Cerpen Linda Djalil
“Kuping dua, babat jarit dua, kaki tiga, pelor satu, lidah satu, tulang muda tiga. Nggak pakai vetsin seperti biasa, tomat yang banyak, minyak samin segepok. Buruan, gue laper!”, ujar seorang laki-laki sembari tolak pinggang.
Dul, tanpa melihat lagi yang memesan di depan hidungnya, langsung nyosor mengambil garpu ompong, menusuk segala jeroan kambing yang siap dibelek jadi tiga bagian. Hatinya berbunyi, berhitung, kuping dua, babat jarit dua, vetsin kagak, tomat banyak, minyak samin segepok. Lho…lho…rasanya dia ingat kalimat serentet itu yang selalu didengarnya puluhan tahun.
Seketika matanya menatap dari arah mana suara si pemesan itu. Jantungnya bagai digebug rotan kasur. “Pak Parno? Hah? Kenapa ada di sini? Jangan bikin saya keder pak. Yang dua minggu lalu dicemplungi ke tanah sekotak di Karet Bivak bukannya ente?” katanya gemeteran. Parno memelintir kumis tebalnya. Membuat Si Dul semakin jiper. Bulu kuduknya berdiri. Masyallah, apakah hantu bisa gentayangan di siang bolong?
“Eh Dul, ente bukan Dul Kumis tukang sop kaki seperti merk dagang Soleh Kumis di mana-mana itu. Elu malah nggak punya kumis, jadi kurang sakti. Kumis gue jauh lebih komersial. Duit nongol gara-gara kumis ini. Sangking aja gue nggak sudi jadi tukang sop kaki kayak elu begini, yang tiap hari uang receh melulu yang muncul. Capek, tauk?!” ujar Parno dengan garang, dan disusul tawanya berderai-derai.
Si Dul melirik ke arah tamu-tamunya yang sedang melahap sop kaki kambing di mangkok ngebul itu. Ia khawatir semua mendengar percakapan itu. Dikira orang nanti dia sudah tidak waras berbicara sendiri. Orang gila masa jualan makanan? Bisa-bisa dagangan bubar jalan. “Udaaaaah…. don woli Dul, kagak usah takut. Mereka nggak akan dengar pembicaraan kita. Ini urusan penampakan dan hanya ahlinya yang bisa lihat!” kata Parno.
Si Dul, sejak berjualan sop kaki tahun 1975 sampai sekarang di pojokan pinggir kali jalan Martapura, memang mempunyai berbagai pelanggan setia. Dari anak balita sampai orang jompo, yang sudah diharamkan untuk menelan makanan jeroan gudang kolesterol itu. Semua tamu bagai tak perduli. Yang penting di mulut lezat, di perut kenyang. Darah tinggi naik, kolesterol selangit, asam urat meledak, semua toh ada lawannya.
Si Dul sudah hafal serenceng nama obat. Kalau ada tamu mengeluh, “Gile Dul gue dilarang makan beginian tapi gimana dong, sop kaki ini emang rasa hantu, uenak tenan!” Maka si Dul dengan lancang berkata, “Tenang aje. Beli tuh di kios obat. Simvastatin untuk kolesterol, Lipantil supra, terus ada itu tuh, zyloric untuk asam urat, ada HP pro, ada vitorin, prolipid, lipitor. Beli jangan di apotik lho, muahal bunget. Ke kios obat Pramuka, blok M, Mayestik,” celotehnya sok tahu, sambil tangannya memegang botol kecap yang siap dikecrot ke daging kambing yang siap telan itu.
Di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Harus belajar ilmu jiwa dan ilmu obat, bune! Kalau kita kasih saran obat ini itu, kan tamu ikuti, terus sembuh, terus datang lagi kan belanja sop kaki kita. Wakakaak!”.
Kembali ke Parno, ia makin gencar menunjuk baskom si Dul. Cincin berliannya yang kinclong empat karat masih bermukim di jari manisnya. Dul melongo. Dia bermain-main atas pikirannya. Apa bisa ya orang Islam dikubur bawa harta? Cincin berlian kenapa masih ada di tangannya? Dikubur bawa cincin? Lalu pak Parno yang namanya tahun belakangan ini jadi beken karena urusan sogok menyogok, nyolong duit rakyat, bukannya sudah mati di bui karena urat nadinya ia potong sendiri?
“Heeeee.. Dul ! Gue hajar lu ya kalau mikir-mikir gue yang enggak-enggak. Gue biar udah mampus, tetap kaya, tauk? Kamu ngiler kan lihat cincin berlianku ini? Kalau dijual nih Dul, bisa untuk bikin cabang sop kaki lo sampai ke Sentul, BSD, dan Ancol. Makanya jangan mau jadi orang susah. Lo sampai gini hari kagak tau negeri Belanda, kota di atas air seperti Venezia, lo nggak ngerti hotel bintang sepuluh di Bali yang romantis itu, malah naik pesawat aja lo cari yang oglak oglek murah tinggal tunggu terjun ke bawah. Cari tuh minimal Garuda. Kan bini lo si Jawa kowek itu pulang kampung ke Jetis Jogja udah pakai pesawat. Kalau ada pesawat Singapur punya, naik itu. ..!”
Si Dul makin gemas. Dadanya mendidih. Sialan juga ini hantu, pikirnya. Sudah gentayangan siang hari, mati bunuh diri, sebelumnya gede-gedean korupsi, sempat masuk bui, masih juga blagu ni orang. Rejeki orang diundat-undat, dihina tiada tara. Biar sudah jadi langganan puluhan tahun, tapi harga diri Dul tergesek pada akhirnya. Tangannya sudah siap-siap meremas pisau daging. Garpu ompong masih mampu untuk menciptakan darah muncrat dari biji mata si Parno. Sedetik sebelum ia mulai beraksi, tiba-tiba ia mendengar Parno menangis tersedu-sedu.
“Kamu hebat Dul. Anakmu jadi sekolahnya sampai sarjana. Anakku dari istri pertama tiga-tiganya narkoba. Anakku dari istri kedua kakinya polio sebelah, tiap hari jalan pincang. Anak gelapku dari simpanan jalur gelapku punya bengek sesak nafas tiap hari. Istriku ada yang diam-diam pelihara brondong. Padahal badannya bogel, makanya teman-temannya sebut dia si Yani Bogel. Otaknya sama pantatnya jaraknya dekat Dul. Jadi pikirannya yang jahat dari pantat masuk ke otak, untuk selalu selingkuhi suaminya. Dari dulu perempuan yang punya ibu tiri lima itu punya cita-cita jadi orang kaya, pengen punya tas bermerk sekamar penuh. Nah, kesampaian deh! Dia tahu aku punya duit segubrak, lha belanja nggak karuan-karuan sampai ada minyak wangi lelaki harga sebotol enam juta, buat pacarnya. Dasar bogel gila.
Sopir yang tahu jadwal hari selingkuhnya lama-lama nggak tahan, minta keluar. Katanya dia nggak tega disuruh si bogel bohongi tuannya melulu. Belum lagi istri pertamaku yang minta duit melulu untuk sumbang anak yatim ini itu. Semula aku kesal Dul. Tapi aku pikir-pikir ya sebaiknya begitu, daripada duit nyelonong buat brondong kayak bini bogel itu. Dan daripada dicopet anak buat ngobat. Ternyata sekarang aku sepi Dul. Mereka repot sekarang rebutan harta. Kalau perlu bunuh-bunuhan. Rumah tujuhbelas, mobil sembilan, emas berkilo-kilo. Ada yang diambil balik sama negara, ada yang masih bisa ngumpet dan nggak terlacak.
Terus nih Dul, anak bini baru tahu juga masih ada enam ratus ribu dolar lagi yang aku sembunyikan di boks bank yang di Tanjung Priok, delapan ratus ribu duit Jerman di boks bank jalan Thamrin, sembilan ratus ribu dolar di deposit boks bank yang kemarin ini nasabahnya dibantai itu. Semua aku sengaja taro di peti duit itu biar nggak dilacak, Dul. Nggak ada hitung-hitungannya di atas kertas. Dulu kalau cina-cina itu nyogok, kan datang ke kantor bawa tas kresek. Atau kardus bekas mie instan. Nah, jangan masuk deh uang rupiah. Makan tempat, nilainya dikit. Mending isi dolar. Segepok-segepok tapi artinya milyar-milyar.
Semua tiada arti sekarang Dul. Harta gue cuma kain kafan. Ini cincin berlian kinclong juga cuma cincin hantu. Lihat sekarang tampangku di mana-mana. Bukan sebagai pahlawan, tapi koruptor. Sekian puluh tahun lagi cucu aku buka dokumentasi di oom google, atau bongkar dokumen di perpustakaan, ada namaku lengkap… duh… apa mereka nggak malu?
Dul, aku nggak jadi makan sop kaki itu. Aku sudah kenyang karena aku bisa curhat sama kamu meski nggak semua. Itu ada pengemis tadi di ujung trotoar, kasih saja sop kaki itu buat dia. Gue bayar ente pakai cincin berlian ini. Ambil Dul. Barang ini memang nggak berkah di gue, tapi menjadi berkah kalau sudah di tanganmu. Pakailah Dul, untuk modal. Bikin warung sop kaki sampai Sentul, BSD, seluruh kota, ya? Jadi orang kaya sah-sah saja asal halal. Jadi orang miskin tapi disayang Tuhan, bahagia banget Dul! Jangan ragu ambil cincin itu. Semua dari Tuhan. Untuk kamu dan istrimu yang hebat, kerja jujur sepanjang hayat. Cincin itu bukan untuk aku yang seumur hidup maling duit rakyat…….”
Si Dul lemas. Cincin keluar dari jemari Parno. Tubuh gempal itu menghilang seketika. Angin siang panasnya Jakarta menepis pipi. Cincin empat karat digenggam si Dul. Dan diremas sekuat tenaga. Dan hancur berkeping-keping. Tiada ada manfaatnya lagi. Dul memandang isi baskomnya yang tinggal separo lagi…… babat jarit, paru, pelor, lidah, kuping, kaki, tulang muda………
Sumber: Kompas, 11 Juli 2011
12 Juli 2011
Tamu Si Dul Tukang Sop Kaki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar