Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


04 Maret 2010

ASAL-USUL DESA SRAGEN

Oleh Ari Nur Cahyani (Siswi SMP N 1 Sambungmacan, Sragen)

Kerajaan Mataram di Kartasura terjadi kekacauan. Suasana pada saat itu sangat ricuh. Raden Mas Garendi, putra Pangeran Tepasana menentang kebijaksanaan para narapraja Mataram, terutama kepada Patih Pringgalaya yang lengket sekali dengan Kompeni Belanda. Raden Mas Garendi ingin membalas dendam karena ayahnya Pangeran Tepasana dihukum mati tanpa jelas kesalahannya. Suatu hari Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II berbincang-bincang dengan Tumenggung Alap-alap di Dalem Ageng.

“Hai, Tumenggung Alap-alap !”, sabda Kanjeng Sunan mengawali pembicaraan.
“Daulat Gusti”, jawab Tumenggung Alap-alap sambil menyembah.
“Coba, katakanlah yang sebenarnya, apa yang telah terjadi pada para narapraja di Kartasura ?”

“Ampun Gusti, hamba mendengar kabar, bahwa ananda Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan menentang kompeni.”
“Bila demikian keadaannya, yang repot kan saya. Hai Alap-alap, menghadapi keadaan ini aku jadi bingung. Mana yang harus saya dukung ?”
“Ampun Gusti, ananda Garendi menentang kompeni, itu merupakan usaha untuk mengembalikan kemuliaan nama dan kewibawaan Paduka Kanjeng Sinuhun”, sembah Tumenggung Alap-alap.

“Lho, kalau begitu, kamu menyetujui tindakan si Garendi. Benarkah itu ?”
“Ampun, beribu ampun Gusti, Begitulah nyatanya.”
“Oooo…..Alap-alap, sadarlah keadaanmu, keadaan kita sekarang ini. Mampukah kita melawan kekuatan kompeni ? Kompeni memiliki senapan dan meriam, sedangkan kita…. Orang jawa, hanya memiliki senjata tombak. Saya tidak berani menentang kompeni. Kasihan para prajurit yang menjadi korban sia-sia.”

Mendengar sabda Kanjeng Sunan, Tumenggung Alap-alap hanya terpaku diam. Dari kata-kata Kanjeng Sunan tersebut, menunjukkan sikap Kanjeng Sunan tidak teguh dan sangat lemah. Sikap demikian itu justru dapat membahayakan kedudukan Tumenggung Alap-alap sebagai narapraja Mataram. Maka dari itu, untuk menghindari segala kemungkinan yang dapat merugikan dirinya, diputuskanlah dia beserta keluarganya harus pergi dari Kartasura. Kemudian pergilah Tumenggung Alap-alap beserta seluruh keluarga dan kaum kerabatnya dari Surakarta menuju ke arah timur, ke daerah Sukawati. Dia pergi dengan membawa perasaan benci, kecewa, baik terhadap Sunan maupun terhadap Patih Pringgalaya. Daam perjalanannya itu sampailah mereka di desa Kranggan, daerah Sukawati. Di situ Alap-alap menyamar sebagai pendeta dengan nama Kyai Srenggi.

Sementara itu pasukan pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Garendi dalam hati megharapkan datangnya bantuan dari Kanjeng Sunan, sesuai dengan janji Sunan sendiri. Namun bantuan itu tak kunjung datang. Bahkan akhirnya diketahui, bahwa Kanjeng Sunan membantu kompeni. Menyaksikan sikap Sunan tersebut, Raden Mas Garendi sangat marah. Dia bertekad untuk mengusir kompeni dari bumi Jawa dan menghancurkan Kraton Kartasura yang dijadikan sarang Kompeni Belanda. Maka pecahlah pertempuran yang hebat antara pasukan pemberontak melawan pasukan Sunan yang dibantu oleh Kompeni Belanda.

Dalam suasana yang sangat kacau itu, Sunan lolos meninggalkan kraton. Rombonga mereka itu pergi ke arah timur. Sesampainya di desa Lawean berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Namun di situ dirasa tidak aman, maka perjalanan diteruskan ke Ponorogo. Akhirnya pada tahun 1742, Kraton Kartasura jebol dan diduduki oleh pasukan pemberontak. Kemudian diangkatlah Raden Mas Garendi menjadi Sunan di Kartasura oleh para pendukungnya dengan gelar Sunan Kuning.

Pada suatu hari Patih Pringgalaya bercakap-cakap dengan Kapten Wilhem, pimpinan Kompeni di benteng Kartasura. Dari hasil pembicaraan yang singkat tersebut, kemudian Kapten Wilhem minta bantuan ke Batawi. Tidak lama kemudian bantuan itu pun datang. Terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari sebelumnya. Akhirnya karena perlengkapan dan jumlah serdadu Sunan dan Kompeni lebih lengkap dan lebih banyak, pasukan Sunan Kuning kalah dan diusir dari Kartasura. Setelah Sunan Kuning disingkirkan, Sunan Paku Buwana II yang masih berada di Ponorogo diberi tahu dan dimohon kembali ke Kartasura untuk menduduki tahtanya kembali.

Kembalilah Kanjeng Sunan Paku Buwana II bersama rombongannya ke Kartasura. Namun Kanjeng Sunan tidak kerasan karena keadaan Kartasura yang porak poranda tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Maka Kanjeng Sunan memutuskan pindah dari Kartasura untuk membangun kraton baru. Kemudian dipilihlah desa Sala, sebagai calon kraton yang baru. Desa Sala dibangun dan diganti namanya menjadi “Surakarta Hadiningrat”. Pada waktu itu keadaan masih sangat kacau, masih banyak pemberontakan menentang Kompeni Belanda. Para pemberontak tersebut sebagian besar masih termasuk anggota keluarga raja
sendiri, dan yang paling ditakuti adalah Pangeran Mangkubumi di Sukawati.

Pada waktu Pangeran Mangkubumi lolos dari Kuthagara Surakarta, dia bersama keluarga dan beberapa prajurit pergi ke arah timur laut kota Surakarta. Sampailah mereka di desa Kranggan. Sesampainya di desa Kranggan dia menerima kabar bila di desa tersebut ada seorang Brahmana sakti mandraguna bernama “Kyai Srenggi”. Pangeran Mangkubumi singgah di desa Kranggan untuk berkenalan dengan Kyai Srenggi serta mohon petunjuk.
“Eee, mari…mari silakan masuk Pangeran. Hamba tidak mengira akan kedatangan tamu agung. Mari silakan masuk!”, kata Kyai Srenggi ketika kedatangan Pangeran Mangkubumi.

“Ketahuilah Bapa, hamba sekarang bukan lagi seorang priyagung. Sebab selama pengembaraan ini hamba tanpa pangkat dan derajat. Hamba adalah seorang buruan yang menentang raja dan….Kompeni Belanda..” Jawab Pangeran Mangkubumi dengan hormat.
Kyai Srenggi tersenyum dan berkata , “Apakah Pangeran lupa kepada hamba ? Hamba ini tidak lain adalah Tumenggung Alap-alap, seorang hamba kerajaan yang tidak kerasan tinggal di Kartasura dan menyepi di Kranggan ini.”

Bagaikan disambar petir di siang hari, Pangeran Mangkubumi mendengar pengakuan Kyai Srenggi tersebut. Pageran Mangkubumi sangat terkejut dan kemudian memeluk Tumenggung Alap-alap. Begitu awal pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang panjang. Dan akhirnya Alap-alap atau Kyai Srenggi diangkat menjadi senapati perang memimpin para prajurit untuk memusnahkah tindak angkara murka. Sejak saat itu Tumenggung Alap-alap brganti nama menjadi Kyai Sragen, sedang desa Kranggan diganti namanya menjadi desa “SRAGEN”.

3 komentar:

  1. sebagai keturunan tumenggung alap2, saya ikut bangga...^,^

    BalasHapus
  2. saya trah tumenggung alap alap ikut bangga juga

    BalasHapus
  3. witri setiyaningsih25 Agustus 2014 pukul 14.25

    oo. tumenggung alap-alap itu Kyai srenggi ternyata ... dan akhirnya menjadi nama Sragen.

    BalasHapus