Cerpen: Ragil Koentjorodjati
Namaku Asih Sulastri. Aku ingin bertanya, apa yang membuat perempuan bahagia? Kakakku, Yu Darmi, cerita kepadaku kalau ia ingin tinggal di desa. Tiap siang menjelang dzuhur, ia ingin mengantar makanan ke sawah untuk suaminya, setelah memberi makan ayam-ayamnya, yang katanya tidak perlu banyak. Alasannya, pelataran rumahnya tidak cukup luas untuk meliarkan ribuan ayam. Ia takut rumahnya bau tembelek.
Aku tertawa mendengar khayalannya itu. Pelihara ayam tetapi tidak mau bau tembelek. Seharusnya ia jadi juragan. Aku, Asih Sulastri, hanya ingin pergi ke Arab. Itu cukup membuatku bahagia. Cita-cita Yu Darmi terwujud. Ia jadi istri petani miskin dengan rumah seluas kandang ayam. Kamu pasti mengira kalau 200 meter itu luas. Aku memahami, karena kamu biasa hidup di batok tempurung.
Tiap siang menjelang dzuhur, Yu Darmi mengantar makanan ke sawah untuk Larto, suaminya. Tiap tahun Yu Darmi melahirkan bayi. Yu Darmi beternak ayam. Yu Darmi beternak bayi. Rumahnya bau bayi. Dan juga tahi bayi. Aku ceritakan ke orang-orang kalau Yu Darmi anaknya sudah delapan. Tetapi ia bilang anaknya baru delapan. Aku tandaskan kalau dia beruntung karena lima bayi sebelumnya sudah mati. Kalau tidak mati, anaknya tiga belas. Angka sial! Hidupnya bisa jadi sial.
Punya suami Larto, petani sialan itu saja sudah sial. Tetapi Yu Darmi sangat bangga menjadi ladang yang dicangkuli Larto tiap hari. Bahkan ia kecewa jika tanaman yang disemai Larto mati. Bagiku, ia perempuan dungu. Karena seharusnya Larto mencangkuli ladangku!
Simbokku, mungkin satu-satunya perempuan terbodoh yang pernah kukenal. SD, ia tidak lulus. Tiap pagi Simbok ke pasar adhang-adhang buah. Simbok bukan penjual buah. Simbok makelar buah. Pelanggannya yang setia Rifa’i, lelaki kaya pemilik rumah serupa istana di pojok desa. Lelaki yang konon kata orang, bapakku. Ketika aku SD, pernah soal ini kutanyakan ke Simbok. “Mbok, apa benar Pak Rifa’i bapakku?” “Benar, Nduk,” terang Simbok saat itu,”Rifa’i itu bapakmu, bapaknya Darmi dan kakangmu, Rozak.” “Kenapa ia tidak tinggal di rumah kita, Mbok?” “Lastri…, ia harus mengurus keluarganya.”
Begitu penjelasan Simbok. Polos dan lugu, khas orang kampung. Waktu itu aku tidak paham betul penjelasan Simbok. Persoalan yang membingungkanku. Jika bapakku, kenapa Pak Rifa’i harus mengurus keluarganya, dan tidak mengurus Simbok, kakak-kakakku dan aku? Pengetahuanku semakin terang ketika aku SMP.
Rupanya Simbok tidak hanya jual buah hasil adhang-adhang, tetapi juga jual buah dada ke Pak Rifa’i. Hanya ke Pak Rifa’i. Kata orang kampungku namanya kumpul kebo. Kumpul seperti kerbau, hanya berkumpul kalau sedang ingin adu kelamin. Kumpul kebo risikonya beranak. Jadilah aku anak kebo. Sejak aku tahu soal itu, cukup bagiku memanggil Rifa’i untuk lelaki yang menghamili ibuku, tanpa perlu embel-embel bapak. Karena aku Asih Sulastri. Perihal Larto dan Rifa’i cukup bagiku sebagai pembulat tekadku pergi ke Arab.
“Mengapa kamu ingin pergi ke Arab, Nduk?” tanya Simbok waktu aku lulus SMK.
“Aku ingin jadi TKI di tanah suci, Mbok,” jawabku. “Untuk apa kamu jadi TKI? Mbokmu masih sanggup kalau hanya menyekolahkanmu.” “Aku tidak ingin sekolah, Mbok. Aku ingin pergi ke Arab.” “Kamu masih terlalu kecil untuk pergi ke Arab, Nduk. Tunggulah dua atau tiga tahun lagi.” “Tidak! Pokoknya aku mau ke Arab!”
Saat itu, aku merasa tidak perlu memberi penjelasan ke Simbok. Aku tidak mau sekolah dengan uang haram. Aku hanya ingin minggat. Pergi sejauh-jauhnya. Pergi dari kandang ternak orang yang busuk, beranak tanpa bapak. Aku hanya ingin bersembunyi dari suara tengik para tetangga. Aku hanya ingin berlari, berlari dan terus berlari menghindari tatapan Larto yang membuatku masturbasi sepanjang malam. Aku ingin pergi dari duniaku yang terkutuk. Dan aku ingin pergi ke Arab.
Pagi itu, seminggu sejak obrolanku dengan Simbok, aku ikut ke pasar. Hari itu masih libur sekolah. (Apakah penting penjelasan libur sekolah ini? Libur atau tidak, tidak ada pengaruhnya dengan hidupku.) Saat para pedagang masih terkantuk-kantuk menunggu lalat dan pembeli mengerubuti dagangan mereka, aku menguping pembicaraan Simbok dengan Rifa’i.
“Lastri tidak mau sekolah,” terang Simbok ke Rifa’i, ”ia ingin jadi TKI ke Arab. Aku butuh biaya.” “Suruh dia ke rumahku. Biar aku yang mengurusnya.” “Bagaimana nanti anak dan istrimu?” bantah Simbok. “Itu soal sepele. Rumahku luas. Aku tinggal menjelaskan pada istriku bahwa sudah saatnya ia perlu pembantu. Dan Lastri cocok untuk itu.” “Lastri terlalu cantik untuk menjadi pembantu. Badannya sintal dan montok. Aku khawatir anak laki-lakimu jatuh cinta dengan Lastri. Mereka saudara satu bapak.” “Aku tahu. Akan kubuatkan kamar tersendiri untuknya. Setelah itu, sesegera mungkin kukabulkan keinginannya pergi ke Arab. Kau jelaskan saja pada Lastri bahwa di rumahku hanya sementara.”
Simbok tidak perlu menjelaskan pembicaraannya dengan Rifa’i. Aku telah mendengar semuanya. Aku tidak terlalu bodoh untuk menangkap maksud sandiwara yang harus kuperankan. Aku akan masuk ke rumah Rifa’i, bukan sebagai anaknya, tetapi sebagai pembantu. Ya, sebagai pembantu di rumah bapakku sendiri. Tidak punya hak sebagai anak. Dua hari setelah pembicaraan itu, hari celaka pun tiba. Aku menjadi pembantu di rumah bapakku. Dapatkah kamu membayangkan perasaanku?
Benar yang diceritakan orang, rumah Rifa’i seperti istana. Teras depan dipenuhi bunga-bunga. Ada anyelir, melati dan jemani. Tiang-tiang kayu berukir menyangga genteng berbentuk joglo. Akuarium besar berisi arwana menghiasi sudut belakang kanan, persis di samping kamar Rifa’i dan istrinya. Istrinya yang gemuk dan buruk. Pantas jika Rifa’i lebih suka ngeloni Simbok!
Di kiri pendopo berdiri bangunan untuk anak perempuan Rifa’i, Raminah namanya. Konon katanya, Raminah pernah kuliah di Surabaya tetapi disuruh pulang karena ketahuan hamil. Untuk mencegah malu, Rifa’i memaksa Raminah menggugurkan kandungannya dan pulang kampung. Tidak perlu kuliah lagi. Sejak itu Raminah jadi pengangguran berduit.
Sayap kanan pendopo dihuni anak sulung Rifa’i, lelaki buruk muka dengan mulut sebusuk alkohol. Konon juga, katanya ia mahasiswa tetapi aku setiap hari melihatnya terkapar teler di kandangnya. Banyak gambar perempuan bule telanjang bulat tanpa pakaian tertempel di dinding ruangan. Pantas jika Simbok mengkhawatirkan lelaki ini memangsaku!
Di belakang pendopo terdapat ruang tamu yang terhubung dengan pintu. Di sebelah kanan ruang tamu terletak dapur dan kamar mandi. Aku mendapat tempat di ruangan tiga kali empat di samping dapur, berseberangan dengan kamar mandi. Cukup jauh dari ruang utama. Di ruangan sempit tanpa jendela dan tanpa kaca itulah aku menjalani hari-hari yang mengerikan. Aku menjadi pembantu di rumah lelaki yang menghamili Simbokku.
Tiga belas bulan sudah aku menjadi pembantu, tanpa gajian, tanpa kejelasan kapan akan didaftarkan untuk menjadi TKI. Selama itu aku tidak menanyakan gajiku ke Rifa’i. Semua orang di rumah itu tidak memperdulikanku, karena aku hanya pembantu bagi mereka. Sampai suatu malam, aku memberanikan diri bertanya ke Rifa’i tentang kejelasan masa depanku. Malam itu saat yang tepat ketika bu Rifa’i pergi ke Yogya untuk kulakan bathik. Dan malam itu, malam celaka yang tak kan pernah kulupakan.
Aku datangi Rifa’i yang sedang makan malam. Aku tanyakan perihal kapan aku dapat pergi ke Arab. “Sabarlah sebentar. Tunggu sampai aku selesai makan,” jawabnya waktu itu.
Aku duduk di depannya dengan muka tertunduk. Sungguh itu bukan kemauanku, tetapi karena begitulah seharusnya menjadi pembantu. Rifa’i takut jika kedoknya terbongkar bahwa aku adalah anaknya. Anak haramnya. Jadi aku harus seperti itu. Menghayati peranku sebagai pembantu, agar aku dapat segera pergi ke Arab. “Mari bicara di kamarku,” ajak Rifa’i begitu ia menyelesaikan makan malamnya. “Ya, Pak.” Aku tunduk pada kemauannya. Kapan lagi aku dapat mewujudkan impianku jika aku tidak membicarakan soal itu dengannya.
Suasana senyap. Hujan membadai waktu sore menyisakan malas sehingga orang-orang lebih senang bersembunyi di kamarnya. Rumah besar itu terasa menyeramkan, tidak seperti biasanya. Aku masuk ke kamar Rifa’i. “Tutup pintunya. Apa yang ingin kamu tanyakan? Gajimu?” duga Rifa’i membuka percakapan. “Tidak Pak. Masak saya minta gaji sama Bapak.” “Kenapa tidak?” balas Rifa’i,”tapi tolong pijit kakiku dulu, nanti gajimu kubayar sebagai bekalmu ke Arab.” Aku menuruti kata-katanya. Aku mulai memijit kakinya. Itu semua kulakukan karena aku hanya ingin pergi ke Arab. Tak perduli bapak haramku menganggapku pembantu. “Cobalah lebih dekat,” pintanya. Aku mendekatkan tubuhku. “Kamu semakin dewasa dan…. montok.”
Aku diam membisu. Mukaku terasa sedikit panas waktu itu. Apakah Rifa’i sudah menerimaku sebagai anaknya? Mungkin sebab tidak ada orang di rumah, dia berani memperlakukanku begitu. Meskipun aku anak haramnya.
Tangannya mulai merangkul pinggangku. Aku merasa terharu. Bapakku memelukku. Sunyi semakin senyap. Bapakku mendekapku erat-erat. Perlahan kutumpahkan rinduku pada sosok Bapak. Ia menciumi wajahku dengan nafas memburu. Ya. Nafas memburu. Hingga aku tersadar lelaki itu tidak memelukku sebagai anak, tetapi hendak menggagahiku! Aku meronta. Aku marah. Tapi semuanya datang terlambat. Rifa’i gelap mata. Seperti tertimpa langit runtuh, berderak tiba-tiba kepalaku pening. Semua menjadi gelap. Gelap dan pekat!
Keesokan harinya aku sudah terkapar di kamar pengapku. Luka memar di sana-sini. Perih di sekujur tubuhku. Perih di kelaminku. Bercak amis mengering di sepanjang kakiku. Darah. Lukaku berdarah-darah. Aku mendadak seperti gila. Aku jambak rambutku. Aku robek-robek pakaianku. Aku ledakkan semua amarah pada pintu, pada tembok, pada kaca dan pada semua yang ada di sekelilingku. Perih itu terlampau pedih. Hingga aku tidak mampu menegakkan tubuhku. Aku ingin mati, tetapi tidak mati. Dunia kembali menggelap. Aku tidak mau pingsan. Tetapi aku pingsan.
Lima bulan berlalu sejak kejadian itu. Lima bulan aku terkunci di ruang sempit, gelap dan pekat kamarku sendiri. Aku ingin minggat, tapi tak berdaya. Setiap pagi dan sore Rifa’i memberiku makan lewat lubang di bawah pintu. Ia bercerita ke seisi rumah kalau aku kerasukan jin pohon beringin belakang rumah hingga harus di karantina. Jin jahat itu suka mengamuk dan memporakporandakan semuanya. Jin jahat itu tiga hari sekali harus mandi kembang. Jin jahat itu hanya mau tunduk pada Rifa’i. Tiga hari sekali Rifa’i memandikanku. Tiga hari sekali menggagahiku. Tidak ada yang perduli. Tidak ada yang menjawab pekik lolongku. Di mata mereka aku kerasukan iblis. Selama itu aku tinggal di neraka. Sampai suatu malam aku teringat untuk memohon pada-Nya, jika Ia itu memang ada. Aku berdoa. Aku memohon agar penderitaanku berakhir.
Sepertinya Ia ada dan doaku didengar-Nya. Suatu sore seorang ustad datang ke rumah. Ia datang karena mendengar cerita Raminah kalau aku kerasukan jin jahat. Ustad itu ingin mengusir jin jahat dari tubuhku. Aku menerimanya dengan senyum ceria. Allah mengabulkan doaku, batinku.
Menjelang maghrib aku dibawa ke tengah pendopo. Seluruh keluarga berkumpul di sana dan mengelilingiku. Di hadapan mereka terdapat meja-meja kecil dengan Al Quran di atasnya. Mereka mengaji. Termasuk lelaki tengik, Rifa’i itu juga turut mengaji. Aku tertawa geli. Seandainya aku tidak ingin balas dendam dan minggat dari rumah itu, tentu aku sudah menerkam dan mencekik lehernya. Ingin aku membunuhnya, mengambil jantungnya dan meminum darahnya. Mataku memerah, semerah darah. “Lihatlah, jin itu marah dan mentertawakan kita,” kata Rifa’i waktu itu. Mataku melotot ke arahnya. “Tenanglah, Saudaraku. Kami tidak ingin mengganggumu,” kata Ustad. Yang lain mulai melantunkan ayat-ayat suci. Dan aku berteriak,”Aminnnnn.” “Ustad, tolong bebaskan aku dari sini,” bisikku pada Ustad itu. “Ya, tentu saja. Kami akan mengirimmu pulang,” jawabnya. “Tidak. Aku tidak mau pulang. Aku malu. Aku ingin pergi ke Arab!” bisikku pada Ustad. “Jin yang menghuni tubuh Lastri ingin naik haji. Ia ingin pergi ke Arab.” Aku mendengar Ustad berbisik pada Rifa’i dan keluarganya. Marahku semakin menggila. “Aku tidak kemasukan jin. Aku hanya ingin pergi dari neraka jahanam ini. Biarkan aku pergi,” jeritku semakin mengeras. “Ikat dan tutup mulutnya!” lengking Rifa’i.
Tiga orang lelaki menubrukku. Lalu mengikat tangan dan kakiku. Kain pembersih keringat disumpalkan ke mulutku. Aku hanya mampu meronta dan meronta yang membuat tubuhku semakin terluka. Tidak ada lagi air mata. Marah itu terlalu merah. Hanya mataku menggelepar liar, melolong tanpa suara. “Diamlah kalau kau tidak ingin lebih menderita!” bentak Rifa’i. “Saudaraku….” “Kami akan membunuhmu jika kau terlalu banyak bicara!” Ustad itu tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, terpotong hardikan Rifa’i. “Pak Rifa’i, tenanglah dulu. Jin ini bisa membunuh Lastri kalau kita terlalu keras padanya. Kalau kita membunuhnya, itu sama saja dengan membunuh Lastri.”
Lalu mereka memulai ritual lagi. Berbagai macam ayat mengalun memenuhi pendopo. Semua orang khusyuk melantunkan ayat-ayat suci. Aku lunglai tanpa daya seperti pesakitan.
Ya Allah, apa yang harus kulakukan, bisik batinku. Berpura-puralah waras. Bohongi mereka, yang penting kamu keluar dari rumah celaka ini, begitu bisikan yang tergiang di telingaku. Aku tenang. Aku letih. Aku tertidur. “Lastri..Lastri…”
Bisikan dan sentuhan lembut membangunkanku. Muka Ustad tepat di depanku. “Kamu sudah sadar, Nak?” tanyanya. “Ijinkan aku pergi Ustad. Ijinkan aku pergi,” desisku lemah. “Baiklah…kemana kamu ingin pergi?” “Aku ingin pergi ke Arab.” Muka Ustad tampak kecewa. “Jin di tubuh Lastri terlampau kuat. Ia senang mendengarkan ayat suci. Dan ia ingin naik haji ke Arab. Aku tidak sanggup mengusirnya,” terang Ustad ke Rifa’i dan keluarganya. “Ustad, jika memang jin itu ingin naik haji dengan meminjam tubuh Lastri, biarlah aku yang menanggung biayanya,” kata Rifa’i. “Baiklah kalau begitu,” jawab Ustad sok tahu itu. “Malam ini juga, aku akan mengirimnya ke Surabaya,” tandas Rifa’i. “Baiklah, hati-hati di jalan Pak Rifa’i. Saya pamit dulu. Assalamualaikum…” “Waalaikumsalam…”
Malam itu aku dibawa Rifa’i ke Surabaya.
“Aku akan membuka ikatanmu dan membebaskanmu jika kamu tidak membuatku repot,” ancam Rifa’i begitu sampai di depan sebuah gedung, lebih tepatnya pabrik yang tidak terpakai di Surabaya. “Dan jika kamu macam-macam, aku akan membunuhmu. Simbokmu hanya tahu kalau kamu sudah di Arab. Kalau kamu mati, aku tinggal menjelaskan kalau kamu mati di Arab,” tambah Rifa’i tampak panik. Aku hanya mengangguk lemah. Ingin rasanya kupecahkan kepala bapak haramku itu. Tapi aku sungguh tak berdaya. Hina dan tak berdaya.
Ia membebaskanku. Selangkah lagi aku akan terbebadari iblis bermuka manusia, pikirku saat itu. Aku diserahkan ke seorang perempuan berperut buncit. Bukan agen untuk naik haji, tetapi agen TKI di Surabaya.
“Tolong urus dia. Dia agak stress akhir-akhir ini. Ingin ke Arab tapi tidak punya biaya. Tolong bantu dia,” kata bapak haramku ke perempuan itu.
“Tentu Pak. Kami akan membantunya menjadi perempuan kaya raya beristri raja minyak,” jawab perempuan gendut dengan nada mengejek.
Aku muak melihat wajahnya. Aku muak melihat muka mereka. Aku muak mengingat semua itu. Aku muak menceritakan semua ini kepadamu.
Hari-hariku berlalu kusut di penampungan TKI. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan tidak ada perkembangan. Gerak-gerikku terus diawasi seperti napi. Aku tidak dibekali apapun untuk menjadi TKI. Aku hanya menjadi pelayan para calon TKI. Aku disuruh membersihkan kamar mereka, mencuci dan menyeterika baju mereka. Dan aku tidak punya apa-apa. Aku tidak mengerti mengapa aku diperlakukan seperi babu. Sampai hal itu kutanyakan pada perempuan yang kuingat pada malam celaka itu. Tapi jawaban yang kuterima cukup sederhana, aku telah dibelinya untuk menjadi babu!
Masyaallah. Seandainya kamu mengalami deritaku, masih inginkah untuk terus hidup. Aku hanya ingin pergi ke Arab, bukan menjadi babu di pabrik penampungan orang celaka itu. Dan setiap hari kuceritakan ke semua orang, bahwa aku hanya ingin pergi ke Arab. Tanpa mampu menceritakan perilaku durjana yang kuterima. Mampukah kau menceritakan aib yang kau terima? Aku tidak punya pilihan lain selain minggat sejauh-jauhnya. Aku tidak ingin mati. Aku tidak lagi ingin bunuh diri. Aku hanya ingin pergi. Pergi dari tanah terkutuk ini. Hingga suatu saat nanti aku dapat membalas semua penghinaan ini.
Lima tahun telah berlalu. Umurku kini 26 tahun. Dan aku menuliskan semua ini dari sebuah penjara yang mereka namai rumah sakit jiwa.
Jakarta, April berhujan 2011 Catatan: Adhang-adhang : membeli buah dari petani kemudian menjualnya lagi tanpa menetap di satu tempat. Kumpul kebo : hidup seperti pasangan suami istri tapi tidak menikah secara syah. Jika terdapat kesamaan nama, peristiwa dan tokoh dalam fiksi ini, merupakan kebetulan semata.
Ragil Koentjorodjati: Penulis lepas dan blogger di www.retakankata. wordpress.com
Sumber: Kompas, 8 Juli 2011
08 Juli 2011
Asih Sulastri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar