Cerpen Nila Rahma
Air menderas. Terus berjalan menyusuri lekukan. Berbelok menuju selokan, tempat air yang lain juga berkumpul.
Hawa semakin dingin. Orang-orang berlalu-lalang menaiki motor dan mobilnya. Jalanan semakin sesak. Jam pulang kantor selalu macet. Ditambah lagi dengan air deras kiriman langit. Selokan pinggir jalan tak cukup bagi air. Jalanan menjadi tampungan. Air menggenang.
Roda beradu dengan waktu. Sesegera ia ingin pulang ke rumah. Tak peduli kanan kiri. Roda melaju. Dijejakkannya dengan cepat pada genangan di jalanan. Tercipta cipratan. Lampu-lampu kota menjadikannya merona. Air mancur gratisan. Berkali-berkali begitu lagi. Sekarang pun belum berhenti.
Dua ruas jalanan dibagi pembatas jalan yang tinggiya tak lebih dari 30 senti. Ruas jalan menuju kota tak seramai ruas satunya lagi. Aku baru saja menyeberang. Aku menyeberang bersama seorang lelaki. Kali ini kami berhenti di pembatas jalan. Macet menguntungkanku. Aku bisa menyeberang lebih cepat. Tangan kiri dengan telapak terbuka kuangkat ke atas. Kutengokkan mukaku ke kiri. Kuberikan isyarat untuk berhenti.
Ternyata temanku belum juga datang. Aku berdiri di sisi jalan. Lelaki itu masih saja di pembatas jalan. Sesekali aku melintaskan pandangan padanya. Masih saja ia tak menyeberang. Sudah hampir setengah jam temanku tak kunjung datang. Lelaki itu masih di pembatas jalan.
Kali ini mukanya tak lagi melihat jalanan. Ia tengadah. Menantang hujan. Membiarkan mukanya tertumbuk rintik hujan. Mulutnya tertutup. Matanya terbuka. Gerak mukanya seperti orang sesenggukan. Entahlah, apa dia menangis ataukah tidak. Tak jelas lagi. Mungkin saja airmatanya tercampur hujan. Jatuh bersama di pembatas jalan menuju selokan.
Oh, tidak. Bukan airmata yang keluar dari matanya. Baju putihnya memerah seperti terkena darah. Airmatanya merah. Turun bersama air hujan menuju selokan. Tak diterima selokan, darahnya menggenang di jalanan. Tersapu roda, air dan darah menciprati sepatu-sepatu di jalanan.
Aku masih diam. Dia tengadah menantang hujan di pembatas jalan. Matanya merekah seperti tanah di kuburan. Kelopaknya mengelupas. Kepalanya seperti dikuliti. Darah mengucur deras. Darah bersama air hujan terus jatuh di pembatas jalan. Hanya menggenang di jalanan. Orang-orang masih berlalu-lalang. Dengan darah terus mengucur dari penjuru kepala, ia menyeberang.
-----
Nila Rahma lahir di Bojonegoro pada 29 Juli 1989. Masih berkuliah di jurusan Sastra Indonesia UI dan aktif di Komunitas Langit Sastra. Saat ini penulis tinggal di Depok.
Sumber: Kompas, 3 Januari 2012
03 Januari 2012
Wajah Hujan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar