Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


20 Juli 2009

Library 2.0

Oleh: Agus M. Irkham

BUKU tak pernah sendiri. Ia senantiasa berkumpul dengan buku lainnya. Baik secara fisik, yang tertata di rak buku, perpustakaan, dan toko buku, maupun secara substansial (isi). Maka benar jika ada yang mengatakan buku yang terbit saat ini sejatinya merupakan hasil pembacaan atas buku yang terbit di masa lalu. Sejak kelahirannya, buku tak pernah sendirian. Setiap buku selalu lahir bersama, dan melahirkan buku-buku lainnya.

Tidak ada satu pun buku di dunia ini yang berdiri sendiri. Ia selalu menjadi bagian dari buku lainnya. Kita cenderung mengait-kaitkan/menggandengkan isi buku satu dengan lainnya. Adalah tugas penulis untuk mencari, dan menemukan ragam ucap dan ekspresi kebahasaan yang berbeda (baru) atas satu subjek pembahasan yang sama. Itu sebabnya dalam dunia perbukuan muncul istilah buku berbalas buku.

Sebagaimana lahirnya suatu teori: tesis, antitesis, sintesa; demikian pula buku. Dengan begitu, buku yang lahir saat ini, merupakan himpunan upaya manusia mencari kebenaran suatu teori, dalam tingkat yang lebih tinggi. Lahirnya suatu buku bukanlah sesuatu yang sudah jadi/final/selesai. Melainkan sedang menjadi (becoming). Maka, jangan heran, di waktu bersamaan, ada sementara pihak yang fanatik terhadap satu buku, tapi ada juga yang mengharamkannya. Sebab, dinilai sebagai bentuk pemaksaan secara halus (hegemoni) satu kelas (ideologi) kepada kelas (ideologi) lainnya.

Tiga Nilai Dasar

Ada beberapa nilai dasar yang harus dipahami dari kenyataan buku yang tak pernah sendiri itu. Pertama, buku mempunyai nilai di luar bentuk fisiknya. Bukti yang paling bisa dilihat dari value ini adalah penataan buku di rak buku. Mereka tidak diletakkan berdasarkan ukuran fisik (tebal-tipis, panjang-pendek, lebar-sempit), tapi berdasarkan kesamaan isi. Mereka memunyai hak yang sama untuk didaras.

Kedua, ketika satu buku diterbitkan, maka sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks. Artinya, tiap pembacanya memunyai kebebasan menentukan cara pembacaan dan pemberian makna terhadap buku itu. Termasuk pilihan untuk tidak membacanya.

Ketiga, munculnya perpustakaan sebagai bentuk konsekuensi nyata perpanjangan alamiah dari upaya terus-menerus memperbesar himpunan buku (kumpulan dari kelompok-kelompok buku--terciptanya berbagai bentuk data, informasi, dan pengetahuan-- yang saling bertalian satu sama lain).

Mengingat perpustakaan, awalnya merupakan wadah bagi buku yang tak pernah sendiri, otomatis ia menjadi lembaga yang bersifat terbuka pula. Terbuka bagi pembaca buku yang memunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, minat dan ketertarikan berbeda.

Perpustakaan diharapkan menjadi institusi budaya. Tempat bagi tiap orang untuk mengembangkan dan memelihara budaya yang berbasis pada tulisan. Perpustakaan menjadi tujuan orang-orang yang ingin menimba nilai-nilai penting dari sebuah budaya. Ia harus menjalankan fungsi memproduksi, menjaga, dan menyebarluaskan nilai-nilai budaya membaca.

Selain itu, perpustakaan hendaknya juga berfungsi sebagai memori kolektif. Sebuah kenangan bersama yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk mempertahankan warisan kebudayaan (cultural heritage) mereka. Semua orang memunyai kesempatan yang sama dalam membaca hal yang sama (Laxman Pendit, Mata Membaca Kata Bersama, 2007; 135)

Namun, perpustakaan-perpustakaan milik pemerintah yang ada baik di tingkat kabupaten dan provinsi, belum sepenuhnya berfungsi demikian. Perpustakaan dikelola lebih sebagai tempat menyimpan buku. Pustakawannya pun tidak berinisitif mengambil posisi sebagai penggerak utama (prime mover) kerja-kerja kreatif program keberaksaraan. Perpustakaan ditempatkan hanya sebagai pendukung teknis dari institusi lain. Bukan menjadi sesuatu yang ''otonom''.

Dari sinilah mulai muncul gerakan minat baca (dan tulis) dari komunitas literasi. Basis gerakan komunitas literasi biasanya berupa pembentukan perpustakaan. Hingga disebut sebagai perpustakaan komunitas. Perpustakaan komunitas adalah gerakan keberaksaraan yang berpamrih menghilangkan batas antaranggota masyarakat dalam membaca, dan mengembalikan fungsi perpustakaan sebagai tempat ke mana seseorang dapat memeroleh kembali haknya untuk membaca buku yang ingin dibacanya. Pada titik ini, perpustakaan komunitas hendak mengembalikan kemerdekaan fungsi dan peran perpustakaan itu sendiri.

Generasi kedua

Selain bermekarannya berbagai perpustakaan komunitas, perkembangan perpustakaan (wadah buku yang tak pernah sendiri) ditandai pula dengan pergeseran sistem simpan dan temu-kembali, yang semula manual (katalog, koleksi, dan pelayanan berbasis atom/kertas) berubah menjadi digital/otomasi (berbasis image/byte/sistem komputer). Cara pertama dapat kita sebut sebagai perpustakaan generasi pertama. Sesudahnya bisa disebut sebagai perpustakaan generasi kedua (library 2.0).

Ciri paling kentara dari library 2.0 adalah terjadinya relasi interaktif, multiarah, dan partisipatif antara pengguna dan pustakawannya, serta sistem kerja dan koleksi yang bersifat kolaboratif (dari banyak sumber) nan dinamis. Pada titik ini, perpustakaan generasi kedua menjadi wadah paling ideal bagi himpunan buku yang tak pernah sendiri itu. Praktik library 2.0 di Indonesia dapat ditandai dengan mulai berkembangnya software sistem otomasi perpustakaan (SOP). Baik yang bersifat gratis (open source, seperti ''Senayan'' dan ''Athenaeum Light'') maupun yang berbayar.

Library 2.0 mensyaratkan adanya pustakawan yang melek teknologi, bersahabat (friendly), mau berbagi, gaul, aktif di situs jejaring sosial (facebook, friendster), mahir menulis, sekaligus narsis. Dalam logika library 2.0, upaya ''menjual'' citra diri berada dalam satu tarikan napas dengan tujuan memasarkan perpustakaan. Oleh karenanya tiap pustakawan wajib mempunyai blog/website pribadi.

Muncul pertanyaan-sangkaan klise: siapkah para pustakawan dan perpustakaan di Indonesia (terutama perpustakaan pemerintah) menghadapi perubahan tersebut? Saya kira, daripada sibuk menjawab pertanyaan itu --yang besar kemungkinan pasti bersifat reaktif sekaligus mencari pembenaran/pemakluman-- lebih baik mereka segera insaf. Bergegas melakukan transisi kelembagaan, menyangkut sistem, keterampilan (skill) dan sikap (atitude). (*)

*) Agus M. Irkham, Instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca!
Sumber Jawa Pos, 19 Juli 2009

0 komentar:

Posting Komentar