- Achmad Zainuddin : Mahasiswa KPI UIN Suka Yogyakarta
Perpeloncoan tak ubahnya pendidikan gaya preman yang lebih menitikberatkan pada pendekatan kekerasan. Tentu ini jauh dari budaya kaum intelektual dan akademik. Mengingat, efek domino dari praktik perpeloncoan, yakni di dalam alam bawah sadar mahasiswa baru (maba) akan mengendap beban dan trauma psikologis akibat kata-kata kasar yang diterimanya. Inilah dampak negatif perpeloncoan.
Dari situ, jika ditilik dengan kritis, perpeloncoan sebetulnya lebih banyak dampak buruknya ketimbang nilai positif. Alih-alih ingin melatih mental mahasiswa baru, namun, tak jarang perpeloncoan justru memunculkan tradisi ‘’bar-bar’’ di dalam dunia kampus. Itu persoalan serius perpeloncoan.
Hemat saya, tradisi perpeloncoan sejatinya ditinggalkan. Bukankah lebih baik dalam kegiatan Ospek, Opak atau sejenisnya, maba diajarkan kembali tentang arti penting pendidikan Pancasila yang kini mulai dijauhkan dari kehidupan kampus, atau penanaman kepemimpinan sejak dini pada maba, mengajarkan tentang jiwa berwiraswasta, serta mengasah potensi maba lewat berbagai kegiatan yang mengasah kognitif, afektif ataupun psikomotorik. Toh, kegiatan semacam ini lebih menarik bukan?
Dalam konteks itu, para pemangku kebijakan kampus (stakeholders) diharapkan dapat berperan aktif untuk dapat bersikap selektif dalam kegiatan Ospek bagi maba. Kita tak berharap, dinasti perpeloncoan menjadi warisan dari generasi ke generasi. Maka, suka atau tidak, penanaman nilai-nilai yang lebih mendidik-humanis-kreatif sebagaimana yang penulis sebutkan di atas dapat diwujudkan lewat kegiatan maba di awal perkuliahan. Akankah ini diwujudkan pelbagai kampus di negeri ini? Kita tunggu saja. (24)
Sumber: Suara Merdeka, 9 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar