Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


16 Maret 2012

Hiduplah Lumrah, Jangan Gila!

Oleh M. Hari Atmoko

Isyarat kepada belasan seniman petani Gunung Andong masuk panggung untuk memainkan tarian "Janthir" dilontar Supadi melalui yel-yel "jaranan kenthir... jaranan kenthir... jaranan kenthir..."

Tabuhan musik gamelan oleh para wiyaga makin terdengar keras dan cepat mengiring para penari memainkan tarian itu di panggung terbuka beralas tanah Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Mereka mengenakan pakaian adat Jawa yang masing-masing membawa kuda kepang, berjingkrak tak karuan sebagaimana kala seniman petani Sanggar Andong Jinawi itu memainkan tarian jaranan secara pakem dalam berbagai pementasan selama ini.

Komunitas seniman petani di kawasan Gunung Andong setinggi sekitar 1.700 meter dari permukaan air laut itu di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang itu memiliki satu basis berkesenian tari bernama "Jaran Papat".

Tarian "Jaran Papat" dimainkan hanya oleh empat orang secara turun temurun. Saat hari tertentu dalam kalender Jawa seperti perayaan Saparan dan Ruwahan, mereka pentaskan secara pakem tarian "Jaran Papat" sebagai bagian peramai masyarakat menjalani tradisi merti desanya.

Akan tetapi, di panggung Studio Mendut yang dikelola oleh budayawan yang juga pengukuh Komunitas Lima Gunung Magelang (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Sutanto Mendut itu, terkesan kuat mereka mendinamisasi tarian tulennya menjadi tari "Janthir", singkatan Jaranan kenthir (gila).
Setidaknya, gerakan mereka menari tetap mengacu kepada ritme tabuhan gamelan. Namun komposisi pementasan tarian "Janthir" itu tak beraturan sebagaimana tari jaranan yang tulen.

Mereka seolah bergerak sendiri-sendiri secara bebas antara lain meloncat, berjingkrak, lari tunggang langgang, dan menggelepar di panggung beralas tanah itu, dengan sambil tetap memainkan jaran kepangnya secara berkarakter.

Tata wajah penari pun juga tak lazimnya saat mereka menari jaranan secara pakem yang terkesan sebagai prajurit gagah perkasa. Sejumlah penari menorehkan goresan tompel di pipinya menggambarkan orang gila, seorang lainnya menari sambil mulutnya menjepit peluit berwarna putih yang tak pernah ditiupnya.

Tingkah penari seakan melawan ketika berhadapan pemain barong, padahal lazimnya berhadapan dengan barong dalam pementasan, mereka kemudian kesurupan.

Sajian tari "Janthir" berdurasi sekitar satu jam itu bagian kuat dari pergelaran repertoar bertajuk "Kidung Kala Yogi" oleh para seniman petani Sanggar Andong Jinawi pimpinan Supadi Haryono.

"Pementasan ini mengajak kita semua melihat orang gila atau sakit jiwa, bahkan mungkin bisa melihat secara dalam orang gila atau turut merasakan kondisi orang gila, dirinya dan bagaimana umumnya orang melihatnya. Boleh juga kalau mau direnungkan lebih jauh sebagai kegilaan kehidupan saat ini," kata Supadi dalam bahasa Jawa usai pementasan itu.

Secara sederhana Supadi mewedar gambaran umum orang sakit jiwa melalui karya tembang sinom dalam khasanah kidung Jawa.

"’Tan kober paes sariro, sinjang kemben tan pinulih, lajengipun sinung lambang, dene kang anandang yogi, wuwuh suda ing bumi, nampi Sang Kalabendu, panji lara dyan sirna, poma den samya ngawruhi. Sasmitane, lambang kang kocap punika’," demikian tembang sinom yang dilantunkan secara takjub oleh Supadi dalam pementasan tersebut.

Kira-kira maksud syair tembang itu, orang gila tidak berdandan, tidak mengurus badannya, dan tak berpakaian. Penderita sakit jiwa adalah orang terkena musibah, tetapi diharapkan mereka sembuh dan jumlahnya makin berkurang supaya bisa bermasyarakat dan menjalani hidup secara bermartabat.

Sambil berjalan mengelilingi panggung dengan iringan tabuhan gamelan ritme perlahan, Supadi yang mengenakan pakaian Jawa motif lurik dan berbelangkon itu menyangking cerek berisi air. Sesekali diteguknya air dari cerek itu saat performa pembukaan repertoar "Kidung Kala Yogi" yang ditonton puluhan orang malam itu.

Ia pun melanjutkan langkah kakinya, lalu duduk dengan posisi "jegang" di salah satu papan kayu berbentuk kotak, berproperti antara lain gentong, kelenting, sejumlah cobek berbagai ukuran, di tengah panggung dengan instalasi payung raksasa beratap "gedheg" (anyaman bambu).

Diambilnya secarik kertas dari kantong kiri baju luriknya. Supadi kemudian membacakan orasi menggunakan bahasa Jawa tentang orang gila yang antara lain digambarkan tampilannya menyedihkan, kehidupannya kacau, dan tanpa perhatian.

"’Koyo ngene panandang yogi. Kesawang salah lumrah wong mlampah, kesaput pedhut, kelarut-larut, kasebut ganggeng lan lumut. Yen kok guyu malah mlayu, yen nangis soyo miris. Keleleran sedalan-dalan duh Pangeran. Kesawang sengit pindo koyo ngrujit anggegerit’," katanya.

Air dari cerek diteguknya lagi banyak-banyak hingga memenuhi mulut Supadi. Cerek yang habis airnya lalu dilempar ke salah satu sisi panggung. Musik gamelan tak ada henti, terus ditabuh para wiyaga.

Supadi kemudian melanjutkan orasinya berbahasa Jawa tentang orang sakit jiwa. "’Gondo bacin gowo angin kaisin-isin. Laku tanpa pepoyang, mung manut angen gumliwang. Njangkah mandhek lan tumuleh pikir ati tan semeleki. Panas udan sedalan-dalan tan ono welas pitulungan. Duh Pangeran, kiatna nampi sih panjenengan tan lumrah jalmo sawantah’," katanya.

Setelah meneriakkan yel-yel "jaranan kenthir... jaranan kenthir... jaranan kenthir...", ia berjalan keluar panggung dalam iringan tabuhan gamelan yang keras dan dinamis.

Beberapa saat kemudian Supadi masuk panggung dengan telah mengenakan kostum menggambarkan orang gila. Pinggangnya terikat dengan juluran tali dua meter yang tertaut dua ember plastik lusuh, tubuhnya berkostum kalungan puluhan pasang sendal, kepalanya bertutup topi baja karatan, tangannya menyangking cerek yang tadi dilempar, dan mulutnya mengisap dua batang rokok mild bersama-sama.

Ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali menari secara bebas, di antara para penari "Janthir", karya tariannya yang keluar dari pakem dusunnya itu.

Usai pementasan itu, Supadi mengatakan, penderita sakit jiwa sering menjadi cemoohan, ditertawakan, dan dijauhi orang lain. Akan tetapi, belum tentu setiap pribadi menjalani hidup secara waras.

Hiruk pikuk kehidupan pada era kesejagatan, katanya, banyak dijumpai ketidaklumrahan personal atau bahkan sekelompok orang. Ibarat pementasan tarian jaranan yang lazim, telah tergerus zaman menjadi tarian "janthir".

Mungkin tak muluk gambaran pengharapan atas kehidupan yang lebih baik Supadi bersama para petani komunitas dusunnya di Gunung Andong.

"’Pancen penyuwune ojo nganti ginanjar lara yogi. Apik sing gendheng tinimbang nggendheng. Apik sing kenthir tinimbang ngenthir’ (Memang yang diminta jangan sampai sakit jiwa. Lebih baik gila daripada kegilaan, tergila-gila, atau berlagak gila)," katanya. Hiduplah lumrah, jangan gila!

Sumber: Kompas, 15 Maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar