Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


16 Juli 2011

Nilai Sosial Tradisi ”Nyadran’’

  • Oleh MM Bhoernomo
MEMASUKI bulan Syaban atau menjelang Ramadan, banyak orang Jawa, terutama yang beragama Islam, yang merantau pulang ke kampung halamannya agar bisa nyekar (menziarahi) makam leluhurnya.

Dalam hal ini, nyekar atau ritual tabur bunga di pusara leluhur memang sudah menjadi tradisi klasik. Sejak dulu, tradisi nyekar atau tabur bunga menjadi ritual lintas iman dan lintas agama sepanjang masa. Dalam tradisi nyekar, (atau lebih spesifik lagi nyadran karena ada kaitannya dengan Ramadan) terkandung nilai sosial yang luas. Paling tidak, pelakunya meyakini akan memperoleh pencerahan sosial yang positif untuk menjalani kehidupan berikutnya.


Dalam konteks Jawa, nilai sosial tradisi nyadran dikaitkan dengan upaya mempertahankan ingatan agar tidak lupa asal-usulnya. Leluhur Jawa punya wasiat bijak: manungsa aja lali wetone. Mula elinga marang wong-wong tuwa senajan wis padha swarga. Pengertian swarga dalam hal ini adalah telah meninggal dunia. Dalam rumus sosiologi ataupun antropologi, manusia sebagai makhluk sosial akan berusaha mempertahankan relasi dengan generasi sebelum dan sesudahnya, tidak cukup berhubungan hanya  dengan segenerasinya.

Dengan kata lain, kebutuhan untuk tetap berhubungan dengan tiga generasi dalam tiga zaman (dulu, sekarang, dan mendatang) dianggap sebagai bagian dari upaya mempertahankan kemanusiaan. Pada titik ini, manusia yang tetap memiliki kemanusiaan tidak akan berubah menjadi binatang ekonomi yang tidak lagi bersikap manusiawi.

Dalam konteks global, upaya mempertahankan kemanusiaan menjadi mahal karena banyak manusia berpindah-pindah tempat kerja dan tempat tinggal. Jarak jauh dari kampung kelahiran yang banyak menyimpan masa lalu membuat tradisi nyadran menjadi sebuah kemewahan, dalam arti butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, mahalnya biaya untuk melestarikan tradisi nyadran tidak akan dianggap memberatkan bagi mereka yang tetap ingin mempertahankan kemanusiaannya.

Spirit Pembangunan

Itulah sebabnya, tetap saja selalu banyak orang yang menjadikan tradisi tersebut sebagai acara rutin terpenting setiap tahun. Bagi bangsa-bangsa yang mendominasi hiruk-pikuk era global, tradisi nyadran menimbulkan fenomena mudik lintas negara atau bahkan lintas benua. Misalnya, menjelang Imlek, sebagian bangsa China yang mampu dan tersebar di seluruh dunia berusaha mudik ke negara asalnya.

Di mata mereka yang tidak lagi menganggap penting upaya mempertahankan kemanusiaan, atau mereka yang sudah menjadi binatang ekonomi, tradisi nyadran yang menimbulkan fenomena mudik bisa saja dianggap kontraproduktif. Padahal, di baliknya ada berkah besar sebagai laba karena berbagai sendi ekonomi akan berputar lebih dinamis. Konkretnya, banyak perusahaan menangguk untung yang akan ikut dinikmati oleh pekerja sebagai kaum terbanyak yang menghuni planet ini, terkait fenomena mudik dan tradisi nyadran.
Nilai sosial tradisi ini juga bisa muncul dalam bentuk spirit pembangunan yang bisa dianggap penting.

Misalnya, jika A telah sukses di luar negeri maka ketika pulang kampung untuk nyadran akan berusaha membantu sanak keluarganya untuk meningkatkan kemakmuran. Dalam praktiknya, setiap orang selalu ingin membagikan kesuksesan kepada orang-orang dekatnya atau kepada mereka yang pernah ikut membesarkannya. Jika B nyekar dan melihat saudaranya masih tidur tanpa kasur maka ia tergerak untuk bisa membelikan kasur.

Di beberapa daerah di Jawa, spirit pembangunan di balik tradisi nyadran disimbolkan dengan membagi-bagikan kue apem dan buah pisang. Kue apem sebagai simbol caping dan pisang sebagai simbol tongkat yang sama-sama penting dalam menjalani kehidupan di alam fana dan baka. Konkretnya, tradisi itu tidak sekadar tabur bunga tapi juga tabur modal untuk membangun banyak hal.

Jika pelaku nyadran mampu berbagi spirit pembangunan kepada kerabat di kampung halaman, dipastikan memperoleh spirit pembangunan baru dalam dirinya sehingga semangatnya meraih kesuksesan yang lebih besar juga berkembang. (10)

— MM Bhoernomo, sastrawan dan pemerhati masalah budaya, tinggal di Kudus

Sumber: Suara Merdeka, 16 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar