Rubaiyat [XL]: Dar al-Asbab (rumah segala sebab-akibat)
keberadaan itu dibentuk oleh gerak hati dan fikiran. saat rumi merentangkan konsep kewujudan dan wujud, descartes mengikutinya dengan cogito ergo sum.
saat rumi membuang dualitas, menerima dua alam satu semesta, di kemudian hari, descartes justru membunuh tuhan.
bahwa pengetahuan, kegilaan dan peradaban itu hanya perlu dibentuk lewat ketenangan dan fikiran.
bukankah dahulu pagan cukup tenang menegakkan kayu dan batu, lalu dengan fikiran mereka bentuk para banat: latta, huza, manat... dan seketika lahirlah tuhan?
bukankah dahulu mereka mendirikan kuburan besar, lalu dengan tenang mereka merentangkan tangan di bawah matahari, dan lahirlah tuhan? penyatuan dengan tuhan hanya cukup dengan berjemur, tubuh mereka adalah kuilnya.
aku tak akan bicara panjang padamu tentang tuhan. sebab walau tuhan kita sama, tetapi barangkali saja pemahaman kita soal tuhan berbeda. dengan begitu aku tak perlu terdengar mendikte tuhan.
sebab soalnya adalah; benarkah fikiranku berdiri sendiri? benarkah ketenanganku tak diakibatkan sesuatu yang lain? rumah sebab-akibat itu sangat besar, bahkan saat tuhan memulai penciptaan semesta, juga disebabkan suatu alasan
: “jika bukan karena dia, Tuhan tidak sudi menciptakan langit dan bumi beserta isinya.”
jika seorang anak lelaki berdiri di sisi kaca mobilmu sambil meminta padamu, tentulah itu ada sebabnya. jika seorang perempuan cantik kau lihat merayu setiap lelaki di persimpangan wisonova, tentulah itupun ada sebabnya.
adakah seseorang perlu sedikit ketenangan, kemudian berfikir, bagaimana sebuah negara bisa menyeimbangkan tanggungjawab dan sekaligus menekan semua kepentingan yang tidak berguna. sebab ada kalanya manusia lebih penting dari sekadar keuntungan.
Januari, 2011
Rubaiyat [XLIX]: ar-Ribat (tempat berbenteng)
pada umur yang kesekian puluh dia mulai menghitung amalan bukan dosa yang membuatnya luluh sedikitnya pahala bikin dia berpeluh.
dia berkubang dalam bayangan sendiri tak ada guna menghitung pori di tepian mahsyar, kita sendiri membuka buhul dalam perjanjian sehari.
khusyuk-lah dalam raka’at tiang batupun pasti akan rubuh apalagi tubuh sebab, Tuhan-mu tidak memberi rabat
Februari, 2011
Rubaiyat [XLV]: Perempuan yang Dirapun Siasat
ramai, bingar kawan, kekasih kesendiriannya memancing maut oh...sheika.
pagi pagi, dia digoda mentari pada siang, awan bergunjing perihal pinggulnya sore menjelang, dadanya disenggol laknat malam durjana, dia disetubuhi bulan.
oh...sheika kesepiannya melegenda dari dua ujung pulau ini semua mulut meresik tentangnya
ramai, bingar adalah kemiskinanmu kawan, kekasih itulah cacatmu
oh...sheika kawan tidak bersisian denganmu oh...sheika kekasih tidak dibelakangmu
petaka datang serupa damai ditelan huru hara air mata membasah di bibirmu yang mengumpat saat lurah
kimbohu usai bersiasat dia menidurimu paksa di kolong olompu
September 2010 Olompu: rumah kebun (dalam diksi orang Moronene)
Rubaiyat [XXXIV] : Langit-langit Tarsah
pada sore yang terlambat rindunya merambat tak ada kain yang membebat luka di hati yang mengulat
pada rindunya yang berat dia berganti jahat ditubuhnya yang liat amarahnya menggeliat
wahai, yang menguasai hati landaskan vela mengurai pati biarkan panahmu menderai agar tubuhnya berai
wahai, yang menguasai mirzah apakah harapan bisa memenuhi tarsah pada kejenakaan yang basah mereka mengundi barzah
wahai, yang mengumpati makam akankah puas hatimu memeram pada lipatan kain serupa ihram kau sembunyikan geram
wahai, yang meredam rindu mampukah kau ungkap sendu pada lantunan makrifat syahdu saat malaikat menanak madu
wahai, yang menenggelamkan harkat bisakah engkau lebih dekat pada gurat nasib yang berkarat dia umpan hidupnya pada isyarat
ohoi...engkau yang begitu lunak inikah temali yang membuhul benak saat dosa beranak pinak dia tergesa bak ternak
ohoi...pada penguasa senyap bilakah ada musim tanpa rayap yang berbunyi bak kepak sayap datang menemuimu saat merayap
Januari, 2011
Rubaiyat [XXXVII]: Bi’tsah (pernyataan)
Bibirmu rekah saat matamu terpejam. Lehermu menjerang gairah kita yang kejam. Rambutmu belah membungkus lebam. Di sepersepuluh pertemuan tubuh, kita tenggelam.
Wahai, kekasih yang tegak di geladak Telapakmu naungi mata yang lamur Rindumu pada pantai barat kian memuncak Saat angin membawamu melipir ke timur
Aduhai, punggungmu ayun digelombang jeram. Dan kita mengejang di himpitan riam. Disaat bibir kita membenam kesekian... : kini kita tahu rasanya kematian.
Januari, 2011
Rubaiyat [XXXVIII]: Wadi al-Khalq (lembah penciptaan)
Kusampaikan berahi lamat lamat Tak akan kujawab pertanyaanmu Kusimpan berahi rapat rapat Sampai bibirku tenggelam pada lehermu
Kuganggam berahi kuat kuat Dari matahari yang berani mencumbu Kusiapkan berahi dekat dekat Aku gantang jeritmu, saat aku letup dirahimmu
Oktober, 2010
Sumber: Kompas, 10 Juli 2011
11 Juli 2011
Sajak-sajak: Ilham Q. Moehiddin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar