Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


05 Maret 2012

Bangsa Kata Depan

Cerpen Afandi Sido

Lukas marah-marah yang alasannya tidak dimengerti oleh sebagian karyawannya. Matahari masih sepenggalah namun toko roti itu sudah gaduh karena sang pemilik menegur seorang pekerjanya yang tak punya cukup ilmu untuk menulis dengan benar.

“Tak pernah sekolah kamu ya!” Kalimat spontan yang keluar bersama nada bentakan sang pemilik toko. Karyawan itu, yang seorang pemuda berpenampilan sederhana, menunduk dan meminta maaf. Dari arah dapur lalu datang seorang perempuan paruh baya yang langsung memegang dada Lukas. Dia adalah istrinya. Perempuan itu, dengan senyuman, lalu meminta suaminya untuk tenang, dan mengambil karton seukuran kuarto yang ada di meja. Amarahnya redam, Lukas berlalu ke meja kerjanya yang dibatasi dinding kaca.


“Ini, perbaiki saja dulu salah tulisnya, Arman. Maaf ya bapak sudah marah-marah. Kamu tahu sendiri bapak sensitif masalah Bahasa Indonesia.” Bu Laksmi menasihati dengan ramah. Karyawan itu lalu meminta maaf sekali lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Tujuh pekerja lain yang sempat menyaksikan pemandangan itu langsung kembali ke pekerjaan mereka masing-masing setelah membalas anggukan dari majikannya yang ramah.

“Anak baru bekerja di sini dua hari,” kata Laksmi seketika masuk menemani suaminya yang menenangkan diri sambil menenggak kopi pahit dari cangkirnya. Sang istri lalu memijit pundak sang suami. Meredakan amarah suami sudahlah wajar bagi seorang istri. Untuk itulah rasa pengertian diciptakan.

“Aku akan minta maaf, Ma. Tapi nanti.” Lukas menikmati pijitan mesra itu. Dirinya lebih tenang sekarang.
“Kuakui memang susah menanamkan kebiasaan menggunakan Bahasa Indonesia dengan benar kepada orang yang kurang berpendidikan. Karena itulah kenapa kuberusaha keras menentang niat Simon untuk kuliah psikologi. Seharusnya dia sudah jadi ahli bahasa sekarang, biar mengajarkan kepada banyak orang bahwa mereka harus mencintai bahasa bangsanya. Tapi karena mama yang mendukungnya, bisa apa aku?”

Sang istri tersenyum. Dari tepi jalan itu, toko roti Chiang Ma adalah satu-satunya toko yang mengharamkan Bahasa Inggris di setiap inci tampilannya. Dari papan nama depan jendela sampai peralatan dapur, semuanya berlabel Bahasa Indonesia. Sebagian porselain untuk minuman the hijau yang diimpor dari Cina, ditempeli label plastik tahan air dengan kata-kata Bahasa Indonesia. Toko berukuran lebar depan hanya empat meter itu nampak kontras terjepit di antara bangunan-bangunan bertempel merek terkenal yang dipoles dengan tulisan dijual dan diskon dalam berbahasa Inggris. Tulisan “DI JUAL” pada lembar karton pengumuman produk teh hijau impor itulah yang dipermasalahkan sang pemilik toko dengan karyawan barunya.

Lukas di mata teman-temannya semasa remaja tak memiliki kewajiban sama sekali untuk menggiatkan penggunaan Bahasa Indonesia dengan benar. Lahir dari keluarga keturunan Tionghoa yang sempat mengecap pahitnya kehidupan masa orde baru, membuatnya merasakan kesempitan berbahasa ibu yang dibawanya sejak lahir. Selama lebih dari tiga dekade, keluarganya dipaksa menikmati nama berbau Indonesia, tak menonjolkan simbol-simbol agama dan etnis secara berlebihan, serta menghargai batas-batas wilayah perkampungan dengan warga pribumi. Atas sebagian alasan itu pulalah, seorang Chi Min Heung memutuskan mengganti namanya menjadi Lukas Mulyadi, dan menamai anak-anaknya hasil perkawinan dengan seorang perempuan Jawa, dengan nama-nama berbahasa Indonesia.

“Ini bukan keterpaksaan. Aku memang telah melalui masa-masa sulit mempelajari etnis ini, akan tetapi kecintaan terhadap Indonesia adalah alasan utamanya. Aku lahir di sini, dan anak-anakku akan lahir dan besar di sini. Keluargaku hidup dari tanah dan langit Indonesia, jadi bahasaku yang utama adalah Bahasa Indonesia. Bukan Cina apalagi Inggris.” Demikian jawaban yang paling ia ingat tatkala di masa muda sering dicibir oleh tetangganya di Kampung Cina.

“Aneh anak-anak muda zaman sekarang….” Lukas menggumam sambil memperbaiki tulisan di atas karton itu dengan spidol hitam bertinta tebal. Diberikannya warna merah sekalian agar nampak lebih jelas di atas latar putih. “Mereka merasa lebih keren dengan bahasa asing. Inggrislah, Korealah, Jepanglah, giliran Bahasa Indonesia mereka gagap. Untuk apa sekolah-sekolah? RSBI, cih!”

Sibuk dengan koreksi tulisannya, Lukas tidak menyadari seorang pembeli yang masuk melewati ambang tokonya. Laki-laki paruh baya itu berpakaian rapih meski hanya mengenakan lengan panjang biru langit dan celana kain bertopang sepatu resmi yang disemir. Setelah melihat beberapa contoh roti berbentuk buaya, kotak dan tumpukan bakpao yang disusun di dalam loyang bundar di sudut belakang, tamu itu langsung tersenyum kepada pemilik toko melalui jendela kaca.

“Seharusnya memang ditulis serangkai ya, Pak,” sapa tamu itu.
Lukas tersadar dan lekas-lekas bangkit dari kursinya. Ia mengelap tangan dengan kain basah, disusul dengan kain kering, lalu berjalan keluar dan menyalami tamunya.

“Eh, Bapak. Silakan lihat-lihat rotinya. Yang lebih hangat baru saja disiapkan istri saya di belakang.” Lukas menyapa ramah sambil memberi isyarat tangan kepada dua karyawannya yang langsung menuju dapur dan kembali lagi membawa tempat berisi roti-roti beruap panas.

“Tolong bungkus dua bakpao saja. Saya mau langsung ke kantor,” jawab sang tamu sambil melempar senyum.

“Yang terbaik. Bapak pembeli pertama hari ini, saya kasih bonus satu.”
“Terima kasih, Pak,” jawab sang tamu setelah duduk. “Tapi saya rasa satu bakpao itu akan lebih berharga jika nanti dibeli dengan uang. Saya yakin hari ini toko akan laris.”
Lukas tersipu dan membungkuk.

“Saya perhatikan bapak tadi mengoreksi tulisan ya? Ada promo?”
“Ah, promo kecil-kecilan saja, Pak. Karyawan saya tadi salah tulis, makanya saya perbaiki. Maklum harus diajari yang benar.”

“Salut saya untuk Bapak. Tak banyak pedagang zaman sekarang memperhatikan detil seperti itu, apalagi terkait bahasa.”

Lukas mengangguk tanda setuju. Digosoknya lengannya yang mulai keriput dengan telapak tangan yang kesat.
“Saya sendiri masih sering salah tulis kalau kata depan begitu. ‘DIKIRIMKAN’ pernah saya tuliskan ‘DI KIRIMKAN’. Hasilnya, saya ditegur atasan!” Tamu itu berkisah lalu tertawa pada dirinya sendiri. Lukas ikut tertawa. Dalam benaknya bisa dimengerti bahwa bahkan pejabat pemerintah belum mengerti Bahasa Indonesia. Pemantik sederhana itu membawanya mengenang singkat dalam benak suatu hari di masa lalu ketika harus bertengkar dengan pejabat pembuat KTP di kantor kecamatan hanya karena kata depan di- ditulis salah di lembar kartu penduduknya.

“Petugas kecamatan itu dipecat.”
“Maaf?”

“Ah, tidak. Saya minta maaf. Tadi terkenang sesuatu di masa lalu,” jawab Lukas dengan malu. Ia menyadari kesalahannya tak mempedulikan tamu yang berbicara.

“Maaf, tapi Bapak kerja di mana ya? Kalau saya boleh tahu. Kelihatannya santai sekali meski pakai baju rapih.”

Tamu itu tersenyum kemudian menjawab. “Saya di daerah Senayan kerjanya. Dari sini kan tidak jauh.”
Lukas mengangguk berkali-kali tanda mengerti. Ia kemudian melanjutkan.

“Wah, di Senayan saya pernah lihat juga itu. Kantor pemerintahan bagus tamannya, gedungnya dan gerbangnya tinggi, tapi salah tulis nama instansi. Masak ‘KEMENTERIAN’ ditulis ‘KEMENTRIAN’. Kan itu salah. Anehnya, gedung itu, batin saya, tempatnya orang-orang datang dan bekerja secara lebih cerdas! Besok sepertinya menteri di situ akan diganti. Orangnya siapa saya belum tahu, semoga lebih pintar dari yang sebelumnya.”

“Ah, saya sendiri masih malu,” lanjut sang tamu sambil memperhatikan ujung sepatunya. “Sepertinya di tempat saya bekerja juga masih banyak salah tulis bahasa, Pak.”

Lukas tersenyum. “Wah tapi saya yakin kalau bapak ini lebih perhatian. Memang sulit, Pak. Mengaku cinta bangsa sendiri tapi bermasalah di cinta Bahasa Indonesia. Kata depan disamakan imbuhan. Lama-lama kalau terus begini, kita bakal jadi bangsa kata depan, karena malas belajar bahasa sendiri. Ada banyak salah tulis kata depan di mana-mana, bahkan mungkin istana.”
 
“Ya lucu saja rasanya, Pak. Kota kita banyak wisatawan asing. Mereka saya perhatikan, rela membawa kamus Bahasa Indonesia ke mana-mana, hanya sekadar biar bisa berkomunikasi. Lah kita, sudah puluhan tahun hidup dengan bahasa ini, masih salah saja. Bangga pula! Diperlihatkan ke orang-orang asing itu kita bisa bahasa mereka, tapi mereka belum tahu kalau kita pakai bahasa sendiri belum benar.”

Tamu itu mengangguk. Kemasan bakpao di atas meja mulai mengempis, tanda isinya mendingin dengan cepat.
“Wah, betul. Yang jelas kita jangan berhenti belajar kan ya Pak.”

“Betul itu. Pasti bisa,” jawab Lukas mantap. Kini istrinya telah menepuk pundaknya. Kilatan cahaya matahari terpantul ke dalam ruangan dari jendela mobil yang terbuka. Seorang berseragam lengkap dengan peci hitam bertengger di kepalanya lalu masuk dan memberi isyarat hormat kepada sang tamu dan Lukas. Sopir itu mengingatkan majikannya tentang acara-acara yang tak kalah penting.

“Wah, sepertinya saya harus segera berangkat ini. Terima kasih untuk diskusi singkatnya ya, Pak Lukas.” Tamu itu pamit sambil bangkit dari kursi. Ia mengangkat sendiri kantong bakpao yang dibelinya.
“Lho, bapak tahu dari mana nama saya?”

“Itu ada terpasang di kaca.”

Lukas menoleh ke belakang dan tersadar tulisan nama di bagian atas pintu dinding kacanya. Di satu sisi ia tersadar ada detil-detil yang tidak disadarinya.

Tamu itu telah pergi, dan Lukas menghela napas sambil mengangkat pundak. Senyum merekah dari bibirnya kemudian. Uang lima puluh ribu tergenggam di telapak tangannya. Tamu itu menolak mengambil uang kembalian, dan Lukas sama sekali tidak mengerti maksudnya. Pembeli pertama hari itu, mengubah suasana hatinya. Setelah membereskan kantor dan menghabiskan kopi, ia buru-buru meminta maaf kepada Arman, dan meminta karyawannya itu memasang karton baru dengan tulisan yang telah terkoreksi di jendela kaca depan. Toko itu laris dengan promo barunya.

Kamis, dua hari setelah promo itu berlaku, Lukas mengendarai sepeda “onthel”-nya berkeliling kota sebagaimana hobi yang menyehatkan badannya. Melintas kawasan Senayan dengan udara yang masih segar di pagi hari, ia terkejut dengan pemandangan baru di taman sebuah gedung pemerintahan. Tulisan itu benar-benar telah menarik perhatiannya. “Tuhan memang menganugerahkan kebetulan-kebetulan yang bermanfaat,” bisiknya kepada diri sendiri setelah berhenti menghadap gedung itu. Apa yang dibacanya benar-benar telah membuatnya puas dan menyadari nikmatnya belajar.

Gedung itu, namanya kini ditulis dengan benar. Gedung yang beberapa hari lalu sempat ia cibir karena salah tulis nama padahal diisi orang-orang cerdas, telah berbenah. Kini di mata Lukas bangunan dan taman itu nampak lebih indah dan mencintai bangsanya.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
“Menteri barunya ternyata lebih pintar.”
Sleman, 8 Februari 2012

Sumber: Kompas, 3 Maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar