BUKU berjudul Jagadnya Gus Dur; Demokrasi, Pluralisme, dan Pribumisasi Islam yang ditulis KH Zainal Arifin Thoha ini adalah buku yang mengulas jejak langkah, pemikiran-pemikiran dan gerakan Gus Dur. Mulai gerakan kultural (sebagai ketua umum PB NU) sampai pada struktural (menjadi presiden keempat RI).
Dalam buku ini dikatakan bahwa Gus Dur adalah sosok kiai yang cerdas, karismatik, dan jenaka. Dia selalu bersikap i'tisar, yakni menyenangkan orang lain dengan selalu bersikap akomodatif dan demokratis, serta mampu mengalahkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, banyak anak muda dan tokoh nonmuslim yang terinspirasi, baik dari tulisan maupun pernyataan-pernyataan Gus Dur.
Resonansi kekiaian Gus Dur juga tidak hanya dirasakan kalangan umat Islam, tetapi juga di kalangan umat agama lain. Itu sebabnya, kepergian Gus Dur tidak hanya ditangisi oleh kalangan umat Islam, tetapi juga umat agama lain. Hal ini terbukti dari maraknya acara doa lintas iman dan keyakinan yang dirapalkan di berbagai daerah di Indonesia, baik untuk kesembuhan Gus Dur semasa sakit maupun untuk ketenangan arwah Gus Dur yang kini sudah dipanggil ke hadirat-Nya.
Ulama Aktivis
Seperti dikatakan Abdul Moqsith Ghazali (2010) bahwa semasa hidup, Gus Dur bukan hanya tokoh pemikir dan ulama yang bertafsir dan berteologi dari atas menara. Dia adalah seorang aktivis yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi, terutama terhadap kelompok-kelompok tertindas, baik dari agama, etnis, maupun gender. Gus Dur akan hadir, misalnya, ketika buruh dan pedagang kaki lima mengalami ketidakadilan. Dia bersumpah akan terus membela hak-hak sipil kelompok Ahmadiyah tatkala hak-hak mereka dirampas. Dia akan datang begitu ada rumah ibadah yang dibakar. ''Manusia perlu dibela, Tuhan tidak,'' kata Gus Dur. Upaya seperti itulah yang membedakan Gus Dur dengan banyak tokoh lain.
Bagi kita, barangkali eksistensi Gus Dur telah menerbitkan tantangan tersendiri, bahwa siapa saja dan di mana saja bisa bangkit dan berdiri seraya melakukan perubahan-perubahan (mulai dari diri sendiri) untuk masyarakat, bangsa dan dunia, yang memiliki arti penting bagi nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan kemajuan. Bagi Indonesia, eksistensi Gus Dur telah menerbitkan angin segar yang penuh kebaruan dan harapan bahwa negara bukanlah suara entitas mistis, sakral dan tak terjamah. Sebaliknya, negara tidak lain hanyalah satu entitas dari pluralitas entitas, yang masing-masing (seharusnya) memiliki independensi, yaitu saling menerima dan memberi tanpa intervensi. Dengan demikian, betul-betul tercipta civil society atau kewarganegaraan yang mandiri.
Sang ''Pamomong''
Gus Dur memang sang ''pamomong". Dia figur yang memiliki watak mengayomi, membimbing, serta memperteguh kasih sayang atas sesama tanpa membeda-bedakan latar belakang status sosialnya. Sikap yang ditunjukkan kepada pejabat, misalnya, atau bahkan kepada presiden sekalipun, tidak berbeda dengan sikap yang diberikannya kepada wong cilik. Itu sebabnya, setiap kali mengadakan open house di kediamannya, Gus Dur tetap saja ramah dan penuh kasih sayang kepada siapa saja yang datang. Gus Dur juga seolah telah ditakdirkan oleh sejarah untuk selalu ''zig-zag''. Karena itu pula, barangkali, dia diemong oleh sejarah untuk menjadi jembatan antar berbagai kepentingan.
''Zig-zag'' itu terlihat betapa Gus Dur kecil yang lahir di Pesantren Denanyar, Jombang, kemudian harus pindah ikut orang tuanya ke Jakarta, yang memperkenalkannya dengan khazanah dunia modern. Kemudian dia harus pindah ke Jogjakarta, kembali pada dunia pesantren, termasuk ke Magelang. Lalu dia mengenal dunia Timur Tengah, juga beberapa negara Eropa, lalu kembali ke Jombang, dan pindah serta menetap di Jakarta. Dengan ''zig-zag'' seperti itu Gus Dur menjadi banyak mengenal pluralitas budaya.
Sebagai pamomong, Gus Dur memang memiliki banyak warna. Sebagai figur seorang ulama, dia dikenal dengan wacana ''pribumisasi Islam''-nya. Sebagai negarawan, Gus Dur dikenal dengan gagasan-gagasan ''demokrasi''-nya. Sebagai politikus, Gus Dur dikenal dengan ''politik zig-zag"-nya. Sebagai pemimpin masyarakat, Gus Dur dikenal sebagai ''king makers"-nya. Sebagai budayawan, Gus Dur dikenal dengan ''humor-humor cerdas''-nya. Sebagai cendekiawan dan intelektual, Gus Dur dikenal dengan pemikiran ''liberal''-nya; dan sebagainya. Inilah gambaran sosok sang pamomong, sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke-tawadluan sekaligus kebebasan; sosok yang memerankan diri laksana ''bandul jam'' yang terus bergerak dinamis, dari kutub ke kutub yang lain, lalu menciptakan keseimbangan (hlm. 28).
Oleh karena itu, kepergian Gus Dur sesungguhnya adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Terlebih di tengah keprihatinan yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak lama diperjuangkan Gus Dur. Dalam situasi demikian, seperti dikatakan Yudi Latif (2010), tugas intelektual untuk ''berkata benar pada kuasa'' penting dipancangkan sebagai penjaga kewarasan bangsa. Keberanian berkata ''benar'' inilah warisan kepahlawanan Gus Dur yang teramat mulia untuk dijunjung tinggi tunas pahlawan masa depan.
Ali Ibn Abi Thalib, salah seorang sahabat Nabi Saw, pernah berkata bahwa ''jika seorang pahlawan alim meninggal, terjadilah lubang dalam komunitas yang tidak tertutupi hingga datang alim lain yang menggantikannya''. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kita tengah berada dalam transisi pencarian figur-figur ''Gus Dur'' baru untuk melanjutkan perjuangannya.
Oleh karena itu, hadirnya buku Jagadnya Gus Dur ini setidaknya bisa menggugah hati kita untuk mengetahui, memahami, dan meneladani jejak langkah, pemikiran, dan gerakan Gus Dur, dan selanjutnya mampu meneruskan perjuangannya. Semoga. (*)
*) Puji Hartanto , Pemerhati Sosial dan Budaya. Pengelola PP Hasyim Asyari Jogjakarta
Judul buku: Jagadnya Gus Dur; Demokrasi, Pluralisme, dan Pribumisasi Islam
Penulis : KH Zainal Arifin Thoha
Penerbit : KUTUB, Jogjakarta
Cetakan : Januari 2010
Tebal : xvi + 276 Halaman
Sumber www.jawapos.co.id