Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


04 Januari 2012

Sehabis Hujan di Bulan Desember

Cerpen Haz Algebra

Sisa hujan sore tadi masih membekas. Bulan ini memang sering disuguhi hujan hampir setiap harinya, dan mungkin hujan sore tadi akan menjadi hujan terakhir di tahun ini. Tanah basah. Pohon-pohon mengucurkan air, terimbas angin malam. Udara dingin menusuk. Suara katak ditingkahi jangkerik, membentuk simponi alam nan indah. Sesekali bunyi petasan dan kembang api mulai melalakukan pemanasan dengan melukis langit dari kejauhan membentuk pelangi di malam hari.

Semua fenomena itu siap mengantar kotaku menuju pergantian tahun. Lalu, banyak cerita yang bergulir dengan sendirinya. Tak mau kehilangan seluruh momen tersebut, aku segera menggerakkan jemari, bekerja di atas tuts-tuts keyboard seolah mengikuti irama tetesan air jatuh mengaliri dedaunan yang frekuensinya semakin melambat. Tetes demi tetes air itu seperti menggulirkan cerita sendiri-sendiri. Ingin kurekam seluruh pemandangan dan perasaan itu, tapi tunggu sebentar, tanganku masih basah.


Beberapa jam yang lalu…
Hari yang cerah tiba-tiba menjadi hari yang basah. Hujan turun, aku mengkerut di atas motor. Menyusut di antara sweeter kumal di tengah jalan macet. Sementara itu, orang-orang berlarian dan berteriak kepanikan. Mereka lupa payung sedangkan aku tak membawa jas hujan. Semua begitu, siapa sangka akan hujan.

Aku menepikan motor lalu berteduh di halte sambil menunggu hujan reda. Tapi kemudian itu pun berlalu bersamaan dengan sebatang A Mild yang terselip di jari tanganku. Lalu sepeda motor melintas cepat, air hujan yang tergenang di pinggir jalan muncrat ke wajah dan badanku. Aku lalu mengumpat, “Sial! Tanganku basah…!!!”

Well .. tahun baru sebentar lagi, sudah ramai orang membicarakan refleksi satu tahun ke belakang dan ekspektasi pada tahun yang mendatang. Sedikit ingin ikut arus juga sebenarnya tapi bukan mengenai hegemoni tahun baru. Ini tentang hujan. Lebih tepatnya kisah sehabis hujan. Dan aku suka sekali sehabis hujan di bulan Desember.

Kenapa harus sehabis hujan dan kenapa harus di bulan Desember?
Kontempelasi pun di mulai. Udara dingin, suara jangkerik. Sebentar lagi tengah malam. Dengan tangan yang masih basah, aku membuka catatan harian lalu memikirkan tentang apa yang pernah ku lalui sepanjang tahun ini. Aku tahu bahwa masa lalu dalam catatan itu adalah masa yang aku mengetahuinya dengan benar, sok tahu, karena hal itu adalah milikku sendiri, aku yang mengalami sendiri.

Lalu aku mulai menyelami aksara demi aksara untuk menemukan feel kejadiannya. Suka cita, kesal, kecewa, semua coba kurasakan kembali. Namun, tiba-tiba masa lalu itu menjadi kabur dan tak sungguh-sungguh tampak. Yang ada, ternyata, tak lebih dari coretan tanganku di buku harian tersebut. Tak ada realitas yang kudapati dari coretan yang kubuat sendiri, sekuat apapun aku pikirkan, aku tak bisa mengalami kembali masa lalu yang telah ku lalui itu.

Mungkin aku bisa memeriksanya di ‘laboratorium’ dan menemukan bahwa kertas buku harian tersebut dibuat di pabrik tertentu, dengan mesin tertentu, jumlah pekerja sekian, dan upah hariannya sekian, serta dibuat dari campuran kayu apa dan apa. Aku juga bisa memeriksa ternyata tinta yang dipergunakan berasal dari ballpoint anu , ukuran berapa, dan dibuat di mana. Tapi sungguhkah apa yang kemudian aku peroleh itu merupakan kenyataan di masa lalu?

Seberapa pentingkah pabrik kertas itu bagi apa yang terjadi pada hari ketika buku harian tersebut aku tulis? Aneh. Tiba-tiba aku meragukannya, dan seketika menyadari betapa kurangnya jejak-jejak yang telah ditinggalkan. Kertas, ballpoint , alphabet, itu adalah jejak-jejak. Tapi aku selalu merasa kekurangan jejak, seolah apapun yang terjadi, hanya membawaku pada ke ketersesatan.

Aku merasa jejak-jejak itu mewakili sesuatu. Masa lalu. Namun di satu sisi juga sadar, jejak itu sesungguhnya hanya mewakili dirinya sendiri. Aku mempertanyakan sejarahku sendiri dan aku mencurigai penulisnya yakni, diriku sendiri. Tapi sejarah tentang diriku itu ada di sana, di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, atau lebih tepatnya aku menjadi demikian sok tahu.

Lantas, apa kemudian yang aku miliki? Selama ini aku merasa sudah memiliki masa laluku (Bukankah satu-satunya yang kita miliki adalah masa lalu?). Akan tetapi, masa depan yang gelap pun, ketika kita membayangkannya, merekonstruksinya, merepresentasikannya, ia dengan tiba-tiba menjadi sebuah masa lalu yang lain. Dan pameo “satu-satunya yang kita miliki itu adalah masa lalu”, dengan semena-mena kehilangan semua relevansinya. Dan aku tahu bahwa segala hal tentang masa lalu, ternyata, tak lebih dari sekadar bagaimana kita memikirkan hal itu.

Mungkin bagi sebagian orang, hanya saat hujanlah yang lebih menguasai alam memori pikirannya yang kadang naif. Air yang turun dan meluncur jatuh dari langit itu melambangkan anugerah dan cinta dari Tuhan.

Ada yang mengatakan, seprimitif apapun peradaban suatu bangsa pasti secara eksplisit maupun implisit mengagungkan hujan. Namun bagiku, aku suka hingga sehabis hujan, apalagi sehabis hujan di bulan Desember. Ia seperti cover buku tahunan yang menutup jejak-jejak kisah setahun dengan dingin sebagaimana filosofi hujan dalam peribahasa lama yang menyebutkan, “panas setahun terhapus hujan sehari,” dan hanya hujan di bulan Desember yang relevan untuk melakukan hal itu.

Akan tetapi, kisah tidak berakhir dalam hujan, melainkan kisah tetap bergulir sehabis hujan dengan spirit baru dan harapan baru. Dan bagiku, itu yang lebih penting. Begitu banyak peristiwa yang sudah kulewati dalam hidup yang menjadikan diriku seperti sekarang ini, itu karena keistimewaan hujan dan harapan sehabis hujan. Itulah sebabnya aku suka suasana sehabis hujan di bulan Desember.

Akhirnya, satu yang pasti dan kusadari betul bahwa hujan turut mendewasakan diriku dalam segala abstraksi hidup ini. Dengan turunnya hujan tadi, dengan bau tanah basah sehabis terkena hujan ini aku selalu ingat akan kasih Sang Pencipta yang tak terkira. Aku selalu ingat untuk berbuat yang terbaik bagi hidup kini dan hari esok. Aku selalu ingat untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku selalu ingat pada kasih dan pengorbanan orang tuaku beserta semua orang terdekat yang kusayangi. Aku selalu ingat untuk ikhlas dan bersyukur atas semua yang kupunya. Dan sehabis hujan ini, kuingin torehkan kisah yang lebih baik dari ‘panas’ setahun yang sudah kulalui.

Kamar ukuran 4×4 meter. Laptop di depan mata. Headphone tertempel di telinga. Dari balik headphone , Tracy Chapman bernyanyi lagu kesukaanku, “Give me one reason.” Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tanganku yang sudah agak kering berlarian di atas tuts-tuts laptop. Ku tulis feature . Cerita tentang diriku di masa depan dalam bentuk masa lalu.

Manado, 31 Desember 2010. Pukul 22.12 Wita.
Haz Algebra tinggal di Manado. Bergiat di Komunitas Bibir Pena.

Sumber: Kompas, 4 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar