Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


23 Juli 2011

Laki-laki dan Perempuan, Suatu Dimensi

Oleh : Deasy Maria

Hening. Sekejap setelah suara yang memekakakan telinga, yang menggemuruh dari seberkas sinar putih membutakan. Aku seperti terlempar pada suatu masa yang tak mengenal ruang dan waktu. Hanya hampa yang menyelimutiku. Semua bagai terlahir baru dalam bentuk kedewasaanku.

Aku meraba sekelilingku,  pupil mataku membesar. Belum dapat kukuasai keadaan ini. Hanya dingin dan sepi yang hadir. Rasa ingin menangis, tapi tak mampu air mata ini mengalir.  Kuseret kakiku, melangkah berharap bertemu ujung masa. Namun sepertinya aku berada dalam ruang tanpa sekat. Meski telah kujelajahi sebisaku, belum sekalipun aku membentur dinding-dinding yang entah ada atau tidak.


Waktu seperti berjalan lambat. Mataku mulai terbiasa dengan gelapnya.  Namun baru tersadar pada bayangan lebih gelap itu, saat tanganku yang menggapai-gapai, menyentuh sesuatu, atau lebih tepatnya sesosok. Benar, aku meyakininya dengan sesosok, karena ada hawa hangat mengalir ke ujung jemariku.

Bayangan gelap itu menggerakkan dirinya. Tangannya seperti menggapai dan menyentuh wajahku. Meraba setiap jengkalnya.

“Maaf!” Suaranya berat, terucap sangat jelas.

Aku hanya terpekur. Membisu diantara keterkejutan dan kegembiraanku, kalau bisa kukatakan bahwa rasa yang menyelinap ini adalah gembira.

“Adakah yang bisa menjelaskan, situasi seperti apa ini?” Dia seperti bertanya padaku. Dan itu kuyakini karena rasanya hanya ada diriku di dekatnya.

Kucoba membesarkan bola mataku, berharap dapat melihat sosok didepanku dengan lebih jelas. Namun hanya sebentuk sosok gelap dan pekat.

“Aku sendiri  tidak mengerti tentang apa dan bagaimana dengan keadaan ini." Jawabku lirih.

Tiba-tiba telapak tanganku digenggamnya. Aku tak berusaha melepasnya. Naluriku mengatakan, hanya itu yang bisa kulakukan, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Mari, kita bersama mencari yang tidak pernah kita ketahui ini.” Ajaknya.  Aku mengangguk kuat, meyakini kalau sosok itu melihat anggukanku tadi.

Bergandengan tangan kami berjalan terseok-seok. Mencari yang tak pernah kami ketahui keberadaanya. Hanya berteman gelap dan sunyi.

Pada awalnya perjalanan ini sungguh sulit untukku. Mungkin juga untuknya. Tanpa arah dan terang, kami berjalan seperti mayat hidup. Tanpa koordinasi yang jelas. Terkadang kakiku menginjak kakinya, demikian sebaliknya. Hanya lenguhan kecil yang keluar dari mulut kami, saat kaki terinjak atau bahkan kepala saling beradu. Tapi, sejauh kami melangkah, tidak ada setitik cahaya pun yang bisa kami kenali. Seperti dalam sebuah lorong yang panjang dan tanpa ujung.

Aku terus memutar ingatanku. Mencari tahu apa yang telah kulakukan sebelum ini. Namun, berat rasanya berpikir. Sementara sinar pun tak nampak. Aku mencubit lenganku. Berharap ini semua mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi, aku bisa merasakan rasa sakit cubitanku. Aku menghela nafas.

“Ada apa?” Suara disampingku terdengar sedikit berbisik.

“Ah, bukan apa-apa. Kukira aku hanya bermimpi. Aku sangat berharap begitu.” Aku menjawab dalam rasa sesal.

“Aku pastikan ini bukan mimpi. Tapi entahlah, kenapa aku tidak pernah bisa mengingat apa pun sebelum kejadian ini. Yang kuingat hanyalah saat tanganmu menggapai menyentuhku.”

Aku memandang ke sisi kananku, pada sosoknya, yang tak dapat kulihat. Dan kami terus berjalan dalam hening. Karena memang tak tahu apa yang bisa kami perbincangkan, sementara tidak ada percikan memori untuk saling bercerita.

“Sepertinya tak ada waktu disini.” Kataku mulai putus asa. Sepanjang perjalanan yang entah menghabiskan berapa malam, tak kami temukan apapun.

“Baiklah, kita istirahat dahulu disini. Rasanya kau sudah lelah melangkah.” Suara beratnya seperti mengobati keputusasaanku.

Kami duduk berdampingan sambil terus saling tergenggam. Tak berani kulepaskan genggamannya. Hanya itu satu-satunya penopang perasaan takutku.  Darinya mengalir kehangatan yang membuatku nyaman.

Aku ingin bersyukur walau dalam kosong, tanpa makna dan ingatan, hanya rasa yang masih kami miliki. Rasa lelah menjadi penanda bahwa perjalanan yang kami tempuh sudah sangat jauh. Sedikit aku mengingat bahwa perasaan hening dan hampa menjadi penanda bahwa sebelum semua ini terjadi aku ada dalam keramaian. Terang.

“Sudah hilang lelahmu? Kita harus meneruskan perjalanan tanpa ujung ini.” Suaranya membangunkan aku dari diam.

“Aku sudah tak lelah. Tapi aku juga tak terlalu bersemangat dengan apa yang akan kita tempuh ini.” Aku sedikit putus asa.

“Hei, bukankah lebih baik kita terus bergerak daripada diam? Siapa tahu ujung jalan ini ada di depan sana. Kau tak akan tahu kalau kau ta berjalan sampai ke dekatnya.” Walau diucapkan dengan datar, namun aku menemukan api pembakar semangat dalam ucapannya tadi.

“Begitukah? Ya, memang harus kita coba.” Aku bangkit karena tarikan tangannya.

Perjalanan kami mulai kembali. Meski dengan semangat yang sedikit memercik, tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan keputusasaanku. Tiap kali aku menghitung berapa langkah, berharap pada langkah yang kesekian menemukan terang, tiap kali pula aku menghembuskan nafas kecewa. Namun tiap kali pula dia menggenggam tanganku dengan kuat.

Aku menyadari kalau langkah kami semakin kompak beriringan. Tanpa saling menginjak. Sepertinya waktu ingin mengajarkan kami untuk saling mengerti.

Dalam ketidakmengertian,aku bersyukur menemukan dirinya. Dia menjadi sosok yang sangat menopang segala ketidakberdayaanku. Saat itulah sosoknya semakin dapat kulihat, walau masih samar. Kusadari, pandangan mataku sedikit demi sedikit mulai dapat melawan pekatnya gelap.

“Aku belum mengenalmu.” Kataku, berusaha memandang wajah samarnya.

“Akupun begitu rasanya.” Sisi wajahnyapun mencari kejelasan di wajahku.

Aku ingin mengajaknya berkenalan, namun tiba-tiba aku menyadari satu hal. Aku sendiri tidak mengenali siapa diriku. Oh, apa yang sedang terjadi? Aku memutar otakku, berusaha membuka lipatan memoriku. Tapi hasilnya, semua kosong. Tidak ada setitikpun yang bisa kuingat. Siapakah aku?

“Tak perlu berkenalan. Karena aku tak tahu siapa diriku. Aku hanya tahu kalau aku ini perempuan. Dan kau laki-laki, itu kukenal dari suaramu” Jawabku lemah.

“Hmm.. baiklah. Akupun tak tahu siapa diriku. Aku memang laki-laki dan yakin kalau kau perempuan, walau suara bisa menipu. Tapi yang pasti, saat ini aku sudah mengenalmu. Kamu adalah pendampingku.” Jawabnya, walau samar, rasanya kulihat senyum menghias wajahnya. Aku merasakan kehangatan dari ucapannya.

Kami tidak mengenal waktu berdetik. Hanya detak jantung yang menjadi penanda waktu. Dan seiring detak jantung yang meningkat, reaksinya menyebabkan bola mata mulai sanggup melihat semakin jelas. Jadi, sehari adalah sepersekian instensitas cahaya yang bisa kami terima.

“Siapakah kita?” Aku kembali bertanya.

“Aku tidak ingin mengetahuinya. Aku hanya ingin kita berdua terus bersama. Saat ini.”

Tanganku digenggamannya semakin erat. Kurasakan desiran aneh mengalir menjalari seluruh tubuhku. Siapakah kita? Akupun tak ingin mengetahuinya. Ya, akupun hanya ingin merasakan ini terus. Karena aku benar-benar buta akan diriku, dengan keadaanku, dengan keberadaanku.

“Kau tahu? Semakin lama semakin jelas kulihat sosokmu. Setiap kali aliran hangat merasuki tubuhku.  Setiap kali itu pula semakin ku tak ingin mengetahui siapa diriku. Aku berharap terus seperti ini.” Suaranya menggetarkan ruang dadaku.

Aku tak sanggup mengingkari perasaanku yang juga berharap demikian. Tiba-tiba aku hanya ingin terus di sampingnya. Menggenggam tangannya. Duduk bersama dalam sepi dan gelap. Menanti masa yang tak tentu. Bahkan, aku menikmati caranya memandang dalam samar.

“Kau tahu?  Sepertinya kita terlempar kemari dengan suatu alasan. Agar kita saling bertemu, saling menopang dan menguatkan, saling menghangatkan dalam dingin, menyinari dalam gelap.” Akhirnya genggamannya dilepaskan dari tanganku. Ditariknya pundakku, dipeluknya aku erat.

Aku pelan-pelan  menyandarkan kepalaku di bahunya. Lenganku melingkari pinggangnya. Rasa itu menjalar. Membuat detak jantung kami semakin kencang. Cahaya di sekeliling kami semakin menerang. Semakin jelas lagi kami melihat.

“Kau tahu? Semakin jelas semuanya, semakin sebentar waktu kita bersama.” Aku menyadari itu.

“Kita akan terlempar kembali entah kemana. Apakah kita akan bertemu lagi?”

“Aku tak tahu. Dan akupun tak ingin tahu, apakah kita pernah bersama, apakah kita pernah saling menyayangi ataupun sebaliknya, siapapun kita dan bagaimana dengan kita dahulu. Aku hanya ingin menikmati saat ini.” Wajah kami bertemu. Dalam jelas, tanpa samar. Wajah-wajah yang bersinar hangat oleh suatu rasa.

“Aku tak tahu apa namanya rasa ini. Aku ingin ada didalamnya...” Aku tak sanggup meneruskan kalimatku. Bibirku telah dibungkam kehangatan bibirnya. Degup di dadaku semakin hebat bergetar. Nafas kami memburu.

Aku memejamkan mataku. Bibirnya menyentuh telingaku. Nafasnya membakar sendiku.

“Sampai saat itu tiba, aku hanya ingin memelukmu. Biarlah aku menikmati indahnya rasa ini, walau hanya sekejap. Biarkan aku terus merasai ini, walau hanya bayanganmu saja.” Bisik suaranya menembus hatiku.

Aku memeluknya erat. Semakin kuat detak jantung kami, semakin terang cahayanya. Dan sinar putih itu memancar keluar dari antara kami. Sinar yang menyilaukan. Aku tenggelam dalam pelukannya. Membiarkan diri larut dalam hangatnya rasa itu. Dia mengecup keningku dengan lembut.
Plasssss!

Sinar putih itu membutakan. Suaranya menggelegar.
Sekejap menjadi gulita. Hening.

Deasy Maria, menulis di www.kampungfiksi.com bersama 7 perempuan penari kata lainnya. Juga aktif di Kompasiana. 

Sumber: Kompas, 23 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar