HEBAT. Itu tanggapan atas berita bahwa Indonesia bisa menjadi model untuk pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik. Penilaian itu diberikan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Sejak 2007, buta aksara di Indonesia turun 1,7 juta orang, menjadi 10,1 juta. Sekitar 7 juta di antaranya perempuan. Sukses program pemberantasan buta aksara antara lain berkat dukungan 59 perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai daerah di Indonesia. Jendela dunia terbuka makin lebar bagi mereka yang melek aksara.
Namun, angka tadi tidak seiring dengan hasil survei UNESCO yang menunjukkan minat baca kita sangat rendah. Dua tahun lalu kita yang paling rendah di kawasan Asia. Sementara itu International Educational Achievement mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Kesimpulan itu diambil dari penelitian atas 39 negara. Indonesia menempati urutan ke-38. Dua hal itu antara lain menyebabkan United Nations Development Program (UNDP) menempatkan kita pada urutan rendah dalam hal pembangunan sumber daya manusia.
Kenyataan-kenyataan tadi membuktikan, melek aksara tidak menjamin peningkatan kemampuan maupun minat membaca. Kita perlu prihatin. Tanpa minat baca, dari mana kita bisa memperoleh ide-ide segar dan baru? Dilihat dari jumlah penduduk kita dan jumlah harian yang beredar tiap hari, persentase bacaan koran amat sangat kecil. Seputar 1%? UNESCO menetapkan, sebaiknya 10%.
Editorial Media Indonesia hari Senin lalu khusus membahas soal ini. Antara lain disebutkannya, kemajuan media elektronik salah satu faktor yang ikut menghambat lajunya minat baca. Memang masyarakat kita sejak dulu jauh lebih mengandalkan budaya lisan daripada tulisan. Masyarakat kita lebih suka menonton wayang, misalnya. Bahwa jumlah buku dalam bahasa-bahasa daerah tidak berarti, membenarkan asumsi tadi. Maka kita tidak terlalu kaget ketika melihat masyarakat kita sekarang jauh lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi daripada membaca. Gejala ini sebenarnya ada di semua negara, bergantung pada kelompok masyarakatnya, tontonannya, dan jenis bahan bacaan yang ada.
Tekanan sosial seharusnya ada pengaruhnya. Misalnya, apakah minat dan kemampuan membaca merupakan persyaratan bagi klasifikasi sosial masyarakat? Di tingkat bawah, orang-orang kita yang buta aksara, atau yang kemampuan membacanya kurang, lebih sulit mencari pekerjaan yang memadai jika dibandingkan dengan mereka yang lebih terdidik. Ini seharusnya mendorong masyarakat untuk belajar membaca lebih baik.
Lain situasinya dengan masyarakat di negara-negara maju. Membaca kelihatannya sudah menjadi bagian dari hidup. Membaca juga memberi hiburan. Sistem dan fasilitas dibangun untuk mendukungnya. Begitu bertimbun bacaan-bacaan yang padat makna sejarah, makna ilmiah, atau padat nilai-nilai kemanusiaan, moral dan spiritual, maupun hiburan, sehingga masyarakat tinggal memilih sesuai selera. Membaca sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institut, Universitas Stanford, pernah mengatakan tujuan pokok pembangunan ekonomi adalah mengusahakan tercapainya taraf penghidupan yang layak bagi segenap rakyat. Namun, rasanya kita sepakat, kemajuan suatu bangsa tidak bisa hanya diukur dari GNP per kapita rakyatnya. Pembangunan juga mencakup ide mendewasakan kehidupan politik, seperti tecermin dalam proses pemerintahan yang stabil dan tertib, yang didukung kemauan rakyat banyak. Juga mencakup pendidikan yang menyeluruh bagi rakyat, termasuk pengembangan seni budaya, sarana komunikasi, dan penyuburan segala bentuk rekreasi. Kesimpulannya, pembangunan mensyaratkan perubahan sikap dan perilaku manusia. Perlu transformasi. Sarana paling ampuh untuk transformasi adalah komunikasi. Bacaan termasuk di dalamnya.
Sejauh ini kita terkesan bingung menghadapi ide transformasi. Wajar karena transformasi menuntut perubahan cara berpikir. Secara berangsur kita harus meninggalkan cara berpikir yang sudah mengendap lama dalam budaya kita dan sudah kedaluwarsa. Sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun. Meninggalkannya seperti meninggalkan prinsip-prinsip kehidupan asli kita. Tarik ulur pertentangan mengenai hal ini masih terjadi sampai sekarang. Dalam hal modernisasi, kita masyarakat heterogen.
Menurut Inkeles, ciri-ciri manusia modern ada dua; yang eksternal dan yang internal. Yang pertama berkaitan dengan lingkungan. Yang kedua tentang sikap, nilai-nilai, dan perasaan. Perubahan eksternal mudah dikenali. Urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi, kehidupan politik, dan pendidikan, semua itu gejala-gejala modernisasi. Namun, sekalipun lingkungan telah modern, tidak dengan sendirinya kita menjadi manusia modern. Baru kalau kita berhasil mengubah cara berpikir kita, mengubah perasaan kita, mengubah perilaku kita, maka kita bisa menyebut diri manusia modern.
Ciri-ciri manusia modern adalah kalau dia bersedia membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Maka jendela dunia akan terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan karena manusia modern tidak hanya membatasi wawasannya pada lingkungan dekatnya, tetapi ingin melebarkan wawasannya ke cakrawala lain.
Permasalahannya sekarang, bagaimana meningkatkan minat baca, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan-bahan bacaan sesuai kebutuhan masyarakat modern? Tentang buta aksara, kalau kita memang dianggap model untuk pemberantasan buta aksara, sistem yang ada tentunya akan kita teruskan. Kalau bisa, mempercepatnya. Kartini (1879-1904) sudah lebih dari seabad lalu berprakarsa mengajar membaca dan menulis kaumnya sekalipun dia sendiri hanya berpendidikan sekolah dasar. Sekarang masih ada 7 juta perempuan buta aksara. Fakta itu menyedihkan dan patut disesalkan. Kemungkinan mereka itu tinggal di desa-desa dan daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Tentang kualitas dan kuantitas bahan bacaan, sebenarnya dua hal itu, dan minat baca, membentuk lingkaran setan. Minat baca bisa dibangkitkan oleh bahan bacaan yang bermutu dan/atau memikat. Kalau minat baca jumlahnya banyak, kuantitasnya menjadi banyak. Demikian seterusnya. Kualitas dan kuantitas buku yang mencukupi, dan harganya terjangkau, bisa menjauhkan masyarakat dari godaan-godaan hiburan lain yang tidak bermutu.
Bahwa masyarakat, dari anak-anak sampai orang tua, sering terpaku menonton televisi, boleh dikata sepanjang waktu luang mereka. Mungkin karena tidak ada hiburan lain, atau karena tidak ada keharusan bagi anak-anak untuk banyak membaca di rumah. Selain tidak ada keharusan bagi orang tua untuk memberikan teladan. Tentang keteladanan orang tua, Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, menyiasatinya dengan meminta kerja sama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah yang dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.
Pengalaman itu disampaikan oleh perwakilan Malaysia ketika menghadiri seminar internasional Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) bertema Reading for all. Organisasi sosial GPMB berdiri Oktober 2001, diprakarsai antara lain oleh Perpustakaan Nasional RI dan Departemen Pendidikan Nasional. Dia berfungsi menjadi mitra kerja pemerintah pusat maupun daerah dalam usaha meningkatkan minat baca masyarakat. Namun, sekalipun sudah berdiri tujuh tahun, gaungnya tidak banyak kita dengar. Mungkin masyarakat juga tidak terlalu peduli kalau itu menyangkut minat baca.
Seminar Reading for all yang diselenggarakan dua tahun lalu, juga dihadiri wakil-wakil dari Jepang, Belanda, Australia, dan Singapura. Mereka sependapat bahwa meningkatkan minat baca bisa dilakukan dengan menumbuhkan kebiasaan membaca secara disiplin lewat jalur pendidikan formal. Pembicara dari Jepang, misalnya, mengatakan mereka sekarang memiliki prinsip; teman duduk terbaik adalah buku. Di mana-mana di tempat-tempat umum kita melihat mereka membaca. Kebiasaan itu terpelihara. Sekolah-sekolah di Jepang mewajibkan para siswa membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.
Tentang minat baca masyarakat Jepang yang tinggi, memang sudah sejak Restorasi Meiji lebih seabad lalu, Jepang memiliki tekad untuk mengejar kemajuan kebudayaan Barat. Sampai sekarang pun ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tidak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Pemegang rekor dunia. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan.
Ekspose para utusan luar negeri di seminar Reading for all itu menyemangati publik yang gemar membaca di Indonesia. Intinya mereka menegaskan, maju tidaknya minat baca masyarakat berkaitan erat dengan peningkatan kemajuan suatu masyarakat. Dan peningkatan minat baca yang paling efektif adalah yang melalui jalur pendidikan formal. Di Belanda, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan yang memenuhi kebutuhan mereka. Di Singapura, minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku. Di Australia, para siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah dibacanya. Sistem ini sekarang diberlakukan juga di sekolah-sekolah Indonesia yang berafiliasi dengan sekolah-sekolah Australia.
Untuk menunjang peningkatan minat baca, memang tidak akan cukup hanya dengan imbauan dan seruan. Banyak persoalan lebih gawat yang dihadapi masyarakat sehingga peningkatan minat baca dianggap bukan secara langsung menjadi tanggung jawab mereka. Karena itu kebijakan tersebut harus dijalin dalam sistem, khususnya dalam sistem pendidikan formal. Di luar itu, terbangunnya sistem dan fasilitas-fasilitas pendukung menjadi harapan banyak orang, termasuk pengadaan buku-buku bermutu yang harganya terjangkau dan jumlahnya mencukupi. Juga perpustakaan-perpustakaan yang jumlahnya memadai, untuk sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi maupun perpustakaan-perpustakaan umum. Misalnya, selain yang milik pemerintah, akan sangat ideal kalau tiap RT, atau paling tidak tiap RW, berprakarsa membangun perpustakaan atau balai bacaan bagi warganya. Sejumlah budayawan aktivis telah melakukannya.
Semoga nanti kita bisa membuktikan, apa manfaat menggulirkan tradisi membaca bagi pembangunan manusia modern Indonesia untuk masa depan. Buku-buku bacaan anak-anak yang memuat dongeng-dongeng dan kisah-kisah menantang atau misterius, misalnya, bisa mengembangkan imajinasi anak Indonesia tanpa mengenal batas. Bila imajinasi mereka cukup kuat, tidak mungkin mereka akan meninggalkannya tanpa mencoba meraihnya. Begitu pula lewat bacaan, kita dengan rela akan meninggalkan pandangan-pandangan sempit yang tidak sesuai lagi dengan zamannya. Berbagai buku yang padat informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan serta pengalaman masyarakat dunia pada gilirannya nanti akan membuat kita ikut berpacu mengejar kemajuan yang juga dicoba diraih bangsa-bangsa lain.
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Sumber Media Indonesia, 12 September 2008