Cerpen Eko Triono
Bukan tanpa alasan Kinar memilih dunia kamera sebagai jalan hidup, atau lebih tepat: jalan menuju kehidupan yang sebenarnya. Lima kali dikhianati kekasih, dengan tiga berkasus penduaan, dan semua berakhir dikubang perceraian. Yang kini masih juga mencipta gesek muatan listrik sewaktu runtuh hujan badai, menjadi vertigo di lamat impian, ingatan, dan sesekali menggesek dawai rongga-rongga dendam.
Datanglah, kataku padanya, kau akan menemukan model yang cocok untuk tema pameran tunggalmu bulan depan. Pria-pria terbaik dalam hal perawatan tubuh akan menghadiri ulang tahun Luna. Rambut-rambut mereka yang termodif, kulit yang memainkan kesan dingin namun kekar, juga tangan-tangan mereka yang tepat menimang pinggang. Ayolah, kau sahabatku bukan? Aku tak ingin kau terus larut.
Sam, jangan kau minta, aku pasti datang. Itu adalah perburuanku: ujarnya sambil menatap ke luar jendela apartemen. Deru pesawat menyambut daun jatuh. Matahari menaburkan hidangan musim panas, mengabarkan tentang hujan yang tersesat di simpang pertanda.
Tak sempat kuperhatikan, terlagi kupastikan dimana dia. Piringan hitam dan turn table membagi konsentrasi. Lagi pula, kerumun party goers yang turun, membuat mesin ingatku bekerja lebih keras untuk mampu mengenal setiap satu, kecuali yang memang biasa tertemu, terlagi jarang berganti mode. Sepintas kulihat blitz menepis-nepis ke arah meja sudut sana. Aku yakin, kemungkinan besar itu dia: yang sedang asyik dan teliti memandangi objeknya, mencari fokus tertepat. Meski aku lelaki dan Kinar perempuan, perlu kusampaikan, bacaanku akan perasaannya amat tepat. Bermula dari persahabatan masa sekolah, hingga beranjak kepala tiga. Tapi harus ada pengakuan lain: dia adalah perempuan paling tahan banting yang pernah tersimpan dalam ingatan-ingatan panjangku. Sayangnya, aku tak pernah bisa untuk jatuh hati padanya. “Kuantar, ya?” “Baik benar, kau Sam? “Tidak lebih baik dari cahaya matahari pukul tiga sore,” jawabku berkelakar. Sebagai fotografer untuk model di sebuah majalah, baginya memang, cahaya alami yang meratai objeknya jauh lebih nikmat dari makanan, meski buatan chef terbaik di dunia sekalipun.
Jam tiga pagi. Kesunyian menjadi kengerian tiap dinding. Anjing penjaga merintihkan repertoar entah. Entah apa yang ia cari di gelap semak, di antara sampah-sampah sisa makan malam manusia. Hei! Konsentrasi!: Kinar menepuk punggungku. Sori, jawab akuanku gugup, aku sedang tertarik pada objek itu.
Kau mau istirahat, wahai DJ? Tidurlah di tempatku, ya setidaknya nostalgialah: Kinar menawari. Tak masalah wahai fotografer, ujarku menggoda, untuk sahabat sejati kenapa tidak? Mumpung sedang tak bersuami he-he-he. Ia merespon pernyataanku barusan, dengan senyum kuyu yang getir. Ada isyarat: aku kelewatan. Ia pun lantas lenyap ke ruang belakang. Rumah kecil di tepi sungai ini mengingatkanku pada rhapsody yang pernah kuracik waktu masih sekolah musik, di kota ini juga, Jakarta. Sebelum pada akhirnya kuputuskan untuk memperdalam di Australia. Riuh daun yang menyisir tepian. Kukuk burung malam. Gemercik aquarium selalu menjelma saing-suara sungai itu sendiri. Juga geletar meteran listrik yang berat. Yang, bila semua itu terpadu di tangan jiwa bermusik, akan jadi alunan serenada paling komposif; langsung tertuai dari alam aslinya; bernama: kehidupan.
Minumlah! Kinar datang membuyar lamunan: Aku ke kamar kerjaku sebentar, cek roll, katanya kemudian. Terimakasih, jawabku sambil berpelan menggiring bibir ke susu coklat hangat dengan karamel dan sedikit moca. Eh, sebentar, boleh aku ikut? Boleh, masuklah!: Kinar mulai membuka ruang pencucian film.
“Bagaimana pestanya? Dapat objek? “Lumayan. Lihat dulu yang ini!” “Boleh tanya sesuatu?” “Silahkan, mas wartawan dadakan.” “Kenapa semuanya mesti potret telapak tangan?” “Dari pada pantat, susah to?” “Bukan begitu maksudku, bukankah ada asap, ada api?” “Tapi percayalah, tidak baik main api di sini, ntar aja di luar. Oke?” “Baiklah,” jawabku maklum, sambil terus terbingung dengan serba neka telapak tangan dari segala sisi, dengan guratan-guratan garis yang terfokus benar dalam pengambilan gambarnya. Terlalu lama menunggu; membuatku terlelap semakin jauh di sofa. Harum kopi Brazil yang diberi sedikit mrica, serai, dan madu; dahsyat mempengaruhi saraf, mampu membangunkan siapapun, termasuk aku yang lelap kelelahan. Dan lamat-lamat, kulihat seombyok foto-foto bergambar telapak tangan dengan berbagai ukuran, terpampang di hadapanku, di segenap meja dan kursi.
Dah bangun…? Tanya Kinar pelan. Enak ya, bisa menikmati malam, ujarnya lagi. Emang kenapa? Aku tak mengerti. Kinar mencoba mengelak dari seranganku: Ah, sudahlah. Nikmati kopi itu. Eit, cuci muka dulu sana. Jigongmu tuh… Di kamar mandi, aku tahu, semalam Kinar telah mengoleskan lotion anti nyamuk ke lengan dan kakiku. Perhatian betul dia. Tapi itu tidak lebih penting dari sesuatu yang kembali teringat waktu kubersihkan muka di depan cermin wastafel: untuk apa Kinar memilih tema fotografinya dengan telapak tangan? Dan, apa makna semua kejanggalan baru yang kulihat darinya, seperti embun kaca yang berwarna ungu, berkilat saat lampu kamar kecil ini padam, atau sebab ada cahaya matahari di luar yang masuk sampai, menelisik, membias bentuk-bentuk gelap jadi seorang pangeran telapak tangan? Ah. Entahlah. “Kenal orang ini, bukan?” “Coba lihat.” “Semalem di meja sudut. Kalian deket, to?”
Kuambil dan kulihat hasil foto medium menyamping dua fokus itu, tangan kiriku masih sibuk membersih muka dengan krim perawat kulit wajah yang kubawa. Nampaklah di mataku kini: seorang lelaki bercambang tipis duduk di antara ramping anggur merah, juga beberapa hidangan pesta lain, tangannya menggelepak lelah, jam tangan kendur di pergelangan, ada tampak garis tangan lintang pukang di sana. Benar, kataku kemudian, aku mengenalnya. Sangat malah. Emang kenapa?
Garis tangannya menjawab kegelisahan dan ketakutanku tentang harapan terhadap para lelaki, ujar Kinar sambil berdiri menggenggam cangkir ke arah tirai jendela yang sedikit terbuka. Garis tangan? “Ya,” katanya tenang menatapi awan pagi Jakarta yang tiba-tiba murung secepat ini, “kau juga percaya, to? Serumpun awan itu, menjadi petanda bagi para klimatolog untuk menyimpulkan cuaca yang akan terjadi sepanjang hari?”
Aku hanya kedip, bengong merespon tanya retoris Kinar yang tak bertampik di palung manapun. Ia membalas. Menatap. Menembus kecurigaan yang kusimpan diam-diam.
Lalu beralih pandang; kali ini pada jemarinya sendiri yang mulai memainkan lingkar gagang bermotif mayang di cangkir kopi Brazil yang mengepul hangat sepadan suasana redup: Sam, katanya melanjut, sejak aku bertemu Lampayun di Bentara Budaya, dan palmistrian itu memberitahu tentang rahasia garis tangan, sejak itu pula, aku menyadari banyak hal yang terlewati dengan perih, tanpa suatu kewaspadaan, juga kesiapan sedikit pun dariku sendiri. Terutama dalam masalah cinta. Kinar mendekat ke arah sofa. Tangan kirinya masih menimang kopi. Sam, lihat foto dekat tatak cangkirmu itu, ujarnya menunjuk.
Aku melihat foto telapak tangan yang kuyakin hasil crop dari sebuah perbesaran foto utuh. Konturnya nampak sedikit ngeblur. Dan, ada beberapa lingkar pena merah di beberapa tempat yang terhubung dengan tanda panah, juga simbol-simbol aneh.
Itu garis tangan milik Jo, katanya kemudian. (Jo adalah suami Kinar yang terakhir cerai kurang dari setahun yang lalu). Lihat garis pasangan di bawah kelingking kirinya. Ada empat garis yang sama-sama tegas di sana. Kau tahu maknanya, Sam? Tidak. Aku memang tak pernah tertarik dengan ramalan. Jadi, aku tak mengerti sama sekali. Ini bukan ramalan, Sam. Ini perhitungan-perhitungan yang teruji.
Mata kinar bercahaya. Antausias yang kuat. Ia meletakan cangkir dan duduk merebut foto di tanganku: Kau lihat ini? Mestinya dari garis jantung inilah aku tahu; Jo bukanlah tipe orang setia, ketika itu. Ketika itu? Ya, sebab ada beberapa garis tangan yang berubah sesuai perilaku orang bersangkutan.
Kinar menunjuk garis teratas pada foto telapak tangan itu, yang terlihat samar, tidak tegas, dan banyak cabang kecil-kecilnya. Ia juga menjelaskan tentang garis pendek-pendek bawah kelingking itu: Ini makin menguatkan, ini tanda dia mencintai banyak orang, dan mudah jatuh cinta. Tidak seperti ini, Sam. “Meridian?”
Tepat. Garis tangannya sangat rapi dan tegas. Garis kehidupan, garis kesuksesan, garis karirnya, bahkan garis perkawinannya yang tunggal. Ditambah garis hati, atau garis jantung, yang panjang dengan sebuah cabang jodoh, dimana kuyakin: itu menuju ke arahku. Dan… aku ingin. Aku ingin dia menggantikan semua kenangan pahit tentang lelaki dalam hidupku. Aku ingin dia menjadi suamiku yang terbaik dan terakhir. Aku menaruh hati padanya, Sam. Pada Meridian, sahabatmu itu. “Padanya, atau pada garis takdirnya?” “Padanya sekaligus garis takdirnya, Sam.” “Tidak! Menurutku kau hanya mencintai praduga dengan cara pikirmu yang aneh itu. Dengar, cinta itu perasaan, Kin. Buka hitung-hitungan tangan.” “Kau tahu, Sam? Sejak kalian duet vintage house di Balai Sarbini, dan kamu mengenalkan Meridian padaku. Sejak itu pula perasaanku tumbuh tak menentu. Malam-malam jadi teramat menggelisahkan. Ditambah, Jo yang aku tahu makin sering selingkuh, dan perceraian dengannya sedang kuurus pula..” “Kenapa baru dibahas sekarang?” “Aku takut, Sam. Lagi pula kita baru ketemu lagi. Dan, aku mesti hati-hati dengan perasaanku sendiri. Masa lalu telah menjadi bukti yang paling akurat. Perasaan harus didampingi dengan perhitungan-perhitungan lain. Termasuk garis tangan.” “Bagaimana jika perhitungan itu salah? Bagaimana jika pradugamu itu kosong? Bagaimana…” “Aku tak peduli! Aku tak peduli. Ah, sudahlah. Aku tak ingin berdebat. Aku hanya ingin kamu menjadi kurator untuk pameran foto-foto garis tangan yang kuambil. Bulan depan. Itu pun jika kamu bersedia.” “Untuk Meridian?” “Tidak semua.” “Aku tidak mau! Kau wanita spesial, Kin. Jangan kau gadaikan spesialmu itu dengan mengejar kemungkinan-kemungkinan dari sebuah garis tangan…” “Bukan kemungkinan, Sam. Itu…” “Perhitungan akurat? Iya? Dan telah terbukti sejak jaman dinasti Cina? Ufh… Kin, aku sudah sering denger. Sekarang jamannya beda!” “Manusianya sama, to?! Garis tangannya tetap, to?” “Terserah! Yang jelas aku tak mau!” “Tapi, Sam…” “DIA KEKASIHKU!”
Aku menghentak kenyataan yang kupendam! Diam kemudian; tatapan kami saling menghisap ketegangan satu sama lain. Saling melumat keinginan dan kebimbangan dalam dada masing-masing.
Aku tahu, Kinar masih tak yakin. Atau bahkan telah muak. Bibirnya yang lembab nampak ternganga. Alisnya berkerut. Kelopak matanya gemetar merindingkan bulu-bulu kecil antara kornea yang berlarian mencari peyakinannya dari dalam mataku yang terengah.
Tangannya pun tak lagi konsentrasi pada setangan cangkir kopi Brazil yang hampir dingin dan mengendapkan muatannya. Tapi mungkin harus kukatakan ini: di garis tangan milikku dan Meridian, ada petanda lain yang belum sempat Kinar baca, atau barangkali, Lampayun tua itu lupa mengajarkan; tentang garis samar yang melingkar di bawah ibu jari kami.
Agustus-September 2009
Eko Triono, Lahir di Gombolharjo-Adipala, Cilacap, 11 Juni 1989. Menghabiskan masa kecil di Kapuas, Kalimantan Tengah, dan Meulaboh, Aceh Barat. Kemudian kembali ke Jawa Tengah dan kini kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Menulis prosa, puisi, dan esai pada sejumlah majalah, koran, dan buku baik lokal maupun nasional.
Sumber: Kompas, 29 Juli 2011
30 Juli 2011
Garis Tangan Meridian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar