Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pelatihan IT

Pelatihan IT di BLC Kabupaten Sragen

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


18 Februari 2009

Memahami Sabda Pandhita Ratu



''Buat apa sebuahTahta dan menjadi Raja apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat''

(Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 7 Maret 1969)

Tidak banyak yang tahu kalau keputusan Sultan Hamengku Buwono X bakal maju menjadi calon presiden (capres) pada pilpres 2009 bukan semata-mata atas keinginan ''nafsu'' politiknya semata. Lewat pertemuan akbar dengan rakyatnya atau pisowanan ageng pada 28 Oktober 2008, bertepatan Hari Sumpah Pemuda, Sultan dengan lantang menegaskan, ''Dengan memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan niat yang tulus memenuhi panggilan pada Ibu Pertiwi, dengan ini saya menyatakan siap maju menjadi calon presiden 2009.''

Sejak itu, dan hingga hari ini, peta politik Tanah Air berubah drastis dan kian hari kian memanas. Bagaimana tidak, sebagian kalangan sebelumnya tidak begitu memperhitungkan Sultan bakal berani dan ''nekat'' maju menjadi capres, sebab ia sendiri sedang mengurusi rakyat Jogja di singgasana keratonnya. Sebagian lain berpendapat, wacana Sultan akan maju ke bursa pencalonan presiden sesungguhnya sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) pada 2007.

Dari sana, muncullah spekulasi di balik sikap Sultan dalam memperlakukan kekuasaan dan berpolitik. Pertama, dengan tidak menolak menjadi gubernur pada periode berikutnya, selain karena alasan telah menjabat dua kali periode, Sultan seolah hendak memberikan pelajaran demokrasi kepada rakyat Jogja dan masyarakat luas pada umumnya. Padahal, oleh pemerintah pusat, Jogja dilabeli ''daerah istimewa'' yang tidak mempersoalkan manakala masyarakat setempat menghendaki Sultan sebagai raja sekaligus gubernur.

Kedua, ada anggapan bahwa majunya Sultan ke bursa capres merupakan kritik praksisnya terhadap pemerintahan pascareformasi, yang tak juga berhasil menyejahterakan rakyat. Realitas kemiskinan, pengganguran, konflik antarindividu maupun kelompok, dan lain-lain, mengetuk sekaligus membuka hati Sultan untuk ikut andil secara langsung mengurusi rakyat Indonesia. Pemerintahan saat ini, menurut penilaian Sultan, gagal menjalankan amanah rakyat sehingga berada di titik nadir kemelaratan.

Ketiga, deklarasi Sultan yang menyatakan siap berlaga dalam kompetisi capres 2009 adalah bentuk penyaluran hak politiknya sebagai warga negara, walau risiko yang ditanggung amatlah besar. Sultan rela meninggalkan tahta kerajaannya demi --apa yang ia yakini-- kepentingan rakyat. Bahkan, Sultan ikhlas mencopot gelar wong agung-nya (seperti) seratus tahun lalu, jika memang harus luntur dengan sendirinya lantaran ia terjun ke dunia politik.

Pada pijakan ketiga poin itulah, buku ini berbicara sangat kompleks menyangkut seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Sultan menuju gerbang istana negara. Arwan Tuti Artha, penulisnya, mengangkat persoalan ke-Sultan-an lewat perspektif budaya Jawa (baca: Kejawen), semacam ''ilmu batin''. Perspektif model ini, tampaknya sangat baik dan bagus untuk mengetahui tujuan yang sebenarnya dari apa yang dilakukan Sultan dalam tindak-laku perbuatan maupun ucapannya. Hal itu jelas jauh berbeda manakala strategi analisis yang digunakan dengan pendekatan akademis yang cenderung kaku dan kering dari realitas yang senyatanya.

Arwan tiada henti selalu mengingatkan bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan Sultan adalah cerminan kawula (rakyat) untuk gusti (raja). Seorang raja, karena menjadi pusat kekuasaan, maka rakyat hanya akan mendengar apa yang disabdakan, baik itu perintah, larangan atau pernyataan. Oleh sebab itu, di kerajaan Jawa tak ada hukum, kecuali kata-kata keramat raja yang dikenal sebagai sabda pandhita ratu. Apa yang sudah diucapkan seorang raja merupakan keputusan final yang tidak bisa ditarik kembali. Keputusan final seorang raja itu ora wolak-walik sepisan mungkasi. Artinya, sekali tidak perlu diulangi karena sudah melalui pertimbangan panjang, cermat dengan penuh kesabaran (hlm. 81).

Apalagi, apa yang dikatakan seorang raja itu ibarat sabda, memiliki kekuatan magis dan kekuatan mistis. Artinya, kata-kata seorang raja bukan semata-mata milik raja saja, melainkan kata-kata yang sudah disempurnakan dengan kekuatan kosmik dan sudah meresap ke dalam perasaan dan pikiran raja bersangkutan. Boleh jadi, apa yang bakal terjadi nanti, sebenarnya telah diperhitungkan matang-matang oleh Sultan.

Lantas, apakah ada jaminan Sultan benar-benar bisa menjadi presiden RI berikutnya? Apakah ia akan dicalonkan dari partai besar yang sampai saat ini masih menaunginya? Buku ini tidak berbicara kemungkinan-kemungkinan politis itu. Yang amat ditekankan dalam buku setebal 174 ini adalah niat tulus Sultan untuk memperbaiki bangsa. Keputusan itu bukan merupakan manuver politik, tetapi sesuai dengan panggilan hati dan jiwanya. Sultan tidak akan main-main dengan ucapannya, bahkan dalam mengurus negeri ini. Itulah yang dia ucapkan, ''Sekali lagi saya ingin mengabdi, bukan merecoki negeri" (hlm. 111).

Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi niat Sultan untuk maju sebagai capres. Ini adalah konsekuensi logis dari sabda pandhita ratu. Tidak heran Sultan terlihat ''menghindar'' ketika ada kabar bahwa dirinya akan dilamar menjadi cawapres mendampingi capres Megawati yang diusung PDI Perjuangan baru-baru ini. Sultan masih memegang teguh sabda pandhita ratu itu, sebagai capres bukan cawapres. Tapi entah di kemudian hari...

Sultan percaya bahwa dirinya saat ini sedang ditunggu-tunggu masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa untuk memimpin bangsa ini. Sebab, dalam tradisi Jawa, untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera, diyakini ada satria pinilih yang tampil. Dialah orang yang sebelum waktunya keluar masih disimpan atau dipingit. Orang Jawa selalu berharap hadirnya satria piningit untuk memegang tampuk pimpinan. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi. (*)

*) Lailiyatis Sa'adah, guru PAUD di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dan pengelola Taman Baca AIDA di Jember

Judul Buku : Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana

Penulis : Arwan Tuti Artha

Penerbit : Galangpress, Jogjakarta

Cetakan : I, Januari 2009

Tebal : 174 halaman
Sumber Jawa Pos, 15 Februari 2009

Penguasa, Buku dan Peradaban

Oleh : Aguk Irawan M.N.*

IBNU AL-NADIM dalam kitabnya Al-Fihrist mengisahkan, suatu malam khalifah Al-Ma'mun (813-833) bermimpi melihat sosok berkulit putih kemerah-merahan, keningnya lebar, matanya biru, sikapnya gagah, sedang duduk di atas singgasana. Orang itu tidak lain adalah Aristoteles. Percakapan yang berlangsung di antara mereka --dalam mimpi itu-- memberi inspirasi kepada Al-Ma'mun untuk menyosialisasikan literatur Yunani di lingkungan akademinya. Setelah mengadakan hubungan melalui surat-menyurat dengan penguasa Byzantium, Al-Ma'mun mengutus sebuah tim kerja ke Yunani, dan tak lama berselang utusan itu kembali dengan membawa sejumlah buku untuk diterjemahkan.

Inilah awal mula gerakan penerjemahan di dunia Arab abad pertengahan yang membuat Akademi Bait Al-Hikmah (dar al-ilm) --yang dirintis Al-Ma'mun-- semakin tersohor. Dalam kerja penerjemahan literatur Yunani, Al-Ma'mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufassir dari setiap penjuru. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Sir John Glubb dalam Moslem Heroes in The World --dikutip oleh M. Atiqul Haque (1995)-- mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang kristiani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen dalam bidang fisika --khususnya tujuh volume Anatomy Galen-- yang beberapa tahun kemudian penyebarannya sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol.

Setelah menjamurnya karya-karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan Akademi Bait Al-Hikmah. Sebagaimana dicatat juga oleh Al-Nadim, perpustakaan itu telah mempekerjakan sarjana-sarjana brilian seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar juga bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya itu, ia menulis karya monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah.

Para penguasa di kurun itu dinilai sebagai pribadi-pribadi yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan keterlibatan mereka secara langsung dalam membangun perpustakaan. Ini diakui oleh J. Pedersen dalam The Arabic Book (1984) bahwa, dunia ilmu pengetahuan telah menduduki posisi yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika para penguasa dan orang-orang yang mampu ikut ambil bagian dan mengusahakan kemajuannya. Pada 1065, perdana menteri pemerintahan Saljuk, Malik Shah --dalam sejarah dikenal dengan nama Nizam Al-Mulk-- mendirikan perpustakaan Nizamiyah sebagai sentral penyimpanan buku-buku bagi kelangsungan aktivitas keilmuan di Madrasah Nizamiyah.

Jumlah koleksi buku di perpustakaan itu hampir sama dengan koleksi buku di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Namun, menariknya, peningkatan jumlah koleksi di perpustakaan ini diselenggarakan dengan program wakaf besar-besaran. Ibn Al-Thir menyebutkan, Muhib al-Din An-Najjar al-Baghdadi mewakafkan koleksi pribadinya dalam jumlah relatif banyak. Bahkan khalifah An-Nashir juga ikut ambil bagian dalam program pewakafan itu dengan menyumbangkan ribuan buku. Perpustakaan itu mempekerjakan pustakawan reguler sebagai karyawan yang digaji tinggi. Di antara pustakawan terkenal seperti Abu Zakariyyah al-Tibrizi dan Yaqub Ibn Sulaiman al-Askari bekerja di perpustakaan ini. Di sana pula Nizam al-Mulk al-Tusi (wafat 1092) menghabiskan sebagian besar waktunya dan menulis buku tentang hubungan internasional, Siyar Mulk yang terkenal itu. (Sardar, 2000).

Masih di kawasan Baghdad, pada 1227, khalifah Muntasir Billah mendirikan sebuah perpustakaan megah guna memfasilitasi berbagai diskursus keilmuan di Madrasah Musthansiriyah. Pengeliling dunia Ibn Batutah menceritakan tentang Musthansiriyah dan perpustakaannya dengan jelas, bahwa dengan 150 unta yang membawa buku-buku langka dari istana, perpustakaan ini memiliki koleksi 80.000 judul. Melihat kekayaan khazanah intelektual yang tersimpan di setiap perpustakaannya, wajarlah jika Kota Baghdad masa itu menjadi pusat berbagai aktivitas keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang didatangi oleh para pelajar dari berbagai penjuru dunia.

Pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan yang dipelopori langsung oleh penguasa tidak saja terkonsentrasi di dalam satu wilayah seperti Baghdad saja, tetapi juga tumbuh pesat di belahan wilayah lain seperti di Kairo. Menurut catatan Sardar, di daerah ini terdapat Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta buku, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.

Sebagai implikasi dari tingginya sense of science para penguasa masa itu, sampai pada periode sejarah kerajaan-kerajaan kecil (malakut thawaif), kultur semacam ini masih tetap terpelihara. Kerajaan-kerajaan kecil juga sibuk membangun perpustakaan, seperti perpustakaan Nuh Ibn Mansur, salah seorang sultan Bukhara sebagaimana dilukiskan oleh Ibnu Sina: ''Setelah memohon dan mendapat izin dari Nuh bin Mansur untuk mengunjungi perpustakaan ini, saya menemukan banyak ruangan yang penuh dengan buku-buku. Sebuah ruangan berisi buku-buku filsafat dan puisi, sementara ruangan lainnya yurisprudensi. Saya membaca katalog dari pengarang kuno dan mendapatkan semua buku yang diperlukan. Di sana banyak sekali buku-buku yang tidak pernah saya temukan sebelumnya,'' (Bibliophilism in Medieval Islam, 1938).

Model-model perpustakaan abad pertengahan yang telah menjadi salah satu tiang penyangga peradaban di era golden age, bukan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan literatur, tetapi juga berperan sebagai wahana bagi sejumlah aktivitas keilmuan, sehingga perpustakaan juga menjadi tempat penyelenggaraan riset secara intensif, ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai spesifikasi dan kegiatan-kegiatan umum lainnya. Begitu juga pengunjung perpustakaan, bukan hanya kalangan keluarga kerajaan, juga terbuka untuk seluruh pelajar dari berbagai tingkatan keilmuan.

Sebuah peradaban sukar dibayangkan bila tanpa buku. Dan, distribusi ilmu pengetahuan akan cepat bergulir bila para penguasa terlibat langsung dalam mendirikan perpustakaan, memfasilitasi kegiatan-kegiatan riset, menumbuh-kembangkan tradisi intelektual tanpa kekangan dalam bentuk apa pun. Sejak lama, hubungan penguasa dengan buku telah menjadi semacam ''syarat-rukun'' dalam menegakkan tiang-tiang penyangga sebuah peradaban. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap dunia perbukuan itu adalah juga sebuah lelaku yang beradab, sehingga Sardar menyebutnya sebagai civilization of book (peradaban buku). Lalu, sudahkah para penguasa kita (juga calon penguasa hari ini yang sibuk berkempanye) menyadarinya? (*)

*) Aguk Irawan M.N., pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah
Dikutip dari Jawa Pos, 15 Februari 2009

Pidato-Pidato Inspirasi Dunia

Pidato-Pidato Inspirasi Dunia
'' ... Saya mendambakan demokrasi dan masyarakat bebas di mana semua orang bisa hidup bersama dalam harmoni dan kesempatan yang sama.''

---

Itulah cuplikan pidato Nelson Mandela yang amat inspiratif sebagai pemimpin besar bangsa kulit hitam pengubah sejarah Afrika. Pidato Mandela itu dikumandangkan di Johannesburg pada 2 Mei 1994. Isi pidato tersebut memberi semangat dan dorongan moral bagi rakyat kulit hitam Afrika Selatan yang beberapa saat kemudian terbebas dari politik Apartheid. Politik Apartheid adalah politik yang membeda-bedakan orang kulit hitam dan orang kulit putih. Kala itu masih banyak negara di Afrika yang dijajah negara lain.

Mandela adalah pemimpin Afrika Selatan yang amat gigih menentang politik rasialis itu. Ia rela dipenjara rezim kulit putih selama 27 tahun sebelum kemudian bebas dan terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negaranya.

Selain Mandela, masih banyak tokoh dunia yang mempunyai pidato yang dapat memberi inspirasi. Bahkan pidato-pidato Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman dinilai pidato-pidato yang sangat hebat.

Di buku ini, selain isi pidato yang ditonjolkan, riwayat hidup singkat para pemimpin hebat tersebut juga disertakan. Tokoh lain yang dijadikan contoh, di antaranya, Adolf Hitler, Martin Luther King Jr , Franklin D. Roosevelt, George W. Bush, bahkan Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW juga ditulis khutbahnya. Tahun dan bulan pidato tersebut tidak lupa dicantumkan, sehingga pembaca bisa mengetahui kapan pidato tersebut dilakukan.

Yang perlu dicatat dari isi pidato tokoh-tokoh besar yang dihimpun dalam buku ini, sebagian besar menyangkut perjuangan untuk merdeka. Juga perjuangan antidiskriminasi.

Menurut saya, buku setebal 245 halaman ini sangat menarik. Sebab isinya penuh inspirasi dari pidato-pidato yang diucapkan tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai penjuru dunia.

Tetapi, dari semua pidato yang ditulis di buku ini, menurut saya, pidato terbaik diucapkan Martin Luther King Jr. Pidato itu disampaikan di Memphis, Tennessee, pada 3 April 1968. Isinya: ''Saya sudah melihat tanah yang dijanjikan. Saya mungkin tidak berada di sana bersama Anda. Tetapi saya ingin Anda mengetahui malam ini bahwa kita, sebagai suatu kaum, akan memperoleh tanah yang dijanjikan. Dan saya gembira malam ini. Saya tidak lagi risau tentang apa pun. Saya tidak takut kepada siapa pun. Mata saya sudah melihat kebesaran datangnya Tuhan.''

Pidato Martin Luther King Jr itu amat fenomenal karena menginspirasi dan mempengaruhi dunia untuk memerangi diskriminasi, terutama dalam politik perbedaan warna kulit di Amerika Serikat. Pidato Luther King Jr itu yang sangat mungkin menginspirasi perjuangan Barack Obama saat menapaki tangga menuju kursi presiden AS. Obama akhirnya terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negara adikuasa itu.

Selain Martin Luther king Jr, pidato John F. Kennedy juga penuh inspirasi. Pidato tersebut antara lain berbunyi: ''Oleh sebab itu, para warga Amerika sekalian, jangan tanya apa yang bisa dilakukan negaramu untukmu; tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu. Kepada para warga dunia, jangan tanya apa yang bisa diperbuat Amerika untuk Anda, tapi apa yang bisa kita kerjakan bersama demi kebebasan manusia.''

Buku ini juga menarik karena dilengkapi riwayat hidup para tokoh pengubah dunia tersebut. Tetapi, menurut saya, ada sedikit kelemahannya. Yaitu sedikitnya gambar yang dimasukkan di dalam buku ini sebagai bukti pidato tersebut, sehingga pembaca bisa cepat bosan karena tulisannya lebih mendominasi. Padahal buku ini ukurannya lebih lebar dari ukuran kebanyakan. Ketika saya membelinya, saya kira buku ini dilengkapi gambar-gambar ilustrasi yang seharusnya bisa membuat buku ini jadi lebih baik. (*)

*) REZA AKBAR F., siswa Sekolah Ciputra Surabaya, peminat buku biografi tokoh dunia

Judul Buku : Pidato-pidato yang Mengubah Dunia

Editor : Daniel P. Purba SSos dan Yati Sumiarti SE

Penerbit : Esensi Jakarta

Cetakan : Pertama, 2008

Tebal : 245 halaman

Sumber Jawa Pos, 15 Februari 2009

Periode Emas Pendidikan Anak

Semua anak lahir tidak dalam kondisi ''berisi'' atau memiliki kecerdasan yang diwarisi dari orang tuanya. Anak-anak lahir dalam ruang alam pikiran kosong namun memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Sehingga apa pun mampu dipelajari oleh seorang anak tanpa mempedulikan dari latar belakang apa ia terlahir. Dengan demikian semua anak mempunyai potensi sama untuk menjadi pribadi yang sempurna atau cacat.

Pakar pendidikan anak dari Italia, Dr Alexis Carrel (1947), mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya. Masa ini seyogianya didayagunakan dengan sebaik-baiknya. Tugas pendidik adalah memanfaatkan masa-masa awal kanak-kanak ini tanpa menyia-siakannya.

Masa kanak-kanak oleh Maria Montessori, penulis buku The Absorbent Mind ini, disebut sebagai periode emas pendidikan. Pada periode inilah semua kehidupan pribadi seseorang dimulai, dibentuk, dan diarahkan. Seorang anak akan mampu menjadi pribadi dengan kemampuan, skill, dan pengetahuan apa pun sesuai yang diharapkan, jika pada periode pendidikan awal dilakukan dengan tepat dan benar.

Maria Montessori membagi perkembangan pribadi anak dalam tiga tahapan, yakni usia 0-6, 16-12, dan 12-18 tahun. Semua periode ini saling terkait dan tidak terpisahkan. Artinya jika pendidikan pada periode awal mengalami kegagalan, bukan tidak mungkin pada periode selanjutnya juga mengalami kegagalan. Periode pertama (0-6 tahun) merupakan periode paling sensitif, masa peka, sekaligus usia emas anak dalam pendidikan.

Jika orang dewasa mempelajari sesuatu dengan kesadaran yang ia miliki mengenai apa yang diinginkan, maka berbeda dengan mentalitas yang dimiliki anak. Jika kita menyebut mentalitas dewasa sebagai sadar, maka mentalitas anak justru sebaliknya, yakni mentalitas tak sadar. Namun bukan berarti jenis mentalitas tak sadar serta-merta lebih rendah. Menurut Maria Montessori pikiran tak sadar bisa jadi paling cerdas dibandingkan dengan pikiran sadar. Anak memiliki jenis kecerdasan yang tak sadar ini, dan kecerdasan inilah yang menghasilkan kemajuan yang mengagumkan. Anak menyerap impresi-impresi pengetahuan di luar dirinya bukan dengan pikirannya namun dengan hidupnya itu sendiri (hal. 38-39).

Seorang anak akan mampu berkembang dengan baik pada tahap perkembangan selanjutnya jika tahap awal ini mampu dilalui dengan baik. Seringkali periode awal ini mengalami gangguan atau krisis yang harus dilewati. Pertama, krisis oral sensorik (mulut). Krisis ini terjadi saat bayi pada masa menyusui. Pelajaran yang dilewati adalah tumbuhnya dasar rasa percaya diri pada seorang anak. Seorang anak yang memperoleh asupan ASI secara teratur akan memiliki dasar kepercayaan diri yang kuat. Rasa dasar percaya diri anak akan melemah jika ia sering mendapati kekecewaan, misalnya kebutuhan ASI yang tidak terpenuhi. Jika krisis ini tidak mampu dilewati akan tumbuh perilaku-perilaku sepeti sinis, tidak percaya diri, pesimistis, selalu kecewa, tidak terbuka, dan selalu merasa gagal.

Kedua, krisis anal maskular (dubur) yang berlangsung pada usia 2 hingga 3 tahun. Pada masa ini anak belajar mengontrol tubuh mereka, khususnya kebersihan dan mobilitas. Latihan membuang ''hajat'' dan membersihkannya merupakan aktivitas yang sering ditemui. Namun lebih dari itu anak belajar berlari, memeluk orang tua, dan mempertahankan mainannya. Kegagalan melewati krisis ini hanya akan menjadikan seorang anak yang memiliki kepribadian seperti robot, malu-malu, peragu, penakut, selalu merasa salah, dan setiap kali itu pula meminta maaf.

Ketiga, krisis genital lokomotor yang berlangsung antara usia 3 hingga 6 tahun. Pada tahapan ini mulai memahami fisiknya, anak mulai bertanya mengapa mereka berbeda dengan lawan jenisnya. Kegagalan dalam melewati fase ini bisa berakibat fatal dalam pertumbuhan psikologisnya terutama yang terkait dengan kehidupan seksual. Seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak peka pada bidang seks, takut impoten, memikirkan yang bukan-bukan, dan kadang banyak omong namun tidak berisi. Kegagalan dalam melewati krisis ini bisa jadi gagal dalam melewati krisis berikutnya, yakni krisis atensi, keremajaan, dan kedewasaan muda.

Jika mampu melewati ketiga tahapan krisis tersebut seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi dengan kemampuan mental yang luar biasa. Pribadi yang memiliki inisiatif, penuh ide baru, optimistis, dinamis, ambisius, senang dengan hal-hal baru, produktif, dan segala predikat positif lainnya. Pendeknya, fase krisis yang mampu dilewati dengan baik akan mengantarkan seorang anak menjadi pribadi yang sempurna secara psikologis. (*)

*) Karuni Ayu Sawitri, koordinator elompok Kajian Studi Ilmu Pendidikan (KSIP) Banyuwangi

Judul: The Absorbent Mind; Pikiran yang Mudah Menyerap

Penulis: Maria Montissori

Penerbit: Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Cetakan: I, Desember 2008

Tebal: xxx + 532 halaman

Sumber Jawa Pos 8 Februari 2009

Buku: Komoditas atau Karya?

Setiap pameran, laiknya, menjanjikan suatu hal yang layak untuk diperlihatkan, sesuatu yang berharga dan membuat pengunjungnya merasa mendapat kehormatan dengan berkunjung ke dalamnya. Namun, jika Tuan berkunjung ke pameran buku Super Book Fair Yogyakarta di awal 2009 ini, cepat-cepat hapuslah lamunan indah itu dari pikiran Tuan.

Yang akan Tuan lihat di sana bukan suatu perhelatan akbar seperti yang tergambar dari judulnya. Yang ada hanyalah sebuah suasana yang lebih mirip dengan pasar malam daripada sebuah pameran buku. Sebab, seperti Tuan lihat sendiri, dari tiga kompleks area yang biasa dipakai pameran, hanya satu yang dimanfaatkan; dan selebihnya, Tuan tidak akan menemukan apa-apa kecuali kios-kios yang menjual aneka macam pakaian, makanan, CD, serta berbagai aksesori yang tak ada kaitannya dengan dunia buku.

Itulah sebagian dari pemandangan dunia perbukuan kami di negeri ini. Selama kami menetap di Jogja, sudah puluhan kali pameran buku diselenggarakan di kota pelajar ini. Tuan tahu, Jogja mungkin satu-satunya kota (selain Jakarta) di negeri ini yang rutin mengadakan pameran buku setiap tahun. Maka, orang pun bilang bahwa Jogja menjadi ''barometer'' perbukuan nasional. Jogja bukan cuma rutin mengadakan pameran buku, namun kota ini juga dikenal sebagai sarang penerbit, kota dengan segudang rental bacaan, segudang perguruan tinggi, dan kaum terpelajar.

Ada kebanggaan jika mengingat kata-kata orang tentang kota ini. Namun, tentu saja kami sedih bila semua kebanggaan itu hanya reputasi semu di atas kertas. Apa yang disuguhkan dalam pameran buku itu menyadarkan bahwa kami masih belajar menghargai ''arti'' sebuah buku.

Memang, Tuan, sebuah pameran buku bukan segala-galanya dalam mengukur keberhasilan dunia perbukuan. Yang lebih penting bahwa buku-buku kami semakin berkualitas dari hari ke hari. Penerbit semakin diakui eksistensinya, penulis semakin termotivasi untuk berkarya dan menyiarkan tulisannya, penerjemah dan editor semakin dihargai profesinya, dan pembaca semakin senang membaca buku dan berpikir kritis terhadap bacaannya. Namun, pameran juga menunjukkan seberapa berkualitas perlakuan kami terhadap buku. Seberapa berkualitas perlakuan penerbit terhadap terbitannya, juga seberapa berkualitas pembaca menghargai buku-buku yang terpampang di sana.

Tentang hal terakhir ini, Tuan, kami layak malu, sebab pameran awal tahun ini tampaknya merupakan menu pembuka yang buruk bagi selera bacaan kami. Baiklah, pameran itu memang menghadirkan beberapa toko buku yang boleh dibilang cukup (walaupun tak banyak-banyak amat). Banyak buku dengan beragam tema ditampilkan (walaupun didominasi buku-buku agama Islam). Dan terakhir, banyak juga pengunjung yang datang (walaupun kami tak tahu, mereka datang untuk melihat-lihat buku atau berbelanja barang yang lain). Namun, meski hadir dengan sejumlah ''kelebihan'' tersebut, penyelenggaraan pameran kali ini tetap tak dapat meredakan sedikit kegelisahan kami.

Tuan bisa melihat bagaimana buku diperlakukan dalam pameran itu. Berkelilinglah sejenak mengitari seluruh area pameran, maka Tuan akan menemukan bagaimana buku lebih ditampilkan sebagai komoditas daripada sebuah karya, sama seperti barang-barang dagangan lainnya. Lihatlah pada klasifikasi buku, bagaimana buku-buku diperlakukan tergantung pada harganya. Tuan bisa melihat, buku yang murah dan dibandrol dengan diskon tinggi, akan ada di bawah, bertumpuk kisut-kusut dengan sesama buku murah lainnya. Sebuah agen buku bahkan menghamburkan buku-buku diskonnya begitu saja di atas lantai seperti tak ubahnya debu. Buku-buku itu bahkan tak diklasifikasikan sesuai tema, bercampur-marut satu sama lain dan kadang dilempar begitu saja jika tak berkenan di mata pembelinya. Jika nasib sedang mujur, buku-buku itu akan terbeli. Namun jika tak mujur, buku itu akan dibandrol lebih murah lagi dan tetap di bawah, sejajar dengan sandal dan sepatu para pengunjung pameran. Inikah potret ideal sebuah pameran buku di kota yang konon menghargai buku?

Tuan, jika kami boleh membandingkan, kami terkadang iri dengan pameran seni rupa yang juga sering digelar di kota ini. Di sebuah pameran seni rupa, kami bisa melihat para perupa dihargai dengan terpajangnya karya-karya mereka secara elegan di hadapan pengunjung. Karya-karya seni rupa itu memang komoditas yang bernilai, tapi mereka tampak lebih dihargai sebagai karya estetik yang bermutu tinggi.

Dari pameran-pameran seni itu kami ingin belajar lagi menghargai arti sebuah buku. Menghargai bukan sekadar melabeli dengan harga, tapi menghargai dengan memperlakukan buku sebagai monumen kerja keras dari seorang penulis yang mau berbagi ide dan wawasan dengan pembacanya. Sebab, pada akhirnya kami mengerti, Tuan, di balik setiap lembar halaman buku, ada keringat penulis di sana, yang berjuang menghidupi kebudayaan dengan kata-katanya. Tak layakkah bila penerbit dan pelaku dunia buku menghargai hal itu dengan mengadakan pameran yang jauh lebih elegan dan bermutu? (*)

*) Muhammad Al-Fayyadl, editor dan penulis buku, tinggal di Jogjakarta
Dikutip dari Jawa Pos, 8 Februari 2009

Puisi dan Batin Kebudayaan

Kamus, tata bahasa, mesin cetak, telepon, dan internet memperpesat pergaulan dan perkembangan kebudayaan modern. Pada masa lampau, jarak geografis dan perbedaan bahasa menjadi kendala interaksi antarmanusia dan kebudayaannya, tapi kemajuan peradaban membuat bentangan jarak geografis bisa disambungkan oleh teknologi komunikasi dan hambatan perbedaan bahasa dapat dijembatani oleh penerjemahan. Teknologi komunikasi memungkinkan dan mempercepat interaksi; dan penerjemahan membuka cakrawala pengetahuan antarmanusia dan kebudayaannya --buku ini salah satu contohnya.

Penerbitan buku multibahasa Antologia de Poeticas (Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, dan Malaysia) ini merupakan keluhuran yang melantari tiga bangsa dan kebudayaannya berhimpun dalam sebuah buku. Buku ini bermakna bagi perjumpaan dan pemahaman antarbangsa dan kebudayaannya, bahkan memungkinkan persuaan antarbatin manusia lantaran watak puisi menyibak dan menyembulkan kedalaman dan keintiman perasaan manusia, dan melalui puisi (meminjam puisi penyair Portugal Alexandre O Neil) membuat ''kata-kata mencium kita seakan bermulut''.

Indonesia dan Malaysia punya banyak persamaan kebudayaan, kedekatan geografis, dan pada masa silam pernah bersentuhan secara mendalam dengan bangsa Portugis. Karenanya puisi-puisi tiga bangsa ini bisa punya beban tak ringan. Sebab Indonesia dan Malaysia pernah dijajah oleh Portugis, Indonesia pernah berkonfrontasi dengan Malaysia, dan hubungan diplomatik Indonesia-Portugis pernah putus lantaran kasus Timor-Timur, sehingga puisi-puisi dalam buku ini bisa ''diperankan'' tak semata sebagai karya sastra dan representasi khazanah kesastraan masing-masing, tapi juga medium diplomasi kultural-politik.

Puisi-puisi dalam buku ini bisa dijadikan bahan representasi kesastraan bangsa-bangsa itu dan menjadi referensi budaya untuk saling bergaul, mengetahui, serta memahami. Kecermatan representasi itu akan turut membentuk kecermatan pergaulan, pengetahuan, dan pemahaman kesastraan dan kebudayaan antar-bangsa-bangsa itu.

Dalam buku ini representasi mengenai perpuisian Portugis menampilkan karya 50 nama penyair dari Raja Dinis (lahir pada 1265) hingga Jose Luis Poixoto (lahir pada 1974). Representasi mengenai perpuisian Indonesia menyebutkan 52 nama penyair sejak Hamzah Fansuri (hidup pada abad ke-16) sampai masa Marhalim Zaini (lahir pada 1976). Sedangkan representasi mengenai perpuisian Malaysai membubuhkan 16 nama penyair dari A. Samad Said (lahir pada 1925) hingga Rahimidin Zahari (disebut dalam biodatanya sebagai budayawan muda Malaysia, tanpa keterangan tahun lahir). Jumlah nama penyair dan rentang generasi para penyair bukan jaminan kelengkapan representasi perpuisian maupun ukuran mutunya. Peta perpuisian adalah jejak estetika, bukan cuma deretan nama-nama penyair.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Portugis oleh Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto menyebutkan nama-nama penyair Portugis beserta detail estetika perpuisian mereka sehingga peta perpuisian Portugis tampil relevan, esensial, dan meyakinkan. Melalui introduksi dan pembahasan itu lanskap historis dan perkembangan perpuisian Portugis memberikan informasi yang bisa membangun pengetahuan dan pemahaman mendalam dan berharga tentang perpuisian Portugis masa lampau dan kini.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Indonesia oleh Maman S. Mahayana di sana-sini menyentuh perkara estetika, tapi masih berbaur dengan menimbang representasi etnisitas atau kultural penyair. Dan urusan representasi etnisitas dan kultural itu pun dijalankan dengan ketakkonsistenan, misalnya tak melibatkan puisi Mardi Luhung dan puisi Goenawan Mohamad yang mewakili kultur pesisiran, puisi Tan Lioe Ie yang menjadi representasi kultur Cina Peranakan, dan puisi Remy Silado yang menawarkan budaya pop dalam puisi Indonesia.

Goenawan Mohamad dan Remy Silado juga nama penting dalam perjalanan estetika perpuisian Indonesia. Melewatkan nama-nama itu berarti tak sekadar tak menghadirkan nama mereka, melainkan juga mengurangi bagian penting kelengkapan representasi budaya dan estetika perpuisian Indonesia.

Sedangkan introduksi (dan tanpa pembahasan) mengenai perpuisian Malaysia oleh Jamian Mohamad dan Maria Cristiana Casimiro memberikan informasi yang terlalu ringan dan minim untuk buku sepenting ini.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian itu merupakan bentuk pertanggungjawaban menghadirkan buku ini ke khalayak. Puisi memang bisa berbicara sendiri, tapi bila introduksi dan pembahasan yang menyertai puisi punya kekurangan di sana-sini malah akan membebani puisi dan merusak atensi khalayak.

Keluhuran yang bisa diemban buku semacam ini tak mudah meraihnya. Selain urusan representasi, introduksi, dan pembahasan mengenai perpuisian tiga bangsa itu, faktor penerjemahan juga merupakan perkara penting yang menentukan mutu atau keberhasilan kehadiran buku ini. Perbedaan bahasa bisa diatasi oleh penerjemahan, tapi hakikat puisi bukan sebatas bahasa (kata, gramatika, dan semantika). Puisi punya nuansa dan gaya khas serta kerap mengandung makna samar dan pelik.

Menerjemahkan puisi adalah menerjemahkan bahasa sekaligus batin kebudayaan yang membentuk atau melatarinya. Menerjemahkan puisi butuh kecakapan dan juga keberanian. Kekhawatiran yang timbul dalam penerjemahan puisi merupakan perkara klise dan klasik. Penyertaan puisi dalam bahasa aslinya dalam buku ini menjadi ''solusi'' yang bisa meminimalkan risiko penerjemahan.

Buku semacam ini bisa menggaulkan sebuah tradisi puisi dalam lingkungan yang lebih luas atau mendunia serta menjadi ajang yang memungkinkan untuk bisa saling-belajar. Ketertutupan sebuah tradisi puisi di tengah khazanah-khazanah perpuisian dunia bisa dibuka melalui penerjemahan, sebagaimana pandangan Jose Saramago bahwa ''Sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh penerjemah.'' (*)

*) Binhad Nurrohmat, penyair tinggal di Jakarta

Judul Buku: Antologia de Poeticas

(Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia)

Penyusun: Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan: Pertama, 2008

Tebal: 424 halaman
Sumber Jawa Pos, 8 Februari 2009

02 Februari 2009

Kado 10 Tahun Lepasnya Timtim



''Anda, pada suatu titik dalam perjalanan hidup, barangkali pernah terjebak jalan buntu. Anda terperangkap di persimpangan jalan. Ke kiri menuju neraka. Ke kanan mengarah ke neraka. Maju ke depan mengantarkan ke neraka. Berbalik arah Anda akan sampai di neraka juga. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan. Anda sungguh mendamba jalan keluar. Dan, Anda beruntung. Malaikat penolong datang menyelamatkan Anda dari situasi kritis, dilematis, atau kematian.''

Metafora Peter Kingsley dalam buku In the Dark Places of Wisdom dengan tepat menggambarkan pergulatan Cordula Maria Rien Kuntari menekuni jurnalisme. Buku Timor Timur Satu Menit Terakhir adalah memoar Rien Kuntari saat meliput lepasnya Timor-Timur dari Indonesia. Wartawan sebuah media ibukota itu mendapat tugas untuk meliput referendum Timor Timur Juli hingga September 1999.

Jalan terjal, berkelok, dan berliku ditempuh Rien untuk bisa masuk ke markas Falintil di hutan Uai Mori, Viqueque guna mewawancarai Taur Matan Ruak. Tak hanya diterima Wakil Panglima Falintil, sayap militer CNRT, itu, Rien juga berhasil masuk sarang bawah tanah gerakan pro-kemerdekaan di lingkungan pegawai pemda. Tak heran bila jauh sebelum jajak pendapat dilaksanakan, Rien melaporkan prediksi bahwa pro-otonomi bakal kalah sekitar 70 persen.

Menurut Rien yang sudah mengunjungi lebih 50 negara itu, meliput konflik Timtim paling sulit. Lebih sulit ketimbang perang Teluk, Irak, konflik etnis di Rwanda, dan perang saudara di Vietnam. Sebab, wartawan dianggap bukan orang netral yang berada di luar gelanggang, melainkan sebagai ''pemain'' di tengah arena perang. Rien Kuntari dinilai telah melakukan dosa tak terampuni karena memberi porsi seimbang dalam pemberitaan kepada pihak pro-kemerdekaan. Ia dituduh tidak nasionalis karena menurunkan laporan tentang Falintil tepat pada HUT Falintil 24 Agustus 1994.

Rien dianggap menghapus garis batas tegas yang lama membelah jurnalis menjadi dua kubu: pro-otonomi atau pro-kemerdekaan. Keputusannya menyantuni profesionalisme, kredibilitas, dan netralitas dengan masuk ke markas Falintil telah memudarkan garis demarkasi kelompok wartawan. Berkat keberanian Rien mengambil segala risiko, sesudahnya, hampir seluruh wartawan Indonesia, bahkan TVRI, meliput HUT Falintil di markas kantonisasi mereka.

Status wartawan dengan aspirasi pribadi kadang tidak bisa satu garis. Nasionalisme dengan profesi tidak selalu berjalan seiring. Ancaman teror, intimidasi, penculikan, dan mutilasi pun menghampiri Rien Kuntari. Kalau sampai Rien tidak terpegang, ancam peneror, para wartawan media lain yang akan menanggung risiko. Itu sebabnya, saat terjadi eksodus para wartawan Indonesia ke Jakarta, di Bandara Komoro, Dili, 2 September 1999, tak satu pun yang mau menyapa Rien Kuntari. Bahkan dua karib dan tetangga rumah kontrakan, memalingkan muka pura-pura tidak mengenal Rien. Konon, itulah teror mental bagi wartawan, asing maupun lokal, agar tidak berani bekerja di Timtim. Harapannya, bila terjadi politik bumi hangus, tidak ada lagi saksi mata.

Pada 16 September 1999, Rien kembali ke Timtim mengikuti rombongan Mabes TNI. Timor Loro Sa'e (Negeri Matahari Terbit) sudah luluh lantak secara fisik maupun kejiwaan. Dengan gamblang dilukiskan panorama bekas jajahan Portugis itu sebagai ketenangan sesudah badai yang memusnahkan. Seluruh bangunan fasilitas umum hangus terbakar. Saluran air, listrik, dan telepon putus. Rumah-rumah kaum tajir dengan beranda luas dilalap api dengan nafsu yang sama dengan perataan seng-seng atap orang miskin. Penduduk kocar-kacir tercerai-berai. Gelombang pengungsian terjadi besar-besaran. Teror, pembunuhan, dan penculikan bergentayangan menghantui sekujur negeri. Hukuman telak dari pasukan pendudukan bagi masyarakat yang mau menanggung risiko besar memilih kemerdekaan. Mereka yang bertahan hanyalah kaum perempuan rombeng dan anak-anak memelas.

Timtim menjadi negeri di titik nol pasca pengumuman jajak pendapat yang dimenangi pro-kemerdekaan. Ribuan pengungsi yang menumpuk di Gereja Maria Fatima, Suai, Kabupaten Kovalima diserang kelompok pro-integrasi. Dalam kerusuhan masal itu 27 orang tewas termasuk Romo Tarsisius Dewanto SJ, Pastor Hilario Medeira Pr, dan Pastor Francisco Tavares dos Reis Pr. Romo Dewanto adalah pastor Jesuit dari Magelang yang baru tiga bulan ditahbiskan menjadi imam di Jogjakarta. Dia menjadi martir perdamaian dengan jasad hancur sulit dikenali lagi.

Romo Albrecht Karim Arbie SJ tewas ditembak di halaman Pastoran Loyola, Taibesi, Dili. Jesuit sepuh berkebangsaan Jerman itu dibunuh karena dituduh berpihak pada kelompok pro-kemerdekaan. Sabtu, 25 September 1999, Agus Mulyawan, bersama dua biarawati misionaris Italia, tiga frater calon pastor, dua remaja putri, dan seorang sopir dibunuh secara sadis di Pelabuhan Qom. Jasad para korban ditemukan di Lautem, Kabupaten Los Palos. Pembunuhan Agus bermula dari keinginan wartawan Asia Press itu keluar dari markas Falintil di Uai Mori. Taur Matan Ruak mencegah. Agus bergeming hendak pulang ke Jakarta. Sudah lama ia dipagut rindu pada keluarga.

Kematian Agus kembali menggugah kesadaran Rien Kuntari akan bahaya di pelupuk mata. Agus dan Rien memang target milisi pro-integrasi sejak Agustus 1999. Rien diungsikan Romo Josephus Ageng Marwata SJ ke Palang Merah Internasional (ICRC). Berkat lobi dan jasa baik pastor heroik itulah Rien bisa pulang ke Jakarta. Dia satu pesawat dengan German Mintapradja --satu-satunya juru kamera yang merekam prosesi pemakaman korban tragedi Lautem untuk RCTI.

Sehari setelah dievakuasi paksa ke Jakarta, awal September 1999, Rien mendapat kiriman daftar 14 orang yang dianggap berkhianat berikut hari eksekusi atas mereka. Leandro Isaac dan David Diaz Ximenes masuk dalam daftar. Kedua tokoh CNRT itu selamat karena berhasil dikontak Rien Kuntari. Xanana Gusmao memberi pujian, ''Keputusan dia tetap berada di Timtim contoh nyata bahwa kita tidak pernah bermusuhan dengan rakyat Indonesia.''

Rien Kuntari memang seorang pacifist total. Dia lebih percaya pada jalan damai untuk menyelesaikan sengketa ketimbang kekerasan bersenjata. Inilah sikap dasarnya dalam memandang Timtim. Dia tidak pernah membedakan orang. Siapa pun orang Timtim yang terancam bahaya akan ditolong. Baginya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunia.

Timor Timur sesudah jajak pendapat merupakan negeri yang sangat menjunjung tinggi cinta kasih sekaligus wilayah yang tidak berperikemanusiaan. Pada 2006 terjadi lagi kerusuhan horizontal. Pengusiran besar-besaran masyarakat Loro Sa'e (sektor timur) oleh masyarakat Loro Moro (sektor barat). Dendam kesumat Loro Sa'e kini tinggal menunggu momentum untuk meletus. Konflik horizontal itu dipicu kegeraman Fretelin sebagai pemenang pemilu yang terpaksa jadi partai oposisi. Pemerintahan dan parlemen dikuasai orang-orang yang di zaman pendudukan justru memihak Indonesia.

Memoar jurnalistik Rien Kuntari tentang sejarah dramatis ini merupakan kado indah, menegangkan, dan mengharukan perihal 10 tahun lepasnya Timor Timur. (*)

* J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta

Judul Buku: Timor Timur Satu Menit Terakhir

Penulis: C.M. Rien Kuntari

Penerbit: Mizan Bandung

Terbitan: Desember 2008

Tebal: 483 halaman
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2008

Kisah Ibunda Barack Obama

Sukses Barack Husein Obama Jr dalam pemilu presiden AS membuat apa pun di sekitar dirinya menarik, termasuk buku Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriiving Against All Odds yang diterjemahkan menjadi Pendekar-Pendekar Besi Nusantara. Demikian juga buku yang ditulis Barack Obama sendiri yang berjudul Dreams from My Father yang juga menyebut sosok S. Ann Dunham, ibundanya. Seperti judul dalam kajian aslinya, buku ini mengulas tentang para petani yang menjadi pandai besi atau perajin logam di Jawa Tengah dan sedikit di Bali serta beberapa daerah lain di Indonesia.

Buku ini ditulis berdasar disertasi doktor S. Ann Dunham di University of Hawaii at Manoa, karenanya dianggap penting mencantumkan kata pengantar oleh Teguh Santosa dari East West Center. Pengantar ini memberi penjelasan ringkas mengenai penulisnya serta riwayat hidupnya, termasuk di dalamnya pengalaman kerjanya beberapa tahun sebagai konsultan dan sekaligus peneliti di Indonesia yang memungkinkan Ann Dunham berhubungan lebih akrab dengan objeknya, yakni para pandai besi dan perajin logam di sejumlah tempat di Jawa Tengah.

Teguh Santosa juga menceritakan sekilas tentang kehidupan perkawinan Ann Dunham dengan Barack Obama Sr, mahasiswa yang dikenalnya di Hawaii yang berasal dari Kenya. Mereka menikah pada 2 Februari. Pernikahan mereka sebenarnya ditentang orang tua Obama Sr, yakni Onyango Hussein Obama. Setelah kelahiran Barack Obama Jr pada 4 Agustus 1961, Obama Sr melanjutkan studi di Harvard University pada 1963. Dia meninggalkan istri dan anaknya. Mendapat gelar master bidang ekonomi pada 1965 dia kembali ke Kenya.

Pada 1970 dia sempat menemui Obama Jr di Honolulu yang merupakan pertemuan mereka terakhir karena pada 1982 Obama Sr tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Kenya. Akan halnya Ann, dia menikah dengan Lolo Soetoro, mahasiswa Jurusan Geografi asal Indonesia, dan keluarga itu pindah ke Indonesia. Dari pernikahan mereka lahir Maya Soetoro 15 Agustus 1970 di Jakarta. Jadi, Maya Soetoro adalah saudara tiri Presiden AS Barack Obama.

Kata pengantar kedua ditulis Alice G. Dewey yang menjadi ketua Komite PhD saat Ann menempuh program doktor. Ada juga tulisan Janny Scott yang diterjemahkan Andityas |Prabantoro. Menurut Janny, dalam diri Barack Obama tertanam pengaruh kuat ibunya, Ann Dunham Soetoro, seorang kulit putih yang cerdas dan berpikiran merdeka. Ann menikah dengan ayah Obama yang berkulit hitam. Setelah berpisah dengan suami pertama, Ann menikah dengan pemuda Jawa Lolo Soetoro dan pindah ke Indonesia bersama Obama. Sejak saat itulah, tumbuh kecintaan Ann kepada Indonesia.

Buku yang merupakan bagian-bagian terpilih dari disertasinya setebal 800 halaman itu dapat memberi gambaran tentang pandangan Ann terhadap bangsa Indonesia. Dia bekerja sebagai konsultan dan koordinator riset untuk BRI yang didanai Bank Dunia dan USAID. Dia juga bekerja sama dengan Dr Pujiwati Sayogyo dari IPB untuk pengembangan riset tentang perempuan dalam sektor pertanian. Pernah pula menjadi konsultan pembangunan desa untuk Departemen Perindustrian yang didanai USAID. Pada Mei-Juni 1978 Ann menjadi konsultan jangka pendek untuk lapangan kerja non- agrikultural ILO di Jakarta. Pernah pula mengajar kuliah singkat untuk staf Bappenas.

Dari segudang pengalaman kerja itu dia menulis disertasinya dan dinyatakan lulus pada Departement Anthropologi, University of Hawaii, Agustus 1992. Buku ini tidak sekadar menelisik kehidupan para pandai besi di Jawa Tengah tetapi juga membahas aspek kultural pekerjaan pandai besi. Dia sempat menemukan empu pembuat keris. Walau status sosial dan ekonominya di bawah para birokrat, empu itu mempunyai status spiritual lebih tinggi. Dia mendapat tempat terhormat sebagaimana dicontohkannya dalam sebuah studi kasus. Ann juga membeber kekuatan dan kelemahan para peneliti tentang Indonesia seperti Hildred Geertz, Alice Dewey, Robert Jay serta Clifford Geertz, tentang asumsi-asumsi yang mereka buat dan relevansi hasil penelitian mereka.

Dengan membaca buku ini para peneliti muda dapat memperhatikan objek-objek penelitian yang mungkin luput dari perhatian karena sering dianggap remeh dan tak ada gunanya. (*)

*) Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja

Judul buku: Pendekar-Pendekar Besi Nusantara

Penulis: S. Ann Dunham

Penerbit : Mizan Bandung

Terbitan: November 2008

Tebal: 219 halaman + indeks

Sumber Jawa Pos 25 Januari 2009

Buku, Seni, dan Kemewahan

Buku bukan hanya barang cetakan asal jadi. Atau melulu teks yang dibaca. Buku juga adalah seni. Seluruh proses penciptaan buku hingga hadir di pangkuan para pembaca yang budiman, pastilah dikerjakan dengan kecintaan yang melimpah-limpah. Termasuk soal pameran buku. Pameran yang dibuat asal-asalan, sebagaimana yang kerap kita lihat dalam ajang pameran buku di Indonesia, pastilah pameran yang tak diselenggarakan dengan dorongan naluri seni, melainkan melulu menajdikan buku sebagai barang niaga sebagaimana kepercayaan para saudagar.

Keyakinan itu pula yang dipercayai dengan keras kepala (true belivers) oleh sebuah kelab buku di Amerika pada satu seperempat abad yang lalu. Kelab yang menghimpun para kolektor buku ini bernama Kelab Grolier. Didirikan di rumah Robert Hoe, di 11 East 33rd Street, New York. Nama kelab ini ditasbihkan setelah Jean Grolier de Servi�res, seorang jenderal terkemuka di Prancis, memberikan partisipasinya dalam bentuk saham.

Kelab ini beranggotakan para kolektor buku kawakan. Di antaranya William I. Andrews, Theodore L. de Vienne, A.W. Drake, Albert Gallup, Brayton Ives, Samuel W. Martin, E. S. Mead, Arthur B. Tornure, dan Robert Hoe. Dikomandani pertama kali Robert Hoe, saudagar mesin cetak yang tercandui oleh buku, para pecinta buku lalu bersepakat menghimpun diri dalam kelab ini karena sebuah kesadaran yang sama; membangun studi literasi dari sisi produksi buku hingga menjadi sebuah karya seni.

Kelab Grolier mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah penerbitan sebuah buku. Mereka juga mendiskusikan bagaimana cetakan buku yang baik. Dalam pertemuannya, mereka juga membahas ihwal metode penjilidan yang kuat, rapi, dan tahan lama. Pun dibahas tentang ilustrasi sampul yang menarik dan memenuhi estetika seni. Bahkan, kelab ini membahas dengan serius bagaimana media promosi buku (pamflet atau poster) dibuat dengan tak serampangan yang mengabaikan kaidah-kaidah seni.

Inilah kelab yang tak henti-hentinya mempromotori bagaimana sebuah buku tak sekadar lembaran-lembaran kertas berisi deretan tulisan, tetapi juga bagaimana buku menjadi karya seni yang layak diapresiasi.

Untuk itu, kelab ini juga menggelar pameran buku dan percetakan guna memberikan wadah apresiasi buku-buku artistik yang telah mereka kumpulkan. Di pameran ini, buku-buku tak semata dijajar berderet-deret dalam rak seperti pameran yang biasa kita lihat. Di ajang ini, buku diperlakukan dengan sangat istimewa. Buku-buku itu disusun dengan demikian artistik di sebuah galeri seni, bersanding dengan karya-karya seni lain seperti lukisan dan patung-patung. Di sini buku telah naik pangkat dari sekadar barang niaga menjadi karya seni bernilai tinggi.

Itulah yang dilakukan Balai Lelang Sidharta, Jakarta, pada 7 Desember 2008 silam, untuk menyebut satu contoh. Dalam lelang bertema Indonesia's Diversity in Fine Art itu ditampilkan semua karya seni terbaik dan berharga ratusan juta seperti patung, lukisan, keramik, seni instalasi, bahkan berlian. Di antara benda-benda seni ratusan juta rupiah itu, beberapa buku juga ikut serta di dalamnya, antara lain: Sumatra's O.K. karya C.J. Kkleingrothe (Medan, 48 hlm, Rp 7-10 juta), Histoire des Voyages karya Walckenaer C.A (1830, 537 hlm., Rp 8-12 juta) dan De Inlandsche Kunstnijverheid Vol. I: Het Vlechtwerk (S-Gravengage, 1912: De Book & Konsttdrukkerij Mouton & Co., 442 hlm., Rp 6-9 juta).

Ada juga Indie|Hindia karya Lekkerker (Gronigen, Den Haag, Batavia, ca 1930, 400 hlm.) Buku itu terdiri dari 620 ilustrasi dari foto 200 lempeng dengan keterangan dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Dijual pula enam lembar peta Batavia lama berjudul Feestmarsch Batavia 1893 (cat air di atas kertas, 56 x 45.5 cm, Rp 3-4.5 juta).

Buku-buku itu berbanderol mahal memang. Tapi bukan di situ duduk soalnya, melainkan bahwa buku adalah karya seni yang luar biasa tingginya. Karena seni tinggi, maka buku juga mendapat harga yang pantas, seperti harga lukisan yang membobol langit. Kelab buku seperti Glorier menaruh perhatian sangat besar terhadap hal-hal demikian.

Mungkin terlalu ideal dan muluk. Tapi, paling tidak, apa yang diyakini Kelab Glorier bisa menyuntikkan semangat bagi para penggiat pameran buku di Indonesia agar memperhatikan sisi-sisi lain dari buku di luar objek komoditi perniagaan.

Buku bagi para pecintanya adalah sebuah karya, sebuah hasil olah pikir, pengejawantahan kreativitas dan ketekunan. Buku juga memiliki ruh yang bisa disampaikan dengan lebih mengeksplorasi nilai artistik yang dimilikinya. Dengan memadukan niaga dan seni, maka pencapaian tujuan keduanya termaksimalkan. Dan pameran buku pun menjadi lebih nyeni. (*)

Diana A.V. Sasa, pencinta buku, tinggal di Surabaya

Sumber Jawa Pos, 4 Januari 2009

Siapa Penghancur Majapahit, Bung?

Sejarah mulanya bak segelembung ingatan dalam proses kehancurannya sendiri hingga akhirnya musnah. Maka, saya sepakat dengan kegelisahan Derek Walcott untuk berkata: ''Jika sejarah di ambang sirna, maka yang lahir adalah tirani dan kebodohan.'' Ini terbukti kala kecerobohan kebijakan Jero Wajik disambut dengan kebandelan Bupati Mojokerto Suwandi yang tetap mendukung proyek Pusat Informasi Majapahit diteruskan di Trowulan (Radar Mojokerto: 15/1/09). Bagaimana pula praktik jual-beli satu batu-bata situs seharga Rp 500 dibiarkan terjadi sejak 30 tahun silam (Radar Mojokerto: 20/1/09)? Barangkalikah ada unsur politis menjelang Pemilu 2009 (dan siapa saja yang bersilat-jurus di situ?) hingga menyorong, mengoar-koarkan, malah membesar-besarkan soal penistaan situs Majapahit itu?

Cukupkah sekarang memelihara wacana historisitas dengan cara sekadar mengelap-elap kejayaan Majapahit sekaligus menyumpahi kefasadannya saja? Sebab, wacana ini hanya berseliweran, bahkan mungkin tidak bergemuruh di batin dan kesadaran kita untuk bertindak jujur dan positif. Kejayaan Majapahit telah berakhir 700-an tahun silam dan kehancurannya juga disorong atas meluasnya pengaruh Kasultanan Demak (baca: Slamet Muljana, Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Bhratara: Djakarta, 1968) dan gerakan tabligh Walisongo. Terbayangkah kita akan kiprah para sunan dalam mengislamkan kaum Hindu-Buddha? Cobalah tilik Babad Khadiri, tatkala Sunan Bonang mencocori Arca Butalacaya di daerah Kedah, Kediri. Juga dalam Suluk Darma Wasesa anggitan Ki Brajasastra yang mengisahkan Sunan Bonang menceceli arca berkepala kuda kembar yang merupakan karya pahat di zaman Prabu Jayabaya. Jadi, siapa lagi yang dengan tampang geram menghancurkan Majapahit, Bung? Menanggapi tulisan Muhidin M. Dahlan bertajuk ''Ayo, Hancurkan Majapahit!'' (JP,18/1/09), saya merasa ia agak paranoid dengan menyodokkan geger situs Trowulan pada kebobrokan perpustakaan Kota dan Kabupaten Mojokerto. Di dua perpustakaan tersebut, ia bercerita (anehnya perjalanan itu terjadi dua tahun lalu) menemukan hanya dua buku sejarah yang, bagi saya, sebenarnya ''salah alamat'' untuk menyinggung seabrek sengkarut ihwal kesadaran warga Mojokerto dalam memelihara peninggalan Majapahit.

Kondisi pahit perpustakaan tak bisa dijadikan satu-satunya alibi atas pengabaian situs Trowulan. Jika ditanya siapa di Mojokerto yang menghargai bacaan sejarah? Bagi saya, yang paling mendasar adalah tidak adanya tradisi literasi yang kuat dan mengakar untuk menghargai dan menopang segala warisan bangsa. Generasi muda mana sekarang yang beruntung dapat dan tergerak membaca Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa 1292-1525 (Yayasan Prapantja: 1962) karya Muhammad Yamin, dan 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai (Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, 1992) yang disusun Prof Dr Sartono Kartodirdjo dkk. Perihal dua buku ini; buku yang pertama saya peroleh dengan cara memfotokopi di Perpustakaan Kolese Ignatius Jogja. Sedang yang kedua saya dapat di Perpustakaan Pesantren Wahid Hasyim Tebuireng, yang malah lebih lengkap koleksinya ketimbang Perpustakaan Umum Mastrip Jombang.

Ada lagi buku 6000 Tahun Sang Merah Putih (Balai Pustaka: Jakarta, 1958. 349 hlm) karya Muhammad Yamin, juga ada di Perpustakaan Max Arifin di Perum Griya Japan Raya, Sooko. Buku Yamin yang mengurai telaah kritis ihwal Majapahit ini juga terdapat di Perpustakaan Kradenan, dekat Alun-alun Mojokerto. Bagi kawula muda kini, buku-buku sejarah macam itu sudah tidak lagi diminati --bahkan bacaan yang ringan sekalipun seperti novel, cersil, atau komik yang bercerita seputar Majapahit ataupun tidak. Semisal novel Senapati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto; novel serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hadi; cersil Kho Ping Hoo, Kemelut di Majapahit (37 jilid); 50 jilid cerbung karya S. Djatilaksana berjudul Gajah Kencana Manggala Majapahit (Margajaya: Surakarta, 1977); dan lain-lain sudah nyaris tidak ada di persewaan buku atau taman bacaan di Mojokerto. Hanya ada dua persewaan buku plus toko buku loak di kota yang masih bertahan. Yakni TB Taman Pustaka ''Remadja'' di Jl Kapten Pierre Tendean No. 4, milik Kiswanto Kosasih (ia akrab disebut Pak Kishiang); dan Taman Baca ''Muda'' milik pensiunan Angkatan Laut bernama Pak Padi, di Jl Majapahit No. 437. Di dua tempat persewaan ini, hanya komik Jepang dan Taiwan serta novel-novel picisan yang paling banyak disewa.

Jika pemerintah dan kaum terpelajar banyak yang tak paham dan tak menggubris sejarah Majapahit, apalagi dengan generasi mudanya? Seharusnya di luar lembaga pemerintah, perlu kiranya ada semacam lembaga independen atau LSM untuk pelestarian situs-situs Majapahit. Namun, sebagaimana kita maklumi di negeri ini, citra dan orang-orang LSM memang banyak yang tidak jelas visi-misinya dan karena itu tidak maksimal kerjanya: jika donor asing cair, mereka bekerja ''memainkan'' distribusi dananya. Jika mampet, berhenti pula.

Di Mojokerto ada satu LSM yang bergerak dalam pelestarian-perlindungan seputar peninggalan Majapahit: Yayasan Gotrah Wilwatikta. LSM ini berkandang di Perumahan Gatoel di Jl Jawa No. 78. Sebagaimana yang dilansir Koran Tempo (10/1/09), LSM ini dirintis Anam Anis sejak 2001 bersama lima kawannya. Dalam menyikapi perkara situs Trowulan, Gotrah berkomentar bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim di Trowulan tersebut tidak efektif melindungi situs. Di antara mereka berargumen, ''Sudah terjadi perusakan, apa yang bisa diperbuat?'' Dalih apa pula ini. Gotrah sejatinya dan semustinya mampu bergerak lebih progresif dan kritis sejak 9 tahun lalu. Saya sempat berharap LSM ini memiliki kontribusi cemerlang. Namun saya jadi kecewa, ketika beberapa hari lalu saya diberitahu teman untuk membuka blognya: http://gotrah.multiply.com. Ternyata, blog itu cuma berisi peta Majapahit yang juga terpajang dengan warna berlumut di kantornya.

Hanyalah segelintir yang terbangun dari mimpi buruk ini. Selain keprihatinan arkeolog Mundardjito, di Mojokerto sesungguhnya menyimpan sekian sosok sebagai ''perpustakaan berjalan'' yang terus bergerak atas nama Majapahit. Di antara mereka: si pematung Ribut Sumiyono dan Nanang Muni dari Desa Jatisumber, Trowulan. Ada pula Umar Muzakky dan Muhsinun di kawasan Miji Gang III, di mana mereka serius melakukan pembuatan film dokudrama dan riset soal naskah-naskah kuno dan batas-batas wilayah Kerajaan Majapahit. Alangkah ''Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan,'' begitu ungkap Temujin, si penghancur peradaban dari tlatah Mongol itu. (*)

*) Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2009

Ayo, Hancurkan Majapahit!

Merujuk kronik Indonesia 2009, media massa pada pekan pertama tahun ini menyuguhkan dua isu ''besar'': Perang Gaza dan hancurnya situs Trowulan. Penyerbuan Israel di Jalur Gaza, Palestina, yang barbarian mencabik nalar waras sebagai masyarakat beradab dalam masyarakat ultrateknologi. Sementara ''penghancuran'' situs Trowulan oleh pemerintah atas nama pembangunan Trowulan Information Centre adalah jalan pemusnahan sejarah diri sendiri. Terutama sejarah peradaban Majapahit yang terpaku di bawah tanah Trowulan.

Arkeolog berteriak. Koran-koran menulis seram-seram. Berhalaman-halaman lagi. Banyak yang menyatakan keprihatinannya. Pemerintah lalu minta maaf dan meninjau kembali pembangunan pusat informasi ''pelestarian'' kejayaan masa silam itu.

Apa-apaan ini semua. Mengapa baru brangasan sekarang. Begitu sibuk sepertinya kiamat sejarah sudah di muka pintu. Dan mengapa pula pemerintah mesti repot sembah sujud untuk memohon maaf atas kesalahan yang sudah sangat dan sangat biasa dilakukannya.

Penghancuran ingatan atas warisan (cerita) Majapahit itu toh sudah berlangsung dengan sangat lama, sistematis, dan halus. Dan itu dilakukan pemerintah yang dibantu sikap bisu masyarakat (terpelajar) Mojokerto sendiri.

Kalau tak percaya, datangi saja dua perpustakaannya: perpustakaan kabupaten dan kota. Dua perpustakaan itu menjadi cermin terbaik bagaimana sejarah Majapahit yang menaungi kota ini menjadi cerita yang telah kehilangan pukaunya. Dua perpustakaan itu nyaris sama buruknya dengan perpustakaan Kediri dari hasil kelana saya di perpustakaan kota-kota yang pernah punya nama besar di masa silam.

Kata para pemangku buku, perpustakaan dibuat untuk mencerdaskan masyarakat. Tapi bukan sekadar itu. Perpustakaan juga dibuat sebagai benteng pertahanan ingatan (sejarah) kolektif masyarakat dari gerusan waktu. Perpustakaan adalah jangkar kesadaran dari mana masyarakat itu berasal dan bagaimana menyiasati masa depan dengan jangkar informasi kejayaan dan dosa masa lalu. Maka itulah perpustakaan mesti selalu berada di tengah kota, di jantung kesibukan masyarakat.

Tapi di perpustakaan Mojokerto (kabupaten dan kota), kisah kejayaan Majapahit hanyalah puing-puing yang tiada berguna.

Ayo, mari masuk ke perpustakaan kabupaten yang ada di Jalan RA Basuni. Jangan lupa buka sepatu/sandal. Tak tahu bagaimana asal muasal aturan yang mirip masuk musala ini. Ruangan itu tak terlalu besar dan mirip puskesmas kecamatan. Buku-buku tak tersusun rapi. Pengategorian buku awut-awutan. Di rak yang mestinya dikuasai kesusastraan juga disusupi buku-buku pendidikan wiraswasta.

Hanya satu buku tentang sejarah Kota Mojokerto di sini dengan tampang yang memelas: Sejarah Mojokerto, Sebuah Pendekatan Administratif dan Sosial Budaya. Buku yang disusun Tim Penulisan Sejarah Kabupaten Mojokerto pada 1993 itu tampak kusam. Selain karena ''ketuaan'', juga barangkali tak ada yang menjamahnya. Bayangkan, untuk menjaga warisan sejarah besar Majapahit dengan armada maritim yang demikian tangguh di masa silam itu, perpustakaan kabupaten ini cukup mempercayakannya pada satu buku itu!

Tapi, masih lumayan. Dari satu buku sekunder itu saya mencoret-coret beberapa keterangan tentang sejarah Majapahit walau tanpa meninggalkan decak kagum sama sekali. Beberapa paragraf informasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.

Sudahlah. Lupakan. Tak usah rewel menanyakan di mana Kitab Negarakertagama yang masyhur itu. Mari masuk kota, lewat Jalan Majapahit, lurus ke Raden Wijaya, dan berhenti di Gajah Mada. Tiga nama jalan itu membuat saya sedikit masygul: O, saya benar-benar berada dalam episentrum sejarah.

Apalagi, perpustakaan kota berada di salah satu bahu (Jalan) Gajah Mada. Sosok yang sumpah kuasanya menggetarkan tanah-tanah Nusantara. Ya, Gajah Mada memang jaya, tapi perpustakaannya tidak. Bahkan curiculum vitae (cv) Gajah Mada tak tercatat dalam perpustakaan kota ini. Satu-satunya buku yang saya temui adalah: Perundangan Madjapahit karya Prof Dr Slamet Muljana (Jakarta: Bharata, 1967, 167 hlm.). Di halaman buku itu masih ada stempel Proyek Pengembangan Perpustakaan Jawa Timur T.A. 1984/1985.

Saya berpikir, barangkali saja masih ada judul lain, tapi sedang dipinjam orang. Maka, saya buka katalog buku 1997 yang tertudung dalam map kuning yang sudah lecet dan sobek-sobek. Tak ada lagi. Memang cuma itu. Aneh juga, bagaimana bisa perpustakaan kabupaten dan kota bersepakat untuk seri: 1-1. Satu buku di perpustakaan kabupaten, satu buku di perpustakaan kota.

Ketimbang pulang ke Jogja dengan penuh kesal, maka kuputuskan bertahan tiga jam dalam perpustakaan yang riuh dan sempit itu. Hanya ngelangut. Membuka buku apa saja dan sesekali menimang koran. Memperhatikan dua kipas angin yang sedang tancap gas dengan didorong mesin pendingin. Mendongak ke atas. Hanya satu neon yang menyala untuk menerangi empat meja besar.

Saya memang memegang brosur tentang sejarah berdiri dan kegiatan pengurus perpustakaan yang bersisian dengan taman kanak-kanak ini. Tapi bukan mencatat apa yang ada di brosur itu yang membuat saya mesti jauh-jauh ke kota ini dengan menumpang sepeda motor. Saya ingin melihat dan merasakan langsung bagaimana kota ini memelihara sejarah dirinya sendiri dalam sebuah gedung eksotik bernama perpustakaan.

Karena kecewa itu, saya pun urung menuliskan apa pun tentang (perpustakaan) kota ini. Hingga dua tahun kemudian ketika semua orang ramai-ramai berteriak untuk menyelamatkan (situs) Majapahit dari pembangunan bergaya barbar yang ironisnya justru atas nama pembangunan pusat informasi Majapahit, catatan suram kunjungan itu pun saya tarik dari laci dan menyalinnya kembali.

Tiba-tiba suara parau novelis Ceko Milan Kundera mendengung: ''Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.''

O, Tuan Kundera, bagaimana kalau pernyataan tuan itu saya modifikasi sedikit. Jadinya begini: Untuk menyempurnakan kepahitan nasib (sejarah) Majapahit (dan Mojokerto), selain buku-buku yang merekam sejarah kota itu disingkirkan dari perpustakaan kota, seluruh situs masa silam yang menandai sejarah kota itu juga sudah harus dirusakbinasakan atau jual secuil demi secuil di pasar gelap benda purbakala.

Dengan begitu, insya Allah, tiga generasi lagi penghuni kota ini akan diserang epidemi amnesia atas kejayaan masa lalu mereka sendiri. Berdoa saja. (*)

Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku. Tinggal di Jogjakarta
Sumber Jawa Pos, 18 Januari 2009

Awas, Sampah Buku!

Masalisasi produksi buku terjadi, terutama, setelah dipergunakannya mesin cetak murah bermerk ''Toko''. Mencetak buku yang sebelumnya membutuhkan modal besar bisa ditekan biayanya dengan mesin cetak itu. Penerbit kecil pun bermunculan meramaikan pasar buku, berbagi kue rezeki dengan penerbit besar.

Namun, bukan hanya modal yang relatif tidak besar saja yang memicu bertumbuhannya penerbit kecil. Lebih dari itu, perhitungan keuntungan menerbitkan buku sudah bisa dibayangkan. Sudah jamak diketahui bahwa harga banderol buku merupakan hasil pengalian 5 sampai 8 kali harga pokok produksi.

Apalagi pasar buku saat ini cenderung mengarah ke format praktis. Membuat buku praktis pun dimudahkan dengan akses ke internet. Praktis, tema apa pun bisa dikemas dengan mudah dalam konteks format praktis dan nuansa lokal. Cara ini bisa menjadi alternatif bagi penerbit kecil yang tidak mampu membayar copyright dan terjemahan buku luar negeri. Alhasil, harga buku bisa dibikin lebih murah.

Cara membuat buku seperti itu bisa dikerjakan siapa saja. Atau kalau tidak mau repot menulis naskah sendiri, penawaran naskah cukup melimpah di pasar buku. Bagi yang bermodal, tinggal beli atau pesan naskah yang pro-pasar, kemudian menerbitkannya. Tidak jarang pelaku dunia perbukuan seperti penulis, percetakan, distributor, bahkan toko buku turut menerbitkan buku.

Daya Serap Pasar

Pertambahan jaringan toko buku bisa dikatakan sangat tidak sebanding dengan pertumbuhan buku. Sementara jumlah toko buku cenderung tetap bahkan kadang ada yang gulung tikar. Sekian judul buku baru terus diterbitkan setiap bulan. Oleh sebab tidak berimbangnya jumlah toko dan buku yang terbit, umur pajang (display) buku pun menjadi semakin pendek. Buku baru yang tadinya bisa nampang di floor atau rak toko berbulan-bulan, kini harus menjalani seleksi penjualan tiga bulan. Toko hanya mau memajang buku-buku laku dan baru, tentunya disesuaikan dengan karakteristik toko dan segmen pembeli. Buku-buku lama yang tidak laku sudah pasti terima nasib dikembalikan (return) ke penerbit/supplier-nya.

Buku-buku return selanjutnya dipasarkan di pameran atau bazar. Tentu saja dengan penyusutan harga alias diskon yang lebih besar ketimbang yang diberikan toko untuk menarik calon pembeli. Umur buku terkadang bisa lebih pendek lagi jika ia diobral di pameran. Hal itu seringkali dilakukan penerbit karena butuh dana cepat untuk mencetak buku baru.

Ada kecenderungan yang menarik ketika pasar buku di-vergen ke banyak tema. Penerbit berbondong-bondong menerbitkan berbagai tema. Penerbit yang mulanya concern ke tema tertentu melahirkan lini penerbit (imprint) baru dengan tema-tema tertentu. Penerbit buku pelajaran tidak mau kalah dengan membelah menerbitkan buku umum.

Pasar adalah tema. Buku tema tertentu yang tengah laku akan diikuti oleh buku tema sejenis dengan variasi judul, kemasan, isi, dan harga. Contohnya, buku anak dan buku kesehatan. Jumlah buku menjadi berlimpah di pasar, dari kualitas bagus sampai ecek-ecek. Namun, hanya buku yang mampu memenuhi kebutuhan pengetahuan pembeli bakal diserap pasar. Sedangkan yang gagal akan menjadi sampah buku!

Kendali di Toko Buku

Di dunia buku, saya punya ungkapan, ''Kalau mau untung jadilah penerbit. Kalau mau berkuasa jadilah toko''. Saya sebut ''berkuasa'' karena penataan buku setiap penerbit --di floor atau rak atau malah ''disembunyikan''--tergantung pada manajemen pengelola took. Karena toko mempunyai pertimbangan laku tersendiri, disesuaikan dengan karakteristiknya dan penjualan buku tersebut.

Kuasa toko buku ini bisa didayagunakan sebagai filter untuk mengurangi sampah buku. Tapi, filter sebenarnya adalah pembeli (masyarakat). Penerbitlah yang bisa menerjemahkan kebutuhan itu secara detail ke dalam buku yang diterbitkan. Masyarakat menentukan sesuai atau tidak isi buku dengan kebutuhannya. Toko bisa menjadi perantara yang baik karena ia setiap hari berkomunikasi dengan masyarakat. Sedangkan penerbit/supplier berkomunikasi hanya dengan toko. Dus, toko bisa memerankan menjadi saringan awal buku yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pun akan lebih mudah memilih buku-buku bagus yang notabene terpilih karena kualitasnya. Kuasa toko ini diharapkan bisa mengendalikan hasrat penerbit untuk berspekulasi menerbitkan buku asal-asalan (tidak dibutuhkan masyarakat).

Bagaimanapun, menjadi penerbit, apalagi jika sudah masuk industri, harus untung. Sayangnya, banyak penerbit cukup puas memperebutkan ''kue besar'' pasar dengan banyak pesaing. Padahal, kalau mau, ia bisa untung lebih besar lagi jika sunguh-sungguh mengeksplorasi tema sesuai dengan kebutuhan pengetahuan masyarakat. Ia bisa menjadi pioner tema terbitan tertentu sehingga hasilnya bisa ''out of blue''.

Dan ketika penerbit-penerbit lain mengekor, ia selalu bisa memunculkan tema-tema baru yang segar, bermutu, dan mencerahkan. Penerbit seperti ini tidak hanya menangguk untung finansial, tapi juga menjadi referensi buku bermutu bagi masyarakat. Brand pun jadi. Akhirnya, penerbit terus membesar dan menjadi. Amin. (*)

Mohammad Solikhin, pemasar buku Diandra
Sumber Jawa Pos, 1 Februari 2009

Einstein Tak Menemukan Tuhan



Albert Einstein adalah salah satu sosok pemikir yang sangat dikagumi sekaligus sangat dibenci di pengujung abad 20 dan bahkan hingga kini. Kenapa demikian? Karena selain penemuan-penemuan spektakulernya di bidang sains dan teknonogi yang sulit ditandingi oleh para ilmuan pada masanya, Einstein kerap melancarkan kritik pedas pada gereja dan doktrin-doktrinnya yang dianggap tidak rasional. Menurut Einstein, gereja telah melakukan ''pembodohan massal'' dengan konsep ketuhanan yang tidak masuk akal.

Kritik yang disampaikan Einstein tersebut sebenarnya berangkat dari kegelisahannya ihwal eksistensi Tuhan yang tak kunjung ditemukan. Ia tidak puas dengan sosok Tuhan yang dipersonalkan atau digambarkan mirip manusia (antropomorfisme) dalam Kitab Injil. Selain itu, ia juga mengkritik filsafat ketuhanan yang dikembangkan oleh gereja yang terkenal dengan istilah Trinitas: Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Sampai akhir hayatnya, Einstein belum menemukan jawaban yang rasional terkait dengan filsafat ketuhanan tersebut.

Dalam logika Einstein yang mendasarkan pikirannya pada fisika dan matematika, Tuhan yang dipersonalkan jelas tidak masuk akal. Karena itu, dengan tegas ia menolak: ''Tentang Tuhan saya tidak dapat menerima suatu konsep apa pun yang berdasarkan otoritas gereja. Sepanjang yang saya ingat, saya membenci indoktrinasi massal. Saya tidak mengimani karena takut akan kehidupan, takut akan kematian, maupun iman yang buta...'' (hal. 153).

Pernyataan Einstein tersebut tak pelak membuat panas telinga para pemuka agama Nasrani. Ia dianggap mengingkari Al-Kitab yang seharusnya diimani tanpa harus diperdebatkan lagi. Einstein memang cukup berani membongkar sekian ayat yang terdapat dalam kitab Injil yang tidak sesuai dengan nalar logikanya. Ia sama sekali tidak mengimani Injil sebagai sabda Tuhan karena sepanjang penelitiannya terdapat pertentangan antara Injil yang satu dengan lainnya. Dalam Injil Yohanes, misalnya, Eisntein melihat ada pertentangan ayat yang sangat mendasar dengan Injil Barnabas (The Gospel of Barnabas) yang naskah aslinya ditemukan di The Emperial Library Wina, Austria. Atas dasar inilah Einstein semakin tidak yakin akan kebenaran Injil. Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika Paus St. Glasius I bertahta pada 492-496, Vatikan secara resmi melarang Injil Barnabas beredar dan dibaca oleh umat Kristiani.

Einstein menilai keputusan tersebut sangat paradoks dan sulit diterima oleh akal sehat. Sehingga dengan lantang ia menuduh Paus telah melakukan campur tangan dalam penulisan Injil.

Kritik pedas inilah yang membuat vatikan kegerahan. Einstein dianggap terlalu berlebihan dan mengada-ada. Pihak gereja kemudian bergerak lebih cepat untuk menyikapi apa yang telah dikemukakan pemikir yang berpengaruh itu agar tidak mereduksi keimanan umat Kristiani di seluruh dunia.

Seorang pemuka Nasrani yang berasal dari Lutheran Church of Our Savior, yakni pendeta Carl F. Weldman menanggapi dengan keras pendapat Einstein yang menolak Tuhan dipersonalkan: ''Tidak ada Tuhan selain Tuhan personal! Einstein tidak mengetahui apa yang sedang diucapkannya. Dia salah total!'' (hal. 165). Dalam pandangan Carl F. Weldman, pernyataan Einstein bukanlah termasuk bagian dari pencarian hakiki akan eksistensiNya. Akan tetapi hanyalah sebentuk provokasi yang tidak didasari oleh iman yang kuat.

Sri Paus Yohanes Paulus II yang bertahta di Vatikan juga ikut menyerang Einstein: ''Menginginkan bukti-bukti ilmiah tentang Tuhan sama dengan merendahkan Tuhan ke derajad wujud-wujud dunia kita dan karenanya kita akan keliru secara metodologis berkenaan dengan apa itu Tuhan. Sains harus mengakui batas-batasnya serta ketidakmampuannya untuk mencapai eksistensi Tuhan, ia tidak bisa mengukuhkan ataupun mengingkari eksistensiNya...'' (hal.169).

Semua umat Kristiani yang menerima filsafat ketuhanan dengan modal iman jelas menganggap Einstein sebagai pengingkar (kafir). Ilmuan peraih nobel yang pada akhir hayatnya kedua bola matanya dijugil untuk diawetkan itu dituduh atheis karena logika berpikirnya tidak sejalan dengan Al-Kitab.

Tuduhan yang sama sebenarnya juga dilancarkan oleh para pemuka agama Yahudi yang menganggap Einstein anti-Tuhan karena telah berani menolak untuk menjalani bar mitzvah, yaitu upacara untuk menjadi komunitas orang Yahudi. Sebagaimana diulas oleh Wisnu Arya Wardhana dalam buku ini, sejak kecil Einstein memang hidup dengan ''dua agama'': Yahudi dan Katholik. Jika pada pagi hari ia belajar agama Katholik di Katholik Petersschule, sedangkan sorenya ia menerima pelajaran agama Yahudi dari Alexander Moszkowski, guru privat yang sengaja didatangkan oleh orang tuanya (hal.45).

Dengan demikian, Einstein sudah mempelajari dengan cukup cermat isi Kitab Talmud (Taurat) dan isi Al-Kitab (Injil) sejak ia masih kecil, yakni saat masih berumur tujuh tahun. Walaupun pada saat itu ia belum berani melakukan koreksi terkait beberapa ayat yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya.

Hidup dengan dua agama bukanlah sesuatu yang aneh bagi Einstein. Ia belajar agama Yahudi karena termasuk agama leluhurnya, sedangkan pelajaran Katholik ia dalami tak lain karena pencariannya akan eksistensi Tuhan. Namun sepanjang yang dipelajari Einstein dari kedua Kitab Suci tersebut, yakni Taurat dan Injil, sosok Tuhan yang sesuai dengan jalan pikirannya tak juga ditemukan. (*)

A. Yusrianto Elga, tim penulis Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia: 1908-2008

Judul Buku : Einstein Membantah Taurat & Injil

Penulis : Wisnu Arya Wardhana

Penerbit : Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Cetakan : 1, 2008

Tebal : xxxiv + 258 Halaman

Sumber Jawa Pos, 1 Februari 2009