Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


02 Juli 2011

Apakah Kau Bisu?

Cerpen Aris Kurniawan Basuki

Sediam itukah kau? Sesenyap ruang hampa? Menangkap gelagatku pun sepertinya kau tidak. Kau tahu, butuh kekuatan besar untuk merantaskan tali-tali pengikatku yang telah membelit sepanjang usiaku untuk dapat membuka diri kepadamu. Dapatkah kau sedikit menghargai itu?


Kau tetap hanya tersenyum; tarikan bibirmu dalam pandanganku adalah rentangan tali busur para kurcaci pemburu yang mengincar buruannya, rambutmu yang memuntir berkilau keemasan, seperti aliran sungai dibelakang rumahku yang pecah terpantul warna keemasan matahari sore.



Apakah kau bisu? Sekedar sapa pun tiada buatku, lelaki yang selalu mencoba untuk berada lebih dekat kepadamu. Lelaki yang tiap hari terpacak di seberang tempatmu berdiri, bersandar pada pagar taman, memperhatikan kesibukan orang-orang berlalu-lalang.
Akulah lelaki yang itu.

Aku telah mengenalmu sejak lama dan selalu memandangimu dari kejauhan. Kau pun mestinya demikian karena kita selalu saling berhadapan dari jarak itu dan akulah selalu yang pada akhirnya memalingkan wajah karena malu. Entahlah denganmu, kau hanya masih berupa misteri buatku dengan diammu.

Maka, saat beberapa waktu yang lalu kau tiada di tempat kau biasa berdiri, aku seperti menjadi hilang akal dan panik. Entahlah, awalnya aku memang tidak mengerti, tapi yang sebenarnya aku rasakan; tanpa memandangimu segalanya tiada akan sempurna lagi walau sesempurna apapun segalanya.

Waktu itu dengan tegang aku berlari mendapatkan tempatmu, tempat di mana kau biasa berada. Dengan kebisuanku, aku mencoba menanyakan mengapa kau tiada hari itu. Menggambarkan pada mereka tentang sosokmu, perempuan yang telah mencuri hatiku kepada semua orang yang kutemui dengan isyaratku. Dahi-dahi mereka kebanyakan berkerut menanggapiku.

Mereka pastilah telah mengenal aku, lelaki bisu yang biasa terpacak di seberang, tapi mereka tak dapat mengerti kepanikanku itu. “Maksudmu, kau mencarinya?” tanya seseorang.

Aku mengangguk dan kulihat dahinya berkerut. Lalu dia, yang belakangan kutahu sebagai penyelia di tempat itu, bertanya lagi dengan hati-hati: “Untuk apa mencarinya?”

Lalu kujelaskan padanya dalam kebisuanku betapa aku adalah seorang lelaki yang selalu terpacak di seberang, bersandar pada pagar taman dan memperhatikan kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang. Aku telah terbiasa memandangimu dari kejauhan dan sangat kebingungan ketika hari itu aku tak dapat menemukanmu. Walaupun hanya sedikit yang ditangkapnya, sepertinya orang itu mengerti.

“Tapi…” kalimat yang hendak diucapkannya terputus karena seseorang yang lain telah menggamit lengannya lalu membisikkan sesuatu di kupingnya dan sebentar-sebentar ekor matanya jatuh padaku. Penyelia itupun kemudian mengangguk-angguk dan memandang padaku dengan iba. “Hari ini kau tidak akan bisa menemukan yang kau cari, tetapi besok pastilah kau temukan. Kau mengerti apa  yang kukatakan? Kau bisu tetapi tak tuli, bukan? Nah, sekarang kau pergilah.”

Aku hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam, karena saat itu adalah saat pertama aku tidak bisa memandangmu dan aku benar-benar sangat kehilangan. Betapa sunyinya. Aku tidak ingin perasaan yang demikian berkelanjutan. Maka sejak itu pula aku bertekad akan berusaha sepenuh hati untuk memperkenalkan diri padamu.

Ya, sejak hari kepanikanku itu aku menjadi berani untuk mendekatimu, berdiri di hadapanmu dan tak lagi hanya memandang dari kejauhan tanpa peduli pula dengan orang-orang yang memandang dengan berbagai macam kesan. Setiap hari aku mendatangimu, setiap hari mengajakmu berbicara dengan isyaratku, setiap hari memegang tanganmu untuk menunjukkan perasaanku.

Tapi, apakah kau bisu? Telah ratusan hari aku mendapatkanmu di sini dan kau selalu hanya diam. Hanya pandangan matamu sajalah yang meyakinkan hatiku bahwa kau mengerti dan membuatku makin merasa dekat denganmu. Bukankah sebenarnya kau tak bisu?

Sehingga hari ini telah kukeraskan hatiku untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Dengarlah. Tahukah kau? Aku mencintaimu. Ya, aku mencintaimu dalam kebisuanku. Jadi tolong jangan sambut aku dengan kebisuan pula. Setidaknya katakanlah sesuatu atau berilah isyarat tertentu. Jangan pedulikan orang-orang di sekitar kita yang selalu memandang dengan ekspresi yang aneh atau bahkan menertawakan. Biarkan saja.

Mereka hanya menertawakan aku, bukan kau. Karena aku yang mereka tahu adalah seorang lelaki bisu yang biasa terpacak di seberang, bersandar pada pagar taman dan memperhatikan orang-orang berlalu-lalang juga memperhatikanmu. Mereka hanya menertawakan kebodohan dan kebisuanku, bukan kau.

Aku mencintaimu dengan kedalaman hatiku dan semua gemuruh-gemuruhnya, dengan aliran darahku ataupun geletar-geletar terujung dari saraf-sarafku. Karena itu, jawab aku. Bukankah kau tak bisu? Bicaralah. Atau kau sebenarnya hanya berniat untuk menyeimbangkan perbedaan kita dengan sengaja untuk tidak hendak berbicara? Tidak perlu seperti itu, sungguh, jawablah aku.

Hari berganti dengan malam setiap harinya dan aku selalu harus pulang tanpa mendapat sebuah isyaratpun darimu. Ucapan selamat malamku kini pun tetap tak kau jawab, sama seperti hari-hari yang lalu. Tapi tak mengapa. Esok aku akan tetap berada di sini lagi seperti kemarin atau hari-hari sebelum kemarin atau hari-hari sebelum hari-hari sebelum kemarin. Mungkin suatu waktu nanti dapat kau tangkap geleparku, karena jikapun kau memang tak hendak membuka pintumu, pastilah telah pernah kudengar kertap pintumu itu.
Selamat malam.

Di depan pertokoan itu aku kembali memandangmu sepuasnya sampai lampu-lampu mulai dipadamkan dan pintu geser berderit keras menutup malam, menyembunyikanmu. Malam ini bukanlah yang terakhir buat kita, bisikku dalam kebisuanku. Aku berjalan pulang.

Di belakangku, kudengar seorang penjaga malam pertokoan itu berkata kepada kawannya: “Orang bisu itu pasti akan berada di sini lagi esok. Entahlah, sepertinya dia akan selalu mencoba menguraikan kebisuan antara mereka; dia dan manekin* itu.” ***** * manekin: boneka seluruh tubuh atau setengah badan, seringkali dapat dilepas-lepas, untuk memamerkan pakaian jadi di toko-toko

Sumber: Kompas, 1 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar