- Oleh Kunjariyanto
Kini, kita digegerkan kembali tentang kabar rapor ganda milik siswa MTSN Lasem. Kabar itu muncul di sela-sela penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA sederajat di Kabupaten Rembang.
Kabar rapor ganda siswa MTSN Lasem, langsung direspons cepat oleh kepala MTSN dengan melakukan investigasi yang hasilnya menunjukkan rapor ganda tersebut memang benar adanya dan pembuat rapor ganda adalah oknum guru di sekolah tersebut. (SM/3/7/2011)
Dua kabar buruk tersebut mempunyai kesamaaan pelaku dan tujuan. Tujuan utamanya adalah agar siswa mendapatkan nilai baik, meskipun dengan cara yang penuh dengan kecurangan dan ketidakjujuran.
Sedangkan pelakunya adalah oknum guru yang langsung mengeksekusi ataupun melalui perpanjangan tangan para siswa, sebagaimana kasus di SDN Gadel Tandes Surabaya.
Kasus-kasus di dunia pendidikan bagaikan gunung es yang hanya kelihatan puncaknya.Melihat kejadian dan kabar buruk yang menimpa dunia pendidikan dewasa ini, sebuah pertanyaan yang muncul di benak kita dan perlu menjadi perenungan bersama adalah benarkah pendidikan kita sudah rusak?
Melihat Hasil
Stakeholders pendidikan (pemerintah, dinas pendidikan/Kementerian Agama, kepala sekolah, guru, orang tua, serta masyarakat), sering melihat dan memaknai pendidikan hanya pada hasilnya, yang ironisnya lagi hasil pendidikan dinyatakan dengan nilai berupa angka-angka yang bisa dimanipulasi dan di mark-up. Proses pendidikan dan pembelajaran tidak diperhatikan dan cenderung ditinggalkan.
Hal ini menyebabkan tercerabutnya fungsi dan tujuan pendidikan yang hakiki. Oleh karena itu, hal utama yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi agar kasus-kasus tersebut tidak terulang lagi, diperlukan revitalisasi pendidikan secara menyeluruh dengan cara mengimplementasikan fungsi pendidikan sebagaimana yang termaktub dalami UU Sisdiknas, yakni mengembangkan potensi dan watak peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Selain itu, juga perlu perubahan paradigma bagi stakeholders pendidikan, terutama bagi para guru, orang tua dan masyarakat.
Bahwa indikator keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai yang melangit, yang hanya mengukur segi kognitf, akan tetapi yang lebih essensial adalah terciptanya peserta didik yang jujur, kooperatif, mandiri, dan berakhlakul karimah.
Dengan begitu, pendidikan tidak hanya mengejar nilai-nilai yang mudah dimanipulasi dan mengorbankan kejujuran. Akan tetapi, pendidikan lebih dimaknai sebagai proses pendewasaan dan pengembangan potensi peserta didik untuk menghadapi tantangan masa depan yang didasari nilai-nilai kejujuran dan akhlakul karimah. (37)
- Kunjariyanto, staf pendidik di Yayasan Manbaul Falihin Ngabul Jepara
Sumber: Suara Merdeka, 4 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar