- Oleh Nikmah Rahmawati
Terlepas adanya pihak yang masih mempertanyakan validitas survei itu, temuan ini sudah cukup menjadi peringatan bagi pihak sekolah dan orang tua, untuk mewaspadai masuknya paham radikalisme atas nama agama pada putra-putri kita. Kewaspadaan itu makin relevan jika dikaitkan merebaknya pemberitaan penyusupan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang merekrut kader di sekolah, mulai siswa SMP sampai mahasiswa, juga dari kalangan birokrasi dan profesional.
Remaja yang terjaring oleh kelompok radikal, umumnya yang belum memiliki dasar pengetahuan agama atau wawasan kebangsaan yang kuat. Kondisi inilah yang menjadikan mereka mudah dicuci otaknya dengan doktrin hanya keyakinan merekalah yang benar. Yang tidak sepaham dianggap salah dan sesat. Remaja efektif untuk direkrut, karena usia remaja adalah masa transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003).
Harus diakui, kebanyakan guru hanya menjalankan fungsinya sebagai pengajar, bukan sebagai pendidik. Guru hanya mengajar berdasarkan materi pelajaran tekstual, dan tidak mengarahkan pada hal yang kontekstual, merujuk pada problem keseharian peserta didik. Sebagian pelajaran agama masih bersifat dogmatis dan tekstual. Demikian pula dengan kurikulum pendidikan kewarganegaraan.
Sebenarnya bila metode pembelajaran dibiasakan dengan contextual teaching learning (CTL) maka anak akan terbiasa dihadapkan pada perbedaan tapi tetap dalam bingkai keharmonisan. Bukankah perilaku dapat dibentuk melalui kebiasaan (habituation) yang dilakukan secara berulang?
Dalam metode CTL, strategi pembelajaran berbasis problem menggunakan konteks beragam, akrab dengan perbedaan dan belajar melalui kolaborasi. Harmoni dalam perbedaan. Remaja tidak mudah kaget jika dihadapkan pada perbedaan. Hal ini akan terbentuk jika sekolah terbiasa menggunakan metode pembelajaran berbasis problem solving dan memberikan kesempatan anak didik mengeksplorasi rasa ingin tahunya.
Nilai Patriotisme
Kelemahan sistem pembelajaran yang lain adalah, peserta didik terbiasa dengan hanya satu pilihan, misalnya guru membuat soal yang hanya memiliki satu jawaban yang benar dan tidak memberikan kesempatan untuk mengasah daya nalar dan kritis murid. Guru hanya menghargai kecerdasan matematis logis. Guru hanya menerapkan metode ceramah. Karena terbiasa dikondisikan hanya dengan satu pilihan, disadari atau tidak, hal ini membentuk watak remaja yang hanya menghargai satu pilihan saja.
Cara berpikir yang menganggap hanya ada kebenaran tunggal inilah yang menjadi doktrin kelompok radikal. Perbedaan paham di luar keyakinannya dianggap salah. Remaja tidak akan mudah dipengaruhi doktrin tersebut, jika kultur di sekolah sudah akrab dan menghargai perbedaan.
Selain itu, nilai-nilai patriotisme di sekolah perlu dikuatkan baik melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) dengan menggali nilai-nilai nasionalisme bangsa maupun melalui pembiasaan sehari-hari di sekolah yang terintegrasi dengan pembelajaran.
Jika sekolah sudah menerapkan proses pembelajaran dengan benar, orang tua bisa menjadi contoh dan pendamping yang baik bagi anaknya, serta masyarakat bisa menghargai perbedaan dan kemajemukan sebagaimana diwariskan founding fathers republik ini. Maka, kita tak perlu gugup dan gagap menghadapi virus radikalisme, baik yang mengatasnamakan agama, moral, maupun alasan lainnya.
Jika keharmonisan dalam perbedaan sudah terbentuk, rasanya kita tak perlu secara latah mendirikan crisis centre atau posko untuk menangkal gerakan radikalisme sebagaimana yang saat ini banyak dilakukan oleh sekolah, kampus, dan organisasi kemasyarakatan sebagai reaksi atas pemberitaan menggejalanya paham radikalisme. (10)
— Nikmah Rahmawati MSi, Kepala SD Islam Al Azhar 29 Bukit Semarang Baru (BSB), alumnus Program Magister Psikologi UGM
Sumber: Suara Merdeka, 9 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar