualitas pribadi. Buktinya, kawasan hotspot yang sering diserbu bukan perpustakaan melainkan kafe atau mal.

Ketiga, fenomena buku paket elektronik dari Depdiknas. Sekolah diperkirakan tidak bisa menggunakan buku paket elektronik secara maksimal dengan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung, seperti komputer yang terkoneksi internet. Sekolah harus mengeluarkan biaya besar untuk mengadakan teknologi pendukung buku paket elektronik tersebut.

C. Revolusi Layanan
Pada bagian pendahuluan, penulis sudah sedikit mengungkapkan tentang urgensi peningkatan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI. Peningkatan kualitas layanan ini sangat terkait dengan kedudukan Perpustakaan Nasional RI sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan. Keenam fungsi ini dituntut dapat memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat. Dengan kata lain dapat memberikan kepuasan kepada pemustaka di seluruh pelosok tanah air.

Peningkatan kualitas layanan secara holistik ini lebih tepat disebut dengan istilah “Revolusi Layanan”. Mengapa ? Karena untuk mencapainya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang heroik dari semua unsur di Perpustakaan Nasional RI. Perlu kerja keras dan kerja sama semua pihak dalam memberikan kepuasan kepada pemustaka.

Revolusi layanan perpustakaan diharapkan dapat membawa Perpustakaan Nasional RI menjadi perpustakaan penelitian. Menurut Soeatminah (1999) ada tiga tahap perkembangan perpustakaan, pertama, tahap gudang buku (Store House Period). Dalam tahap ini, perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan merawat buku, dengan tujuan utama menyelamatkannya dari kerusakan.

Kedua, tahap layanan (Service Period). Tahap ini ditandai dengan meningkatnya jumlah koleksi bahan pustaka dan jumlah masyarakat pemakainya. Bidang layanan perpustakaan mendapat tantangan dari masyarakat pengguna yang berharap dapat memperoleh layanan yang baik.

Ketiga, tahap pendidikan dan penelitian (Educational and Research Period). Perpustakaan pada tahap ini berfungsi sebagai tempat untuk mendidik dan mengembangkan masyarakat penggunanya. Perpustakaan dituntut untuk mampu memberi kepuasan kepada masyarakat pemakainya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama bagi mereka yang betul-betul menekuni bidang ilmunya. Perpustakaan bagi pendidik dan peneliti merupakan penyalur informasi sekaligus sebagai sumber inspirasi.


1. Revolusi layanan perpustakaan pembina.
Sebagai perpustakaan pembina, Perpustakaan Nasional RI dituntut untuk memberikan layanan tentang tata cara pengelolaan perpustakaan yang baik dan benar kepada seluruh perpustakaan yang ada di tanah air. Situs resmi Perpustakaan Nasional RI mesti memuat buku pedoman penyelenggaraan perpustakaan yang mudah diakses oleh publik. Tata cara pengolahan bahan pustaka seperti : klasifikasi, inventarisasi, pemasangan kelengkapan buku, dan katalogisasi merupakan menu yang wajib ada dalam website Perpustakaan Nasional RI. Demikian pula dengan tata cara layanan perpustakaan, juga harus menjadi bagian dari “menu” pembinaan tersebut.

Perpustakaan Nasional RI dapat membuat buku pedoman klasifikasi DDC (Decimal Dewey Classification), pedoman tajuk subyek, dan Peraturan Katalogisasi Indonesia dalam bentuk buku digital yang bebas didownload oleh pengelola perpustakaan maupun masyarakat. Selama ini publik masih mengalami kesulitan untuk memperoleh buku-buku yang notabene merupakan “kitab suci” dunia perpustakaan di tanah air. Dengan kebijakan ini diharapkan segala peraturan yang berkaitan dengan dunia perpustakaan makin dipahami oleh pengelola perpustakaan di tanah air.

Modul-modul diklat yang selama ini diproduksi oleh Pusat Diklat Perpustakaan Nasional RI dapat dibuat dalam format digital dan ditampilkan dalam situs resmi Perpustakaan Nasional RI agar dapat diakses publik secara terbuka. Selama ini yang ada dalam website hanya buku-buku yang dapat dikategorikan dalam “pedoman umum dan petunjuk umum”. Belum secara spesifik dan rinci mengajarkan ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Dengan demikian mereka yang awam tentang perpustakaan pun diharapkan dapat secara cepat dan praktis memahami dunia perpustakaan.

Selain itu, dengan digitalisasi modul-modul belajar tersebut Pusdiklat Perpustakaan Nasional RI juga dapat menggelar program diklat perpustakaan jarak jauh. Diklat perpustakaan jarak jauh ini merupakan wujud praktis pemberdayaan TI untuk semakin mempercepat proses pembinaan perpustakaan di tanah air.

2. Revolusi layanan perpustakaan rujukan.
Arah pengembangan revolusi layanan rujukan adalah terwujudnya perpustakaan hibrida (hybrid library). Christine L Borgman (2003), mengungkapkan bahwa perpustakaan hibrida adalah perpustakaan yang didesain untuk mengelola teknologi dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber elektronik dan sumber koleksi yang tercetak yang dapat diakses melalui jarak dekat maupun jarak jauh.

Berbeda dengan perpustakaan digital, konsep perpustakaan hibrida berusaha mempertahankan koleksi tercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi digital. Perpustakaan hibrida memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya. Perpustakaan hibrida berusaha memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan koleksi digital dan penggunaan teknologi komputer tidak bisa dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak.

Negara yang termasuk paling aktif melakukan penelitian dan pengembangan konsep perpustakaan hibrida adalah Inggris. Negara ini menyelenggarakan lima proyek perpustakaan hibrida, masing-masing diberi nama BUILDER, AGORA, MALIBU, Headline, dan Hylife. Kelimanya merupakan bagian dari proyek besar E-Lib. Masing-masing proyek ini memiliki ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik mengembangkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru.

BUILDER Hybrid Library, dikembangkan di University of Birmingham untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, pengajar, sampai para pengelola kampus. Proyek ini berkonsentrasi pada pengamatan tentang lingkungan penyediaan jasa informasi yang menggabungkan jasa perpustakaan biasa dan jasa elektronik. Kebetulan, pada saat bersamaan University of Birmingham juga sedang mengembangkan lingkungan belajar baru yang memanfaatkan teknologi komputer.

AGORA merupakan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh University of East Anglia dengan konsentrasi pada Hybrid Library Management System. Dalam proyek ini, perhatian diberikan kepada pengembangan sistem informasi berbasis konsep “ cari-temukan, diminta-sajikan”. Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengembangkan sebuah layanan terintegrasi, menggunakan standar Z39.50, yang menyatukan berbagai fungsi dan jasa perpustakaan ke dalam satu layanan berbasis web. Pemakai diharapkan dapat terbantu oleh sebuah layanan yang serupa untuk berbagai macam keperluan menggunakan berbagai jenis media, baik yang ada di koleksi lokal perpustakaan, maupun yang ada di koleksi perpustakaan yang lain.

MALIBU dikembangkan oleh King’s College London. Khusus untuk mempelajari pengembangan perpustakaan hibrida di bidang ilmu budaya (humanities). Menarik untuk dicatat, proyek ini mempelajari pula kemungkinan keterlibatan para pemakai jasa dengan mengajak mereka membuat sebuah User Scenario. Para teknolog dan pustakawan kemudian menerapkan skenario ini pada rencana pengembangan dan manajemen jasa.
Headline Project dikerjakan oleh London School of Economics, bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal dengan mengembangkan sebuah portal yang memungkinkan para pengguna perpustakaan mengakses informasi secara digital maupun manual secara terintegrasi. Portal ini dapat diubah sesuai selera pengguna dan memberikan fasilitas untuk menghimpun pengguna yang memiliki kepentingan sama dalam satu kelompok khusus.

HuLife di University of Northumbria memfokuskan diri pada masalah-masalah non-teknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasil proyek ini adalah Hybrid Library Toolkit, sebuah panduan yang ingin mengembangkan jasa elektronik mereka yang sesuai dengan kebutuhan institusi.

3. Revolusi layanan perpustakaan deposit.
Salah satu tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI adalah sebagai pusat deposit terbitan nasional dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Berdasarkan undang-undang tersebut, Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Nasional Provinsi mendapat tugas untuk melakukan penghimpunan, penyimpanan, dan pelestarian bahan karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah Indonesia.

Namun upaya untuk menghimpun terbitan nasional ini masih mengalami hambatan, antara lain masih kurangnya kesadaran penerbit, terutama penerbit pemerintah, untuk menyerahkan terbitannya kepada Perpustakaan Nasional RI guna dilestarikan. Hambatan ini diperparah dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang menyebabkan Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi asset Pemerintah Provinsi.

Dari terbitan buku per tahun sebesar 7.500 judul (hasil survei kajian terbitan buku tahun 2002 dan 2003 di Indonesia oleh Perpustakaan Nasional bekerja sama dengan Lembaga Penelitian IPB), baru 375 judul (tahun 2002) dan 400 judul (tahun 2003) yang diserahkan penerbit kepada Perpustakaan Nasional. Sebagian besar dari yang diserahkan itu terdiri dari terbitan non-pemerintah.

Untuk mengoptimalkan pengumpulan serah-simpan karya cetak dan karya rekam Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan daerah provinsi harus melakukan “layanan jemput bola”. Untuk memaksimalkan hasil layanan jemput bola, libatkan keberadaan perpustakaan umum kabupaten/kota. Lagi pula saat ini adalah era otonomi daerah, sehingga wajar jika perpustakaan umum kabupaten/kota mendapat peran yang cukup signifikan.

Setiap bulan perpustakaan umum kabupaten/kota dapat diminta partisipasinya untuk memantau jumlah penerbitan karya cetak dan karya rekam baru di masing-masing kabupaten/kota di tanah air. Perpustakaan umum kabupaten/kota juga dapat dijadikan sebagai tempat transit sementara bagi penerbit/pengusaha rekaman yang ingin menyerahkan karya cetak/karya rekam terbarunya. Selanjutnya perpustakaan umum kabupaten/kotalah yang mengirimkan kepada perpustakaan daerah provinsi untuk diteruskan kepada perpustakaan nasional. Dengan demikian penerbit dan pengusaha rekaman tak perlu repot-repot menyerahkan sendiri ke perpustakaan nasional.
Layanan jemput bola ini akan semakin efektif jika disatukan dengan desentralisasi pemberian nomor ISBN (International Standart Book Numbers) dan barcode harga yang sangat diperlukan penerbit untuk memasarkan produknya baik di dalam maupun luar negeri/internasional.

Dengan desentralisasi ISBN, maka penerbit cukup mengurus ISBN di perpustakaan umum kabupaten/kota yang dirancang online dengan perpustakaan daerah provinsi dan perpustakaan nasional. Desentralisasi ISBN akan semakin memudahkan proses pemantauan dan pengumpulan karya cetak dari penerbit karena dilayani secara langsung oleh perpustakaan umum kabupaten/kota. Layanan penerbitan ISBN yang terpadu dengan layanan untuk menerima serah-simpan karya cetak ini diharapkan dapat meminimalkan tidak terdeteksinya penerbitan buku baru oleh perpustakaan seperti yang terjadi selama ini.

Untuk lebih meningkatkan partisipasi penerbit, Perpustakaan Nasional RI dapat memberikan alternatif kepada penerbit untuk mengirimkan buku terbitannya dalam bentuk buku digital. Buku digital ini dapat dimuat di situs deposit Perpustakaan Nasional RI agar dapat diakses oleh publik.

Publik dapat membuka layanan buku digital ini, namun tidak dapat mendownload buku ini. Dalam hal ini perpustakaan deposit juga berfungsi sebagai media promosi buku baru sehingga akan menguntungkan penerbit buku. Jika seseorang menghendaki buku baru tersebut, dapat membeli secara langsung di toko buku.

4. Revolusi layanan perpustakaan penelitian/riset.
Revolusi layanan ini dapat dimulai dengan mengembangkan Perpustakaan Nasional RI sebagai pusat riset/penelitian. Perpustakaan riset punya berbagai ciri, yaitu, pertama, koleksinya yang komprehensif dan mengarah khusus pada bidang kajian penelitian tertentu. Jadi, koleksi buku Perpustakaan Nasional RI perlu diarahkan pada terwujudnya aneka pusat koleksi bidang penelitian tertentu. Seperti pusat koleksi penelitian bidang bahasa, pusat penelitian bidang sains, dan pusat penelitian bidang ilmu sosial.

Kedua, koleksinya selalu mutakhir. Kemutakhiran koleksi perpustakaan riset sangat penting, karena peneliti membutuhkan informasi tentang perkembangan terbaru di bidang yang menjadi kajian penelitiannya. Biasanya, koleksi mutakhir tersebut berupa jurnal ilmiah.

Ketiga, dominan pemakai perpustakaan riset ialah para peneliti profesional ataupun civitas akademika yang sedang menjalankan aktivitas penelitian. Spesialisasi layanan perpustakaan riset ialah Current Awareness Service (CAS) sebagai layanan yang mendukung dinamika kebutuhan dan mobilitas para peneliti sebagai kliennya.

Sebagai perpustakaan riset, Perpustakaan Nasional RI perlu melakukan inovasi-inovasi layanan agar lebih dikenal oleh para peneliti dan akademikus. Menurut Fadil Hasan, sebagaimana dikutip Tempo Interaktif, 23 Mei 2005, hanya 20 persen peneliti yang memanfaatkan fasilitas Perpustakaan Nasional. Survey dilakukan terhadap 60 orang peneliti di Jakarta dan Bogor. Dari survey itu, 65 persen lainnya malah sama sekali belum pernah ke Perpustakaan Nasional. Sisanya, hanya sesekali berkunjung.

Menurut Fadil, para responden umumnya berpendapat bahwa perpustakaan yang terdapat di bilangan Salemba, Jakarta Pusat ini, koleksinya tidak lengkap dan kurang spesifik. Selain itu, mereka lebih banyak menggunakan internet untuk memperdalam penelitiannya. Sebanyak 70 persen menggunakan internet.

Fungsi sebagai perpustakaan riset menghendaki Perpustakaan Nasional mampu memberikan layanan kepada pemustaka yang hendak melakukan penelusuran informasi. Fungsi ini perlu di respon oleh Perpustakaan Nasional RI dengan melakukan revolusi diri menjadi perpustakaan digital yang senantiasa “up to date” memberikan informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat.

Perpustakaan riset dapat melengkapi diri dengan menyusun secara mandiri ensiklopedia digital, kamus digital, handbook digital, guidebook digital, direktori digital, dan almanak digital. Tanpa langkah ini, fungsi sebagai perpustakaan riset tidak akan berjalan dinamis.

Subhan (2006) mengungkapkan bahwa digitalisasi merupakan salah satu langkah agar akses informasi dan kerjasama antarperpustakaan menjadi semakin lancar. Dengan digitalisasi, para peneliti dapat dengan mudah mengakses informasi untuk kebutuhan penelitiannya.

Perpustakaan riset memberikan harapan kemajuan dan kemakmuran. Dengan riset, ilmu pengetahuan makin berkembang. Harapannya, perkembangan itu melahirkan efek bola salju berupa meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Negara-negara maju sejak lama menyadari besarnya manfaat riset. Lewat riset, berbagai inovasi bermunculan sehingga bisa dijadikan komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi.

5. Revolusi layanan perpustakaan pelestarian.

Arah revolusi dalam layanan bidang pelestarian adalah mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional RI dalam format digital. Saat ini Perpustakaan Nasional RI memang telah memiliki beberapa naskah kuno yang sudah dialihmediakan dalam format digital, seperti Barmartani (Soerakarta, 1855) dan Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858).

Namun, naskah-naskah kuno ini belum dapat diakses oleh publik melalui internet (format digital). Padahal salah satu tujuan dari pelestarian naskah-naskah kuno adalah adanya proses eksplorasi dan eksploitasi terhadap naskah kuno tersebut. Pembukaan akses secara terbuka terhadap publik akan meningkatkan kadar kegunaan dan keterpakaian naskah-naskah tersebut.

Alangkah indahnya, jika publik dapat mengakses koleksi surat kabar milik Perpustakaan Nasional RI yang terbit pada masa Perang Diponegoro melalui internet. Hal ini tentu akan menambah wawasan sejarah anak bangsa ini melalui rekaman tertulis para jurnalis pada masa itu.

Bila selama ini pengetahuan tentang Perang Aceh, Perang Diponegoro dan Perang Padri, hanya diperoleh dari buku sejarah, maka surat kabar yang terbit di zaman penjajahan memberi informasi secara langsung kejadian tersebut. Dengan demikian publik dapat mengikuti dengan lebih rinci mengenai tokoh dan peristiwa penting yang kelak dikemudian hari menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini.

Selain itu, Perpustakaan Nasional RI juga harus membuat “tafsir/penjelasan” dari naskah-naskah kuno yang menjadi koleksinya. Penjelasan naskah ini menjadi penting pula untuk dipublikasikan dalam website Perpustakaan Nasional RI agar warisan luhur budaya bangsa lebih dikenal dan di sayang oleh masyarakat.

6. Revolusi pusat jejaring perpustakaan.

Menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. Tujuan kerjasama ini adalah untuk meningkatkan jumlah pemustaka yang dapat dilayani dan meningkatkan mutu layanan perpustakaan. Kerjasama ini dilakukan dengan memanfaatkan sistem jejaring perpustakaan yang berbasis TI dan komunikasi.

Sampai saat ini tak ada satupun perpustakaan yang dapat menahbiskan dirinya sebagai perpustakaan paling lengkap di dunia. Tahbis yang ada baru sebatas perpustakaan dengan jumlah koleksi terbanyak. Untuk itu diperlukan kerjasama antar perpustakaan guna saling asah, asih, dan asuh dalam meningkatkan layanan kepada pemustaka.

Perpustakaan Nasional RI yang merupakan “payungnya” seluruh perpustakaan di tanah air sudah sewajarnya memelopori terbentuknya jaringan perpustakaan berbasis TI di tanah air. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk jaringan nasional Perpustakaan Daerah Provinsi di Indonesia.

Langkah kedua adalah membentuk jaringan nasional perpustakaan umum kabupaten/kota dalam setiap provinsi. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan setiap Perpustakaan Daerah Provinsi yang ada di Indonesia. Berikutnya, membentuk jaringan nasional perpustakaan perguruan tinggi se-Indonesia. Hal ini dapat dimulai dari perpustakaan perguruan tinggi negeri (PTN) .

Untuk mempercepat terbentuknya jaringan perpustakaan ini, Perpustakaan Nasional RI perlu melakukan langkah revolusi dengan membuat program otomasi perpustakaan gratis yang dapat diunduh oleh masyarakat di website Perpustakaan Nasional RI. Penyusunan format MARC untuk Indonesia (INDOMARC) tanpa diikuti dengan langkah nyata ini tidak akan banyak membawa arti. Mengingat tidak semua perpustakaan di tanah air mampu membeli program otomasi secara mandiri.

Perpustakaan Nasional RI dapat menyempurnakan program otomasi gratis dari UNESCO seperti CDS/ISIS maupun WIN ISIS sehingga selain dapat dipergunakan untuk pangkalan data juga dapat dipergunakan untuk layanan. Dengan langkah ini, seluruh perpustakaan di tanah air dapat memperoleh program otomasi yang mudah dan murah yang kelak akan mempercepat proses pembentukan jaringan informasi nasional perpustakaan.

E. Penutup

Perpustakaan dan teknologi informasi dapat diibaratkan “dua sisi dari satu mata uang yang sama”. Perpustakaan memerlukan TI untuk meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan pemustaka. Sebaliknya, TI tanpa pedampingan perpustakaan hanya sebatas melahirkan masyarakat informasi yang semu. Masyarakat yang merasa sudah mengerti TI, tetapi pengetahuannya tentang TI tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan kualitas hidupnya.

Sinergi perpustakaan dan TI akan menghasilkan kultur masyarakat yang bukan sekedar “memakai” TI melainkan memberdayakan TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu “Revolusi Layanan Perpustakaan Nasional RI Berbasis TI” menjadi suatu keniscayaan. Revolusi ini di masa depan akan mampu merevolusi diri karakter bangsa ini dari bangsa “pemakai” TI menjadi bangsa yang mampu memberdayakan TI. Revolusi yang mampu membangunkan bangsa ini dari keterpurukan.

Romi Febriyanto Saputro, S. IP adalah PNS Pada Kantor Perpusda Kab. Sragen

10 November 2009

Menulis Biografi Pahlawan

Oleh Bandung Mawardi

BUKU adalah kunci untuk publikasi sosok dan nilai pahlawan. Rezim Orde Lama menjalankan operasionalisasi untuk publikasi pahlawan dengan membentuk Lembaga Sejarah dan Antropologi (1958). Lem­baga itu memiliki misi membuat buku biografi para pahlawan. Orde Baru melanjutkan misi dengan membentuk Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (1979). Klaus H. Schreiner (2005) mencatat pada 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.

Penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Buku-buku biografi versi pemerintah cende­rung menjadi aksentuasi nilai dan efek po­litis. Buku-buku biografi adalah medium pengesahan dan pengajaran mengenai pah­lawan. Misi dari pemerintah mendapati tan­dingan dari individu dan institusi dalam menulis pahlawan dalam bentuk biografi dan novel.

***

Kuntowijoyo (1994) menyebutkan bahwa penulisan buku biografi di Indonesia didominasi oleh pengarang dan jurnalis. Fakta itu menjadi satire atas kompetensi ahli sejarah untuk menuliskan biografi tokoh. Penulisan buku biografi sejak 1950-an menunjukkan peran dari kalangan pengarang dan jurnalis. Misalnya, M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.

Kehadiran buku biografi pun dibarengi dengan penerbitan novel-biografi. Novel memiliki kemungkinan untuk memadukan fakta sejarah, interpretasi, dan olahan imajinasi. Novel hadir sebagai medium unik untuk publikasi biografi dan interpretasi mengenai sosok pahlawan. Publikasi no­vel-biografi pahlawan: Surapati karangan Abdul Muis, Jejak Kaki Walter Monginsidi karangan S. Sinansari Ecip, Cermin Kaca Soekarno karangan Mayong Sutrisno, Cut Nya Dien karangan Ragil Soewarno Pragolapati, dan lain-lain.

Interpretasi-imajinatif memungkinkan ada perbedaan kentara dengan olahan fakta sesuai dengan disiplin ilmu sejarah. Novel-biografi memang tidak menjadi sum­ber sahih dalam penelusuran sejarah tapi memberi jalan lain atas pengetahuan sisi-sisi kehidupan pahlawan. Novel-biografi itu memiliki peran unik dalam dominasi penerbitan buku-buku biografi pahlawan.

***

Ikhtiar menulis biografi pahlawan pun dilakukan oleh ahli dan peneliti mumpuni di luar imperatif dan proyek pemerintah. Publikasi fenomenal tampak dalam majalah Prisma No. 8 Tahun 1977 terbitan LP3ES dengan titel Manusia dalam Kemelut Sejarah. Edisi itu memuat studi kritis mengenai sosok Soekarno, Soedirman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Tan Malaka. Artikel-artikel itu mengungkap kontroversi dan bias dalam pengetahuan publik terhadap pahlawan.

Edisi lanjutan dari studi intensif dan kritis itu hadir dalam buku Sejarah Tokoh Bangsa (2005) dengan editor Yanto Bashri dan Suffani. Buku itu memuat tambahan studi kritis biografi Mohamad Hatta, W.R. Supratman, Muhammad Yamin, dan Hasyim Asy'ari. Kehadiran artikel-artikel tentang pahlawan itu melengkapi penerbitan buku-buku biografi otoritatif: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia garapan Cindy Adams, seri Tan Malaka garapan Harry A. Poeze, seri Diponegoro garapan Peter Carey, Mohammad Hatta: Biografi Politik garapan Deliar Noer, Kartini: Sebuah Biografi garapan Siti Soemandari Soeroto, Cut Nya Din: Kisah Ratu Perang Aceh garapan M.H. Skelely Lulofs, dan lain-lain.

Penulisan buku-buku biografi pahlawan dengan studi intensif dan kritis terus dilakukan untuk memberi kontribusi sebagai medium pengetahuan sejarah dan meluruskan kontroversi dan bias dalam penerbitan buku-buku biografi versi lama dalam intervensi penguasa. Kesahihan dalam pemakaian sumber-sumber sejarah, interpretasi, dan struktur tulisan dalam buku biografi kerap menjadi polemik (perdebatan) panjang dengan pelbagai perspektif dan argumentasinya.

***

Buku Seabad Kontroversi Sejarah (2007) garapan Asvi Warman Adam memuat kritik keras mengenai publikasi buku biografi karena ada bias, dilema, dan sisi gelap tak terungkap. Kontroversi kentara adalah argumentasi untuk menobatkan seseorang sebagai pahlawan atau pemberontak mengacu pada pelbagai peristiwa dan kontribusi untuk Indonesia. Kontroversi mengenai sebutan pahlawan atau pemberontak terhadap sosok-sosok penting dalam perjalanan sejarah Indonesia menemukan mo­­mentum pada pasca-Orde Baru dengan wa­cana pelurusan atau revisi sejarah.

Kontroversi dengan dilema untuk meragukan atau menguatkan peran pahlawan mu­lai menjadi polemik panjang di media massa. Polemik itu terkadang menimbulkan kejutan dan kegamangan. Rentetan polemik itu menjadi bahan bagi Eka Nada Shofa Alkhajar untuk menulis buku Pahlawan-Pahlawan yang Digugat (2008). Buku ini memuat jejak tafsir kontroversi atas kepah­lawanan Kartini, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Ida Agung Gde Agung, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai. Kontroversi itu sampai hari ini belum menemukan titik terang dan konklusi mumpuni. Begitu. (*)

*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Tak Kembalikan Bumbunya
Sumber www.jawapos.co.id

08 November 2009

Pengumuman Pemenang Lomba Pidato Bahasa Jawa Tahun 2009