Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pelatihan IT

Pelatihan IT di BLC Kabupaten Sragen

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


12 Januari 2010

Ternyata Atlantis Itu di Indonesia

CERITA mengenai keberadaan Benua Atlantis hingga kini terus menjadi misteri sejak dideskripsikan filsuf Yunani, Plato, pada ribuan tahun lalu dalam dua dialognya, ''Timaeus'' dan ''Critias". Tak hanya Plato, penulis kuno klasik lainnya seperti Homer, Hesiod, Pindar, Orpheus, Appolonius, Theopompos, Ovid, Pliny si tua, Diodorus Siculus, Strabo, dan Aelian juga ikut meramaikan soal keberadaan Atlantis.

Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan perdebatan tak kunjung usai di kalangan saintis klasik dan modern. Bahkan, masing-masing meletakkan Atlantis di tempat yang mereka yakini sesuai dengan hasil temuannya seperti Al-Andalus, Kreta, Santorini, Siprus, Timur Tengah, Malta, Sardinia, Troya, Antartika, Australia, Kepulauan Azores, Tepi Karibia, Bolivia, Laut Hitam, Inggris, Irlandia, Kepulauan Canary, Tanjung Verde, Isla de la Juventud dekat Kuba, dan Meksiko.

Pandangan yang paling mutakhir mengenai Atlantis -dan sangat mengejutkan kita- datang dari seorang geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil Prof Arysio Santos. Dia membantah tesis di atas dan meyakini bahwa Atlantis yang pernah digambarkan Plato sebagai sebuah negara makmur dengan kekayaan emas, batuan mulia, dan mother of all civilization dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga itu adalah Indonesia.

Kesimpulan Santos yang merujuk pada pandangan Plato bukan tanpa pertimbangan kuat. Selama 30 tahun ia melakukan studi dan penelitian. Selama itu pula hidupnya dipergunakan untuk mengungkap letak Atlantis yang sebenarnya. Hasil penelitiannya itu kemudian ia tulis dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization. Untuk memperkuat argumentasinya, Santos juga merujuk pada tradisi-tradisi suci tentang mitos banjir besar yang melanda seluruh dunia.

Dalam buku ini, secara tegas Santos menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia. Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis. Mereka memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi. Itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan atas keserakahan dan keangkuhannya.

Dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan mutakhir seperti geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan comparative mythology, Santos juga mengungkap sebab-sebab hilangnya Atlantis dari muka bumi. Dia pun membantah hipotesis yang menyatakan bahwa musnahnya Atlantis disebabkan tabrakan meteor raksasa yang disebabkan oleh komet dan asteroid. Menurut Santos, tabrakan di luar angkasa itu adalah order of magnitude yang lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan letusan gunung berapi.

Hipotesis lain yang dibantah Santos adalah tesis yang mengatakan Atlantis musnah disebabkan pergeseran kutub dan memanasnya Antartika pada zaman es. Menurut Santos, fenomena seperti itu mustahil terjadi pada masa lalu jika dilihat dari sisi fisik dan geologisnya.

Musnahnya Atlantis, menurut Santos, lebih disebabkan banjir mahadahsyat yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan dunia, yang membinasakan 70 persen penduduk dunia -termasuk di dalamnya binatang. Yang memegang peran penting dalam bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau dan Gunung Toba, selain puluhan gunung berapi lainnya yang terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan.

Bencana alam beruntun itu, kata Santos, dimulai dengan ledakan dahsyat Gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar, yaitu Selat Sunda, hingga memisahkan Pulau Sumatera dan Jawa. Letusan tersebut menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran rendah antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, antara Jawa dan Kalimantan, serta antara Sumatera dan Kalimantan. Bencana besar itu disebut Santos sebagai ''Heinrich Events''.

Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa fly-ash naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (zaman es pleistosen). Abu itu kemudian turun dan menutupi lapisan es. Karena adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di Kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia.

Banjir akibat tsunami dan lelehan es itulah yang mengakibatkan air laut naik sekitar 130 hingga 150 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi. Tekanan air yang besar itu menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya zaman es pleistosen secara dramatis.

Terlepas dari benar atau tidaknya teori tersebut, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Santos sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang luar ke Indonesia. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali ''tidak meyakinkan'' untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya, ini adalah suatu proses dari hukum alam tentang masa keemasan dan kemunduran suatu bangsa. (*)

Judul buku: Atlantis; The Lost Continent Finally Found

Penulis : Prof Arysio Santos

Penerbit: Ufuk Press, Jakarta

Cetakan: I, November 2009

Tebal : iv + 677 halaman

*) Mohamad Asrori Mulky, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

08 Januari 2010

Indonesia Tempat Lahir Peradaban Dunia

Hendri F Isnaeni*

SEJARAH dalam bentuk filsafati adalah sebagai proses lahir,tumbuh, dan matinya peradaban (Spangler dan Toynbee). Sebagai filsuf, Plato menulis Timaeus dan Critias untuk menggambarkan lahir,tumbuh,dan matinya peradaban Atlantis, sebuah kekaisaran dunia yang menjadi induk peradaban dunia.

Menurut Plato, kekaisaran agung milik bangsa Atlantis tibatiba berakhir tatkala mereka tengah menghadapi perang besar melawan bangsa Athena, yang ternyata bersekutu dengan orang-orang Yunani lainnya, orang-orang Mesir, dan beberapa bangsa kuno lainnya. Saat pertempuran-pertempuran ini berlangsung, tanah runtuh– kemungkinan disebabkan peristiwa vulkanis maha dahsyat–dan menganga, menelan tentara dan massa kedua belah pihak.Sang filsuf agung mengatakan, semua peristiwa ini terjadi “dalam petaka satu hari satu malam.

”Akibatnya, seluruh benua tenggelam dan lenyap untuk selamanya di bawah permukaan laut.Sejak itulah– sekitar 11.600 tahun lalu–Atlantis terbaring di dasar samudra.Atlantis menjadi “Benua yang Hilang.”Lenyap tanpa bekas. Apakah Atlantis sekadar mitos atau sebuah dongeng moral? Selama dua puluh lima abad sejak masa Plato,ribuan buku tentang Atlantis telah ditulis.

Sayangnya perkara Atlantis masih jauh dari terselesaikan. Misteri tentang letak tenggelamnya Atlantis pun belum pernah terjawab,dengan memuaskan meskipun ratusan tempat di berbagai belahan dunia diklaim sebagai lokasi,di antaranya seluruh wilayah Mediterania, Laut Utara, Pesisir Laut Atlantik di Eropa dan Afrika, kawasan di tengah Samudra Atlantik, Amerika,dan sebagainya.

Bahkan, para pakar pengkaji Atlantis belum bersepakat apakah Atlantis pernah ada atau tak lebih dari khayalan Plato belaka tentang dongeng moral yang dibuat Plato sebagai latar belakang etis bagi republik khayalan yang ideal, ia kemukakandalamkarya- karya lainnya, khususnya yang berjudul Republik. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun,Prof Arysio Santos,atlantolog, geolog,dan fisikawan nuklir Brasil, memastikan kepada dunia bahwa situs Atlantis adalah Indonesia.

Ciri-ciri Atlantis yang dicatat Plato secara mengejutkan sangat cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Plato menulis, Atlantis tidak mengarahkepadaapapunselaindeskripsi tentang sebuah daratan yang sebenarnya pernah ada pada Zaman Es, masa ketika temperatur global mencapai 15 derajat lebih dingin daripada sekarang.

Berlawanan dengan lingkungan sekitar,Atlantis yang digambarkan Plato adalah surga beriklim tropis yang penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratanyangluas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung-gunung; batubatu permata dan logam dari berbagai jenis, keduanya sangat berharga dan banyak ditemukan; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas,tembok perak,dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas,dan sebagainya.

Dengan meneliti tradisi-tradisi suci dari banyak bangsa, seperti Yunani,Romawi, Mesir, Mesopotamia, Tunisia,India,Amerika,Hindu, Budha,Yahudi-Kristen, dan sebagainya, Santos menjelaskan makna di balik “dalam petaka satu hari satu malam”. Santos menyimpulkan, penyebab tenggelamnya Atlantis adalah akibat banjir semesta yang tingginya mencapai satu mil.

Secara geologis, Santos menjelaskan, Indonesia terletak di persimpangan tiga lempeng benua– ketiganya bertemu di sini–menciptakan tekanan pada lapisan kulit bumi.Akibatnya,lapisan kulit bumi di wilayah ini terdesak ke atas,membentuk paparan-paparan yang luas (Paparan Sunda dan sebagainya) dan beberapa barisan pegunungan yangsangattinggi.

Paparan-paparan ini agak dangkal dan pada Zaman Es, ketika permukaan laut turun ratusan meter,mereka pun terlihat. Hal ini terjadi pada akhir Zaman Es,masa ketika Atlantis berkembang pesat.Seluruh wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi yang dahsyat, yang kerap mengakibatkan kerusakan sangat parah. Karena itu, terlihat dari beberapa catatan geologis.

Gempa bumi dan tsunami mengerikan yang dialami Aceh lima tahun lalu, hanyalah episode terakhir dari seluruh rangkaian peristiwa panjang dalam masa sejarah dan prasejarah, seperti yang tampak dalam catatan geologis wilayah tersebut. Kehadiran buku ini di Indonesia menuai pro dan kontra.Ketika didiskusikan di Pusat Geologi Bandung, pada November 2009,dengan menghadirkan Awang H Satyana,ahli Geologi BP Migas, terjadi perdebatan panas.

Menurut Awang, buku tersebut memiliki beberapa kelemahan, di antaranya adalah Santos mengemukakan bahwa lokasi Atlantis terletak di paparan Sunda.Lokasi tersebut mengalami gempa tektonik yang menyebabkan wilayah terkena dampak dari letusan Gunung Krakatau yang menyebabkan tsunami sangat besar. Tsunami tersebut menurut hipotesa Santos telah menenggelamkan daratan di Paparan Sunda.

Menurut Awang hipotesa tersebut tidak memiliki bukti geologis dan tidak memiliki dasar. Begitu pula ketika dibedah di salah satu stasiun televisi,pembicaranya seorang ahli gempa Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof MT Zein, kontra dengan pendapat Santos. Meski demikian, ia menyambut baik dan mengimbau agar buku ini memancing ilmuwan Indonesia untuk melakukan penelitian tentang Atlantis. Karena hingga kini, ilmuwan Indonesia belum ada yang melakukan penelitian mengenai Atlantis. Adakah yang berminat menjadi atlantolog? (*)

Hendri F Isnaeni,
Peneliti Sejarah PSIK
Universitas Paramadina Peraih Paramadina-
The Jakarta Post Fellowship.
Sumber www.seputar-indonesia.com

Malaysia di Mata Jurnalis Indonesia

Oleh Mohamad Ali Hisyam*

Kasus Manohara, model cantik berdarah Sulawesi yang tak pernah sepi diekspos media massa, menjadi bumbu menarik dinamika hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia. Konflik Manohara dengan mantan suaminya, Tengku Fahri, pangeran Kerajaan Kelantan, yang terus berlarut, melengkapi serangkaian dentuman kasus yang selama ini mewarnai ''panas dingin'' relasi kedua negara serumpun itu.

Belakangan, negeri jiran tersebut kerap dituding sebagai ''benalu'' yang acap membuat rakyat Indonesia gerah dan bahkan marah. Peristiwa perebutan blok Ambalat, klaim Pulau Sipadan-Ligitan, pengakuan ikon budaya Nusantara seperti reog Ponorogo, tari pendet, batik, hingga lagu Rasa Sayange merupakan contoh upaya mereka mencaplok khazanah sosial-budaya milik kita. Belum lagi ingatan akan perlakuan arogan mereka terhadap ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) di sana serta bagaimana secara ''ideologis'' warga mereka (Dr Azhari dan Noordin M. Top) mengacak-acak negeri ini dengan doktrin terorismenya. Di mata khalayak, hal itu terkesan sengaja memantik permusuhan dengan beragam cara yang provokatif. Benarkah demikian?

Buku Maumu Apa, Malaysia? ini dengan lugas menjawab berbagai kebingungan serta pertanyaan seputar hubungan Indonesia-Malaysia itu, lebih-lebih selama tiga tahun terakhir. Pada sejumlah hal, harus diakui bahwa Malaysia langsung maupun tidak telah dengan sadar mengajak berkonfrontasi. Dalam soal perebutan wilayah, misalnya, tak dapat disangkal mereka berupaya merusak harmoni dan kesepakatan yang sudah ada. Dari sini, stereotip negatif tentang mereka melekat di benak masyarakat kita.

Namun, juga mesti disadari, terdapat beberapa hal yang sebenarnya sumbu konfliknya hanya dipicu oleh kesalahpahaman dalam mengamati duduk perkara suatu persoalan. Yang menarik, buku ini berusaha menyuguhkan data dan argumen yang berimbang ihwal perselisihan kedua negara yang selama ini berlangsung. Genuk Ch. Lazuardi dengan tekun merekam secara runtut aneka persoalan yang menjadi biang konflik Indonesia-Malaysia lewat gaya pemaparan yang khas, renyah, dan ringan dicerna.

Melalui ilustrasi dari beragam sudut, Genuk mencoba menggambarkan wajah masyarakat Indonesia di negeri berpenduduk 27 juta tersebut secara detail. Lewat ilustrasinya, secara tidak langsung pembaca akan dibawa memahami dan menelisik dari dekat bagaimana keberlangsungan hidup komunitas Indonesia di sana serta bagaimana pula orang Malaysia memperlakukan mereka. Sebagai jurnalis yang telah tiga tahun berkarir di Malaysia, dia mengajak kita berkeliling melihat peta Malaysia dari lensa yang paling jernih dan diambil langsung dari jantung permasalahan, yakni suka-duka rakyat Indonesia bertarung menyabung hidup di negeri seberang.

Layaknya karya reportase, investigasi reflektif yang dihadirkan buku ini melaporkan apa adanya keseharian rakyat kita di negara kaya minyak itu. Setidaknya, laporan tersebut terungkap dari empat sisi, yaitu hegemoni Indonesia di belantika hiburan Malaysia, dominasi TKI dalam dunia kerja, urat akar sejarah Indonesia dalam budaya Melayu, serta keampuhan diplomasi musik dan kuliner Nusantara di sana.

Bila diurai, benang kusut hubungan tersebut lebih disulut maraknya ketidakpahaman (misunderstanding) serta salah persepsi (misperception) masing-masing pihak. Sekadar contoh, kasus heboh seputar klaim tari pendet dan reog Ponorogo yang sempat disemprotkan kepada Malaysia ternyata lebih disebabkan sikap salah paham terhadap ekspresi berbudaya orang-orang Melayu, termasuk masyarakat Indonesia yang tinggal di Malaysia. Selama ini, aktivitas kesenian komunitas Indonesia di negara yang merdeka pada 1957 itu selalu mengusung tema dan simbol-simbol Nusantara.

Orang-orang keturunan Jawa di sana, misalnya, terbiasa mengadakan seni wayang, reog, dan semacamnya. Begitu juga dari etnik yang lain. Kekayaan multietnik kita diapresiasi dan diekspresikan dengan baik dan lestari di sana. Lantas, mengapa kita tidak malah bangga dan justru merasa dicaplok? Sebagai perbandingan, atraksi seni barongsai yang asli Tiongkok dikenal sangat masyhur di Singapura. Seakan-akan barongsai adalah ikon mereka dan dalam banyak acara mereka menampilkannya dengan leluasa. Lalu kenapa orang-orang Tiongkok tidak pernah mempermasalahkannya? Sebaliknya mereka bangga, kebudayaan mereka bisa eksis di negeri orang.

Yang jelas, kesenjangan informasi dan ketimpangan data plus nuansa ''ego nasionalisme'' sektoral merupakan faktor dari berbagai kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Padahal, bila kita telaah sejarah, kedua bangsa itu adalah ''alam Melayu'' yang diikat kesatuan politik dan budaya yang sangat erat. Jalinan sosial kedua bangsa sangat harmonis, kendati sempat diwarnai fluktuasi konfliktual. Migrasi besar penduduk Nusantara ke Malaysia menyebabkan begitu banyak orang Melayu di sana berasal dari Indonesia. Contoh paling mutakhir, perdana menteri Malaysia saat ini, Datuk Najib Razak, adalah keturunan Bugis-Makassar dari raja Gowa ke-XI.

Sukar dimungkiri, sebagai bangsa serumpun, keduanya memiliki beragam ''perekat''. Kedekatan geografis, kemudahan askses, serta kemiripan bahasa dan budaya adalah modal positif untuk membangun kembali harmoni di antara keduanya. Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, sejarah pernah mewartakan, bagaimana Ibrahim Jacoob dan Bung Karno pernah menyetujui gagasan dibentuknya negara Indonesia Raya, wujud penyatuan Indonesia dan Malaysia. Walau sayang, ide itu akhirnya gagal terwujud.

Pada aras demikian, buku ini bisa dimaknai sebagai ikhtiar merekatkan kembali keretakan sosial yang akhir-akhir ini mewarnai hubungan Indonesia-Malaysia. Sudah saatnya kita memandang polemik sebagai ajang pendewasaan bagi proses persaudaraan. Warga Indonesia jangan lagi memandang Malaysia semata dari kacamata kisah-kisah miris TKI sembari melupakan sisi positif di dalamnya. Sementara itu, Malaysia sudah waktunya membuang stigma 3D (difficult, dirty, dangerous) kepada TKI dengan memberi penghargaan yang pantas dan manusiawi.

Kendati penulis berprofesi sebagai pekerja di Malaysia, ulasan-ulasan dalam buku ini jauh dari kesan apologis yang cenderung membela Malaysia. Dia menyajikan pemahaman dan fakta-fakta aktual seputar hubungan kedua negara melalui optik yang netral. Kelengkapan data, variasi topik, serta kemahiran mengulas masalah menjadikan buku ini menarik dibaca dan tepat dijadikan referensi bagi calon tenaga kerja, pelaku bisnis, hingga pelajar dan mahasiswa yang hendak studi dan berkarir di Malaysia. (*)

*) Mohamad Ali Hisyam, pengajar di Universitas Trunojoyo Madura

---

Judul Buku : Maumu Apa, Malaysia?

Penulis : Genuk Ch. Lazuardi

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan : Pertama, November 2009

Tebal : xxii + 200 halaman
Sumber www.jawapos.co.id

Penebar Penyakit yang Dirindukan

Oleh Kustiah*

Masih ingat kasus ayat tembakau yang hilang dari Undang-Undang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang paripurna DPR September lalu? Sejumlah politikus di Senayan berapologi bahwa penyebab ayat yang hilang itu hanya kesalahan teknis. Beberapa politikus pengusul ayat tersebut berpandangan bahwa tindakan itu merupakan kesengajaan untuk menjegal pengendalian tembakau.

Sejumlah aktivis antikorupsi dan pengendalian tembakau menduga, ayat tersebut sengaja dihilangkan secara sistematis. Targetnya, produksi dan peredaran produk tembakau hasil produksi perusahaan-perusahaan rokok besar di Indonesia tidak dibatasi. Bahkan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menduga adanya indikasi korupsi dalam kasus itu. Bukankah negeri ini adalah surga bagi para industrialis rokok untuk mengeruk untung sebanyak mungkin?

Sampai kini belum jelas benar apa motif sesungguhnya penghilangan ayat tersebut. Meski dianggap tindak pidana, sampai kini nasib para penghilang ayat itu belum ditentukan. Kabar terakhir, polisi masih kesulitan menentukan pasal untuk menjerat pelakunya.

Barangkali ulasan John Crofton dan David Simpson lewat buku ini memberikan sedikit gambaran yang lebih terang. Kata keduanya, perusahaan tembakau secara rutin mendanai partai politik dan para politikus. Mereka sering mendukung semua partai politik guna memelihara posisi mereka terhadap partai apa pun yang menang waktu pemilihan umum (hlm 146).

Buku ini dengan lugas menguliti sisi mengerikan industri produk tembakau sebagai penebar maut yang di beberapa negara sudah dibatasi dengan ketat, tapi di negeri ini masih bebas beriklan, berpromosi, serta membiayai even olahraga dan musik. Bagi pejabat republik ini, tembakau bahkan disanjung sebagai "penolong" negara karena memberikan cukai sekitar Rp 40 triliun per tahun.

John Crofton dan David Simpson menunjukkan bahwa political will pemerintah sangat menentukan apakah akan berpihak kepada kesehatan rakyat atau memberikan angin surga kepada perusahaan rokok. Benar, industri rokok memberikan cukai kepada negara. Tapi, benar pula industri rokok membebani negara lebih berat karena sebagian besar perokok adalah rakyat miskin.

Mereka yang miskin kian miskin karena uang mereka lebih diutamakan untuk membeli rokok daripada mencukupi kebutuhan pokok keluarga, pendidikan anak-anak, dan kebutuhan strategis lainnya. Beban kaum miskin tambah berat saat menderita penyakit akibat asap rokok: biaya perawatan mahal, kehilangan kesempatan bekerja karena sakit, dan tidak menutup kemungkinan kesempatan usia produktif karena mati muda.

Tapi, rupanya pemerintah Indonesia sampai kini lebih senang menerima cukai dari industri rokok daripada melindungi kesehatan rakyatnya. Jika ditelusuri, yang membayar cukai bukanlah industri rokok, melainkan para konsumen rokok yang mayoritas warga miskin. Padahal, ribuan penelitian sejak 1950-an menunjukkan, rokok menjadi penyebab penyakit berbahaya: kanker, stroke, serangan jantung, kelainan janin, dan sejumlah penyakit mematikan lainnya.

Dalam buku ini, kedua penulis menunjukkan bahwa sebagian besar perokok di negara-negara berkembang adalah masyarakat miskin. Pendapatan mereka untuk meningkatkan gizi keluarga lebih kecil daripada belanja rokok. Oleh karena itu, perusahaan tembakau memberikan wajah ganda yang mengerikan. Yakni, di satu sisi membuat kaya raya segelintir pengusahanya, namun di sisi lain membuat miskin ratusan juta orang di seluruh dunia dan membenamkan sejumlah penyakit ke dalam tubuh ratusan juta perokok aktif maupun pasif.

Oleh karena itu, buku ini menguraikan cara ampuh untuk menurunkan jumlah perokok dalam jangka panjang. Aktor yang dia tunjuk pertama adalah pemerintah. Pemerintah yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO harus segera meratifikasinya untuk menjadi landasan dalam pengendalian tembakau.

Kalaupun belum meratifikasi, pemerintah diharapkan bisa menyusun undang-undang yang mengendalikan dampak tembakau terhadap kesehatan. Di dalamnya harus ditegaskan pelarangan total terhadap iklan dan promosi rokok dalam semua media. Sebab, iklan -bagi perusahaan rokok- merupakan cara efektif untuk menarik para calon konsumen muda. Iklan pula yang membuat "nilai-nilai menyesatkan" yang menganggap merokok sebagai simbol sosial, keberanian, dan kedewasaan. Pelarangan tersebut sangat rasional. Sebab, bagaimana mungkin produk beracun yang jelas-jelas berbahaya bebas diiklankan di semua media massa? (*)

*) Kustiah, pekerja media, tinggal di Jakarta

---

Judul Buku : Tembakau: Ancaman Global

Penulis : John Crofton dan David Simpson

Penerjemah : Kartono Muhammad dkk

Penerbit : PT Elex Media Komputindo

Cetakan I : 2009
Sumber www.jawapos.co.id

Atas Nama Demokrasi :Tolak Ujian Nasional dan Kembalikan Penentuan Kelulusan Pelajar Kepada Guru Dan Sekolah*

Oleh:Merphin Panjaitan **

Di awal masa kerja kabinet baru ini, kita perlu evaluasi program pemerintah yang baru berlalu, untuk melanjutkan program yang tepat dan mengoreksi yang tidak tepat, sehingga perjalanan bangsa selalu berada pada arah yang tepat. Saya mengamati, selama lima tahun ini pemerintahan pusat dan daerah tidak fokus dalam penyelenggaraan negara. Seharusnya negara mengfokuskan programnya,misalnya dalam perluasan lapangan kerja dan pemberdayaan kaum miskin, pelestarian lingkungan hidup, pembangunan infrastuktur dan pemantapan demokrasi dan pemberantasan korupsi. Tetapi yang terjadi, negara justru sering mengambil alih fungsi masyarakat, seperti pelaksanaan Ujian Nasional . Pelaksanaan Ujian Nasional yang digunakan untuk menentukan kelulusan pelajar SD, SLTP dan SLTA menimbulkan banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat.. Tulisan ini akan mengkaji Ujian Nasional ini dari perspektif demokrasi.




I. Logika Demokrasi

Lahir merdeka dengan derajat dan hak yang sama

Demokrasi beranjak dari pengakuan bahwa semua manusia lahir dan hidup merdeka dengan derajat yang sama. Demokrasi adalah tatanan kenegaraan dimana kedaulatan berada ditangan Rakyat, dan semua kukuasaan negara berasal dari Rakyat. Rakyat mempercayakan kekuasaan negara kepada penyelenggaraan negara, baik di level nasional maupun daerah dan harus digunakan untuk melayani Rakyat.
Manusia mempunyai kemampuan berpikir. Dengan kemampuan berpikir manusia mengembangkan dirinya. Meningkatkan pengetahuan, mempelajari apa yang baik dan apa yang buruk, menentukan apa yang perlu dilakukan dan apa yang tidak perlu.
Kemampuan berpikir manusia membuatnya mampu bertindak bebas, dan sebaliknya untuk pengembangan kemampuan berpikir manusia membutuhkan kebebasan, yaitu hak untuk mengambil keputusan. Tidak bebas berarti kehilangan hak untuk memutuskan. Setiap orang yang menggunakan hak kebebasannya, maka pada saat yang sama ia harus memikul tanggung jawab. Sering terjadi seseorang tidak mebnggunakan hak kebebasannya bukan karena ia tidak mau bebas, tetapi karena ia tidak mau memikul tanggung jawab sebagai konsekuensi dari penggunaan kebebasan. Kebebasan menjadi hak dasar individu dan membatasi hak masyarakat terhadap individu tersebut.

Kesederajatan manusia terwujud dalam kehidupan kenegaraan. Semua warganegara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Semua warganegara mempunyai hak yang sama dalam perlindungan hukum. Semua warganegara dewasa mempunyai hak pilih yang sama, satu orang satu suara, dan mempunyai hak yang sama untuk dipilih. Artinya tidak ada satu kelompok masyarakatpun yang dapat menyatakan bahwa mereka berhak memerintah dan mengambil keputusan yang mengikat rakyat, tanpa persetujuan dari rakyat.
Semua warganegara dan semua kelompok masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam pembuatan kebijakan publik, dalam mengawasi dan menilai penyelenggaraan negara.
Kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan negara, ukurannya bukan asal-usul, ras, suku, agama, kedudukan, atau kekayaan, tetapi ditentukan oleh dukungan dari warganegara lainnya. Kesederjatan manusia berarti tidak ada orang atau kelompok orang yang karena keturunan, asal-usul, suku, ras, agama, golongan dan jenis kelamin berhak untuk memerintah orang lain. Dalam kesederajatan manusia tetap ada pemimpin yang akan memerintah, tetapi mereka dipilih oleh orang yang diperintah dari antara mereka sendiri.
Pada kehidupan di masa lampau, waktu jumlah manusia masih sedikit dan kehidupannya masih sederhana, sebelum muncul penguasa-penguasa besar, nilai kesederajatan masih berlaku, dan diyakini kebenarannya.
Kalau mereka membutuhkan seorang atau beberapa orang pemimpin, mereka akan memilihnya, dan mempercayakan kekuasaan kepada pemimpin tersebut. Pemimpin ini memulai pekerjaannya dengan memimpin warganya dalam menyusun berbagai peraturan yang akan mereka taati secara bersama-sama.
Tetapi dalam perjalanan sejarah selanjutnya bisa saja pemimpin ini menjadi otoriter dan kemudian mewariskan kekuasaan kepada keturunannya. Dan kalau hal ini berlangsung dalam waktu lama dari satu generasi ke generasi selanjutnya, terjadilah hirarki sosial, dengan terbentuknya kelas pemerintah dan kelas masyarakat biasa harus bersedia diperintah. Logika persamaan dibuang untuk waktu yang cukup lama.
Di Yunani kuno sekitar 2500 tahun yang lalu, demokrasi tumbuh dan berkembang, tetapi kemudian mati. Tahun 507 SM orang Athena menganut suatu pemerintahan demokrasi yang berlangsung sekitar dua abad lamanya, sampai pada akhirnya kota ini ditaklukkan oleh tetangganya di sebelah utara, yaitu Macedonia.2 Demokrasi tumbuh, berkembang, mati dan kemudian tumbuh kembali.
Pada abad ke-18, demokrasi muncul lagi di Eropa dan Amerika Serikat. Revolusi Perancis dengan kredonya Liberte, Egalite dan Fraternite. mempunyai andil yang besar dari munculnya kembali demokrasi.
Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat memuat hak asasi manusia yang tidak dapat dilepaskan dari manusia antara lain hak hidup, hak kebebasan dan hak untuk mengejar kebahagiaan.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, ……


Pemerintah Dipilih Oleh Rakyat

Demokrasi adalah pemerintahan oleh semua dan untuk kepetingan semua orang. Demokrasi bukan sekedar pemerintahan oleh mayoritas, apakah mayoritas permanen, yaitu mayoritas karena ciri permanen seperti ras, suku, dan agama atau mayoritas karena menang pemilu.. Pemenang pemilu memerintah, yang kalah pemilu mengawasi jalannya pemerintahan sembari mengkampanyekan alternatif kebijakan publik. Semua perbedaan diselesaikan secara damai, melalui berbagai cara seperti debat publik, diskusi, kompromi, dan voting. Kata akhir tetap berada pada rakyat, dengan mekanisme Pemilu, atau cara-cara lain seperti unjuk rasa. Rakyat harus terus menerus mengingatkan pejabat negara bahwa keberadaan mereka adalah atas dukungan dan biaya dari rakyat, dan oleh karena itu harus selalu mendengar, memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pejabat negara harus selalu sadar bahwa mereka harus melayani seluruh rakyat secara adil dan demokratis. Mandat yang diterima seorang pejabat negara adalah mandat dari seluruh rakyat bukan hanya dari kelompok atau pemilihnya saja, dan oleh karena itu harus melayani kepentingan seluruh rakyat.
Dalam negara demokrasi salah satu prinsip yang harus dijalankan adalah bahwa pejabat pemerintahan dipilih oleh rakyat dari kalangan rakyat sendiri. Legitimasi pemerintahan terutama bukan pada keahlian dan kepintaran mereka, tetapi pada pilihan rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat paling berhak dan paling mengetahui tentang siapa yang akan dipilih menjadi pejabat pemerintah di semua tingkatan, nasional dan daerah. Oleh karena itu suatu negara dapat dikatakan demokrasi kalau negara tersebut terdapat pemilihan umum yang bebas, adil kompetitif dan berkala. Semakin banyak pejabat negara yang dipilih, semakin demokratis negara tersebut. Di dalam negara demokrasi tidak ada seorangpun atau sekelompok orang, atau satu ras tertentu yang menganggap dirinya lebih berhak memerintah yang lain. Nilai kesederajatan menempatkan semua warganegara pada derajat yang sama.
Pemilihan pejabat negara secara langsung oleh rakyat yang telah berlangsung berulang-ulang akan mengkondisikan setiap pejabat negara menjadi pelayan rakyat. Semakin banyak pejabat negara yang dipilih oleh rakyat, semakin banyak pejabat negara yang melayani rakyat, dan kebijakan publik semakin sesuai dengan aspirasi rakyat.
Schumpeter mengemukakan “metode demokratis” yaitu : adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitf, dalam rangka memperoleh suara rakyat”.3
Diamond, Linz dan Lipset, mengemukakan suatu pemerintahan demokratis harus memenuhi tiga, syarat pokok yaitu :
- Kompetisi yang sungguh-sungguh dan luas antara individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan secara reguler.
- Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warganegara dalam pemelihan pemimpin atau kebijakan.
- Kebebasan Sipil dan Politik ; yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi, yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.4


Pembatasan Kekuasaan Negara

Teori perjanjian negara Hobbes dan Locke bertolak dari fiksi suatu keadaan alamiah manusia (state of nature) yang mendahului eksistensi suatu negara. Thomas Hobbes berpendapat dalam keadaan alamiah ; semua orang bebas karena belum ada lembaga atau orang yang memiliki wewenang mengatur orang lain. Semua orang sama-sama memiliki hak-hak alamiah tertentu, terutama hak membela diri. Semua orang hidup sendiri-sendiri, sesuai dengan kebutuhan individual masing-masing. Mereka berkembang tidak sosial, tidak saling membutuhkan dan tidak saling percaya. Individu-individu egois ini senantiasa saling mencurigai. Karena mereka hidup dan memenuhi kebutuhan dalam wilayah yang sama, mereka berada dalam situasi persaingan yang keras, dan yang satu menganggap individu yang lain merupakan ancaman potensial dan karena itu dimusuhi.
Dalam upaya melindungi diri secara efektif, setiap individu mengambil tindakan preventif dengan melumpuhkan atau meniadakan musuh potensialnya, yaitu individu yang lain Manusia bersikap bagaikan serigala terhadap manusia yang lain: homo homini lupus. Keadaan alamiah ini menjadi perang semua malawan semua ; bellum omnium contra omnes.
Keadaan seperti ini memaksa individu-individu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian diantara mereka sendiri. Saling memberi janji untuk mendirikan lembaga untuk menata mereka melalui undang-undang dan memaksa semua orang agar taat terhadap undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiah mereka kepada lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara, dan negara tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap individu-individu, yang dapat mereka tuntut. Segera setelah negara terbentuk, negara berdiri tegak, dengan segala kekuasaannya. Negara mempunyai kekuasaan mutlak dan dsebut Leviathan, binatang purba yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, dan tidak menghiraukan siapapun.
Jhon Locke menggambarkan manusia dalam keadaan alamiah berbeda dengan Thomas Hobbes, dan oleh karena itu negara yang didirikan akan sangat berbeda dengan Leviathan. Dalam keadaan alamiah manusia bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan miliknya, dan tidak tergantung pada kehendak orang lain. Secara alamiah, semua manusia sebenarnya baik, dan oleh karena itu keadaan alamiah manusia juag baik. Setiap orang mengambil dari alam sesuai kebutuhannya. Tetapi situasi ini berubah setelah uang diciptakan. Mereka yang rajin dan terampil menjadi kaya dengan cepat, sementara yang lainnya tertinggal. Timbul perebutan tanah dan modal. Individu yang tertinggal iri terhadap individu yang kaya. Kondisi seperti ini berkembang menjadi keadaan perang (state of war). Masyarakat yang telah dikuasai oleh ekonomi uang ini tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang akan menjamin milik pribadi. Menurut Jhon Locke negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.5
Dari paparan diatas tampak banyak perbedaan, tetapi saya ingin melihat kesamaannya. Bahwa individu-individu telah ada sebelum ada negara Bahkan manusialah yang mendirikan negara, oleh karena negara dibutuhkan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik. Artinya negara didirikan untuk kepentingan manusia, bukan manusia diadakan supaya negara dapat terbentuk.
Negara hanya melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan sendiri dengan baik oleh masyarakat. Artinya negara hanya melengkapi, bukan menggantikan masyarakat.
Mempelajari keadaan alamiah yang digambarkan oleh Hobbes dan Locke di atas, sedikit atau banyak, tanpa negara manusia dapat berbuat untuk hidup. Artinya sebelum ada negara, manusia juga telah dapat menjalani hidupnya. Ini bearti negara didirikan untuk menbantu individu dan masyarakat, dan bukan menggantikannya.
Negara membantu individu dan masyarakat, dalam berbagai kegiatan yang tidak dapat dikerjakan sendiri dengan baik oleh mereka. Negara subsidier terhadap masyarakat. Dari pemikiran ini terbentuklah salah satu prinsip negara demokratis, yaitu prinsip subsidiaritas, yaitu negara membantu masyarakat, dan apa yang dapat dilaksanakan sendiri dengan baik oleh masyarakat, negara tidak perlu melakukannya.
Masyarakat manusia yang membentuk negara ini disebut sebagai rakyat, memegang kedaulatan dalam negara yang dibentuknya. Sejak awal, rakyat telah menentukan tujuan pendirian negara dan bagaimana negara melaksanakannya. Negara membantu masyarakat agar dapat hidup dengan baik
Kekuasaan negara harus dibatasi, dengan berbagai alasan, antara lain, agar tersedia ruang gerak masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan sebagai jaminan bagi pelaksanaan hak asasi manusia. Manusia baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat membutuhkan kebebasan, agar mereka dapat hidup wajar, sehat dan berkembang. Hak asasi manusia, antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak milik dan hak mengejar kebahagian harus didapat oleh setiap individu. Semua ini dapat terwujud kalau kekuasaan negara dibatasi.
Kekuasan negara memang kita butuhkan, antara lain untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan keadilan. Tetapi kalau kekuasaan negara menjadi tidak terbatas, sejarah memperlihatkan negara tersebut akan menjelma menjadi “monster” yang akan menindas dan membunuh rakyat sipemilik negara. Negara juga harus membatasi kekuasaannya, karena masyarakat mempunyai kemampuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan ini akan lebih baik kalau dilaksanakan oleh masyarakat sendiri, tanpa campur tangan negara.


II. Prinsip Subsidiaritas

Negara hanya melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan sendiri dengan baik oleh masyarakat. Artinya negara melengkapi, bukan menggantikan masyarakat.
Mempelajari keadaan alamiah yang digambarkan oleh Hobbes dan Locke di atas, sedikit atau banyak, tanpa negara manusia dapat berbuat untuk hidup. Artinya sebelum ada negara, manusia juga telah dapat menjalani hidupnya. Ini bearti negara didirikan untuk menbantu individu dan masyarakat, dan bukan menggantikannya.
Negara membantu individu dan masyarakat, dalam berbagai kegiatan yang tidak dapat dikerjakan sendiri dengan baik oleh mereka. Negara subsidier terhadap masyarakat. Dari pemikiran ini terbentuklah salah satu prinsip negara demokratis, yaitu prinsip subsidiaritas, yaitu negara membantu masyarakat, dan apa yang dapat dilaksanakan sendiri dengan baik oleh masyarakat, negara tidak perlu melakukannya.
Masyarakat manusia yang membentuk negara ini disebut sebagai rakyat, memegang kedaulatan dalam negara yang dibentuknya. Sejak awal, rakyat telah menentukan tujuan pendirian negara dan bagaimana negara melaksanakannya. Negara membantu masyarakat agar dapat hidup dengan baik. Apa yang dapat dilaksanakan sendiri dengan baik oleh masyarakat, negara tidak perlu menggantikannya. Misalnya organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat biarlah dikelola oleh anggotanya sendiri. Jumlah partai politik yang akan ikut pemilu ditentukan oleh masyarakat sendiri. Negara tidak perlu menentukan bahwa partai politik yang ikut Pemilu jumlahnya harus tiga, dua, atau satu. Negara hanya menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik agar dapat mengikuti Pemilu.
Tiap-tiap individu bebas memilih pekerjaan, pakaian, pendidikan, makanan, agama, hobi, dan lain sebagainya. Negara tidak perlu mengatur soal-soal seperti ini.
Prinsip subsidiaritas dilaksanakan antara lain dengan menentukan, dan membatasi kekuasaan Negara.
John Locke berpendapat bahwa tugas negara terbatas oleh tujuannya, yaitu pelayanan kepentingan masyarakat. Negara tidak berhak menggunakan kekuasaannya untuk mencampuri segala bidang kehidupan masyarakat. Negara tidak mempunyai legistimasi untuk mengurus segala-galanya. Negara yang mengurus segala-galanya adalah negara totaliter.
Persoalan besar yang kita hadapi sekarang adalah konflik antara negara dan masyarakat, bukan konflik antara berbagai kelompok masyarakat. Negara di satu sisi berupaya untuk memperbesar kekuasaannya, sementara di sisi lain masyarakat ingin mempertahankan hak kebebasan. Bukan mustahil tidak lama lagi Negara akan mengurus segalanya,dan Negara seperti ini disebut Negara totaliter,yang salah satu contohnya adalah mendiang Uni Soviet.
Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan harus ditemukan perimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Kalau perimbangan ini dapat ditemukan akan tercipta individu yang kreatif dalam masyarakat yang dinamis dan negara yang maju. Hubungan individu masyarakat dan negara menjadi harmonis dan sinergik. Agar hal ini dapat terwujud, maka negara tidak boleh melakukan semuanya, sehingga tetap tersedia ruang bebas bagi pelaksanaan fungsi-fungsi masyarakat, tanpa intervensi negara.


III.Guru dan sekolah menentukan kelulusan pelajar.

Berdasarkan prinsip subsidiaritas Ujian Nasional seharusnya dihentikan, dan penentuan kelulusan seorang pelajar ditentukan oleh guru dan sekolahnya masing-masing, karena mereka lebih tahu siapa diantara pelajar yang lulus dan yang tidak lulus. Oleh karena guru dan sekolah dapat menentukan lebih tepat pelajar yang lulus dan yang tidak lulus, maka pemerintah tidak perlu membuat Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan seorang pelajar.
Lulus tidaknya seorang peserta didik ditentukan oleh pendidik dan lembaga pendidikan tempat peserta didik itu belajar. Negara tidak berwewenang menentukan kelulusan seorang peserta didik. Negara hanya mengatur lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan kriteria yang digunakan untuk menentukan kelulusan seorang peserta didik, dan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur seperti itu.

UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diatas membagi dua tugas evaluasi, yaitu:

Evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan kepada Pemrintah dan Pemerintah Daerah, seperti yang dimuat dalam Pasal 59 ayat (1) :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.

Sedangkan penilaian hasil belajar peserta didik dipercayakan kepada pendidik dan sekolah, dimuat dalam :

 Pasal 39 ayat (2) berbunyi: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran ………., dan Pasal 58 ayat (1) berbunyi: Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
 Pasal 61 (ayat 2) berbunyi: Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Tidak satu pasal pun dalam UU No.20 tahun 2003 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan atau Pemerintah daerah untuk menentukan kelulusan peserta didik.
Digunakannya Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan peserta didik tidak menyelesaikan masalah pendidikan, tetapi justru membuat masalah baru. Pemerintah membuat peraturan, Pemerintah memberikan izin pendirian satuan pendidikan, Pemerintah melaksanakan akreditasi dan Pemerintah juga mengambil kewenangan guru dan sekolah dalam pelaksanaan penilaian peserta didik. Pemerintah tidak mempercayai guru dan sekolah yang telah diakreditasi. Mutu pendidikan tidak akan pernah meningkat dalam negara yang Pemerintahnya tidak mempercayai guru dan sekolah yang telah diakuinya sendiri.


IV.Demokrasi Menyempurnakan Dirinya Sendiri

Sistem demokrasi dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Oleh karena itu, walaupun terdapat kekurangan dalam pelaksanaannya, tetapi rakyat tetap percaya bahwa kesempatan untuk menyempurnakannya tetap ada.
Demokrasi tidak berarti sempurna di dalam segala hal. Demokrasi tidak memberikan jaminan atas kesejahteraan rakyat Tetapi demokrasi membuka kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan negara,.
Kalau masyarakat menilai Ujian Nasional merugikan dan tidak diperlukan,.masyarakat mempunyai hak untuk berjuang menuntut penghapusannya. Mekanisme demokrasi seperti ini akan membuat demokrasi selalu dapat menyempurnakan dirinya. Walaupun banyak warga masyarakat yang kecewa terhadap pemerintah, tetapi mereka masih tetap percaya bahwa masih tetap ada waktu untuk memperjuangkan aspirasi dan mengganti pemerintah melalui pemilu. Semua ini dimungkinkan oleh sistem kenegaraan yang demokratis.
Demokrasi memberikan kesempatan perubahan, agar selalu dapat menjawab persoalan masyarakat yang dari waktu ke waktu juga berubah. Perubahan ini dimungkinkan oleh karena di dalam dirinya sendiri memang disediakan mekanisme perubahan. Tetapi perlu diingat perubahan tetap dalam kerangka demokrasi, tidak berubah ke tatanan politik yang lain, karena demokrasi memang dibuat untuk tujuan tertentu dan dengan proses tertentu, yaitu demokrasi. Demokrasi dalam perjalanannya telah menghasilkan prinsip-prinsip demokrasi. Penerapan prinsip-prinsip demokrasi ini akan menjadi jaminan bahwa perubahan dalam demokrasi tetap bertujuan untuk mewujudkan masyarakat dan negara demokrasi, dan dengan cara-cara yang demokratis.







V.Negara tidak menjadi baik dari dalam dirinya sendiri

Dalam demokrasi pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan yang diperintah. Oleh karena itu dalam negara demokrasi tuntutan dan protes dari masyarakat menjadi penting dan strategis. Dengan protes, masyarakat menyatakan penolakannya terhadap suatu kebijakan pemerintah. Dengan mendengarkan dan mempelajari protes dan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat, pemerintah dapat mengetahui kebijakan apa yang ditolak masyarakat dan sekaligus mengetahui kebijakan yang mendapat persetujuan.
Pemerintahan negara berdasarkan persetujuan dari rakyat lebih mudah terwujud apabila pejabat negara dipilih langsung oleh rakyat dari antara mereka sendiri.
Pemerintahan oleh rakyat tentunya adalah pemerintahan yang diabadikan untuk seluruh rakyat, tanpa diskriminasi dalam semua aspek kehidupan kenegraan. Artinya negara harus berlaku adil kepada semua warganegara dalam aspek politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Dalam demokrasi perwakilan, kedaulatan rakyat dapat berjalan kalau partisipasi politik masyarakat yang cukup kuat. Dengan menerima demokrasi, kita harus menyadari bahwa, pemerintahan negara tidak menjadi baik dari dalam dirinya sendiri.
Argumentasinya adalah:
- Pemerintahan negara tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti apa yang menjadi kehendak rakyat, kalau rakyat tidak mengatakannya dengan jelas dan kuat.
- Kekuasaan cenderung disalahgunakan. Dictum Lord Acton berbunyi: Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
- Penyelenggara Negara adalah manusia biasa, yang sama seperti manusia lainnya mempunyai kebutuhan pribadi yang tidak terbatas.

Dengan berbagai alasan di atas, kalau kita menghendaki pemerintahan negara baik ditingkat nasional maupun daerah bertindak adil, demokratis dan melayani rakyat, maka rakyat harus mempengaruhi dan mengendalikan mereka. Siapapun yang menjadi penyelenggara negara, mereka harus memperjuangkan kehendak rakyat. Artinya partisipasi politik masyarakat harus kuat dan berpengaruh dalam proses penyelenggaraan negara, seperti pembuatan APBN, APBD, undang-undang dan Perda,dan kebijakan publik lainnya termasuk dalam bidang pendidikan seperti penentuan kelulusan pelajar.sekarang ini.
Kalau dianggap perlu masyarakat juga dapat menggunakan unjuk rasa dalam memperjuangkan kepentingan mereka,termasuk dalam menuntut penghapusan Ujian Nasional untuk mengembalikan penentuan kelulusan pelajar kepada guru dan sekolahnya masing-masing..







VI. Interaksi antara Negara dan masyarakat yang seimbang dan saling mempercayai.

Kestabilan dan kemajuan dari Negara demokrasi dihasilkan oleh interaksi yang seimbang dan saling mempercayai antara masyarakat yang berdaya dan negara yang kokoh.
Masyarakat yang berdaya dapat mengendalikan proses penyelenggaraan negara, sedangkan negara yang kokoh dapat melayani masyarakat dengan menjamin terpenuhinya Hak Asasi Manusia (HAM), menegakkan keadilan, menyiapkan kondisi yang kondusif bagi upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat. Masyarakat mempercayai Negara,demikian pula sebaliknya Negara mempercayai masyarakat,hingga terjadi interaksi yang damai,seimbang,adil,dan tulus yang akan membuat kondisi yang kondusif bagi kemajuan individu,masyarakat dan Negara secara bersamaan. Sekolah adalah bagian dari masyarakat yang sangat menentukan apakah masyarakat dan Negara tersebut akan maju atau tidak.Kemajuan individu, masyarakat dan Negara hanya dapat terwujud apabila sekolah di Negara tersebut telah lebih dahulu maju,dan kemajuan sekolah hanya dapat dicapai apabila sekolah di Negara tersebut memperoleh otonominya.Dari sekarang sampai kapanpun kita harus menyadari bahwa otonomi sekolah adalah suatu keharusan dan oleh karena itu harus terus kita perjuangkan,dengan harga semahal apapun.Tidak ada harga yang terlalu mahal untuk memperjuangkan OTONOMI SEKOLAH.
Masyarakat yang berdaya mempunyai kemampuan mewujudkan dan memelihara demokrasi. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat merdeka yang mengorganisasikan diri dalam memperjuangkan kepentingan bersama, termasuk dalam mengawasi jalannya penyelenggaraan Negara,mempengaruhi pembuatan kebijakan publik, dan memilih para pejabat negara yang sesuai dengan kebutuhan. rakyat.
Dengan berbagai organisasi independen, seperti organisasi buruh, organisasi petani, organisasi profesi, dan berbagai lembaga masyarakat lainnya, masyarakat membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara, agar tidak mengintervensi semua kegiatan masyarakat,sehingga kreativitas individu dan masyarakat tidak terpasung,dan dengan demikian kemajuan bersama dapat diwujudkan.


VII. Pembangkangan Sipil
Pembangkangan sipil adalah pelanggaran hukum oleh masyarakat tanpa kekerasan untuk membela suatu prinsip penting, yang dalam sejarah demokrasi mempunyai tempat terhormat. Pembangkangan sipil harus dibedakan dari pelanggaran hukum kriminal, dengan melihat cara dan tujuan politisnya dan dengan melihat kenyataan bahwa mereka yang terlibat tidak berusaha menghindari hukuman atas pelanggarannya.

Tujuan pembangkangan sipil biasanya untuk melawan ketidakadilan yang dibuat oleh pejabat publik atau lembaga swasta yang kuat agar diadakan perubahan kebijakan publik kearah yang lebih baik dan lebih adil. Pembangkangan sipil seyogianya dilakukan dalam kondisi yang luar biasa, dan hanya sebagai langkah terakhir.
Pembangkangan sipil yang dilaksanakan oleh Dr. Martin Luther King Jr dan pengikutnya dengan tidak mentaati undang-undang Segregasi adalah satu contoh keberhasilan dari pembangkangan sipil.Dr.Martin Luther King Jr dalam tulisannya berjudul Langkah Menuju Kebebasan menyampaikan pesan perjuangan tanpa kekerasan,antara lain:tidak mentaati peraturan dan undang-undang yang tidak adil,melakukan protes dengan cara damai,meyakinkan dengan kata-kata,tetapi kalau gagal berusaha meyakinkan dengan tindakan.-lihat dalam Mochtar Lubis 1994. Di Indonesia sekarang ini tampaknya perlu dilaksanakan pembangkangan sipil untuk menolak Ujian Nasional dan mengembalikan penentuan kelulusan pelajar kepada guru dan sekolahnya masing-masing. Sejarah memperlihatkan bahwa demokrasi membutuhkan perjuangan rakyat yang luas dan seringkali memakan waktu yang lama dan dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Para demokrat harus dapat meyakinkan masyarakat luas bahwa perjuangan bersama ini adalah untuk kepentingan semua, termasuk kepentingan Departemen Pendidikan.


VIII. Kesimpulan.

Manusia terikat pada kodratnya, yaitu: memiliki hak asasi manusia ; mampu berpikir, dan oleh karena itu mampu bertindak bebas ; sesama manusia mempunyai derajat yang sama ; dan membutuhkan pergaulan dengan sesama manusia dengan dijiwai oleh semangat persaudaraan.
Demokrasi adalah tatanan kenegaraan yang mengakui kodrat manusia. Rakyat secara bersama-sama memerintah diri mereka sendiri, dengan memilih sebagian dari mereka, menjadi penyelenggara negara, baik di lembaga legislatif, lembaga eksekutif, maupun lembaga yudikatif, diaras nasional maupun daerah.
Dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan Rakyat dan semua kekuasaan negara berasal dari Rakyat.
Rakyat membentuk negara, karena Rakyat membutuhkan negara sebagai alat untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia. Negara digunakan untuk melengkapi kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi oleh individu dan masyarakat.
Dalam negara demokrasi terjadi interaksi antara masyarakat dan negara. Kemajuan akan tercapai apabila terjadi interaksi yang seimbang antara masyarakat yang berdaya dengan negara yang kokoh, oleh karena itu gerakan pemberdayaan masyarakat harus berjalan bersamaan dengan pembaruan struktur dan prosedur kenegaraan untuk mewujudkan negara yang kokoh.
Masyarakat yang berdaya akan terwujud apabila individu-individu hidup dan bergaul sesuai dengan kodrat manusia.
Negara yang kokoh adalah negara demokrasi, yang kekuasaannya terbatas, dan fungsinya adalah melengkapi kebutuhan manusia yang tidak dapat dilaksanakan sendiri, baik oleh individu, maupun oleh masyarakat.

Republik Indonesia adalah negara demokrasi, dan oleh karena itu harus menjalankan prinsip-prinsip demokrasi.
Prinsip subsidiaritas adalah salah satu prinsip demokrasi, yang menempatkan negara sebagai sarana untuk membantu manusia mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dan bukan justru menggantikan fungsi-fungsi masyarakat.Sekolah adalah bagian dari masyarakat yang menjalankan fungsi yang sangat penting yaitu fungsi pendidikan dan pengajaran.
Pelaksanaan Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan pelajar SD, SLTP dan SLTA adalah pengambilalihan fungsi masyarakat oleh negara, suatu tindakan yang bertentangan dengan prinsip subsidiaritas dan oleh karena itu harus dihentikan.
Penentuan kelulusan pelajar SD, SLTP dan SLTA dikembalikan kepada guru dan sekolahnya masing




































Daftar Pustaka

Dahl, Robert A, 2001, Perihal Demokrasi, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia
Frans Magnis Suseno, 1991, Etika Politik, Jakarta, Penerbit PT Gramedia.
John Locke, 2002, Kuasa itu Milik Rakyat, Yogjakarta, Penerbit Kanisius.
Merphin Panjaitan, 2001, Gerakan Warganegara Menuju Demokrasi, Jakarta, Penerbit Restu Agung.
Mochtar Lubis, 1994, Demokrasi Klasik dan Modern, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 1948.
Huntington, Samuel P., 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, Penertbit PT Pustaka Utama Grafiti.
Republik Indonesia, Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
David Beetham & Kevin Boyle, 2000, Demokrasi 80 Tanya Jawab, Yogjakarta, Penerbit Kanisius.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogjakarta, Penerbit Pustaka Pelajar.

02 Januari 2010

Mozaik Peradaban dalam Terjemahan



NEGERI ini kerap alpa sejarah atau terlambat menyadari karena malas atau mungkin ketidaksanggupan untuk menulis sejarah sendiri. Pandangan ironis itu tampak pada penerbitan buku setebal bantal ini dengan sajian karangan-karangan dari para sarjana ampuh. Mayoritas 65 karangan dalam buku itu ditulis sarjana asing dengan kompetensi dan keseriusan mereka untuk membaca dan menilai Indonesia secara historis. Buku tersebut mungkin melegakan kehausan sejarah bagi pembaca, tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini dengan ratusan juta penduduknya.

Buku ini merangkum sekian pandangan tentang terjemahan dari bahasa asing ke bahasa lokal di Nusantara mulai abad ke-9 sampai abad ke-20. Pujian pantas diberikan untuk buku ini karena telah mendokumentasikan jejak-jejak sejarah Nusantara lewat publikasi terjemahan. Konsentrasi atas proyek terjemahan memang sejak lama terabaikan dalam naluri sejarah negeri ini. Pengabaian itu hendak ditebus dengan pemberian informasi, penjelasan, bukti, dan argumentasi mengenai pernik-pernik terjemahan dalam berbagai tendensi.

Pengetahuan negeri seperti terjelaskan dalam mozaik karangan mengenai terjemahan dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, Melayu, Batak, Sunda, Bali, Sasak, Aceh, Bugis, dan Makassar. Pembaca bakal merasakan petualangan sejarah mengasyikkan karena mampir ke ruang-ruang kultural yang membentang di Nusantara. Kepakaran para penulis memang mengagumkan dipahami dari ketekunan mereka melacak dan menguraikan sekian data agar bisa ditafsirkan pada masa sekarang secara relevan dan produktif. Para pakar itu, antara lain, A.H. Johns, Vladimir Braginsky, Leo Suryadinata, Doris Jademski, Uli Kozok, Imran T. Abdullah, Ajip Rosidi, Claude Guillot, James Siegel, Roger Tol, Benedict Anderson, Johan Meuleman, Jennifer Lindsay, Henri Chambert-Loir, Mikhiro Moriyama, Keith Foulcher, Edi Sedyawati, Melani Budianta, Michael H. Bodden, dan Vincent J.H. Houben.

***

Nama-nama tersebut memiliki sugesti atas sekian fokus terjemahan dalam perspektif linguistik, sastra, politik, sosial, ekonomi, agama, dan kultural. Setiap pakar memiliki kekhasan untuk menjelaskan sejarah terjemahan dengan kerangka kerja ilmiah dan penuh data. Houben dalam karangan Menerjemahkan Jawa ke Eropa: Kiprah Keluarga Winter mengajukan konklusi bahwa para penerjemah bahasa Jawa memainkan peran sangat penting dalam menjembatani budaya kolonial Belanda awal abad ke-19 dengan budaya Jawa selama berlangsungnya transisi jangka panjang dari sebuah negara kerajaan menjadi negara yang berkebudayaan canggih. Keluarga Winter merupakan contoh model peran penerjemah dalam bayang-bayang kolonial dan hasrat membumikan modernitas di Jawa.

Peran penerjemah juga tampak dalam keluarga Hadji Muhammad Moesa dalam sastra Sunda. Mereka ikut menerjemahkan sastra Eropa ke bahasa Sunda: Robinson Crusoe, Dongeng-Dongeng Pieteungeun, Tristan and Isolde, dan lain-lain. Moriyama dalam Penerjemahan Cerita Eropa di Sunda menjelaskan bahwa proyek itu dipengaruhi revolusi mesin cetak pada abad ke-19. Faktor menentukan adalah ''banyak orang Sunda merasa perlu menemukan cara pandang baru yang dapat memberikan arti pada dunia modern di sekeliling mereka''. Proyek penerjemahan membuat masyarakat Sunda dihadapkan pada imajinasi dan fakta perubahan zaman. Hal itu memicu keinginan orang untuk menjadi modern dengan ketegangan tarikan terhadap dunia tradisional dan godaan modernitas melalui praktik budaya kolonial.

Lakon-lakon penerjemahan pada masa lalu itu selalu meninggalkan jejak atau bekas mendalam yang memberi orientasi untuk proyek-proyek lanjutan. Peran penerjemah penting dan digenapi dengan peran Balai Pustaka, media massa cetak, serta institusi pendidikan dan kebudayan pada abad ke-20. Sastra masih mendapatkan perhatian besar karena secara efektif dan efisien bisa memberikan pengaruh pada kaum elite di Hindia Belanda. Pengaruh itu berbeda dengan proyek penerjemahan kitab suci dalam bahasa-bahasa lokal. Perbedaan pengaruh juga ditentukan dari mekanisme produksi dan distribusi buku. Penerjemahan dalam perkara itu memang menjadi juru bicara untuk mempertemukan perbedaan dengan kunci bahasa.

***

Uraian memukau tampak dalam karangan Keith Foulcher berjudul Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi. Judul tersebut sudah menyarankan hubungan-hubungan intim antara elemen sastra, politik, dan kondisi dunia modern. Penerjemahan sastra Eropa kentara memberi pengaruh signifikan dalam membentuk konvensi estetik modernisme di Indonesia. Efek dari proyek penerjemahan oleh pengarang-pengarang ampuh pada masa revolusi adalah pemunculan kisah kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Penerjemahan telah jadi perantara yang genit tapi menentukan.

Kondisi itu berbeda dengan keajaiban mutakhir mengenai kelimpahan penerbitan buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Chambert-Loir mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi banjir buku terjemahan dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Prancis yang mungkin melebihi angka produksi buku bukan terjemahan. Kondisi tersebut mengagetkan jika ditilik dari jenis buku terjemahan dan pola konsumsi baca dari publik. Chamber-Loi mencatat terjemahan novel Harry Potter, novel-novel John Grisham, buku-buku Chicken Soup for the Soul dalam angka penjualan kerap lebih laris ketimbang novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, atau Saman.

Dilihat dari kisah masa silam dan masa sekarang, sudah terasa ada keganjilan dan kontras. Penerjemahan memang terus menjadi proyek tak selesai untuk menandai konstruksi peradaban Nusantara dalam persilangan pengaruh peradaban-peradaban besar. Kepakaran dalam penerjemahan adalah bukti kesadaran atas laju perubahan tanpa harus konsumtif untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Ikhtiar untuk mewartakan buku-buku garapan anak negeri agar diterjemahkan ke bahasa asing juga pantas jadi agenda penting. Buku setebal bantal ini telah mengajarkan tentang ingatan sejarah dan etos dalam menekuni proyek penerjemahan sebagai salah satu fondasi peradaban. Begitu. (*)

JudulBuku: Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia)

Penyunting: Henri Chambert-Loir

Penerbit: KPG, Jakarta

Cetakan: Pertama, 2009

Tebal: 1.160 halaman

*) Bandung Mawardi , peneliti Kabut Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok
Dikutip dari www.jawapos.co.id

Satire Barthes atas Tulisan

Satire Barthes atas Tulisan
KITA tahu, Roland Barthes adalah sosok pemikir petualang yang sepanjang karirnya tak pernah berhenti memprovokasi pembaca dengan sokongan prinsip-prinsip gagasan baru. Membaca pikiran-pikiran Barthes -misalnya, mengenai dunia penulisan dan gejalanya atau tentang dunia kesusastraan berikut perkembangan kritiknya- kita seperti diajak berpikir-merenung lebih cerdas namun tetap asyik, sublim, dan konsisten. Karena itu, setiap buku barunya seolah mendedahkan ragam persoalan baru dengan sendirinya.

Pemikirannya kerap menikung dari arah yang tak terduga, seakan memang ada begitu banyak kilauan yang memikat dan menarik dari karya-karyanya. Salah satu hal menarik itu adalah konstruksi barunya atas teks/tulisan. Hal itu bermula ketika Barthes mencurigai dan mempersoalkan hakikat gagasan yang terajut dalam tulisan sebagai ''yang tak otentik/asli''. Persoalan itu jugalah yang kemudian mendasari salah satu pemikirannya ihwal keaslian (orisinalitas) tulisan. Meski dalam tahap tertentu, ide tersebut terasa sangat dilematis.
Sumber www.jawapos.co.id

Secara ideal, makna keaslian (orisinalitas) tulisan memang belum beranjak dari kemampuan seorang pengarang (author) untuk mengeramkan anasir kebaruan dalam gagasan. Dalam pemaknaan lu(g)as, sebuah karya literer dapat dikategorikan orisinal sejauh ia mampu mewartakan otentisitas gagasan; belum pernah muncul pada tataran sebelumnya. Namun, alih-alih menelurkan gagasan yang menyokong pendapat itu, Barthes seakan mengelak dan berbalik mengutarakan hal yang ambivalen. ''Tulisan orisinal tidak ada dan tidak akan pernah ada,'' kata Barthes (S.T. Sunardi, Semiotika Negativa, 2004).

Bagi Barthes, satu-satunya kekuatan yang dimiliki pengarang (author) atas tulisan yang dia tatah hanyalah menggunting dan menggabungkannya dalam sebuah rangkaian; mempertemukan berbagai potongan tulisan pada papan atau momen yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Di hadapan Barthes, sungguh orisinalitas tak pernah diam-mengendap dalam diri pengarang, melainkan hanya pada bahasa yang digunakan untuk mengemas tulisan (text). Dengan kata lain, meskipun sekadar cangkang, sebuah ide/gagasan sungguh tak dapat lepas dari tautan bahasa.

Menurut Barthes, persoalan orisinalitas tidak berhubungan dengan muatan kebaruan dalam tulisan (dalam ide atau gagasannya), melainkan hanya berkait dengan urusan rajut-merajut berbagai tulisan. Semacam rangkaian bahasa yang ter-update. Begitu pula, anggun dan adiluhungnya pikiran seseorang yang selama ini kita anggap baru, kata Barthes, bisa jadi hanya karena polesan bahasanya yang baru. Pendek kata, warna gagasannya yang dicat mengilap, selebihnya -ihwal substansi tulisan- tak pernah mengilau alias tak pernah menyatakan hal baru. Alasannya, karya cipta yang dihamparkan pengarang barangkali tak (pernah) ditatah secara otonom. Pada titik itulah Barthes seperti mengafirmasi kata-kata orang bijak pada sebaris parafrasa berikut: ''Tidak ada yang baru di bawah kolong langit''.

Sejauh dalam idealitas Barthes, hanya pada bahasa, transportasi ide/gagasan berlangsung. Gagasan akan bergerak efektif atau tidak, gampang memproduksi realitas baru atau terhambat, berkelindan dengan watak bahasa sebagai wadahnya. Dalam ranah kajian budaya (cultural studies), kegiatan seperti itu terengkuh oleh analisis struktural, dengan pertanyaan "how it is made", bagaimana sebuah teks terbentuk? Sebuah pertanyaan yang menandaskan wewenang teks untuk terfragmentasi hingga pada bagian-bagiannya yang terkecil. Sebab, sebelum dipecah, teks dalam posisi menyatu. Dan, setelah melalui tahap dan prosedur tertentu, lazim memang kembali menyatu atau disatukan. Mungkin, hanya proses seperti itulah yang dapat membuat sebuah tulisan menjadi baru/orisinal.

***

Lantas, bagaimana dengan klaim orisinal yang menandaskan syarat atau kriteria sebagai ''yang jauh dari tiruan", yang juga berarti kebaruan? Persoalan ''orisinal'' ini tentu saja menjadi sebujur kegusaran tersendiri. Bagaimana tidak, di satu pihak ia tetap kukuh mempertahankan pemaknaan yang benar-benar baru secara kemasan, lebih-lebih dalam gagasan. Sedangkan di pihak lain -termasuk Barthes- mengatakan sebaliknya. Walhasil, orisinalitas mungkin memang butuh pemaknaan ulang. Bahkan secara telak menyangkut kesungguhan analisis dan riset mendalam ihwal suatu masalah. Atau bisa jadi, hanya sebuah gagasan yang menyuarakan realitas sesungguhnya; orisinalitas harus bergantung dan menumpu sepenuhnya dari seberapa jauh kemampuan gagasan yang terbentuk melalui rajutan teks itu berdaya gema; seberapa jauh ia menjawab problematika, bagaimana cara beroperasinya; dan seterusnya. Di samping juga tetap tak lepas dari kemasan bahasa yang benar-benar ranum. Bukankah ide orisinal itu mestinya tak cuma berdegup-mendengung di ruang hampa?

Sayang, arus dan tradisi seperti itu kian hanyut dan bahkan tenggelam oleh senarai dekapan formalitas, godaan gimmick, serbuan prinsip-prinsip cipta dekaden, serta keringnya ikhtiar kreatif yang ujung-ujungnya terkapar oleh watak snobisme. Padahal, peran penting yang "seharusnya" diambil seorang pengarang -yang mulanya ditahbiskan pembaca sebagai satu-satunya subjek yang punya otoritas terhadap makna teks- betapa kian pelik dan terjal. Maka, ketika makna orisinalitas tulisan yang serba disiniskan Barthes sulit ditemukan, paling tidak dan selayaknya termaknai sebagai suatu rajutan yang dibarengi dengan perbalahan panjang serta olah pikir tak kenal henti; kesungguhan eksperimen dan kedalaman riset atas realitas sosial dan problematikanya. (*)

*) Misbahus Surur , esais, sekolah S-2 di UIN Malang