Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pelatihan IT

Pelatihan IT di BLC Kabupaten Sragen

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


29 Juli 2009

BUPATI SRAGEN MEMBUKA PESTA BUKU SRAGEN 2009

Bupati Sragen Bapak H Untung Wiyono, Selasa, 28 Juli 2009 membuka Pesta Buku Sragen 2009 yang akan berlangsung mulai tanggal 28 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009. Pesta Buku yang dilaksanakan di Gedung KNPI Sragen, ini digelar oleh Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen bekerjasama dengan Epsilon Enterprise dan IKAPI Daerah Jawa Tengah.

Pesta buku yang mengambil tema “Ceria Dengan Membaca” dilaksanakan dalam rangka menyambut HUT Proklamasi RI kd-64, tanggal 17 Agustus 2009. Pesta Buku yang mulai buka pukul 09.00 – 21.00 WIB ini diikuti oleh 25 penerbit nasional antara lain : Gramedia, Elexmedia Komputindo, Bhuana Ilmu Populer, Pustaka Zahra, Tiga Serangkai, dan Aneka Ilmu.

Pembukaan pesta buku ini dihadiri oleh Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah yang diwakili oleh Kabid Hubungan Antar Lembaga Dra. Titi Rahayu, Msi, Kepala Dinas, Badan, Bagian, Camat, dan Lurah/Kepala Desa se-Kabupaten Sragen. Selain itu tidak ketinggalan para pelajar sudah tidak sabar menunggu untuk melihat pameran.

Dalam sambutannya Bupati Sragen mengatakan bahwa membaca merupakan kunci untuk meraih sukses. Beliau berharap masyarakat di Kabupaten Sragen dapat mewujudkan visi sebagai kabupaten cerdas dengan melakukan gerakan gemar membaca.

“Dari kebiasaan membaca akan didapat ilmu, kalau ingin membudidayakan harus ada paksaan untuk gemar membaca. Saya setiap hari selalu meluangkan waktu setengah jam sebelum tidur untuk membaca,” tutur Bupati

Menurut Bupati, dengan membaca seseorang akan mampu bangkit dari kebangkrutan yang pernah dialaminya. Satu lembar halaman buku akan mampu member inspirasi untuk bangkit dari kebangkrutan menuju kesuksesan.

Dalam sambutannya, Bupati juga menyindir kondisi gedung Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten yang ada di JL. Pemuda No. 1 Sragen . Menurut beliau, gedung itu terlalu kecil untuk sebuah perpustakaan kabupaten. Untuk itu beliau berjanji akan segera membangun Gedung Perpustakaan Daerah yang representative di kawasan Technopark yang baru saja diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara itu dalam sambutannya Kabid Hubungan Antar Lembaga Dra. Titi Rahayu, Msi mengatakan bahwa buku adalah jendela ilmu pengetahuan yang sangat menentukan kesuksesan suatu peradaban. Tiada kesuksesan yang diraih tanpa membaca buku.
Selain itu, Ibu Titi Rahayu juga menyampaikan berita gembira bahwa dalam Tahun 2009 ini Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen yang saat ini dipimpin oleh Bapak Sumanto, SH. MM akan memperoleh Bantuan Dana Block Grant sebesar Rp 70 juta untuk pengadaan buku dan computer. Bantuan akan berlangsung secara kontinyu dalam kurun waktu 2009 sampai dengan 2011.

Pesta Buku Sragen 2009 ini juga dimeriahkan dengan berbagai lomba. Seperti Lomb baca puisi, lomba menggambar, lomba mewarnai, lomba fashiom swow, lomba karaoke dan lain-lain sebagaimana disampaikan oleh Kepala Kantor Perpusda Kabupaten Sragen Bapak Sumanto, SH.MM dalam laporan penyelenggaraan.

Selanjutnya Bapak Sumanto menuturkan bahwa Tujuan diselenggarakan Pesta Buku ini adalah untuk : membuka cakrawala berpikir masyarakat Sragen agar menjadi masyarakat yang cinta dan peduli pada buku; melayani kebutuhan masyarakat Sragen terhadap ilmu pengetahuan dan informasi; menumbuhkan, merangsang, mengembangkan, dan memelihara minat baca masyarakat Sragen; menyediakan buku-buku bermutu untuk keperluan pengembangan seluruh perpustakaan dan Taman Bacaan yang ada di Kabupaten Sragen; melestarikan karya ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni masyarakat Indonesia serta mewujudkan Sragen sebagai Kabupaten Cerdas Dengan Membaca.

Selamat membaca ! Merdeka !
(rfs)

Galery Foto Pesta Buku Sragen 2009





27 Juli 2009

Teks Buku Motivasi v Konteks Sosial

Oleh : Husni Anshori

Item buku motivasi serasa begitu marak beberapa waktu belakangan. Entah itu besutan anak bangsa maupun impor atawa terjemahannya. Selain itu, bejibun pula karangan sejumlah motivator dadakan yang sebenarnya juga hanya menjajal peruntungan mengamini kecenderungan pasar. Siapa tahu bernasib mujur dapat memulung omzet melimpah. Jangan heran bila stoknya lumayan mendominasi aneka dagangan gerai pustaka di berbagai tempat. Orang-orang pun kesemsem pada remik-remik komoditas literasi musiman tersebut.

Jamaknya buku motivasi berkitar-kitar memacu dorongan psikis masyarakat untuk senantiasa istiqamah berupaya melejitkan endapan potensi diri, cerdas meretas rintangan apa pun demi kesuksesan, serta pantang menyerah dalam menyibak tiras kemungkinan penggapaian impian (kebahagiaan) hidup. Bertolak dari sekelumit liku-liku rekam jejak pribadi, biasanya sang penganggit keukeuh berbagi pengalaman tentang kiat-kiat menapak pencerahan dengan segudang kemusykilannya. Ditambah sugesti layaknya adagium: banyak jalan menuju Roma; senyampang ada kemauan pasti angan dapat terwujud nyata; dalam kerumitan tersembunyi serpihan kemudahan; dan sebagainya; lewat adonan kata-kata yang sengaja diracik sedemikian menyihir pikiran.

Dengan begitu hadirnya yang sempat booming telah menoreh kesan tersendiri, seiring jagat perbukuan yang terasa ikut bertambah merona. Pilihan literatur untuk sekalian bukumania juga menjadi lebih variatif. Sebagian elemen masyarakat pun terlipur lantaran mungkin eksistensinya dirasa sebagai ''teman curhat'' semata wayang --tatkala empati antarindividu seolah kian langka-- guna memperbincangkan problematika yang teramat memasung asa. Utamanya bagi kebanyakan sesama yang kerap dirajam sial bertubi-tubi dan berulang-ulang terjerembab ke deretan liang kegagalan, hingga tertatih-tatih sekadar ingin nimbrung menyeruput nikmatnya seteguk oase dunia fana. Kasihan deh lu!

Yang menggiurkan, konon saban eksemplarnya mengemas khasiat suplemen pembugar batin dalam rangka meneruskan episode kelana meraih seonggok cita. Praktis, sebagian penikmatnya kadang termotivasi ngudar kembali capaian berikut ''PR'' yang tertunda kemarin, membikin perhitungan baru, menggenapi bekal (wawasan, keterampilan, mental, serta spiritual), lantas bertekad menggiatkan ikhtiar yang makin progresif usai mendarasnya. Sedangkan mereka yang telah sekian kali menyesap buah keberuntungan dengan gelimang duniawi selama ini, tidak mustahil terlecut pula meraup lebih banyak kepuasan lainnya.

Namun bukan tidak mungkin di antara khalayak memendam apresiasi berbeda soal buku motivasi. Dalam rubrik ini, beberapa pekan silam, misalnya, mencungul tulisan yang memertanyakan senarai bagiannya. Lepas dari itu, upaya mencerap esensinya memang butuh penelaahan kritis. Jika ditelisik, gaya penulisan rerata keluarannya cenderung menggurui. Lalu wacananya terkesan sebatas legit secara idealisme, aplikasinya rada susah dicerna pemikiran masyarakat awam. Sensasinya yang semula cukup meyakinkan akan datangnya kenyataan manis sewaktu-waktu pun tak jarang kemudian seakan membuai hasrat belaka.

Lebih dari itu, muatan gagasan di dalamnya belum sepenuhnya menghadirkan win-win solution terutama untuk menolong kalangan yang bermasalah mentas dari keterpurukan. Meski lazimnya berbalur cerita perjuangan merengkuh kesentosaan hidup pengampunya maupun orang-orang sukses ternama yang mengharu-biru sebagai penguat, tapi masih terbilang sangat normatif, umum, bahkan subjektif. Hendaknya diingat bahwa karakteristik jumlah, tingkat keruwetan, faktor-faktor penyebab, dan jalan keluar persoalan serta kompetensi problem solving masing-masing person tentu berlainan; sehingga bantuan pemecahannya kudu spesifik dan kiranya tak cukup semata dengan menyemburkan motivasi yang bersifat pukul rata.

Anehnya lagi, bias pesona gugusan teks umumnya buku motivasi sering kontras dengan rona konteks sosial pada tataran realitas kontemporer. Coba tengok, kala para sedulur dimotivasi untuk tetap selalu optimistis melakoni keseharian betapa pun peliknya, fakta-fakta empiris kondisi dalam negeri kesannya terus merangsang buncahan rasa pesimistis. Hampir semua aspek kehidupan bangsa ini masih jauh panggang dari api. Wabah pragmatisme, egosentris, atau individualistis gampang banget menjangkiti siapa pun tiap saat. Jajaran elite penguasa beserta pemimpin tampak semakin rentan mengalami ekstasis kekuasaan, kekayaan, serta kesenangan syahwat. Parahnya, eksploitasi ketidakberdayaan rakyat jelata perlahan menjadi tren miris searah penularan life style kapitalis.

Sementara, tak sedikit penulis bacaan macam itu, setelah menuai berkahnya, tergiur perkoncoan elitis sembari keranjingan menelurkan sekuel karya --galibnya kalau sudah diterbitkan berbandrol relatif mahal-- di sela-sela kesibukan meladeni permintaan jasa konsultasi, pelatihan, dan sebagainya di berbagai forum eksklusif dengan salam tempel segepok. Mungkin bisa dihitung jari mereka yang menghibahkan sebagian buku torehannya atau bergiat menularkan inspirasi secara gratis kepada kaum duafa yang sempoyongan menghadapi kemelut takdir. Bukan bermaksud underestimate, tapi di manakah mereka ketika --sebagaimana dirilis koran ini sebelumnya-- ribuan kawula marginal terjangkit depresi di tengah ingar-bingar derap perkotaan semisal Jakarta dan tidak tertutup kemungkinan sama halnya kota-kota besar lainnya? Adakah mereka getol turut menggelorakan optimisme segenap korban semburan lumpur Lapindo yang bertahun-tahun merana ''sebatang kara'' memperjuangkan masa depan yang terampas hingga detik sekarang?

Pada gilirannya serangkum indikasi demikian membersitkan ekspektasi musim buku motivasi bisa dinikmati oleh semua komunitas tak kecuali mayoritas wong cilik, tak hanya dimonopoli segelintir golongan berduit. Sebab, rasanya kelompok awal itulah yang lebih memerlukan motivasi dan juga uluran tangan. Alangkah lebih --menukil istilah Pak Bondan ''Mak Nyus'' Winarno, sang begawan kuliner-- top-markotop lagi andaikan penulisnya (motivator) sudi meluangkan sedikit kerepotan ''turun gunung'' untuk menebar kesejukan sekaligus merebakkan ghirah peningkatan kualitas nasib civitas akar rumput.

Bagaimana pun sebuah karya yang kaya makna dan faedah ialah curahan ide yang bukan hanya berdimensi kepentingan artifisial, melainkan lebih merepresentasikan dimensi sosial bahkan andil konkrit pencetusnya demi kemaslahatan seluruh umat. Selebihnya, motivasi terkeren menyemburat dari lubuk diri sendiri. Wallahu a'lam!

Melihat SBY dalam Sanjungan

''The changes taking place in Indonesia today are among the most remarkable development in the Muslim world. The country's transition from authoritarianism has proved that as a democracy, Indonesia can be culturally vibrant and economically prosperous.''

Kata-kata di atas mengawali tulisan Majalah Amerika Time untuk menandai masuknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia pada 2009. Tulisan itu dibuat Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia,

Anwar melanjutkan komentarnya dengan mengatakan bahwa sejak menang Pilpres 2004, SBY berhasil membuat negerinya tetap maju meski dalam resesi global sekarang ini. Anwar juga mengingatkan tantangan-tantangan besar di depan. Kemiskinan masih merajalela di Indonesia, dan pemerintah harus terus melanjutkan perbaikan infrastrukturnya yang rusak.

''Businesses are confronted with a bewildering array of regulations, and the country pays a heavy price in corruption and bribery,'' tulis Anwar Ibrahim.

Atas penghargaan Time itu, editor buku ini, Dr Dino Patti Djalal, diutus SBY untuk mewakilinya memenuhi undangan Time Gala Dinner 2009 di New York, bersama putra SBY, Eddy Baskoro. Dalam acara di Lincoln Center pada 5 Mei 2009 itu, Dino berkumpul bersama tokoh-tokoh dunia pilihan Time itu, di antaranya Barack Obama, ekonom Paul Krugman, Evan Williams (penemu Twitter), musisi John Legend, dan lain-lain. Dino mengaku merasakan energi positif yang luar biasa dari tokoh-tokoh tersebut. Hal ini memberinya inspirasi untuk membuat buku ini, karena ia merasa masih banyak orang di negeri ini yang dililit energi negatif dan budaya sinisme.

Buku ini berisi opini 100 tokoh Indonesia, plus beberapa jurnalis dan akademisi luar negeri. Isinya memang puji-pujian alias sanjungan kepada SBY dari berbagai perspektif dan bidang. Di antara tokoh-tokoh itu adalah mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Akbar Tandjung, Alwi Shihab, mantan Kapolri Da'i Bachtiar, Prof Dr Emil Salim, Gita Wirjawan (Presiden Direktur JP Morgan), budayawan Goenawan Mohamad, Ketua PWI Pusat Margiono, Dubes RI di Australia S. Wirjono, Wawali Surabaya Arif Afandi dan beberapa jurnalis luar negeri seperti Derwin Pereira dari Singapura, dan sejumlah akademisi termasuk Donald K. Emerson.

Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang kini menjadi Dubes RI di Kerajaan Denmark, menilai SBY sebagai pemimpin yang selalu melindungi dan membela anak buah. SBY juga percaya penuh pada bawahannya. Selama menjadi Jaksa Agung, dirinya tidak pernah diintervensi SBY dalam arti negatif terhadap kasus-kasus yang ditangani kejaksaan. ''Seringkali malah SBY memberi semangat dan dorongan untuk bekerja keras,'' kata Abdul Rahman Saleh.

Gita Wirjawan, presiden direktur JP Morgan dan direktur Ancora International, tertarik pada potensi Indonesia di bawah SBY dengan menyebut kemungkinan negeri ini menjadi ''angsa hitam''. Ini adalah suatu istilah untuk suatu kejadian yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. ''Sukses luar biasa Google adalah suatu ''angsa hitam'', seperti juga kejadian 11 September 2001 dan hancurnya pasar keuangan global. Dan Indonesia, bisa mengejutkan dunia secara positif menjadi ''angsa hitam''.''

Senada dengan Gita Wirjawan, budayawan Goenawan Mohamad mengatakan, jika terpilih lagi, kemungkinan SBY akan meninggalkan sebuah warisan yang tak kalah penting dari para pendiri republik: sebuah demokrasi, sebuah pemerintahan yang bersih (melalui reformasi birokrasi yang berani) dan sebuah negeri yang akan bisa meneruskan keadaan untuk sejahtera.

Figur Santun

Keberadaan Wawali Surabaya Arif Afandi dalam buku ini menarik, karena ia merupakan satu-satunya birokrat aktif yang ikut menyumbangkan tulisan. Dalam opininya, Arif tertarik mengemukakan bagaimana SBY telah menjadi personifikasi sopan santun dalam politik. Melejitkan suara yang mendukung Partai Demokrat akhir-akhir ini, menurut Arif, adalah berkat penampilan SBY.

Arif mengatakan, di mata masyarakat, SBY dianggap sebagai figur yang santun. Tidak pernah memaki orang. Malah sering dimaki-maki lawan politiknya. Tidak pernah menyerang orang. Tapi lebih sering dapat serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak.

''Gaya berpolitik SBY yang santun ini seakan menjadi antitesis bagi periode kepemimpinan nasional sebelumnya yang serba gegap gempita,'' tulis Arif.

Dari tokoh luar negeri, Takashi Shiraisi, Wakil Presiden Nationale Graduate Institute, University of Tokyo, memuji SBY yang dinilai mampu bekerja sama dengan para profesional dan politisi.

Membaca buku ini memang dapat menimbulkan kebanggaan pada pimpinan nasional. Dan memang, tidak bisa dibantah bahwa SBY memiliki banyak keunggulan. Ketika lulus AKABRI pada 1973, ia memperoleh predikat lulusan terbaik. Saat menjadi pimpinan Pasukan Pengamat PBB di Bosnia pada 1990-an, ia juga banyak mendapat pujian.

Kelemahannya, buku ini nyaris tanpa kritik. Sepertinya SBY tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Kenyataannya, SBY sebagai manusia biasa tak luput dari salah dan khilaf, apa pun latar belakangnya. Buktinya, setelah ledakan bom di dua hotel mewah Jakarta belum lama ini, SBY tampak kurang terkontrol kata-katanya. Presiden tampak emosional, sehingga pernyataannya dinilai kontraproduktif. Seperti dikatakan pakar komunikasi Effendi Gazali, presiden saat itu sedang mengalami kesedihan dan pukulan yang mendalam. ''Presiden sedang sedih, marah, dan terpukul akibat teror bom tersebut,'' kata Effendi Gazali.

Kata-kata Derwin Pereira, jurnalis Singapura, barangkali penting diperhatikan. ''Untuk melihat warisan SBY, lihat kinerjanya lima tahun ke depan,'' katanya.

Sebuah pernyataan yang tepat. (*)

Judul Buku : Energi Positif: Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY

Editor : Dr Dino Patti Djalal

Penerbit : Red & White Publishing, Jakarta

Cetakan : Pertama, 2009

Tebal : 404 halaman

*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku

SUSUNAN ACARA PESTA BUKU SRAGEN 2009

1. Selasa, 28 Juli 2009
Pukul 10.00 WIB – selesai Pembukaan Oleh Bapak Bupati Sragen
Pukul 12.00 – 14.00 WIB Parade Becak
2. Rabu, 29 Juli 2009
Pukul 13.00 – 15.00 WIB Pentas Seni Tradisional
3. Kamis, 30 Juli 2009
Pukul 09.00 WIB – selesai Lomba Baca Puisi (Pelajar SMP)
4. Jumat, 31 Juli 2009-07-25
Pukul 09.00 – 11.00 WIB Lomba Menggambar untuk SD Kls 4 – 6
(Tema Hari Kemerdekaan)
5. Sabtu, 1 Agustus 2009
Pukul 09.00 – 11.30 WIB Lomba Mewarnai untuk TK dan SD Kelas 1 – 3
Pukul 15.00 – 17.00 WIB Lomba Fashion Show Untuk SD
Tema Batik Casual
6. Minggu, 2 Agustus 2009
Pukul 09. – Selesai Lomba Karaoke

Untuk kegiatan lomba kontak person hubungi 08886708477 (Mas Dwi)

20 Juli 2009

Pencarian Identitas Imigran di Amerika

Jika Anda tengah patah hati, agaknya novel ini layak menjadi teman. Betapa tidak, novel ini, The Rug Merchant (Pedagang Permadani), juga mengisahkan patah hati Ushman Khan, sang tokoh utama, seorang pedagang permadani Iran yang beremigrasi ke Amerika atas cinta sejatinya.

Diceritakan Ushman beremigrasi ke Amerika demi kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan istrinya, Farak. Ushman selalu memimpikan suatu saat dapat membawa istrinya ke New York, meninggalkan Tabriz. Kebahagiaan Faraklah satu-satunya tujuan ia berkelana sejauh itu. Bayangannya akan Faraklah yang membuatnya bertahan menahan keras dan sepinya sendirian di negeri orang.

Apa mau dikata, Farak pujaan hatinya ternyata mengkhianatinya. Ia mengandung janin laki-laki lain setelah ditinggalkan suaminya merantau. Ushman sangat berharap janin itu tidak akan selamat, seperti lima janin lain darinya yang pernah dikandung Farak sebelumnya, yang selalu mengalami keguguran. Namun, takdir berkata lain, janin yang ini justru bertahan.

Kejadian ini ternyata tidak mampu menghapus cinta Ushman begitu saja. Ushman mau menerima keadaan itu dan masih meminta istrinya bergabung dengannya di Amerika. Ia berjanji akan merawat bayi itu seperti anaknya sendiri. Ushman tak pernah bisa membayangkan hidup tanpa istri.

Tapi istrinya menolak karena ia telah mengajukan perceraian dan akan hidup dengan ayah bayi itu di Istanbul. Ini membuat Ushman mengerti pada akhirnya, bahwa keengganan istrinya bergabung dengannya selama ini bukanlah karena tidak yakin Amerika akan cocok untuknya, tapi karena ia tidak yakin telah mencintai Ushman.

Cinta sejati sepertinya memang tak bisa dimusnahkan begitu saja, apa pun yang terjadi, karena jauh setelah kejadian itu, Ushman masih sering bolak-balik ke bandara, mengkhayalkan akan menemukan istrinya di antara para penumpang yang turun dari pesawat. Di bandara inilah --saat kesepian tak tertahankan-- Ushman bertemu Stella, gadis Amerika yang berusia separo usianya. Stella dengan jiwa mudanya mengingatkan Ushman akan keceriaan yang tak lagi dimilikinya. Stella-lah kemudian yang membuatnya sadar bahwa memaafkan --di samping pengorbanan-- adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari cinta. Ushman pada akhirnya dapat berdamai dengan cinta yang tak pernah bisa digapainya.

Melalui novel yang segera akan difilmkan oleh Fox Searchlight Pictures, produser Slumdog Millionaire, ini sang penulis dengan fasih menuturkan lika-liku hidup imigran di Amerika. Tentang gegar budaya (culture shock) yang hampir selalu dialami mereka yang menjejakkan kakinya di negara yang mereka percayai sebagai ''tanah harapan'' yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik ini.

Meg Mullins, penulis jebolan Universitas Columbia ini, menggambarkan dengan lugas inferioritas dan kecanggungan yang kerap dirasakan para imigran di Amerika yang tak jarang menganggap diri mereka adalah warga negara kelas dua di negara adikuasa itu.

Perbenturan antara budaya konvensional serta restriktif khas Timur Tengah, khususnya Persia, tentang relasi antarinsan dengan budaya bebas, ekspresif, dan spontan gaya Amerika ditampilkan dengan menawan dalam novel ini. Riset penulis mengenai corak serta seluk-beluk sejarah permadani --background novel ini-- yang menjadi salah satu kekayaan dan kebanggaan Persia juga patut diacungi jempol.

Namun sayangnya, seperti novel-novel serupa, sebutlah The Kite Runner atau A Thousand Splendid Suns, novel ini juga menceritakan hanya sisi-sisi gelap serta sikap hipokrit (baca: munafik) sebagian budaya dan penduduk muslim Timur Tengah. Novel ini, misalnya, seperti juga dua novel yang tadi disebut, menceritakan bahwa perselingkuhan dan perzinahan toh ternyata juga bisa terjadi di negara yang memberlakukan hukum Islam dalam pemerintahannya.

Ini mungkin sah-sah saja dan tidak akan dianggap berpihak pada budaya Barat yang diklaim superior jika saja juga dibarengi dengan penggambaran mengenai sisi-sisi positif budaya serta perilaku muslim di negara-negara Islam seperti halnya Iran dalam novel ini atau Afghanistan dalam dua novel lainnya tadi. Tapi absennya hal ini dalam novel-novel tersebut bisa menjadi pembenaran anggapan sementara kalangan yang menuduh bahwa novel-novel semacam ini adalah alat propaganda untuk menyudutkan Islam dan mengagungkan budaya Barat.

Bagaimana pun, jika kita bisa mengesampingkan segala macam prasangka serta mampu melihat dari sudut pandang yang netral dan jernih, novel ini tetap layak dibaca karena mengingatkan kita untuk mengakui kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat manusiawi kita. (*)

*) Eka Kurnia Hikmat, alumnus Fakultas Psikologi Unpad. Bekerja di Sekolah Cikal, Jakarta Selatan

Judul Buku : The Rug Merchant, Pedagang Permadani

Penulis : Meg Mullins

Penerbit : Bentang Jogja

Cetakan : I, Mei 2009

Tebal : viii + 314 halaman
Sumber Jawa Pos, 12 Juli 2009

Bimbingan Teknis Pengelolaan Perpustakaan Untuk Pengelola Perpustakaan, Mahasiswa, dan Masyarakat Umum.

Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perpustakaam, Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen bermaksud menggelar Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Perpustakaan.

Kami yakin Anda memerlukan proses pembelajaran yang lebih bersifat praktis dan aplikatif ! Pembelajaran sekaligus praktik nyata bersama ahlinya.

Mengapa Bintek ini penting ?
1. Bintek ini merupakan jembatan bagi Anda untuk lebih memahami proses pengolahan dan pelayanan bahan pustaka di perpustakaan !
2. Bintek ini akan meningkatkan ketrampilan Anda dalam mengklasifikasi bahan pustaka secara lebih mendalam, lebih praktis, dan lebih aplikatif !
3. Bintek ini akan membuat Anda lebih terampil dalam membuat katalog !
4. Bintek ini akan membantu kalian menjadi pustakawan yang betul-betul siap kerja !

Materi apa yang diajarkan ?
1. Klasifikasi DDC
2. Katalogisasi
3. Administrasi Perpustakaan
4. Problem Solving
Kapan pelaksanaanya ?
1. Pendaftaran peserta sekaligus pembayaran biaya dilayani setiap hari pada jam kerja mulai pukul 08.00 WIB s/d 14.00 WIB di Kantor Perpusda Kabupaten Sragen Telp. (0271) 892721 JL. Pemuda No. 1 Sragen 57215. Kontak Person Hubungi Mbak Indah (08157681268) & Mbak Sulis (081329455548).
2. Setiap peserta dapat mendaftarkan diri secara langsung atau via email ke perpustakaansragen@gmail.com
3. Kontribusi bagi setiap peserta Rp 200.000 (Bagi pendaftar via email dapat dikirim via wesel pos)
4. Setiap peserta akan memperoleh : modul, buku klasifikasi DDC dan alat tulis serta sertifikat.
5. Bintek akan dilaksanakan selama 3 hari jika sudah terkumpul minimal 40 peserta.
6. Bintek ini terbuka untuk mahasiswa maupun pengelola perpustakaan baik dari Sragen maupun di luar Kabupaten Sragen.

Mengisukan Ekologi Pikiran

SELAIN ekologi hayati yang berupa hutan, gunung, dan lautan, ternyata ada juga ekologi lain, yaitu dunia ciptaan manusia yang berupa abstraksi mental, gagasan serta cara mengolah realita. Inilah ekologi pikiran. Dalam ekologi pikiran, berbagai hal seperti tren, bahasa, ideologi, gaya hidup, dan sejenisnya, muncul, menghilang ataupun bertahan. Ekologi pikiran menjadi penting karena manusia hanya mampu memahami realitas sejauh apa yang mampu dipikirkannya. Tapi, di luar apa yang mampu dipikirkannya selalu ada sesuatu yang lain.

State of Fear, novel fiksi-ilmiah karya Michael Chrichton, menyoroti ekologi pikiran untuk membahas isu pemanasan global. Layaknya Dan Brown dengan Da Vinci Code-nya, Chrichton adalah penulis yang piawai mengombinasikan fakta dan fiksi sehingga keduanya menyatu dalam cerita. Dengan logika yang runut disertai puluhan catatan kaki yang merujuk berbagai data, jurnal, dan literatur, Chrichton mengajak pembaca untuk melihat secara lebih jernih isu pemanasan global.

Isu pemanasan global adalah bagian dari politik yang memanfaatkan ekologi pikiran. Dalam budaya modern, manusia bisa diatur hanya ketika ada suatu ancaman yang membuat mereka takut. Di era perang dingin, isu yang digunakan adalah ''komunisme'' yang dikonstruksi sedemikian rupa agar orang takut dan dengan demikian berjalan di ''rel'' tertentu.

Ketika perang dingin usai, dikhawatirkan manusia bebas dari rasa takut dan menjadi berani sehingga sulit dikuasai. Oleh karena itu, wacana baru perlu digulirkan. Dipilihlah isu pemanasan global. Masyarakat dikondisikan sedemikian rupa agar meyakini bahwa pemanasan global adalah ancaman terbesar bagi bumi kita saat ini. Dengan ketakutan yang ada, maka orang bisa diarahkan untuk berjalan di ''rel'' tertentu.

Isu pemanasan global terutama mengangkat pelelehan es di Antartika karena meningkatnya panas bumi. Emisi karbon dioksida yang berlebih menyebabkan lubang di ozon sehingga bumi bertambah panas. Guna menurunkan kadar karbon dioksida --yang juga menjadi sumber polusi-- maka negara-negara sepakat menandatangani Protokol Kyoto, kecuali Amerika.

Lewat tokoh-tokoh fiksi: Peter Evans (pengacara), George Morton (miliuner), Richard John Kenner, Sanjong Thapa dan lain-lain; Chrichton merangkai fiksi dengan data-data dari berbagai jurnal, literatur, dan situs yang juga bisa diakses pembaca lewat internet. Melalui data-data tersebut ditemukan bahwa pelelehan es di kutub bukan terjadi sejak era industri, melainkan sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Bahkan menariknya, volume es di kutub sebenarnya justru bertambah dalam beberapa tahun terakhir.

Sedangkan perihal suhu bumi yang meningkat, lewat sejumlah data ditunjukkan bahwa tidak ada peningkatan seperti digembar-gemborkan. Penelitian menunjukkan bahwa pada kota-kota kecil dengan penduduk sedikit dan relatif tidak ada penambahan penduduk, tidak ditemukan peningkatan suhu seperti halnya pada kota-kota besar dengan penduduk padat serta mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kesimpulannya, peningkatan suhu lebih disebabkan kepadatan penduduk dan bukan sebuah pemanasan yang terjadi secara global. Dengan demikian, ''kondisi ketakutan'' (state of fear) atas pemanasan global adalah ekologi pikiran yang diciptakan lewat politik, legal, dan media.

Ekologi pikiran sebenarnya sudah sering dibahas tapi selalu saja menarik. Michael Foucault pernah melakukan penelitian mengenai bagaimana diskursus membentuk cara berpikir masyarakat mengenai kebenaran. Jacques Lacan juga pernah mengidentifikasi bahwa masyarakat tertata adalah masyarakat yang bisa diatur karena ancaman kastrasi (baca: konsekuensi hukuman). Demikian pula Jean Baudrillard yang mengemukakan simulakra (simulasi tanpa rujukan realitas).

Sederet pemikir postruktralis mulai Nietzche sampai Zizek, membahas ekologi pikiran dengan sudut pandang dan istilahnya masing-masing. Mereka ibarat Morpheus yang menawarkan pil merah atau pil biru pada Neo di film Matrix. Kau telan pil biru, cerita berakhir dan kau bangun di ranjangmu serta percaya apa pun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di Negeri Ajaib dan melihat sejauh mana lubang kelincinya. Ingat, mereka hanya menawarkan realitas. Tak lebih dari itu. (*)

---

Judul Buku : State of Fear

Penulis : Michael Chrichton

Penerjemah : Arif Subiyanto

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : I Maret 2009

Tebal : 627 halaman

*) Audifax, Research Director di SMART Human Re-Search & Psychological Development

Library 2.0

Oleh: Agus M. Irkham

BUKU tak pernah sendiri. Ia senantiasa berkumpul dengan buku lainnya. Baik secara fisik, yang tertata di rak buku, perpustakaan, dan toko buku, maupun secara substansial (isi). Maka benar jika ada yang mengatakan buku yang terbit saat ini sejatinya merupakan hasil pembacaan atas buku yang terbit di masa lalu. Sejak kelahirannya, buku tak pernah sendirian. Setiap buku selalu lahir bersama, dan melahirkan buku-buku lainnya.

Tidak ada satu pun buku di dunia ini yang berdiri sendiri. Ia selalu menjadi bagian dari buku lainnya. Kita cenderung mengait-kaitkan/menggandengkan isi buku satu dengan lainnya. Adalah tugas penulis untuk mencari, dan menemukan ragam ucap dan ekspresi kebahasaan yang berbeda (baru) atas satu subjek pembahasan yang sama. Itu sebabnya dalam dunia perbukuan muncul istilah buku berbalas buku.

Sebagaimana lahirnya suatu teori: tesis, antitesis, sintesa; demikian pula buku. Dengan begitu, buku yang lahir saat ini, merupakan himpunan upaya manusia mencari kebenaran suatu teori, dalam tingkat yang lebih tinggi. Lahirnya suatu buku bukanlah sesuatu yang sudah jadi/final/selesai. Melainkan sedang menjadi (becoming). Maka, jangan heran, di waktu bersamaan, ada sementara pihak yang fanatik terhadap satu buku, tapi ada juga yang mengharamkannya. Sebab, dinilai sebagai bentuk pemaksaan secara halus (hegemoni) satu kelas (ideologi) kepada kelas (ideologi) lainnya.

Tiga Nilai Dasar

Ada beberapa nilai dasar yang harus dipahami dari kenyataan buku yang tak pernah sendiri itu. Pertama, buku mempunyai nilai di luar bentuk fisiknya. Bukti yang paling bisa dilihat dari value ini adalah penataan buku di rak buku. Mereka tidak diletakkan berdasarkan ukuran fisik (tebal-tipis, panjang-pendek, lebar-sempit), tapi berdasarkan kesamaan isi. Mereka memunyai hak yang sama untuk didaras.

Kedua, ketika satu buku diterbitkan, maka sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks. Artinya, tiap pembacanya memunyai kebebasan menentukan cara pembacaan dan pemberian makna terhadap buku itu. Termasuk pilihan untuk tidak membacanya.

Ketiga, munculnya perpustakaan sebagai bentuk konsekuensi nyata perpanjangan alamiah dari upaya terus-menerus memperbesar himpunan buku (kumpulan dari kelompok-kelompok buku--terciptanya berbagai bentuk data, informasi, dan pengetahuan-- yang saling bertalian satu sama lain).

Mengingat perpustakaan, awalnya merupakan wadah bagi buku yang tak pernah sendiri, otomatis ia menjadi lembaga yang bersifat terbuka pula. Terbuka bagi pembaca buku yang memunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, minat dan ketertarikan berbeda.

Perpustakaan diharapkan menjadi institusi budaya. Tempat bagi tiap orang untuk mengembangkan dan memelihara budaya yang berbasis pada tulisan. Perpustakaan menjadi tujuan orang-orang yang ingin menimba nilai-nilai penting dari sebuah budaya. Ia harus menjalankan fungsi memproduksi, menjaga, dan menyebarluaskan nilai-nilai budaya membaca.

Selain itu, perpustakaan hendaknya juga berfungsi sebagai memori kolektif. Sebuah kenangan bersama yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk mempertahankan warisan kebudayaan (cultural heritage) mereka. Semua orang memunyai kesempatan yang sama dalam membaca hal yang sama (Laxman Pendit, Mata Membaca Kata Bersama, 2007; 135)

Namun, perpustakaan-perpustakaan milik pemerintah yang ada baik di tingkat kabupaten dan provinsi, belum sepenuhnya berfungsi demikian. Perpustakaan dikelola lebih sebagai tempat menyimpan buku. Pustakawannya pun tidak berinisitif mengambil posisi sebagai penggerak utama (prime mover) kerja-kerja kreatif program keberaksaraan. Perpustakaan ditempatkan hanya sebagai pendukung teknis dari institusi lain. Bukan menjadi sesuatu yang ''otonom''.

Dari sinilah mulai muncul gerakan minat baca (dan tulis) dari komunitas literasi. Basis gerakan komunitas literasi biasanya berupa pembentukan perpustakaan. Hingga disebut sebagai perpustakaan komunitas. Perpustakaan komunitas adalah gerakan keberaksaraan yang berpamrih menghilangkan batas antaranggota masyarakat dalam membaca, dan mengembalikan fungsi perpustakaan sebagai tempat ke mana seseorang dapat memeroleh kembali haknya untuk membaca buku yang ingin dibacanya. Pada titik ini, perpustakaan komunitas hendak mengembalikan kemerdekaan fungsi dan peran perpustakaan itu sendiri.

Generasi kedua

Selain bermekarannya berbagai perpustakaan komunitas, perkembangan perpustakaan (wadah buku yang tak pernah sendiri) ditandai pula dengan pergeseran sistem simpan dan temu-kembali, yang semula manual (katalog, koleksi, dan pelayanan berbasis atom/kertas) berubah menjadi digital/otomasi (berbasis image/byte/sistem komputer). Cara pertama dapat kita sebut sebagai perpustakaan generasi pertama. Sesudahnya bisa disebut sebagai perpustakaan generasi kedua (library 2.0).

Ciri paling kentara dari library 2.0 adalah terjadinya relasi interaktif, multiarah, dan partisipatif antara pengguna dan pustakawannya, serta sistem kerja dan koleksi yang bersifat kolaboratif (dari banyak sumber) nan dinamis. Pada titik ini, perpustakaan generasi kedua menjadi wadah paling ideal bagi himpunan buku yang tak pernah sendiri itu. Praktik library 2.0 di Indonesia dapat ditandai dengan mulai berkembangnya software sistem otomasi perpustakaan (SOP). Baik yang bersifat gratis (open source, seperti ''Senayan'' dan ''Athenaeum Light'') maupun yang berbayar.

Library 2.0 mensyaratkan adanya pustakawan yang melek teknologi, bersahabat (friendly), mau berbagi, gaul, aktif di situs jejaring sosial (facebook, friendster), mahir menulis, sekaligus narsis. Dalam logika library 2.0, upaya ''menjual'' citra diri berada dalam satu tarikan napas dengan tujuan memasarkan perpustakaan. Oleh karenanya tiap pustakawan wajib mempunyai blog/website pribadi.

Muncul pertanyaan-sangkaan klise: siapkah para pustakawan dan perpustakaan di Indonesia (terutama perpustakaan pemerintah) menghadapi perubahan tersebut? Saya kira, daripada sibuk menjawab pertanyaan itu --yang besar kemungkinan pasti bersifat reaktif sekaligus mencari pembenaran/pemakluman-- lebih baik mereka segera insaf. Bergegas melakukan transisi kelembagaan, menyangkut sistem, keterampilan (skill) dan sikap (atitude). (*)

*) Agus M. Irkham, Instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca!
Sumber Jawa Pos, 19 Juli 2009

Boediono, Bandul yang (Terus) Bergeser



Disertasi Rizal Mallarangeng Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Co­m­munity, and Economic Policy Change di Ohio State University (OSU), Columbus, Ame­­rika Serikat, mengonfirmasi sejumlah hal.

Pertama, aktor non-negara (komunitas epistemis liberal/KEL), yakni jaringan intelektual di luar pemerintahan, ternyata punya andil dalam mewacanakan serta mendesakkan gagasan atau paham liberal dalam mengemudikan ekonomi Indonesia (1986-1992). Kedua, pemihakan intelektual ternyata tak selamanya konstan.

Rizal menemukan pergeseran pemihakan dari tokoh semacam Sumitro Djojohadikusumo, Sjahrir atau Goenawan Mohamad. Ketiganya bergerak dari kiri ke kanan. Semula sangat memfavoritkan sentralisme dengan peran negara yang menonjol, akhirnya berubah menjadi pro-pasar, swasta, dan investasi asing.

Begitu halnya Boediono, kandidat serius wapres periode mendatang berdasarkan hasil quick count lembaga survei. Sebelum paham liberal memengaruhi kebijakan ekonomi Soeharto (1986-1992), peraih doktor ekonomi bisnis di Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat tahun 1979 ini sebetulnya telah menancapkan visi ekonomi yang lebih orisinil. Bersama (alm) Mubyarto, Boediono ikut menggagas ekonomi Pancasila.

Pemikirannya ini ia tulis dalam satu bab bu­ku Mubyarto ''Ekonomi Panca­sila'' yang diterbitkan BPFE UGM, 1981. Jadi, secara geneologis dan kronologis, pandangan ekonomi Bo­ediono sebetulnya berbasis so­­sialisme atau kiri.

Peran Boediono memang sepi dari publikasi, setidaknya jika dibandingkan dengan sang mentor Mubyarto. Ia tergolong sosok yang mengambil ''jalan sunyi'', karena jarang atau tak pernah terlibat debat serius di ruang publik. Selepas studi doktoral ia konsentrasi mengajar di UGM, jauh dari hiruk- pikuk debat publik yang ''celakanya'' terkonsentrasi di Jakarta.

Dalam buku ini Boediono menggambarkan siapa dirinya, terutama apa soko guru pandangan ekonominya, bagaimana me­nerjemahkan itu semua dalam k­e­bijakan dan selanjutnya aksi-aksi konkret. Tak lupa dikemukakan kelindan antara ekonomi dan demokrasi.

Ihwal ekonomi Pancasila atau kerakyatan, Boediono jelas mendukung penuh. Ia getol mengisi fondasi sistem ekonomi tersebut. Baginya paling tidak lima hal harus diusung. Pertama, adanya peran dominant koperasi dalam kehidupan ekonomi. Kedua, diterapkannya rangsangan-rangsangan yang bersifat ekonomi maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian. Ini sekaligus kritik terhadap paham neoklasik (dan lalu dilanjutkan neoliberalisme) yang menjatuhkan manusia sekadar ''economic man''. Ekonomi Pancasila bermaksud menyeimbangkan antara lower motief dan higher motief manusia.

Ketiga, adanya kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan sosial. Keempat, diberikannya prioritas uta­ma pada terciptanya suatu perekonomi­an nasional yang tangguh. Dan kelima, sistem desentralisasi diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi. Namun, Boediono jauh lebih praktis dan konkret; karena ia menunjukkan bagaimana operasi sistem ekonomi ini ketika berhadapan dengan inflasi, pengangguran, dan ketimpangan neraca pembayaran (hal. 46-65).Meski begitu, Boediono tidak terkungkung pada mazhab ekonomi. Ia lentur, ka­lau tidak bisa dibilang pragmatis. Globa­lisasi yang kerap dimaknai sebagai jalan masuk perdagangan bebas, bagi Boediono, ada­lah suatu kenyataan sejarah yang akan terus bersama bangsa ini. Baginya menutup diri atau melawan arus globalisasi bukanlah pilihan realistis. Sikap yang terbaik bagi suatu negara adalah pragmatis (hal.36).

Sebaliknya, ia ingin bangsa ini mendalami dan menguasai seluk-beluk ope­rasional globalisasi dan kemudian mena­ta/merumuskan langkah-langkah kon­kret dan operasional agar menikmati buah dari globalisasi tersebut. Sembari ''welcome'' pada globalisasi, Boediono menekankan betul agar pemerintah dan pelaku ekonomi fasih menjalankan ekonomi pasar nasional (dipresentasikan saat Kongres ISEI 2006). Dengan demikian, Indonesia perlu membangun dan meningkatkan standar kinerja perangkat-perangkat sistem ekonomi pasar dalam negeri untuk bisa bertarung di arena internasional. Perangkat institusional itu meliputi demokrasi yang kompatibel dengan sistem ekonomi pasar modern; law and order; mata uang yang stabil, lembaga keuangan yang andal dan pasar yang kompetitif; serta sistem perlindungan sosial (pengurangan kemiskinan, jarring pengaman sosial hingga social security system). Dari sini, pembaca bisa tahu bahwa pasar mendapat tempat utama di mata ekonom yang terakhir menjabat gubernur Bank Indonesia ini.

Menurut Boediono, demokrasi memerlukan fondasi ekonomi. Mengutip studi empiris 1950-1990 yang dilakukan di banyak negara, rezim demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita 1.500 dolar AS (dihitung berdasarkan purchasing power parity/PPP) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada penghasilan per kapita 1.500-3.000 dolar AS, daya hidup demokrasi menjadi 18 tahun. Dan negara dengan penghasilan per kapita di atas 6.000 dolar AS, daya hidup demokrasinya jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500. Indonesia dengan penghasilan per kapita 4.000 dolar AS pada 2006, baru dua per tiga jalan menuju batas aman bagi demokrasi. Inilah mengapa negara kita harus memprioritaskan pembangunan ekonomi untuk mengurangi risiko kegagalan demokrasi (hal. 6-7).

Sayangnya, buku ini hanya mengumpulkan esai-esai ekonomi Boediono hing­­ga 2007. Pembaca tak bisa menemukan jawaban lang­sung dari kandidat wapres ini atas label neo­lib yang dilekatkan lawan po­litik, seb­a­gian ekonom dan media massa pada dirinya. Bi­sa dimaklumi karena buku ini ''kejar tayang'' terkait dengan kampanye Pilpres 2009. Padahal Boediono sangat se­rius menimpali tudingan padanya saat dekla­rasi di Sabuga Bandung. Di atas podi­um, ia berujar, negara tak boleh tidur dan ha­rus jadi piranti yang efektif untuk mengatur pasar dan menciptakan kesejahteraan ba­gi rakyat.

Dengan cara itu, Boediono seolah ingin me­nampilkan diri sebagai Keynesian seper­ti jadi gejala umum di Amerika Serikat, negara pengampanye mazhab neoliberal. Apa pun manusia adalah makhluk dinamis. Da­lam waktu ia bisa berubah, se­perti lonceng ia dapat bergerak ke kiri dan kanan. Studi Rizal menyebut Kwik Kian Gie ter­ma­suk jaringan KEL antara 1986-1992, ki­­ni mantan orang dekat Me­gawati itu ba­rang­­kali telah bergerak ke te­ngah atau kiri. Mungkin juga Boediono yang kerap di­juluki ''The man to get the job done'' ini. Yang pasti, jika benar SBY-Boediono me­menangkan Pilpres 2009, maka ia adalah ekonom kedua yang terpilih sebagai RI 2. (*)

*) Moh Samsul Arifin, Anggota Klub Buku & Film SCTV

Judul Buku : Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?

Penulis : Boediono

Penerbit : KPG, Jakarta

Cetakan : I, Juni 2009

Tebal : xvi + 149 halaman
Sumber Jawa Pos, 12 Juli 2009

Belajar Islam Kepada Pujangga



Jogjakarta, 30 Mei 2009, KH A. Mustofa Bisri menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Sebagaimana disebut dalam sambutan dekan Fakultas Adab, gelar ini adalah penghargaan atas jasa-jasa Gus Mus dalam mengembangkan ilmu kebudayaan Islam lewat kerja-kerja nyata. Karya-karyanya dinilai menyuarakan Islam yang menyejukkan, Islam yang mengentaskan, Islam yang mengayomi, Islam yang membebaskan, dan Islam yang mencerahkan.

Setiap orang yang mengenal Gus Mus, baik secara langsung maupun hanya melalui karya-karyanya, akan sepakat dengan pendapat di atas. Bahkan, seperti yang diutarakan Emha Ainun Nadjib, gelar itu terlalu kecil untuk memberi harga bagi jasa-jasa Gus Mus yang sedemikian besar, tidak hanya bagi umat Islam tapi juga bagi bangsa Indonesia.

Di tengah pusaran zaman yang mengantar para pemimpin berlomba-lomba berebut kekuasaan politik, Gus Mus masih tetap sabar dan setia berdiri di pinggir mengurus soal-soal kebudayaan. Sebagai kiai, penyair, seniman, dan budayawan, sampai sekarang Gus Mus masih tekun menulis esai, mencipta puisi dan cerpen, melukis, berceramah, dan mengasuh pondok pesantren. Sebagaimana dulu saat Orde Baru berjaya, dia berjuang bahu-membahu bersama para penegak demokrasi dan HAM membela nasib rakyat kecil yang selalu menjadi korban pembangunan.

Buku Gus Mus, Satu Rumah Seribu Pintu ini, dengan segala keterbatasannya, berusaha merekam jejak-jejak langkah itu. Sebagaimana tajuknya, buku ini adalah kumpulan tulisan dari 29 orang yang dianggap paling dekat dengan Gus Mus, secara biologis, pertemanan, maupun pemikiran. Masing-masing mengungkapkan kesan dan penilaian terhadap sosok pribadi dan karya-karya sang tokoh. Beberapa menuliskan kritik sastra terhadap puisi dan cerpennya. Yang lain berkisah tentang pengalaman-pengalaman intim bersamanya. Ada juga yang menelaah pemikiran-pemikirannya seputar soal keagamaan dan kebangsaan.

Perihal kepenyairan, dengan membaca beberapa puisi Gus Mus, Jamal D. Rahman menemukan pada diri Gus Mus sosok ulama dan penyair bersatu secara paripurna. Puisi-puisinya merefleksikan pertemuan kesadaran religius dan bangunan intuitif pada satu titik: dia bersifat sangat personal sekaligus sosial. Pada puisinya yang paling sunyi sekalipun, seperti Sajak Putih Buat Kekasih dan Seporsi Cinta, kita akan tetap merasakan dimensi sosial yang hendak diperjuangkan. Dengan kata lain, Gus Mus telah menghadirkan angin segar dalam blantika sastra Indonesia. Puisi-puisinya adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka (hlm. 30).

Sedangkan Maman S. Mahayana mencermati beberapa cerpen Gus Mus sebagai representasi dari realitas masyarakat (Islam-pesantren) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Menurut Maman, kehadiran cerpen-cerpen Gus Mus tidak sekadar memperkaya tema cerpen Indonesia, tetapi juga menawarkan pandangan baru tentang terjadinya pergeseran peran kiai. Hal ini bisa kita baca pada cerpen Lukisan Kaligrafi, Ngelmu Sigar Rasa, dan Gus Jakfar. Di dalamnya terdapat sebuah pertanyaan besar: di manakah peranan para kiai hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan politik ikut mempengaruhi perilaku masyarakat? (hlm. 41).

Tentang ke-ulama-an Gus Mus, mungkin tak ada satu orang pun yang hendak mempertanyakan. Dalam pandangan Acep Zamzam Noor, tak banyak tokoh NU yang unik dan lengkap seperti Gus Mus. Konfigurasi iman, akal, dan rasa menyatu dalam dirinya. Bahkan, Acep berani berkhayal seandainya tokoh-tokoh NU semuanya santai seperti Gus Mus, mungkin Indonesia akan aman. Mungkin jamiyah NU akan tenang dan damai. Mungkin politisi NU tidak akan kampungan dan kekanak-kanakan. Tapi sayangnya, masih menurut Acep, posisi seperti yang dipilih Gus Mus bukanlah posisi yang seksi di mata anak-anak muda NU. Mereka lebih tertarik terjun ke dunia politik praktis (hlm. 127).

Lebih jauh lagi, Goenawan Mohamad menilai Gus Mus sangat dekat dengan apa yang disebutnya sebagai ''etika kedlaifan''. Ini tercermin dari perkataan Gus Mus dalam sebuah wawancara: ''Saya khawatir terhadap orang yang merasa sudah sempurna, lalu menganggap yang lain jahanam semua. Ini malah berbahaya. Orang yang memutlakkan diri sendiri itu sudah syirik, minimal syirik samar, karena yang mutlak benar itu hanya Allah.''

Bagi Goenawan, Gus Mus berbicara tentang hubungan antara manusia dan kebenaran, tidak sebagai sesuatu yang mutlak. Dia selalu mengingatkan bahwa Kebenaran hanya datang dalam wahyu, sesuatu yang dahsyat, sesuatu yang menyebabkan pingsan, dan ketika bangun, si pingsan berubah, bersetia kepada apa yang ditinggalkan kebenaran itu. Tapi jejak adalah jejak: sesuatu yang dikonstruksikan oleh yang datang kemudian. Orang sering lupa bahwa ada jarak antara ''jejak kebenaran'' dan ''kebenaran'' itu sendiri (hlm. 182).

Di sinilah kita menjadi sadar, di balik kebesarannya, Gus Mus hanyalah manusia biasa. Buku ini menyuguhkan pengalaman-pengalaman unik yang hanya mungkin dikisahkan oleh orang-orang yang benar-benar dekat dengannya. Seperti puisi Taufiq Ismail yang bercerita tentang pengalamannya bersama Gus Mus menghadiri Festival Puisi Mirbid di Iraq pada 1989. Di dalam puisi ini kita bertemu dengan kehangatan persahabatan antara Gus Mus, Taufiq, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM., Leon Agusta, dan Hamid Jabbar, lengkap dengan berbagai kisah lucu dan kekonyolan masing-masing.

Ada juga kisah Zawawi Imron, yang pada pertengahan 2008 diajak Gus Mus berkeliling Timur Tengah tanpa membayar ongkos sepeser pun. Saat makan bersama di sebuah hotel di Madinah, Gus Mus yang datang belakangan mengambilkan air minum untuk Zawawi yang sudah duduk makan lebih awal tapi lupa air minum. Zawawi benar-benar terkesan karena dirinya sebagai murid diperlakukan dengan demikian terhormat oleh sang guru.

Yang paling menarik adalah apa yang diceritakan Ienas Tsuroiyya, putri sulung Gus Mus yang juga istri Ulil Absar Abdalla. Dalam kisah Ienas kita diperkenalkan akan sosok Gus Mus sebagai seorang ayah yang bisa menjadi sahabat bagi seluruh anggota keluarganya. Dalam hal perjodohan putra-putrinya, misalnya, Gus Mus sangat demokratis. Dia mempersilakan putrinya memilih dan memutuskan sendiri calon suaminya, suatu hal yang langka di dunia pesantren.

Akhirnya, buku ini memang tidak mungkin menghadirkan gambaran yang utuh tentang sosok Gus Mus. Bahkan, 99 persen hanya menggambarkan sisi baik Gus Mus, atau dengan kata lain hanya memuji. Meskipun demikian, di balik minimnya kritik, kita tetap mendapatkan banyak hal yang memang layak untuk kita pelajari dan teladani di tengah keterpurukan bangsa tercinta ini. Di tengah kecamuk politik yang semakin hari semakin memanas, bangsa ini membutuhkan oase untuk menyegarkan diri: pujangga yang konsisten menjaga jarak dengan politik demi memelihara keutuhan bangsa. Adakah yang lebih indah daripada sosok kiai yang mengisi ceramah keagamaannya dengan membaca cerpen dan puisi? Sedangkan di tempat lain kita masih sering bertemu orang-orang yang memekikkan ''Allahu Akbar'' dengan penuh kebencian. (*)

---

Judul Buku : Gus Mus, Satu Rumah Seribu Pintu

Penulis : Goenawan Mohamad dkk.

Penyunting : Labibah Zain dan Lathiful Khuluq

Penerbit : LKIS, Jogjakarta

Cetakan I : Mei 2009

Tebal : xxii + 282 halaman

*) Ahmad Badrus Sholihin, mantan ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta periode 2005-2006
Sumber Jawa Pos, 19 Juli 2009

13 Juli 2009

Bimbingan Teknis Pengelolaan Perpustakaan Angkatan I s/d III Tahun 2009

Pada tanggal 17 s/d 19 Juni 2009 Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen sukses menggelar acara Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Perpustakaan Angkatan Pertama. Kegiatan ini diikuti oleh 44 peserta dari Mahasiswa D-2 Perpustakaan UT Pokjar Kabupaten Sragen. Acara di buka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen, Drs. Gatot Supadi MBA. MM.

Sukses ini terus berlanjut dengan digelarnya Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Perpustakaan Angkatan ke-2 pada tanggal 24 s/d 25 Juni 2009 (44 peserta) serta angkatan ke-3 pada tanggal 1 s/d 3 Juli 2009 (46 peserta). Saat ini 70 % peserta angkatan ke-4 sudah terdaftar.

Menurut para peserta, Bintek ini sangat bermanfaat untuk memahami aplikasi ilmu perpustakaan secara nyata. Materi Bintek yang menekankan pada vokasi atau ketrampilan dalam klasifikasi dan katalogisasi sangat membantu para mahasiswa untuk lebih mahir, lebih ahli, dan lebih percaya diri ketika melakukan proses klasifikasi.

Klasifikasi bahan pustaka yang dipandang sulit terasa lebih mudah ketika disampaikan secara apik oleh tutor senior di Kantor Perpusda Kabupaten Sragen, Romi Febriyanto Saputro, S. IP yang juga pemenang pertama LOmba Menulis Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia tahun 2008.

Begitu pula dengan katalogisasi yang dipandang ruwet, ternyata begitu mudah dilakukan. Sesuai dengan amanat tutor katalogisasi, Ari Ginartanto. Tutor yang berjenggot lebat ini menyampaikan dengan penuh komunikatif materi katalogisasi.
Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit.









03 Juli 2009

Bimbingan Teknis Pengelolaan Perpustakaan Untuk Mahasiswa D-2 UT/Pengelola Perpustakaan Angkatan Ke-4 dan seterusnya

Rekan-rekan mahasiswa/pengelola perpustakaan tercinta,
Memasuki masa liburan tutorial, Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen bermaksud menggelar Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Perpustakaan.

Kami yakin kalian memerlukan proses pembelajaran yang lebih bersifat praktis dan aplikatif ! Pembelajaran sekaligus praktik nyata bersama ahlinya.

Mengapa Bintek ini penting ?
1. Bintek ini merupakan jembatan bagi kalian untuk lebih memahami proses pengolahan dan pelayanan bahan pustaka di perpustakaan !
2. Bintek ini akan meningkatkan ketrampilan kalian dalam mengklasifikasi bahan pustaka secara lebih mendalam, lebih praktis, dan lebih aplikatif !
3. Bintek ini akan membuat kalian lebih terampil dalam membuat katalog !
4. Selalu ada kesenjangan antara dunia perkuliahan dengan dunia kerja. Bintek ini akan membantu kalian menjadi pustakawan yang betul-betul siap kerja !

Materi apa yang diajarkan ?
1. Klasifikasi DDC
2. Katalogisasi
3. Administrasi Perpustakaan
4. Problem Solving
Kapan pelaksanaanya ?
1. Pendaftaran peserta sekaligus pembayaran biaya dilayani mulai tanggal 3 Juli 2009 mulai pukul 08.00 WIB s/d 14.00 WIB di Kantor Perpusda Kabupaten Sragen Telp. (0271) 892721 JL. Pemuda No. 1 Sragen 57215. Kontak Person Hubungi Mbak Indah (08157681268) & Mbak Sulis (081329455548).
2. Setiap peserta dapat mendaftarkan diri secara langsung atau dikoordinir oleh Ketua Kelas masing-masing Pokjar
3. Kontribusi bagi setiap peserta Rp 200.000
4. Setiap peserta akan memperoleh : modul, buku klasifikasi DDC dan alat tulis serta sertifikat.
5. Bintek akan dilaksanakan selama 3 hari mulai 9 Juli 2009
6. Bintek ini terbuka untuk mahasiswa maupun pengelola perpustakaan di luar Kabupaten Sragen.

Ibu Kota Buku

Oleh Muhidin M. Dahlan*

Beirut, kota yang kerap dikutuk sebagai salah satu ibu kota yang paling rajin memproduksi teror dan kekerasan di kawasan samudera pasir, menjelma menjadi kota buku paling semarak di tahun ini. Ibu kota Lebanon itu terpilih sebagai ibu kota buku dunia (World Book Capital) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Program yang bernama ''a city the World Book Capital for year'' ini sudah berlangsung sejak 2001. Kota Madrid menjadi kota pembuka untuk pelaksanaan program ini. Lalu berturut-turut Alexandria (2002), New Delhi (2003), Antwerp (2004), Montreal (2005), Turin (2006), Bogotá (2007), Amsterdam (2008), dan sekarang Beirut.

Pemilihan kota itu bukan disandarkan pada sistem kompetisi, melainkan lewat mekanisme penunjukan. Untuk kepentingan itu UNESCO membentuk sebuah dewan bersama yang digandeng dari beberapa lembaga perbukuan internasional berwibawa. Di antaranya: International Publishers Association (IPA), International Booksellers Federation (IBF), dan International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA).

Dewan bersama itulah yang kemudian menggodok kota-kota yang layak dijadikan sebagai ibu kota buku saban tahun berjalan. Bahkan untuk 2010, dewan ini sudah menetapkan ibu kota buku dunia berikutnya, yakni Ljubljana (Slovenia).

Kota yang ditunjuk itulah yang mendapat kesempatan merayakan buku dengan caranya masing-masing selama setahun. Beirut sendiri, seperti dikabarkan situs resminya, menggelar di seluruh penjuru kota sekira 120 peristiwa buku.

Memang mengejutkan keterpilihan Kota Beirut. Belasan tahun kota ini menjadi panggung teater perang sipil yang menakutkan, pabrik bom mobil, dan dentum banalitas kekerasan lainnya yang tak putus-putus merundung.

Tapi bagi mereka yang memahami agak lebih dalam jiwa Beirut, akan tahu bahwa jangkar dunia sastra dan tradisi intelektual Timur Tengah pernah tertancap di batin kota ini. Menurut penulis Beirut Fragments: A Memoir--yang fragmennya pernah dimuat di New York Review of Books pada 1990, Jean Said Makdisi, kawasan Hamra yang menjadi pusat gravitasi kota tak bisa diabaikan perannya sebagai kawasan ''an almost boundless tolerance and freedom of thought''.

Sejak 23 April 2009 hingga 23 April 2010, kalimat Said Maksidi itu seperti menemukan jawabannya. Ke-120 peristiwa buku yang digelar menunjukkan bahwa Beirut adalah kota literasi yang kaya dan layak diperhitungkan. Di sana pelbagai ajang perbukuan dipertontonkan. Seperti konferensi internasional aktivis buku dan kebudayaan ihwal konflik Arab-Israel, training perpustakaan dan seminar taman bacaan, dialog audiobooks untuk kalangan buta, dunia penerjemahan Beirut, akar dan perkembangan pers, buku anak, festival puisi dan prosa, festival akbar seni rupa, patung, musik, dan seni video, dan seterusnya.

Dengan mandat keterpilihan sebagai ibu kota buku itu, pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Siria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.

Yang tak bisa dilupakan bahwa rahim Beirut pernah melahirkan pujangga besar dunia, Gibran Khalil Gibran, yang dalam satu putaran hidupnya telah menyumbang literasi cinta dan perdamaian yang paling menakjubkan di dunia. Pada momentum ini kemudian Gibran National Committee membuat semacam Gibran Fest dengan menampilkan wajah produksi karya-karya Gibran yang telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa dunia. Termasuk salah satunya yang paling tajir penerjemahan Gibran adalah Indonesia. Saking tajirnya, karya-karya Gibran yang bersifat cinta-sufistik itu menjelma menjadi karya-karya anak remaja yang gaul abis. Tentu itu bukanlah ulah Gibran, melainkan kreasi penerbit-penerbit mini di Indonesia yang memodifikasi Gibran semau-maunya menjadi ini dan itu.

Seakan mengembalikan spirit damai yang diteaterkan karya-karya Gibran di panggung literasi dunia, pemerintah kota dibantu para aktivis buku dan kebudayaan, LSM, dan kantong-kantong kreativitas Beirut menjadikan ajang World Book Capital sebagai jawaban dari kebudayaan dan dunia buku atas konfrontasi yang tiada akhir antara Arab-Israel. Usaha ini sekaligus meneguhkan kredo bahwa buku bisa menyatukan dan mengukuhkan keragaman, sementara politik rasialisme memisahkan, mempertajam gap keragaman, dan mengobarkan perang.

Untuk perayaan keragaman itu pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Syria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.

Dan Beirut pun berpesta dan menari mabuk dengan buku sepanjang tahun. Di posisi ini, Unesco, sebagai jangkar gagasan, telah menjembatani jalan toleransi lewat dunia buku di tanah lahirnya para nabi monoteistik yang terus-menerus sangsai di ujung teror.

Di atas semua itu, program ini bisa juga kita baca sebagai ikhtiar membangkitkan kehangatan tradisi sebuah kota, merangsang daya intelegensi dan kreativitas, dan memberi identitas baru pada sebuah kota di mana identitas itu dirayakan, dijaga, dan dipundaki secara kolektif oleh seluruh eksponen warganya.

Di Indonesia, pemberian identitas atas sebuah kota bukan soal asing lagi. Umumnya yang cukup terkenal mengidentifikasi kota dengan makanannya (Kota Gudeg/Jogjakarta, Kota Tahu/Kediri, Kota Pecel/Madiun), dengan alam geografisnya (Kota Seribu Satu Gua/Pacitan, Kota Jati/Blora), keseniannya (Bumi Reog/Ponorogo), agama dan pendidikan (Kota Serambi Mekkah/Aceh, Kota pelajar/Jogjakarta dan Malang), naskah kuna (Tambo Minang/Padang, Bukittinggi; La Galigo/Makassar; Negarakrtagama/Mojokerto, Babad Tanah Djawi/Solo-Jogjakarta; Perang Syabil/Aceh; Hikayat Hang Tuah/Riau; Hikayat Banjar/Banjarmasin), dan seterusnya.

Dalam konteks ini, barangkali penting bagi para pemangku dunia perbukuan dan kebudayaan dengan bekerja sama dengan pemerintah kota setempat memikirkan kembali bagaimana memberikan denyut kota dengan buku secara bergiliran setiap tahun dengan menjadikannya sebagai ibu kota buku.

Modal yang kita punyai sebetulnya sudah cukup. Setiap tahun banyak sekali aktivitas perbukuan yang digelar oleh banyak kota. Sebut saja Book Fair yang sudah dilakukan secara reguler di Jakarta, Jogjakarta, dan beberapa kota lainnya. Beberapa festival juga saban tahun dilakukan, misalnya Ubud Writers & Reader Festival, kompetisi Khatulistiwa Award, penghargaan Prosa Terbaik Dewan Kesenian Jakarta, bienalle-bienalle seni rupa, festival-festival film (JIFFEST, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, FFI, Festival Film Bandung), festival perpustakaan dengan menganugerahi perpustakaan publik terbaik yang dilakukan Perpustakaan Nasional. \

Ada juga pertemuan tahunan komunitas-komunitas buku (komunitas blog buku, penerjemah, editor, penulis, penyair, cerpenis, asosiasi penerbit independen, peresensi, dongeng Nusantara, dan sebagainya).

Sementara itu, saban tahun untuk memperingati Hari Buku Internasional (23 April) dan Buku Nasional (17 Mei) Forum Indonesia Membaca selalu merayakan semacam festival literasi selama sepurnama di mana tahun ini dipusatkan di Gedung Bank Mandiri di Kota Tua Jakarta Kota.

Nah, saatnya kini untuk mengambil sebuah langkah berani mencetuskan program perbukuan baru yang massif dalam program dan terencana-satu dalam jaringan. Selain memberi denyut baru pada sebuah kota, mandat ''Ibu kota Buku'' ini memberikan privelese kepada pemerintah dan warga di sebuah kota yang terpilih untuk memanggil para penggiat dunia buku, literasi, kesenian, dan industri-industri kreatif lainnya untuk menyelenggarakan aktivitas tahunannya dalam satu kota secara bersama-sama.

Barangkali, ini salah satu cara kita menghidup-hidupkan nyala tahunan sebuah kota dengan buku. (*)

*) Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku [I:BOEKOE]. Berdiam di Jogjakarta
Sumber www.jawapos.co.id