Dalam dunia perbankan kita mengenal istilah edukasi perbankan. Istilah ini muncul sejak tanggal 27 Januari 2008. Ketika itu, Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan tahun 2008 ini sebagai Tahun Edukasi Perbankan dengan tema ‘’Ayo ke Bank’’.
Sampai saat ini program edukasi ini masih terus berlangsung. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman seluas-luasnya kepada masyarakat tentang jasa yang ditawarkan perbankan. Selanjutnya kalangan perbankan juga diharapkan bisa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Edukasi adalah suatu usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Edukasi perbankan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mendidik masyarakat agar lebih memahami seluk beluk dunia perbankan guna mencapai taraf hidup yang lebih baik.
Edukasi perbankan pada dasarnya merupakan suatu proses belajar baik bagi pihak bank maupun masyarakat. Keduanya merupakan obyek sekaligus subyek belajar. Dalam hal ini pihak perbankan berfungsi sebagai “pendidik” dan masyarakat berfungsi sebagai “peserta didik”. Antara perbankan dan masyarakat harus terjalin pola komunikasi yang efektif dan efisien.
Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang dunia perbankan diharapkan akan mampu mendorong masyarakat untuk melakukan proses pemberdayaan diri. Strategi ini dapat ditempuh dengan pendekatan literasi informasi.
Pendekatan Literasi Informasi
Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.
Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.
Membudayakan literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keharusan. Proses edukasi perbankan harus diartikan sebagai suatu proses membangun literasi bangsa.
Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan. Di banyak negara, di mana angka kemiskinan tinggi, tingkat literasi cenderung rendah. Literasi menyebabkan tingkat penghasilan perkapita rendah. Seperti yang terjadi di Banglades, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari 78 persen penduduknya, penghasilan per hari di bawah 2 dollar AS.
Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri. Manusia dengan kualifikasi semacam inilah yang akan mampu memanfaatkan aneka jasa perbankan guna meningkatkan kualitas hidupnya.
Edukasi perbankan perlu diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini setiap bank yang ada di tanah air dapat membuat program pojok baca di setiap ruang tunggu bank. Pojok baca ini mesti didukung dengan koleksi buku, majalah, surat kabar, brosur, koleksi audio visual, maupun koleksi digital yang mendukung program edukasi perbankan.
Selama ini ruang tunggu merupakan sebuah ruang publik yang sepi dari aktivitas yang bermanfaat dan produktif. Duduk diam, “ngobrol”, “ngerumpi” dan menonton televisi merupakan aktivitas yang biasa terjadi di ruang tunggu. Dalam ruang tunggu seolah-olah fungsi otak dihentikan.
Kehadiran pojok baca di ruang tunggu bank selain untuk membunuh rasa bosan nasabah juga merupakan media komunikasi bagi pihak bank untuk melakukan proses edukasi perbankan. Di pojok baca inilah masyarakat dapat belajar lebih mendalam tentang perhitungan bunga tabungan, istilah popular perbankan, mediasi perbankan, anti pencucian uang, waspada dengan penawaran yang menggiurkan, electronic banking, dan manfaat call center bank.
Adanya pojok baca juga sejalan dengan semangat undang-undang perpustakaan. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu (pasal 48 ayat 4).
Menurut penjelasan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan tempat umum adalah kantor, ruang tunggu, terminal, bandara, rumah sakit, pasar, mall dan lain-lain.
Kehadiran pojok baca di ruang tunggu diharapkan dapat menjadi salah satu daya ungkit untuk mengubah budaya lisan menjadi budaya baca sekaligus meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Membaca buku sambil menunggu panggilan dari teller bank tentu lebih baik daripada sekedar duduk menunggu sambil “bengong”.Daya ungkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar karena pertumbuhan industri perbankan sangat pesat bahkan telah menembus hingga ke tingkat desa.
Jika setiap nasabah bank dapat menularkan kebiasaan membaca ini kepada lingkungan keluarga dan tetangga, maka akan terjadi proses percepatan terwujudnya masyarakat yang gemar membaca. Kebiasaan membaca yang terus berkembang pada gilirannya akan menghasilkan masyarakat yang literate alias “melek” informasi. Masyarakat yang literate inilah yang akan menunjang dan mensukseskan program edukasi perbankan.
Edukasi perbankan akan semakin tersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat jika pojok baca ini juga membuka diri terhadap masyarakat. Artinya, masyarakat umum terutama kalangan pelajar juga bebas untuk mengakses pojok baca ini.
Pojok baca yang ada di setiap bank tentu akan lebih bermanfaat daripada fasilitas hotspot yang ada di ruang publik. Hal ini mengingat sampai saat ini laptop hanya bisa diakses oleh masyarakat golongan menengah ke atas, sedangkan pojok baca dapat dinikmati oleh siapapun dan dari golongan manapun tanpa mengenal stratifikasi sosial.
Partisipasi dunia perbankan dalam menghadirkan pojok baca ini akan membuat slogan edukasi perbankan “Ayo ke Bank” akan semakin bernilai edukatif. Mengapa ? Karena masyarakat akan pergi ke bank bukan sekedar untuk menabung melainkan juga untuk membaca. Menabung dan membaca di bank tentu sangat sejalan dengan program edukasi perbankan sekaligus akan mempercepat tersebarnya budaya membaca di masyarakat.
Edukasi perbankan berbasis literasi merupakan suatu upaya untuk memberdayakan masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat semakin memahami dunia perbankan sekaligus mengajak masyarakat untuk gemar membaca. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan kualitas literasi masyarakat. Peningkatan literasi merupakan kunci pembuka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
0 komentar:
Posting Komentar