Judul buku : Presiden Prawiranegara
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 370 Halaman
yafruddin Prawiranegara merupakan salah satu sosok penting bagi eksistensi berdirinya Republik Indonesia. Meski demikian, tidak banyak yang mengenal kiprah dan jasanya yang begitu besar. Bahkan hingga kini, usulan pengangkatan dirinya sebagai pahlawan nasional seolah menemui lorong gelap nan buntu.
Bisa jadi, keterlibatannya sebagai Perdana Menteri dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 membuat catatan perjuangannya sedikit "tercoreng". Namun, hal itu bukannya tanpa sebab. Cengkeraman Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan Soekarno yang begitu kuat juga karena terjadinya ketimpangan sosial yang begitu menggila, menjadi alasan mengapa pemberontakan yang notabene dilakukan oleh para mantan pejuang kemerdekaan itu meletus.
Pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut pemberontakan tersebut, yang ditetapkan oleh Keputusan Presiden RI No. 449/1961 setelah dapat dipadamkan, menjadi sinyalemen kuat, betapa Soekarno sangat menghormati jasa-jasa sosok yang sederhana dan selalu mengenakan peci hitam ini.
Perlakuan berbeda justru ditunjukkan oleh rezim otoritarian Orde Baru pimpinan Soeharto. Syafruddin harus mengalami pencekalan, bahkan hanya untuk melakukan khotbah Idul Fitri. Perlahan tapi pasti, sosok dan jasanya seolah ter(di)kubur dalam lembaran usang sejarah.
Terbentuknya PDRI
Aroma busuk yang selama ini berembus pekat dari kolonial Belanda semakin menjadi dengan dilakukannya Agresi Militer II. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 ini dilakukan atas Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia pada waktu itu. Padahal perundingan damai tengah digagas PBB dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) atau populer dengan nama resmi Good Office Committee (GOC), yang terdiri atas Australia mewakili kepentingan Indonesia, Belgia mewakili Belanda, dan Amerika Serikat merupakan anggota ketiga.
Serangan Belanda ini pada dasarnya ditujukan bukan hanya kepada Yogyakarta, melainkan juga kota-kota yang tidak tergabung dalam Bijeenkomst Federal Overleg (BFO) yang dibentuk Van Mook. BFO atau musyawarah negara federal adalah sekumpulan negara bagian, misalnya Negara Pasundan, yang dibentuk melalui konferensi Federal di Bandung pada Mei 1948 (halaman 122). Namun sebagai ibu kota negara, tempat berkumpulnya para petinggi negara, Yogyakarta menjadi sasaran utama.
Dalam keadaan genting dan terkepung inilah, setelah melalui sidang kabinet secara darurat yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri Agus Salim; Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Ali Sastroamijoyo; Menteri Pekerjaan Umum Ir Laoh; dan Kepala Sekretariat Presiden Mr AG Pringgodigdo; dan Bung Hatta; serta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sutan Syahrir yang hadir belakangan, lahir tiga buah keputusan:
Pertama, Presiden dan para menteri tidak akan meninggalkan ibu kota Yogyakarta karena tidak adanya kepastian pengawalan yang mencukupi. Kedua, Wakil Presiden yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan akan menganjurkan lewat radio agar semua tentara dan rakyat melakukan perang gerilya. Ketiga, Presiden dan Wakil Presiden akan mengirimkan radiogram kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang masih berada di Bukittinggi untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat lengkap dengan kabinet baru, serta melanjutkan pemerintahan sebagai konsekuensi seandainya terjadi penahanan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (halaman 82).
Sementara itu, secara pribadi, Presiden Soekarno menginstruksikan kepada Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia, jenderal terbesar yang pernah dilahirkan Republik Indonesia, orang yang meski hidup dengan satu paru dan ditandu, tetapi tidak pernah gentar menghadapi sekutu, Sudirman, untuk memimpin gerilya di Tanah Jawa.
Di pedalaman Halaban, sebuah perkebunan teh di bawah kaki Gunung Sago, Payakumbuh, Sumatera, tepatnya di sebuah dangau kecil yang belakangan dikenal dengan "Dangau Yaya", Syafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pukul 03.40, hari Rabu, 22 Desember 1948.
Pemerintahan berdiri lengkap dengan susunan kabinet. Inilah pemerintahan, yang menjaga napas proklamasi terus berembus hingga saat ini, dengan Kuding, panggilan akrab Syafruddin Prawiranegara, sebagai Presiden/Ketua, dan Mr Teuku Mohammad Hasan sebagai wakil (halaman 242).
Atas terbentuknya PDRI ini kemudian napas proklamasi kemerdekaan yang diembuskan oleh Soekarno di Jakarta, 17 Agustus 1945, dapat bertahan hingga kini. Jika saja tongkat pemerintahan terhenti dengan ditahannya para pemimpin di Yogyakarta dan Indonesia kembali terjatuh dalam kolonialisme, maka proklamasi kemerdekaan mungkin harus kembali dikumandangkan.
Novel menggugah kesadaran
Pengorbanan sosok Kuding yang harus meninggalkan istri dan empat orang anaknya yang masih kecil di bawah gempuran pasukan Belanda di Yogya, sementara ia sendiri harus bertahan di rimba belantara Sumatera menjadi lakon inti dari buku setebal 370 halaman ini. Sebagai sebuah novel, dramatisasi dari Akmal Nasery Basral, penulisnya, tidak dapat dihindari. Kehadiran tokoh fiktif-imajinatif bernama Kamil Koto, dan begundal pasar Pariaman yang kemudian bertobat, menjadi warna tersendiri. Bahkan, kehadiran tokoh fiktif ini sepertinya memiliki porsi berlebih tinimbang sosok Syafruddin sendiri, yang menjadi kelemahan dari novel yang menggugah kesadaran pembaca akan pentingnya mengenal tokoh-tokoh besar yang pernah dilahirkan republik tercinta.
Rupanya kesadaran atas pentingnya sejarah tidak pernah musnah. Salah satunya dengan kehadiran buku berjudul Presiden Prawiranegara ini. Meski tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, apalagi untuk memaparkan temuan hitoris yang baru, kehadirannya dapat melecut kesadaran kolektif bangsa pelupa ini akan sosok besar yang memiliki peran sebagai penjaga napas proklamasi.
Sumber: Kompas, 21 Juni 2011
21 Juni 2011
Sang Penjaga Napas Proklamasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar