Sekembali dari Paris rumah
terasa asing. Paradoks sebetulnya karena saat berada di negara Napoleon saya
justru sangat merindukan rumah. Meski
hanya setahun namun yang terasa seribu tahun. Waktu itu, bayangan istri
dan Alif, selalu datang menjelang tidur. Seketika doa-doa pilihan untuk
kebaikan mereka meluncur cepat menjawab sesal diriku yang jauh. Tatkala rindu
masakan rumah biasanya diusir dengan makanan Kantin KBRI (Kedutaan Indonesia) Paris.
Sayang kantong mahasiswa yang terbatas seringkali memaksaku menahannya.
“Kerinduan itu sekarang terbayar tapi mengapa terasa asing?”, tuntut batin ini
menyerang nalarku. Suara kritis alumni Sorbonne pun membisu. L’hiver, musim salju, seolah datang
menyapa Sragen dan membuatku membeku.
Dalam bingung kudatangi si HP
teman setia saat di Kota Romantis. Tanpa banyak bertanya, ia membiarkan
badannya diobok-obok dari satu folder
ke folder lainnya ditemani si Blacky,
mouse hitam miliknya. Satu persatu file
kisah hidup di Kota Mode Dunia membuka. Tiba-tiba suara sms istri memecah konsentrasi
dan saatnya menjemput Alif, jagoan kecilku, pulang penitipan. Rasa penasaran
terhadap penyebab rasa asing rumah terpaksa diabaikan sejenak dan saatnya menemani
Alif tumbuh dan berkembang.
Berdua dengan alif membuatku
semakin asing dengan diri sendiri. Bukannya bahagia mengasuh anak justru emosiku
sangat labil. Alif terlalu banyak bergerak dan capek menjaganya. Ia juga
cengeng. Puncaknya saat bersiap ke Masjid untuk Sholat Ashar. Alif kuletakkan
di kasur supaya aman. Ternyata, masalahnya bukan jatuh tapi ia ngompol dan
mengenai surat keterangan lulus. Sontak kupanggil Mba Mar dan kusalahkan karena lalai memberi pampers. Ketika itu suaraku menggema,
sorot mataku tajam, dan wajahku memerah menghakimi pembantu yang belum genap 17
tahun. Saat palu pemecatan hampir diketok
tiba-tiba suara iqomat berkumandang tanda panggilanNya harus disegerakan. Setelah
salam, tanpa sadar air mata mengalir lembut membasahi pipi. Sesal kemudian setelah
memperturutkan amarah.
Keesokan hari, setelah
mengantar Alif ke penitipan, si HP kudekati lagi dan kubawa ke Perpustakaan Daerah
(Perpusda) Sragen untuk mendapatkan
suasana layaknya berada di Bibliotheque
l’Institute de Geographie, perpustakaan fakultas
geografi di Sorbonne. Selesai booting,
saya dikejutkan dengan notifikasi wifi Perpusda, ‘wow! ada wifi,’ teriak hatiku
kegirangan. Langsung kucoba dan email serta
messenger masuk bertubi-tubi dari
teman-teman kampus, sahabat PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Prancis, anggota
pengajian dekat asrama, kenalan dan Indonesianis. Saya pun larut ngobrol dengan
mereka melalui skype dan yahoo messenger layaknya bertemu muka di
sudut Kota Paris. Jika dulu aku melakukannya dari sana untuk melepas rindu
dengan istri dan anak, kini aktifitas tersebut saya lakukan dari Perpusda untuk
chating dengan teman-teman. Saking
asyiknya beberapa kali suara ekspresi saya kelepasan tapi orang-orang
disekitarku cuek seolah biasa dengan kejadian tersebut. Padahal sempat kawatir
diprotes seperti peraturan bibliotheque
quartier latin, nama lain
perpustakaan fakultas, yang tidak mentoleransi keributan. Sampai
akhirnya seorang petugas perpustakaan menghampiri dan memintaku lebih tenang.
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, saya sudahi aktifitas chating dan berganti melihat kondisi
perpustakaan lebih rinci.
Puas berkeliling saya harus
mengakui secara fisik Perpusda tidak sebanding dengan perpustakaan di Jalan Saint Jacques, tempat
aku biasa mencari referensi geografi. Tapi hebatnya dengan fasilitas sederhana Perpusda
mampu mendorong masyarakat untuk maju dengan cara mudah. Salah satunya menjadi
penghubung komunikasi antar benua seperti pengalaman yang baru saja saya alami.
Padahal di fakultas geografi Sorbonne saya harus melakukan banyak prosedur untuk
tersambung dengan jaringan wifi. Semangat memudahkan juga yang saya lihat
membedakan Perusda Sragen dengan perpusda di daerah lain. Agar masyarakat mudah
membaca koleksi buku Perpusda, perpustakaan keliling datang membawa buku
tersebut sampai ke pelosok desa. Agar layanan Perpusda mudah dijangkau
masyarakat, segera dibangun Perpusda cabang dengan fasilitas selengkap Perpusda
pusat.
Tidak
terasa sudah hampir 4 jam saya berada di Perpusda. Saatnya sholat dzuhur. Saya tinggalkan Perpusda
menuju Baitullah dengan perasaan lega. Perasaan asing karena perubahan
lingkungan yang terlalu cepat telah hilang berkat kehadiran sahabat pena di
Paris. Perpusda dengan layanan wifi-nya telah menjadi jembatan pena,
menghubungkan saya dengan sahabat-sahabat
seperjuangan kuliah. Saatnya mengganti notebook Hewlet Packard (HP) lama dengan
yang baru untuk menyambut sahabat pena baru.
Nama lengkap : Mohamad Andrian Isnaeni
Akun FB : Mohamad Andrian Isnaeni
Alamat : Jl Mendut No. 7, Candi Baru,
Plumbungan