Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


30 Maret 2012

S i M b a h

Cerpen Ayipudin El Rabani

Sudah dua puluh empat tahun dilewati si mbah untuk bekerja sebagai pengasuh anak di rumah Keluarga Suseno. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan baik dan penuh tepa salira dari seluruh keluarga itu yang telah memberinya rasa aman, tenang dan tentram. Buat seorang yang sudah tua apalah yang dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula ia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Adik laki-laki satu-satunya kini sudah hidup mapan di Kalimantan bersama istri dan kedua anaknya.

Masa kecil si mbah sangatlah bahagia, ia terlahir dari keluarga berada. Si mbah dilahirkan pada tanggal 9 Juli 1954 di Wates Jogjakarta. Nama kecilnya Haryati ayahnya seorang yang terpandang di desanya yang serba tercukupi dari hasil sawah dan kebun kelapa yang menghampar luas. Namun kebahagian seakan berlalu begitu saja ketika ia berumur delapan tahun ia dipaksa menyaksikan pengalaman hidup dari sebuah keluarga yang hancur. Ia baru pertama kalinya menyaksikan pertengkaran dalam sebuah keluarga yang sangat hebat.Walaupun ia tidak mengerti apa yang kedua orangtuanya permasalahkan, namun kejadian saat itu ia terus mengingatnya ketika keluarga yang harmonis itu harus bercerai. Sementara adiknya saat itu masih dalam kandungan.


Kemudian si mabah dan ibunya memilih tinggal bersama pakdenya. Pakdenyalah yang mengurusi segala keperluannya saat itu karena memang keluarganya terlahir dari keturunan priyayi maka kebutuhan hidup sehari-hari sangatlah tercukupi dari sawah yang luas, kebun serta peninggalan warisan dari leluhurnya. Maka tak heran jika si mbah mempunyai bekal pendidikan yang cukup dibanding anak lainya.

Setelah tamat pendidikan dasar si mbah kemudian melanjutkan ketingkat menengah dan lulus tahun 1970 tidak sampai disitu, karena memang didukung penuh oleh keluarga agar menuntut ilmu serta kemauan dan cicta-cita pada akhirnya setamat SMP si mbah melanjutkan ke sekolah pendidikan guru. Pikirnya darisanalah awal kehidupanya akan menghantarkan pada cita-cita yang mulia. Sambil menikmati masa remaja dan sanda gurau seperti layaknya seorang gadis lugu ia penuh semangat atas limpahan kebahagian biarpun tanpa kehadiran seorang ayah. Namun garis hidup terkadang meleset dari apa yang dicitakan.

Ketika umur si mbah baru menginjak enam belas tahun, ibunya merasa khawatir akan putrinya itu dan bermaksud menjodohkan pada seorang laki-laki yang sudah mapan dan berkecukupan. Pikirnya, jika anak perempuannya itu segera menikah maka akan sedikit mengurangi kekhawatiran dan tanggungjawab seorang ibu dalam membesarkan anaknya. Dari sisnilah awal perjalanan si mbah dimulai. Mendengar akan dinikahkan sepontan saja si mbah menolak karena dengan alasan  ingin menyelesaikan sekolah terlebih dulu disamping juga ia tidak mencintai laki-laki yang bukan pilihanya itu. Si mbah pada akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah. Dengan bekal darah mudanya serta cita-citanya ia kemudian nekat untuk pergi ke Jakarta.

Sampai di Jakarta si mbah tinggal numpang pada kerabatnya, dan ia kini tidak memperdulikan lagi dengan kehidupanya saat itu adalah bagaimana supaya menghindari pernikannya. Dengan bekal ijazah terakhirnya SMP mungkin sangtlah sulit dalam mencari kerja apalagi dikota besar seperti Jakarta. Untuk menambah keahlianya maka ia kemudian mencari kursusan pengasuh anak atau baby sitter selama enam bulan. Barulah kemudian ia mendapati pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dengan menjadi baby sitter dalam sebuah keluarga pejabat. Dari sinilah pengalaman pertamanya menjadi seorang babay sitter. Hari demi hari si mbah lalu dengan suka cita ia bekerja tanpa mengenal lelah, raut wajahnya masih tergambar betapa ia sangat merindukan keluarganya di kampung, bahkan ibunya sendiri sudah memaklumi kemauan dan keinginan si mbah untuk kembali pulang namun kekecewaan terhadap cita-citanya untuk menjadi seorang guru yang terkalahkan oleh keinginan orang tua akhirnya memupus cita-cita dan harapanya itu  menggumpal menjadi sebuah pengalaman hidup yang berkepanjangan.

Sampai suatu sudut yang sedikit terang oleh cahaya, seakan memompa semangat yang sudah sekian lama hilang akhirnya si mabah menemukan pilihan hidupnya pada seorang laki-laki gagah. Perkenalanya diawali dari sebuah perjalanan Jakarta dan Jogja. Laki-laki tersebut masih kuliah sementara keluarganya jauh di seberang. Empat tahun lamanya si mabah menjalin kisah dengan sang kekasih hingga merasa sudah ada kecocokan akhirnya si mbah memperkenalkan laki-laki pilihany itu pada ibu dan pakdenya. Mendengar keseriusan si mbah dan laki-laki pilihany itu ibunya seakan merasa bersalah kalau menolak keinginan anak perempuanya itu, dan akhirnya merestui hubungan keduanya.

Angin pun berhembus pelan, pagi itu sahutan tukang pos membuat si mabah yang sedang mencuci piring bergegas menemui tukang pos karena seperti biasa tukang pos yang sering ia pergoki pasti membawa kabar dari Jogja. Memang benar amplop yang berwarna putih itu beralamatkan yang sama yang sering ia temui. Namun, begitu amplop itu dibukanya raut wajah si mbah yang sedari tadi sumringah kini mendadak menjadi pucat, keningnya mengkerut, bola matanya sedikit layu tak kuasa membendung kekecewaan sekaligus kesedihan. Ketika ia membaca surat yang hanya bebrapa baris saja yang intinya dengan tanpa alasan yang  jelas untuk memutuskan hubungan mereka yang sudah empat tahun lamanya mereka jalin. Sambil duduk tersimpuh air mata si mbah membasahi kertas surat yang baginya bagaikan wahyu yang hilang mengguncang hatinya. Ia membayangkan wajah ibunya bagaimana malunya nanti ia katakana didepan keluarganya bahwa ia tidak jadi menikah sungguh kejadian yang baginya ibarat ditusuk takdir yang ke dua kali dalam kehidupanya dan saat itu usianya tepat 29 tahun.

Maka untuk mengobati kepedihanya itu ia tidak menolak perintah majikanya agar ia bersedia ikut kedua anak majikanyan ke Inggris. Karena memang disamping anak laki-laki majikannya yang kuliah di Inggris, si mbah juga ikut bersama anak perempuan yang sudah berkeluarga dan menetap di Inggris. Dua tahun lamanya si mabah berada di Inggris sembari membawa luka dan kepedihan yang semakin jauh ia melangkah bukanya semakin menutupi luka hatinya malah menjadi baying-bayang di sudut matanya yang rapuh. Kabar terakhir yang sampai padanya bahwa kini laki-laki yang sempat singgah di hatinya itu telah menikah.

Sepulang dari Inggris barulah kemudian si mbah menetap denag keluarga Suseno yakni anak kedua dari majikan pertama. Di rumah keluarga Suseno ini ia mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai meras semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, si embah merasa menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpang geratis terlebih ke tiga anak majikanya sudah mulai tumbuh dewasa tinggal si bungsu yang usianya masih empat tahun yang masih ia asuh. Yang paling besar kini ia sedang kuliah di Amerika dan yang kedua sudah mulai beranjak dewasa. Ketiga anak majikanya itu ia asuh sebagaimana anaknya sendiri. Ia sudah mengabdi pada majikanya itu selama separuh dari hidupnya maka pikirnya tak ada alas an lagi untuk tidak pulang ke desanya.

Dia masih memiliki warisan sebuah rumah dan juga tegalan dan baginya cukup untuk dijadikan tempat tinggal di hari tua. Maka dikemukakanya ini pada majikanya. Majikanya beserta seluruh anggota keluarganya, protes keras dengan keputusan si mbah.

‘’Si mbah sudah menjadi bagian yang nyata dari rumah tangga ini,’’ kata Suseno smbilmeletakan kacamatanya.

‘’Dan siapa yang mendampingi Ari dan Aira yang sudah beranjak dewasa," desah istri Suseno.
‘’Wah, sepi loh mbah kalau tidak ada kamu. Lagi siapa yang mendongeng sebelum tidur selain mbah," tukas Aira dan Ari.

"Pokoknya keluarga ini tidak mau ditinggalkan oleh si mbah, anggap saja keluarga ini sudah menjadi bagian dari Mbah sendiri. Apakah si mbah tidak kangen sama Reza yang bulan depan sudah mau di wisuda," kembali Suseno menimpali.

Si Mbah inget betul bagaimana Reza anaka majikannya itu ia asuh dari kecil sampai dewasa dalam hatinya ia ingin melihat bagaimana anak asuhnya itu menjadi berhasil dan sukses mengejar cita-citanya, si mbah sudah menganggap Reza adalah anaknya sendiri. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Si mbah akan pulang ke desanya kapan pun kalau ia mau terlebih jika hari raya Sekaten dan Idul Fitri untuk mengunjungi sanak sudaranya di Jogja setelah itu ia harus kembali ke keluarga Suseno di Jakarta. Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Walaupun memang setiap dia pulang kedesanya, si mabah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dari pelukan Aira dan Ari.

Yang menarik dari orang tua renta itu adalah ia masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakanya dengan sempurna. Opor ayam, sambal goring ati, lodeh, sayur asem, dan kadang-kadang masak spaghetti atau sup macaroni. Dari mana enerji itu daaing pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.

‘’Mbah, besok jangan lupa siapkan semua keperluan anak-anak karena di Amerika sekarang sedang musim dingin,’’sahut istri Suseno sembari membuka lemari pakaian.
‘’Inggih doro,’’ Si Mbah menimpali.

‘’Pasti den Reza sekarang sudah besar, kangen sudah tiga tahun tidak berjumpa.’’
’’Memangnya nanti kalo ketemu si mbah mau gendong?’’

’’Wah, doro ini ada-ada ajatapi siapa takut,’’sambil menyingsingkan lengan baju si mbah mengangkat kedua tanganya sembari tersenyum simpul.

’’Bener ni mau gendong,’’jawab Suseno yang dari tadi mendengarkan percakapan keduanya.
’’Ada juga Reza yang nanti gendong si mbah,’’sahut isteri Suseno. Malam itu semua tertawa renyah mengiringi semilirangin yang membawa kebahagian.

Ketika keluarga Suseno dan si Mbah sampai di Amerika dua hari sebelum acara wisuda Reza di Indiana Police, keluarga tersebut menyempatkan untuk jalan-jalan. Amerika Serikat memeng sangat terkenal dengan dunia hiburan yang menarik seperti Honolulu, Disneyland Anaheim, Las Vegas, Universal Studio dan Holliywood di Los Angeles, San Francisco, Orlando dengan Disney World. Apa lagi Las Vegas bener-bener kota judi, dimulai dari airport sampai ruang tunggunya pun airport ada Jackpotnya.

Keluarga Suseno menginap di Hotel Excalibur, salah satu hotel yang terkenal di Las Vegas yang terkenal dengan rate hotelnya yang terjangkau untuk menginap, makanan yang murahdan keamanan selama 24 jam seperti hotel Excalibur tempat si mbah menginap. Di samping itu ada pertunjukan naga yang muncul dari kolam, pada jam tertentu ada arak-arakan kerajaan diiringi dengan para pengwwal dan juga sirkus. Sudah dapat dipastikan Aira dan Ari saking senangnya biarpun cuaca sangat dingin mereka tetap saja tidak menghiraukanya untuk menyaksikan pertunjukan. Sungguh hal yang menakjubkan melihat kota yang terletak didaerah gurun bisa gemerlap dan seakan tidak pernah tidur. Las Vegas memang benar-benar kota judi. Meski Genting Highland, Macau, dan Monte Carlo terus berbenah, hingga saat ini kebesaran Las Vegas sebagai kota judi belum tertandingi.

Saat semua keluarga Suseno sedang beristirahat kemudian si Mbah meminta ijin untuk jalan-jalan keluar hotel, Suseno pun mengijinkan permintaan si mbah karena memang mereka sudah ke empat kalinya mengunjungi Las Vegas sehingga si mbah sudah tau betul tempat-tempat untuk mencari ketenangan ditengah-tengah hiruk pikuknya kota. Langkah kakinya yang tenang melangkah sesekali memeluk erat jaket kulitnya ia menyusuri kanal yang menghubungkan ke taman kota yang tidak jauh dari hotel tempatnya menginap. Ia kemudian duduk dibawah pohon sambil melepaskan pandanganya yang kosong. Ia sungguh tidak mengira akan kembali ketempat yang sama  yang empat tahun lalu ia ke Amerika untuk untuk mengantarkan Reza kuliah, tapi ia kini kembali untuk melihat Reza wisuda. Jika saja ia mempunyai anak mungkin sudah sebesar Reza tapi itu hanya angan-anagan saja pilihanya untuk tidak menikah karena trauma masa lalunya yang kelam membawa pada  perjalanan hidupnya yang sekarang.

Sudah banyak negara yang ia datangi sembari menemani keluarga Suseno dalam berlibur maupun tugas kantor namun hal itu tidak bisa melupakan kisah perjalanan masalalunya. Semakin ia pergi jauh bukanya dapat melupakan kenangan-kenangan buruk yang pernah ia alami melainkan menambah gusaran kegelisahanya selama ini tetng hidup. Dimulai Italai, Perancis, Singapura, Belanda, Australia dan perjalanan yang terakhiryang seumur hidup ia takan melupakanya yaitu umrah ketanah suci Makah. Hal yang mungkin segala kepahitan hidup yang ia jalani seorang diri namun toh Tuhan masih berbaik hati padanya dengan pelukan dan perhatian keluarga Suseno ia tidak merasa sendiri bagi si mbah keluarga Suseno sudah ia nggap keluarganya. Senyuman anak-anak baginya sudah cukup untuk mengobati kesendirian ditengah-tengah keramaian.

Hari mulai gelap, salju pun turun. Sementara si mbah masih duduk di bawah pohon sesekali ia melihat orang yang lalu lalang didepanya. Ia melihat nenek tua yang baru saja keluar dari kasino kemudian berjalan dan duduk disebelahnya. Rambutnya yang putih mungkin umurnya tidak jauh berbeda dari si mbah. Terlihat dalam matanya nenek tua itu menyimpan pertanyaan, kelopak matanya sayu seakan mengisyaratkan hal yang sma yakni kesepian. Sesekali si mbah dan nenek tua itu terlibat dalam pembicaraan. Nenek tua itu menceritakan bahwa ia datang hanya utnuk main jackpot beberapa kali kemudian pulang, tidak perduli menang atau kalah, seakan-akan hal itu sudah menjadi rutinitas sehari-hari seperti berolahraga atau rutinitas minum vitamin saja. Si Mbah hanya tersenyum saja mendengar kisah nenek tua itu, baginya permasalahan yang dihadapi semua orang sama saja yang membedakanya hanyalah warna kulit, ruang dan waktunya.

Sementara itu dari kejauhan terlihat ada laki-laki tinggi besar berkacamata menghampiri. Si mbah rupanya kenal dengan laki-laki itu ya tidak salah lagi ia adalah Reza. Si Mbah pun langsung memeluk erat seakan mengalahkan rasa sepinya, sementara Suseno hanya melihat dari kejauhan ia sangat merasakan perasaan si mbah. Ia melihat Reza menggendong si mbah. Suseno pun teringat hal yang sama yakni dua puluh tahun yang lalu ketika Reza masih kecil dan dalam asuhan si mbah. Mungkin Reza merasa berterimakasih kepada yang selam ini mengasuhnya. Ia tahu bahwa si Mbah tidak punya siapa-siapa selain pelukan kehangatan dari sebuah keluarga. Gemerlap lampu-lampu  sepanjang kanal menghiasi suasana kehangatan hati si mbah, ia terhanyut dengan kebahagian yang tidak bisa ditawar dengan apa pun yang selam bertahun-tahun ia sembunyikan di sudut hatinya yang dingin, sedingin salju yang turun membasahi relung hati si mbah.

*Ayipudin adalah guru ngaji yang suka mendongeng

Sumber: Kompas, 29 Maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar