Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pelatihan IT

Pelatihan IT di BLC Kabupaten Sragen

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


31 Agustus 2009

Gairah Serambi Makkah

Oleh mohamad ali hisyam*

Selama lebih kurang sepekan muhibah di Nanggroe Aceh Darussalam, saya menjumpai sejumlah hal baru dan menarik, terlebih berkaitan dengan khazanah literasi Nusantara. Sepanjang perjalanan darat dari Medan ke Lhokseumawe, saat memasuki wilayah Aceh, pandangan saya kerap bersitatap dengan papan nama bertulisan ''Perpustakaan Gampong''. Gampong adalah sebutan untuk kampung, lingkar sosial terkecil dalam hierarki masyarakat Tanah Rencong.

Gampong pulalah titik awal dari pemulihan kembali peradaban Aceh. Sebagaimana kita mafhum, provinsi di ujung barat Indonesia itu relatif baru sembuh dari berbagai lara yang sekian lama mendera. Setelah lebih 30 tahun masyarakat dicekam konflik, baik karena sergapan daerah operasi militer (DOM) maupun tekanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), daerah tersebut juga diguncang musibah superdahsyat tsunami di penghujung 2004. Sejarah perih dan duka mengiris itulah yang sekian tahun menjadi selubung psikologis masyarakat Aceh untuk mampu bangkit dari keterpurukan. Pengalaman historis yang pahit dan datang bertubi turut membirit laju perkembangan sosial penduduk Aceh. Kendati mulai berangsur normal, panorama sosial di Aceh masih me­nyisakan tangis yang tertahan, sinisme pe­nuh ratapan, serta trauma akibat tekanan.

Satu-satunya jalan agar mereka terlepas menghirup iklim kebebasan adalah gairah dan kebersamaan. Salah satu cara yang dirilis pemerintah guna menyuluh spirit peradaban adalah menggugah minat baca dan bakat tulis masyarakat. Upaya itu diwujudkan secara simultan dan masif. Dengan program bertahap, pemerintah mendirikan perpustakaan sederhana di beberapa gampong dan ditebar di sekujur Aceh. Dilampiri slogan ''Aceh Membaca, Aceh Berjaya'', animo serta kesadaran publik hendak dipulihkan supaya mencari suasana keilmuan yang lega, dengan cara membaca. Agar lekas berbaur dengan kemajuan dan demi cita-cita merengkuh kejayaan, rakyat diajak untuk berakrab-akrab dengan dunia pustaka. Guna membuka cakrawala dunia, membaca adalah jendela yang niscaya.

Hal yang unik, letak perpustakaan gampong di Aceh selalu berdampingan dengan meunasah (surau atau musala). Fenomena itu sekaligus penanda bahwa masyarakat Aceh pada satu sisi ingin menggenggam kemajuan dunia, di sisi lain tak sudi berjauhan dengan nilai-nilai agama. Di provinsi Seribu Bukit itu, agama (Islam) adalah acuan utama. Bagi mereka, panduan syariat tak bisa ditawar dan ditukar dengan apa pun. Di lanskap sejarah nasional, terukir nama Sultan Malikus Saleh dan Kerajaan Samudra Pasai sebagai penyebar agama dan kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Menyandingkan perpustakaan gampong dan meunasah tak ubahnya simbol dari idealisme kembar orang Aceh yang senantiasa menginginkan kepentingan dunia dan akhirat harmonis berjalan dan rukun berkelindan.

Walaupun bahan bacaan di perpustakaan gampong masih terbatas, pemerintah setempat bertekad untuk terus membina dan mengembangkannya. Dengan bantuan armada mobil perpustakaan keliling, setidaknya setiap 20 hari sekali koleksi-koleksi buku di perpustakaan gampong ditambah dan disirkulasi antara satu dengan yang lain. Faktor kejenuhan pembaca disiasati melalui subsidi silang judul-judul buku baru yang menyegarkan.

Perpustakaan gampong adalah wujud dari ketanggapan banyak pihak untuk merekonstruksi bangunan sosial di Aceh. LSM Cerdas Bangsa, Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta BRR NAD-Nias adalah pihak-pihak yang berjasa di balik lahirnya unit perpustakaan yang hingga kini sudah berjumlah 42 buah tersebut. Untuk menopang program itu, pemerintah Aceh juga meluncurkan bantuan dana peumakmue gampong (pemakmur kampung) serta alokasi dana gampong yang berjumlah Rp 100 juta per tahun. Dana itu masih diakumulasi dengan sejumlah bantuan lain yang mencapai total sekitar Rp 300 juta. Respons strategis semacam itulah yang sejatinya diharapkan terus bermunculan, memberikan kontribusi nyata bagi penyemaian spirit kebangkitan penduduk Bumi Serambi Makkah.

Bagaimanapun, kita tak boleh menutup mata bahwa Aceh adalah sentrum penting dari dinamika keilmuan, sastra, dan budaya Nusantara. Wilayah tersebut menjadi bagian penting dari perkembangan peradaban rumpun Melayu di Asia Tenggara. Sejarah telah bernas menuturkan, sangatlah banyak ulama, pujangga, dan budayawan ternama yang lahir dari daerah kaya migas itu. Sebutlah beberapa di antaranya adalah Teungku Chik Pante Kulu, Hamzah Fansuri (yang dinobatkan sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu oleh Abdul Hadi W.M.), Abdur Rauf Assingkily (Syahkuala), Syamsuddin Assumatrai, hingga Nuruddin Arraniri.

Aceh juga merupakan muara dari beragam kultur dan etnis. Akronim ''A-C-E-H'' terdiri atas pertemuan antara bangsa (A)rab, (C)hina, (E)ropa, dan (H)india. Kondisi mul­tikultur itu justru mampu jadi pemacu masyarakat untuk saling menghimpun potensi menyumbangkan kontribusi positif bagi kebangkitan Aceh. Mengacu pada teori melting pot-nya Ricardo L. Garcia, kemajemukan tersebut adalah sumber beragam kekuatan yang bertemu dan bahu-membahu. Termasuk dalam pengembangan spektrum perbukuan di sana.

Demikianlah. Sepercik pengalaman di pucuk Pulau Andalas sudah memperkaya mozaik literasi kita. Ihwal kebangkitan sebuah bangsa dapat dibangun dari pembacaan dan pemaknaan kita terhadap pengetahuan yang termaktub di lembaran-lembaran buku. Cita kemajuan bisa dirancang sejak dini dan dimulai dari sendi yang terkecil, yaitu kampung. Teduh rasanya membayangkan bila seluruh daerah di seantero Nusantara sudi meniru langkah sejuk semacam ini. Menanam rimbun buku di setiap kampung. Semoga. (*)
Sumber Jawa Pos, 30 Agustus 2009

*) Mohamad Ali Hisyam, pustakawan, pengajar Universitas Trunojoyo Madura

Musyawarah Versi Habermas

Indonesia kekinian mencatatkan fakta banyaknya persoalan kebijakan yang mengabaikan aspirasi publik. Masih munculnya kebijakan-kebijakan pemerintahan di era reformasi yang mengintervensi wilayah privat masyarakat kita -seperti yang tampak dalam kasus perda-perda syariat di beberapa daerah, RUU APP, larangan terhadap Ahmadiyah- menunjukkan betapa mendesaknya studi mengenai pengambilan kebijakan publik secara deliberatif agar negara tak terjebak dalam godaan politik identitas yang menindas minoritas dan pluralitas.

Nah, F. Budi Hardiman menulis buku ini sengaja diikhtiarkan untuk menguraikannya. Tentu saja, penulisan uraiannya tidak jauh dari kapasitas keilmuannnya sebagai pengkaji yang tekun dan berbobot atas pemikiran filsuf sekaligus sosiolog berpengaruh asal Universitas Frankfurt (Jerman), Jurgen Habermas. Ya, buku Demokrasi Deliberatif: Menimbang ''Negara Hukum'' dan ''Ruang Publik'' dalam Teori Diskursus Habermas ini persisnya ingin menaruh rumusan: teori diskursus Habermas relevan untuk dipedomani masyarakat Indonesia yang belum juga mamantapkan diri dalam fitrahnya sebagai komunitas majemuk.

Sebelum membukukan karya penelitiannya ini, F. Budi Hardiman telah menerbitkan dua kajian (buku) lain tentang teori kritis Habermas. Pertama, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (1991). Buku tersebut memusatkan perhatian pada: (1) tradisi pemikiran neo-Marxis yang melatarbelakangi teori kritis Habermas, serta (2) karya awal Habermas pada 1970-an tentang filsafat pengetahuan. Kedua, Menuju Masyarakat Komunikatif (1993). Buku yang kedua ini memusatkan diri pada karya-karya Habermas sepanjang periode 1970-an dan 1980-an. Kedua buku tersebut dapat dianggap sebagai pengantar ke alam pemikiran diskursif Habermas yang menjadi fokus telaah buku ini.

F. Budi Hardiman, yang sudah mempelajari pemikiran Jurgen Habermas sejak 1990-an, kali ini benar-benar terpikat pada buku monumental Habermas yang berjudul Faktizitat ung Geltung (Fakta dan Kesahihan) (1992). Menurutnya, para kritikus Habermas telah salah menuduh bahwa Hebermas tidak lagi melancarkan ''kritik atas kapitalisme'' sebagaimana dilakukan secara progresif oleh para pendahulu sekaligus generasi pertama teori kritis, seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert Marcuse. Sebaliknya, dengan melampaui ''kritik atas kapitalisme'' itu, Habermas menginginkan suatu kondisi komunikatif yang paling mungkin guna membuka ruang-ruang diskusi rasional. Hal itu untuk membuka diskursus terkait persoalan publik dan kelindan proses pengambilan keputusan demokratis.

Jika dirunut ke belakang, terutama ke dalam karya-karya Habermas seperti Strukturwandel der Offentlichtkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik/1962) dan adikarya Theorie des kommunikativen Handelns (Teori Tindakan Komunikatif/1981), pendar-pendar teori diskursus Habermas sejatinya sudah banyak bertebaran. Hanya saja, dalam Faktizitat ung Geltung, Habermas lebih lugas dalam mengembangkan pemikiran tentang kontribusi teori diskursus berkaitan dengan hukum dan negara hukum demokratis. Ini yang kemudian ditandaskan Yudi Latif bahwa gagasan teori diskursus berguna bagi kita untuk membaca penyimpangan dari ideal-ideal demokrasi permusyawaratan yang tengah kita tata sekarang.

Dengan demikian, teori diskursus bukanlah pisau bedah baru dalam upaya kita mengkritisi dinamika masyarakat modern sekarang. Bedanya dengan teori-teori klasik dari Aristoteles, Hegel, atau Karl Marx, semisal; teori diskursus tak bernafsu untuk membongkar narasi besar ''tujuan ma­syarakat''. Akan tetapi, yang ingin ditunjukkan lewat teori diskursus adalah ''cara'' atau ''prosedur'' untuk mencapai tujuan tersebut. ''Tujuan'' itu sendiri pada gilirannya harus disepakati bersama sesuai ketaatan prosedur komunikasi yang tepat. Jadi, disimpulkan F. Budi Hardiman, teori diskursus Habermas secara radikal berorientasi pada ''rasio prosedural''.

Contoh yang relatif sederhana untuk mengilustrasikan raibnya ''rasio prosedural'' itu adalah dari cara-cara penyelesaian konflik dewasa ini. Kita bisa mencermati mulai dari tegangan antarkelompok agama, permusuhan antarsuku, kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonomi, dan sebagainya. Pada titik ini, ketika politik dimengerti sebagai ''kuasa-menguasai'' belaka, situasi-kondisi yang kurang stabil tersebut tentulah harus ''ditenangkan'' lewat persuasi, depolitisasi warga negara (seperti kebijakan floating mass pada era Orde Baru), atau bila perlu lewat intimidasi, kekerasan, dan paksaan. Nah, dari situ sejatinya sangat tampak sirkulasi kekuasaan dan resolusi konflik yang nyaris tanpa peran aktif warga negara.

Menanggapi semua itu, sedari awal dengan tegas terbaca dari judul buku, F. Budi Hardiman menawarkan model ''demokrasi deliberatif'' sebagai formula untuk membuka ruang-ruang publik dan kanal-kanal komunikasi dalam masyarakat kita. Memang, penerapan model demokrasi deliberatif itu tak serta-merta menuntaskan soal. Namun, dengan prinsip pemecahan persoalan yang toleran dan nirkekerasan, diharapkan praktik diskursus publik semakin inklusif dan fair. Catatan kritis di sini, demokrasi deliberatif tak hanya ''menuntut'' penyebaran hak-hak partisipasi, melainkan juga interaksi dinamis antara institusi-institusi resmi guna berkembangnya opini dan aspirasi politik yang tak terinstitusionalisasi (hal. 171).

Akhirnya, terlepas dari sifat buku ini yang ''filosofis'' sehingga bagi sebagian besar pembaca dipastikan bakal menganggapnya sebagai buku ''berat'', analisis F. Budi Hardiman kali ini sukses menggenapi dua bukunya terdahulu guna merumuskan sumbangsih pemikiran dalam konteks Indonesia kekinian. Dan lagi, tidak cukup bagi alumnus Hochschule fur Philosophie (Munchen) ini membuktikan ketajaman teori diskursus Habermas dibandingkan dengan sederet teori klasik tentang negara hukum seperti dari John Locke, Jean-Jacques Rousseau, atau Montesquieu -yang tentu saja mudah kita telusuri dari buku filsafat politik yang lain.

Lebih dari itu, istilah ''deliberasi'' itu sendiri sesungguhnya tidaklah asing menurut praktik kesadaran politik kita. Kata yang berasal dari bahasa Latin ''deliberatio'' -yang berarti ''konsultasi'' atau ''menimbang-nimbang'' itu sejatinya dalam leksikon politik kita juga sudah terpakai, bahkan secara kultural tertanam dalam kesejatian masyarakat kita, yakni ''musyawarah''. Tapi, ah! Bukankah kita terlampau sering terkaget-kaget terhadap serbuan penolakan undang-undang semisal, oleh sebab telah runtuhnya ruang kultur ''musyawarah''? Melalui buku ini, F. Budi Hardiman memaksa kita merenungkan kealpaan kolektif tersebut. (*)

*) M. Lubabun Ni'am Asshibbamal S. , Pemimpin redaksi BPPM Balairung UGM Jogjakarta

---

Judul Buku : Demokrasi Deliberatif: Menimbang ''Negara Hukum'' dan ''Ruang Publik'' dalam Teori Diskursus Habermas

Penulis : F. Budi Hardiman

Penerbit : Kanisius, Jogjakarta

Edisi : Pertama, 2009

Tebal : 246 Halaman
Sumber Jawapos, 30 Agustus 2009

28 Agustus 2009

Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia 2009 (LPAKI 2009)

DITUJUKAN KEPADA : Masyarakat Umum

ISI PENGUMUMAN
LATAR BELAKANG

Perpustakaan Nasional RI sebagai Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan.
Keenam fungsi tersebut memiliki arti mendalam bagi pelestarian memori kolektif bangsa (nation collective memory) yang membentuk jatidiri, karakter dan budaya bangsa Indonesia.
Keberadaan UU RI No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menjadi landasan hukum bagi penetapan kebijakan, penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di Indonesia untuk dapat menetapkan hal-hal tersebut. Perpustakaan Nasional RI berharap masyarakat dapat memberikan masukan dan saran yang membangun pasca terbitnya UU RI No. 43 tahun 2007 tersebut.
Sehubungan dengan hal diatas, Perpustakaan Nasional RI, mengadakan Lomba Penulisan Artikel tentang Kepustakawanan Indonesia (LPAKI) Tahun 2009. Lomba ini sekaligus untuk memperingati Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14 September 2009.

TEMA LPAKI 2009 :
"PERPUSTAKAAN NASIONAL RI
PASCA UU RI NO.43 TAHUN 2007
TENTANG PERPUSTAKAAN"

PILIHAN TOPIK TULISAN
1. Layanan Prima Perpustakaan Nasional RI yang Dibutuhkan Masyarakat;
2. Peran Perpustakaan Nasional RI dalam Pelestarian Budaya Bangsa;
3. Membangun Kemitraan Perpustakaan dalam Era Keterbukaan Informasi.

PERSYARATAN LOMBA
1. Peserta lomba adalah masyarakat umum;
2. Melampirkan fotokopi KTP/SIM/Kartu Mahasiswa atau identitas lain;
3. Melampirkan daftar riwayat hidup;
4. Peserta lomba dapat mengirim lebih dari satu artikel dengan judul berbeda;
5. Isi artikel harus relevan dengan tema lomba dan topik penulisan;
6. Isi artikel harus asli, bukan terjemahan;
7. Bersifat aplikatif dan inovatif;
8. Bentuk tulisan ilmiah popular, ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar;
9. Panjang artikel 7-15 halaman (10.000-15.000 karakter), ukuran kertas A4, spasi 1,5, jenis huruf
Times New Roman, ukuran huruf 12;
10.Artikel belum pernah menang atau sedang dilombakan;
11.Karya tulis dikirim dalam format Word disertai identitas pribadi (termasuk nomor telepon yang
mudah dihubungi) melalui email ke alamat:
lpaki2009@yahoo.com dan
cc. luthfiatimakarim@ymail.com
Subject: Naskah (nama peserta) LPAKI 2009
12.Karya tulis dikirim ke Panitia selambat-lambatnya hari Jumat, 2 Oktober 2009 (tanggal kirim email);
13.Panitia tidak melayani surat-menyurat;
14.Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat;
15.Naskah yang masuk menjadi milik Perpustakaan Nasional RI;
16.Naskah pemenang akan dimuat di majalah Visi Pustaka serta dimasukkan ke dalam web resmi
Perpustakaan Nasional RI www.pnri.go.id;
17.Pemenang lomba akan diumumkan di web pnri www.pnri.go.id pada awal bulan November 2009;
18.Jika di kemudian hari pemenang diketahui melanggar UU Hak Cipta maka kemenangan peserta akan
digugurkan dan wajib mengembalikan hadiah kepada Panitia.

KRITERIA PENILAIAN
1. Orisinalistas ide;
2. Pemahaman terhadap tema dan topik;
3. Kekayaan informasi yang terkandung dalam karya tulis;
4. Ketepatan menganalisis atau menafsirkan permasalahan;
5. Kekuatan data, fakta dan argumentasi dengan menyebutkan sumber rujukan yang jelas;
6. Bahasa yang digunakan komunikatif dan mudah dipahami.

HADIAH
* Juara 1: Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) dan piagam penghargaan;
* Juara 2: Rp. 4.000.000,- (Empat juta rupiah) dan piagam penghargaan;
* Juara 3: Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah) dan piagam penghargaan;
* Juara Harapan 1: Rp.2.000.000, (Dua juta rupiah) dan piagam penghargaan;
* Juara Harapan 2: Rp.1.500.000,- (Satu juta lima ratus ribu rupiah) dan piagam penghargaan;
* Juara Harapan 3: Rp.1.000.000,- (Satu juta rupiah) dan piagam penghargaan;
* Hadiah dipotong pajak yang ditanggung oleh pemenang.


PERPUSTAKAAN NASIONAL RI
JL. SALEMBA RAYA NO.28A
JAKARTA PUSAT 10002
Telp.: 021-3922669,3922749,3922855,3923116 (operator), Ext. 245 Fax: 021-3103554
E-mail: lpaki2009@yahoo.com

Generasi Neomodernis Epistemologis

Sebagai seorang santri, bercita-cita kuliah di Barat dan menjadi profesor di sana bukan sebuah mimpi yang mustahil untuk diwujudkan. Yudian Wahyudi telah membuktikan semua itu dengan tekad dan komitmen yang tinggi. Sejak nyantri di Tremas -sebuah pesantren di Pacitan, Jawa Timur- cita-cita itu terpancang kuat di dadanya meski prestasi yang ditorehkan waktu itu hanya berupa juara pidato dan mengimami salat (istisqa'). Benih-benih itulah yang memberikan spirit intelektual hingga di kemudian hari dia berhasil menembus sebuah universitas bergengsi di Amerika, Harvard University.

Prestasi akademik tersebut bagi Yudian adalah sebentuk jihad ilmiah. Dalam konteks itu, jihad lebih bersifat ijtihad -pembuktian akademik dengan menulis, mempresentasikan, dan menerbitkan makalah-makalah berbahasa Inggris dalam berbagai forum akademik bergengsi di Amerika, Australia, Afrika, dan Eropa.

Setelah kembali ke Indonesia dari tugas menunaikan jihad ilmiah di Amerika, kini kita patut mengapresiasi sepak terjang dan kiprah Yudian berikutnya. Hal tersebut sangat menarik karena setelah era Nurcholish Madjid, nyaris tidak ada yang baru dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer. Kenyataan itu tidak bisa dimungkiri karena kajian-kajian tentang keislaman sering bertumpu pada gagasan Cak Nur -sapaan Nurcholish Madjid. Dia dianggap sebagai salah seorang pemikir muslim kontemporer yang berani menerobos dinding-dinding konservatisme dan fundamentalisme yang mewabah di kalangan umat Islam.

Bersamaan dengan itu, Cak Nur ditahbiskan sebagai pemikir dengan spirit pembaruan. Apa yang kemudian menarik dari fenomena tersebut? "Demam Cak Nur" mewabah di mana-mana. Nyaris semua generasi pemikir muslim Indonesia hingga kini menjadikan Cak Nur sebagai mahaguru tanpa berusaha menandingi kehebatannya.

Kenyataan itulah yang disikapi secara kritis oleh Yudian dalam buku Jihad Ilmiah: Dari Tremas ke Harvard. Berbeda dengan buku-buku yang ditulis sebelumnya, selain kemasan bahasa yang mengalir dan penuh suasana kritik menghunjam, dalam edisi revisi ini Yudian menambahkan lima bab baru sebagai kelengkapan historis edisi pertama. Lima bab itu menyempurnakan pengalaman-pengalamannya dalam presentasi di forum-forum internasional.

Di tengah situasi generasi pemikir muslim Indonesia mengalami "kekerdilan intelektual", Yudian hadir seakan ingin membuktikan kapasitasnya bahwa menjadi seorang pemikir muslim harus berani melampaui pencapaian-pencapaian tokoh-tokoh kita. Kepada mereka yang "demam Cak Nur", misalnya, Yudian menyebut mereka sebagai kaum neomodernis ideologis, yaitu orang yang memiliki kedekatan ideologis dengan orang yang mengaku sebagai pencetus neomodernis seperti Cak Nur, tetapi tidak memiliki kemampuan literer neomodernis. Mereka hanya bisa berbahasa Inggris, tetapi tidak mampu berbahasa Arab, apalagi bahasa Prancis dan Jerman. Keterbatasan itulah, menurut Yudian, yang mengakibatkan mereka menjadi kaum neotaklidis (hlm 133).

Untuk bisa keluar dari kungkungan neomodernis ideologis yang berujung pada neotaklidis, Yudian menyarankan kita hijrah menuju kaum neomodernis epistemologis. Yaitu, orang yang bisa berbahasa Arab dan Inggris (bahkan Prancis dan Jerman) walau tidak punya hubungan ideologis dengan Cak Nur (hlm 134). Dengan kemampuan literer seperti itulah Yudian berharap siapa pun mampu dan berani mengkritik secara mendalam pemikiran-pemikiran Cak Nur, bahkan Hassan Hanafi dan Al-Jabiri, sebagaimana yang dila­kukannya di pentas internasional.

Kritik terbuka dan tak kenal kompromi itulah yang menjadi ciri khas buku tersebut. Dari bab ke bab, Yudian selalu menyelipkan kritik pedas untuk doktor-doktor Islam di Indonesia yang punya kemampuan literer sangat terbatas tapi mengatasnamakan diri sebagai neomodernis. Gejala tidak produktif itulah yang mengusik Yudian untuk mengkritik agar gelar doktor, bahkan professor, di bidang pemikiran Islam, utamanya lulusan luar negeri, tidak hanya menjadi simbol formal yang dibangga-banggakan. Karena itu, dia tidak segan-segan menyebut gerakan mereka ibarat mengaum di kandang domba, belum sampai pada level mengaum di kandang singa sehingga pantas disebut jago kandang yang meneriaki jago kandang.

Kritik pedas yang hampir mewarnai buku-buku lain karya Yudian tidak lebih sebagai suatu upaya untuk kembali menyadarkan bahwa menjadi ulama atau pemikir Islam yang serius tidak hanya (cukup) berlandasan pada satu-dua literatur. Dibutuhkan kajian yang komprehensif -tentu dengan perangkat penguasaan bahasa yang tidak sekadar Arab dan Inggris. Dalam kata pengantar karya Hassan Hanafi, Hermeneutika Alquran?(2009), Yudian mengakui bahwa kritik-kritiknya merupakan suatu strategi untuk "melampaui" pengalaman akademik "pedagang besi tua", yaitu kuliah di luar negeri dengan "mengumpulkan barang rongsokan" dan memamerkannya di Indonesia seolah-olah "barang baru".

Buku itu sangat penting dijadikan referensi untuk menelusuri pe­ngalaman akademik Yudian pada satu sisi dan memetakan ge­rakan pemikir muslim kontemporer di Indonesia pada sisi lain. De­ngan demikian, kita bisa membedakan generasi yang betul-betul bergerak dinamis menjadi neomodernis epistemologis dan yang hanya puas mengekor menjadi neomodernis ideologis. (*)

Yusrianto Elga , Alumnus PP An-Nuqayah Sumenep, tinggal di Jogjakarta

---

Judul Buku : Jihad Ilmiah: Dari Tremas ke Harvard

Penulis : Prof K. Yudian Wahyudi PhD

Penerbit : Nawesea Press, Jogjakarta

Cetakan : Edisi revisi, 2009

Tebal : xii + 187 halaman
Sumber www.jawapos.co.id

18 Agustus 2009

Belajar Filsafat kepada Agen 007

Penggemar film pasti tahu sepak terjang dan petualangan James Bond, agen Inggris MI6 yang memiliki sandi 007. Adalah novel Casino Royale karya Ian Fleming (1953) yang kali pertama memasukkan James Bond ke dalam imajinasi manusia di planet ini. Bond kian jadi sosok idola setelah film layar pertamanya, Dr No, dirilis tahun 1962. Setelah itu film-film tentang Bond diproduksi rutin hingga mencapai 22 judul, termasuk yang teranyar, Quantum of Solace (2008).

Pemeran tokoh Bond berganti-ganti, mulai Sean Connery, George Lazenby, Roger Moore, Timothy Dalton, Pierce Brosnan, hingga Daniel Craig. Satu dari setiap empat orang di muka bumi ini ditaksir sudah menyaksikan aksi jagoan pria yang digambarkan perayu ulung wanita ini.

Di balik aksi heroiknya, Bond selalu jatuh --atau menjatuhkan diri?-- dalam pelukan wanita. Maka ada sebutan Bond Girls bagi wanita-wanita yang diselamatkan Bond, rekan kerja, maupun anggota organisasi musuh yang harus melawan Bond tapi biasanya lalu jadi jatuh cinta. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang hanya tampil sebagai pemanis, tak ada hubungan langsung dengan James Bond. Mereka antara lain Ursula Andress, Eunice Gayson, dan Zena Marshall, tiga wanita cantik di film Dr No.

Selanjutnya Jane Seymour (Live and Let Die), Emily Bolton (Moonraker), Tina Hudson (Octopussy), Minnie Driver (Golden Eye), Teri Hatcher dan Michelle Yeoh (Tomorrow Never Dies), Sophie Marceau dan Denise Richards (The World is Not Enough), Halle Berry (Die Another Day), hingga Gemma Arterton, Olga Kurylenko (Quantum of Solace).

Objektivikasi merupakan penciri seri film agen 007. Ia menggunakan orang lain untuk memperoleh informasi, superioritas atau bahkan seks. Dalam filosofi Barat ''objek'' mendapatkan makna lewat kontrasnya dengan ''subjek'' --yang hidup, bernapas seperti yang dimiliki manusia, hingga yang memanipulasi benda-benda. Objektivikasi merujuk pada tindakan-tindakan di mana subjek diperlakukan sebagai objek dalam pikiran seseorang atau dalam perilaku mereka --suatu yang disebut Robert Arp & Kevin S. Decker (kontributor buku ini) sebagai bentuk dehumanisasi.

Ini juga berlaku saat Bond memperlakukan wanita. Saat bertemu Sylvia Trench (Dr No) dan Miss Caruso (Live and Let Die), tujuan tunggal Bond adalah lompat cepat dalam karung sebelum menyelesaikan misi penting berikutnya. Bond baru memandang wanita-wanita ini ada nilainya kalau mereka dapat memberikan kenikmatan seksual pada dirinya. Objektivikasi

seksual tak dipandang kedurjanaan. Demikian pula dalam kisah-kisah dan novel Fleming serta film-film populer MG/UA, objektivikasi seksual hanyalah refleksi kultur pop ''pandangan pria''. Sudut pandang yang melihat wanita sebagai yang inferior mental, fisik dan social -juga barangkali berpembawaan buruk (hlm. 293-294).

Buat Arp & Decker, objektivikasi seksual ala Bond ini menyisakan problem moral. Filosof seperti Immanuel Kant salah satu yang menentangnya. Di mata Kant, setiap orang dewasa, termasuk wanita memiliki arti penting personal dan martabat dan tidak boleh diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Cara Bond memperalat wanita dan mengeksploitasinya untuk mendapat informasi, bagi Kant merupakan puncak ketidakbermoralan. Kalangan feminis malah menyebutnya aksi dominasi pria terhadap wanita merupakan ''invasi agresif terhadap mereka yang kurang kuat''.

Kontributor lainnya, Dean A. Kowalski, seorang pengajar filsafat di University of Wisconsin-Waukesha membedah sepak terjang Bond dan Bond Girls-nya dari spektrum kosmologi ''yin & yang''. Dinukilkan adegan ke-20 Tomorrow Never Dies. Di situ James Bond dan Wai Lin mengendarai sepeda motor dikejar-kejar anak buah sang musuh Elliot Carver --raja media Inggris yang meluncurkan jaringan berita global baru dengan sasaran menjadi pihak pertama yang meliput konflik yang terjadi antara Inggris dan Cina di Laut Cina.

Awalnya Bond (Pierce Brosnan) dan Wai Lin (Michelle Yeoh) agen Red Chinese, naik motor dalam posisi normal dengan Wai Lin duduk di belakang Bond. Satu belenggu mengikat tangan Bond dan satu belenggu lagi mengikat tangan Wai Lin. Hingga beberapa sekuen, posisi ini tak berubah. Dengan posisi itu sulit bagi keduanya melihat gerombolan pengejar mereka. Bahkan keduanya berselisih soal arah pelarian diri mereka guna menghindari kejaran mobil dan helikopter antek Carver bernama Mr Stamper.

Dalam kondisi terdesak Bond berteriak ''kopling'', dan Wai Lin menginjak tuasnya karena tak bisa dijangkau Bond yang satu tangannya yang tak terbelenggu harus menyetir motor. Wai Lin lalu menyarankan belok kiri karena lebih tahu daerah ini ketimbang Bond. Dengan kerja sama yang lebih mulus, Bond bertanya, ''Berapa banyak di belakang sana?'' Wai Lin menjawab dirinya tak bisa melihat, namun Wai Lin kemudian bangkit ke bagian depan motor sehingga posisinya berhadapan dengan Bond dan dapat melihat lewat kedua bahu Bond para pengejar mereka. Alhasil cara ini membantu Bond dan Wai Lin lolos dari maut meskipun dalam posisi dibelenggu oleh Stamper.

Penonton film yang dirilis tahun 1997 ini mungkin berpikir adegan di atas sekadar kiat dan taktik biasa ketika seseorang terdesak -mirip kiat-kiat brilian tokoh Macgyver dalam serial televisi bertajuk sama yang pertama kali diputar di Amerika Serikat tahun 1985. Namun bagi Dean A. Kowalski, aksi itu bagaikan dinamika jalinan dua kekuatan yang berlawanan seperti yang digambarkan dalam simbol ''yin & yang''.

Dan manuver final dua agen ini, yakni menghancurkan helikopter musuh makin membenarkan aliansi ''yin & yang''. Bond memacu sepeda motornya ke arah helikopter, dan kemudian menyelipkan motornya ke bawah helikopter, Wai Lin melemparkan kabel kawat dan pengait ke baling-baling. Berkat kesetimbangan dan harmoni keduanya, dua agen ini menamatkan misinya.

''Yang'' mengandung makna cahaya (matahari), mewakili soliditas, dominasi dan maskulinitas. Sedangkan ''yin'' berarti kegelapan (bulan),mewakili kondisi lembut, khidmat, dan kondisi feminin. Jika ''yang'' adalah seperti pria dan ''yin'' adalah seperti wanita, maka ''yang'' tak akan tumbuh dan berkembang tanpa ''yin''. Begitu pun ''yin'' tak akan melahirkan tanpa ''yang''. Tak urung kosmologi ''yin dan yang'' ini dipercaya menjelaskan segenap fenomena semesta. Karena alam dipahami sebagai dinamika ''yin dan yang'', maka ini juga dapat menjadi model untuk bagaimana semestinya manusia berperangai (hlm. 316).

Buku James Bond & Philosophy ini memuat analisis tujuhbelas pakar atas isu-isu filosofis tersembunyi dalam dunia dobel kosong tujuh yang glamor, memperdaya, dan mengandung potensi sangat berbahaya. Pembaca akan tahu apakah Bond seorang hero Nietzschean yang lulus ''di luar baik dan buruk''? Apakah Bond yang dengan cukup aneh melanggar hukum untuk bisa menjunjung tinggi hukum? Apakah lisensi untuk membunuh yang dikantonginya membantu kita memahami etika kontraterorisme?

Meskipun harus sedikit berkerut untuk bisa paham, pembaca akan tersadar bahwa aksi-aksi Bond adalah sebentuk cermin bagi kita merefleksikan diri. Bond barangkali hanya sosok imajiner, tapi apa yang dilakukannya ada di sekitar kita --bahkan mungkin mengepung manusia modern. Buku ini mengajak kita untuk peka dan mengambil sikap moral yang pas. (*)

*) Moh. Samsul Arifin, anggota Klub Buku & Film SCTV

Monang, Identitas di Antara

Salah satu ciri manusia modern adalah upayanya menciptakan kebahagiaan hidup lewat perjuangan individual. Manusia modern percaya bahwa dari usaha keras dengan mengandalkan kemampuan diri individunya sebuah masa depan yang cerah dibuat.

Akan tetapi menjadi modern dengan mempercayakan kemampuan individunya bekerja masih perlu diuji dalam sosial modern sebagai salah satu jalan bahwa individu tersebut telah menempatkan dirinya secara memadai dalam dunia yang benar-benar berbeda dari sistem sosial yang berusaha ia tinggalkan. Salah satunya seperti tercermin dalam tokoh Hamonangan dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba (2009) karya Sihar Ramses Simatupang. Hamonangan, dengan panggilan akrab Monang, anak asli dari suku Batak di tepian Danau Toba, Sumatra Utara, percaya bahwa jalan ke kota untuk menempuh kuliah di Jakarta merupakan cara mengubah kehidupannya. Ia ke Jakarta bukan untuk bekerja tetapi kuliah. Kuliah yang perngertiannya berbeda dalam benak orang tua Monang, yaitu untuk mengubah kehidupan anaknya menjadi lebih sejahtera dan dengan sejahtera maka secara tidak langsung akan menaikkan status keluarganya di Tanah Toba. Sementara dengan kuliah di perguruan tinggi di Jakarta, menempatkan Monang dalam alur kehidupan lain secara dramatis dengan apa yang dialaminya di Tanah Toba. Tanah Toba adalah bentuk sistem sosial yang sifatnya hirarkis dengan pembagian struktur sosial yang sudah jelas tanpa mengindahkan individu sebagai satu-satunya ukuran. Ukuran yang digunakan dalam struktur sosial Tanah Toba adalah komunalitas yang terurai lewat pembagian klan keluarga dan tetua adat sebagai satu-satunya acuan nilai yang dipegang secara bersama.

Dengan kuliah di Jakarta Monang mendapatkan pemahaman bahwa acuan nilai itu ada pada individu yang mandiri berdasar rasionalitas. Salah satu bentuk kemandirian yang justru kemudian membuat Monang berada dalam nasib tidak menentu saat besama rekan-rekannya sesama mahasiswa menolak keberadaan negara dengan sistem otoriter. Ia bersama rekan-rekannya menggalang kekuatan untuk melakukan protes dalam rangka membangkang terhadap kekuatan negara yang represif atas berbagai ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat. Sikap yang diambil Monang adalah sikap khas seorang yang mendapatkan pemahaman bahwa keberadaan manusia bukan diukur oleh apa pun kecuali oleh diri individunya. Otorotarianisme yang dilakukan negara, dalam hal ini masa Orde Baru, yang secara sengaja memberangus kemampuan individu atas nama kedaulatan negara telah dan pasti bertentangan dengan nilai-nilai modern yang Monang peroleh di kampus.

Risikonya sudah jelas atas sikap yang diambil Monang terhadap pemerintah Orde Baru. Ia dikejar oleh aparat militer sehingga ia lari dan hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Pulau Jawa. Dalam serangkaian pelariannya tersebut justru puak Tanah Toba yang ia tinggalkan 6 tahun lamanya sebagai satu-satunya tempat terakhir agar ia selamat. Namun ia pulang dengan berbagai penolakan dari sang ayah. Ayahnya sungguh kecewa sebab bukan kesejahteraan yang ia jumpai pada diri anaknya tetapi individu yang kalah. Monang dalam harapan bapaknya adalah Monang dengan serangkaian pekerjaan yang bagus, mobil, dan rumah. Monang benar-benar tak berdaya berhadapan dengan tanah kelahirannya.

Lebih dari kekalahannya sebagai individu di hadapan tanah tradisionalnya, ia tambah tidak berdaya kala mendapatkan bahwa kakaknya, Ganda, tewas di tangan Hotman oleh sebab kasus sengketa tanah yang ia taruhkan di atas meja judi. Sementara janda kakaknya, Tesya, harus berpura-pura gila untuk bisa menghindar dari Impal Maruli Hosonggotan yang ingin memperistri dirinya. Hanya ibunya dan seorang tetua bernama Datu Sapalatua yang berpihak kepada dirinya. Sementara yang lain memperlakukan keberadaannya setelah lama menghilang dengan ejekan dan hinaan atas kegagalannya terlebih menjadi demonstran. Tidak ada satu pun warga yang bertanya apa itu demonstrasi, kenapa dilakukan terhadap Negara. Yang muncul justru ejekan seolah menjadi seorang demonstran bukan saja tidak bermakna apa-apa, tetapi menyebabkan ia terlunta dan kalah.

Ketidakberterimaan oleh tanah kelahirannya menjadikan Monang tidak berumah, tidak memiliki ikatan yang tetap di dunia yang bisa membuatnya damai dan sedikit terbebas dari ketidakpastian yang selalu merundungnya. Ia selalu berada dalam situasi di-antara. Tidak benar-benar berada di Jakarta, tidak benar-benar berada di Tanah Toba. Tidak benar-benar dalam alam pikir modern, tidak benar-benar berada dalam alam pikir tradisional. Monang benar-benar manusia di-antara. Penegasan situasi di-antara ini kian konkret saat permasalahan dengan Hotman dan Impal Maruli Hosonggotan selesai, Monang ditakutkan pada serangkaian serangan misterius dari orang-orang yang mengejar dengan rentetan tembakan. Monang menduga semua itu tidak lain para aparat Jakarta yang tidak henti-henti memburunya. Dalam situasi ini ia harus kabur lagi dan kali ini bersama Tesya dengan restu mertua maupun ayah dan mamaknya. Kali ini mereka hendak lari menuju Lampung. Monang berharap ia akan damai bersama keluarganya di Lampung. Namun demikian teks novel ini tidak menjelaskan apakah di Lampung ia tidak akan berhadapan dengan serangkaian masalah yang akan membuatnya harus lari. Jadi, di Lampung pun masih dalam harapan, bukan realitas yang sesungguhnya bahwa Monang bisa hidup damai.

Sikap hidup modern yang telah ia pilih di awal kehidupan Monang tidak berhasil ia raih. Justru dalam masa pelariannya diketahui betapa rapuhnya Monang. Tidak muncul satu bentuk perilaku bahwa ia bertindak atas dasar kehendaknya sendiri. Ia berada dalam tekanan antara nasibnya yang gagal di Tanah Toba, juga keberadannya yang dipandang antagonis oleh negara. Penyangkalan baik oleh negara maupun kampung kelahirannya ini menjadikan Monang seorang yang selalu goyah, diliputi kecemasan, dan tidak menemukan satu pun rasa tenteram. Monang memang tidak menyerah dalam pergulatan tersebut, tetapi Monang juga tidak sepenuhnya mampu memaklumatkan dirinya menjadi satu individu yang utuh. Ia individu yang terus pergi bukan sebab dari dirinya tetapi terpaan yang datang dari luar dirinya. Kuasa sistem yang tidak terjangkau tangannya telah menggeser setiap keputusan yang hendak ia tetapkan. Segala geraknya bukan dari sebab ia memutuskan tetapi lebih pada akibat dari apa yang tidak ia putuskan sama sekali sekalipun keputusan yang datang dari luar tersebut bukan sama sekali terlepas dari dirinya. Sebab semenjak awal ia percaya bahwa menjadi modern dengan memasuki kuliah di perguruan tinggi di Jakarta merupakan satu-satunya jalan yang dapat ia tempuh untuk melakukan mobilisasi sosial. Jika kemudian yang terjadi di kemudian hari berbeda dengan harapan semua orang, bahkan diri Monang sendiri, ini kenyataan yang mau tidak mau harus diterima. (*)

---

Judul Buku: Bulan Lebam di Tepian Toba

Penulis: Sihar Ramses Simatupang

Penerbit: Kaki Langit Jakarta

Cetakan : 2009

Tebal : 350 halaman

*) Imam Muhtarom, penulis sastra, tinggal di Jakarta