- Oleh FS Swantoro
Terlepas dari posisi Andi Nurpati yang makin terpojok di hadapan rapat dengar pendapat Panja Mafia Pemilu dengan KPU dan Bawaslu, Pileg dan Pilpres 2009 menyisakan banyak misteri yang belum terungkap. Perhatian publik sekarang tertuju pada Polri untuk membongkar kecurangan Pemilu 2009.
Karut-marut daftar pemilih tetap (DPT) benar-benar mengeskalasi ketegangan politik sepanjang pemilu pada tahun itu. Menegangkan, karena eskalasi terjadi 3 hari menjelang pencontrengan tanggal 8 Juli. Hal itu , akibat KPU tidak profesional menangani DPT dan tidak kooperatif terhadap masyarakat atau caleg ketika mempersoalkan DPT bermasalah ini. Banyak kritik pedas yang dilontarkan sebagai pemilu paling buruk Indonesia. Pernyataan itu pernah disampaikan 13 tokoh partai yang berkumpul di kediaman Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Wiranto, selaku Ketua Umum DPP Partai Hanura, mewakili tokoh parpol menyatakan, ’’Buruknya pelaksanaan Pemilu 2009 bisa dilihat dari banyaknya kecurangan yang terjadi secara masif hingga banyak warga tidak dapat menggunakan hak politiknya. Ini sungguh melanggar hak asasi dan konstitusi.’’
Dari pengalaman, Pemilu 2009 memang ada kelemahan menyangkut sistem administrasi penduduk yang menerapkan asas de jure, ternyata belum bisa diterapkan secara baik dan mandiri. UU Administrasi Kependudukan yang disahkan tahun 2006 dan diatur dengan PP Nomor 37 Tahun 2007, waktunya terlampau pendek sosialisasinya ke masyarakat sekaligus mengingatkan calon pemilih melaporkan status kependudukannya untuk mendapatkan hak pilih.
Hak Politik
Stelsel pasif itu ternyata gagal diterapkan dan jangan terulang pada Pemilu 2014. Belum ada standar baku sistem pemutakhiran data potensial pemilih (DP-4) menjadi daftar pemilih sementara (DPS). Semuanya bergantung pada inisiatif ketua RT/RW. Ada yang mendatangi rumah tangga secara langsung, tapi banyak penduduk merasa tidak didatangi meski ada daftar pemilih tambahan.
Selain itu, penggelembungan jumlah pemilih menjadi 171 juta (padahal data demografi hanya 161 juta) kemungkinan besar disebabkan duplikasi nama dan alamat pemilih dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang berbeda meski hanya beda 1 angka dari 16 digit (Adioetomo:2009). Belajar dari pengalaman Pemilu 2009, penggelembungan atau penghilangan nama calon pemilih dalam DPT jangan terulang. Waktu itu, puluhan juta warga yang punya hak pilih, punya KTP faktanya tetapi tidak terdaftar dalam DPT. Mereka tetap kehilangan hak pilihnya, akibat namanya tidak tertera. Fenomena itu masif terjadi baik di Jawa maupun luar Jawa.
Selain administrasi kependudukan itu ada beberapa hal yang layak diperhatikan. Pertama; karut-marut DPT adalah kekeliruan KPU sehingga KPU punya andil besar dalam DPT bermasalah. Kedua; kisruh DPT tidak boleh hanya dipahami sebagai masalah administrasi karena hal itu berarti pelecehan atas hak politik masyarakat. Mereka yang memahami sekadar administratif, pasti tidak paham bahwa bagian terpenting pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik pemilih. Tanpa itu, pemilu bisa dinilai sebagai cacat hukum.
Ketiga; kisruh DPT harus dipahami sebagai asal mula persoalan. Kisruh ini sebagai konsekuensi logis dari kekacauan administrasi penduduk. Menurut Eep Saefulloh Fatah (2009) tak satupun dari empat presiden pascareformasi yang mampu menata administrasi kependudukan secara baik dan benar. Pileg dan Pilpres 2009 dicederai oleh rendahnya kredibilitas data pemilih. Dicederainya hak pilih 49 juta calon pemilih ini merupakan puncak dari kisruh DPT yang masih akan terulang.
Keempat; ada persoalan lain yang terindikasi busuk, seperti jual beli suara di beberapa dapil, money politics, dana keuangan partai tidak transparan, hingga misteri data IT. Semua itu layak direkonstruksi kembali oleh Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR. (10)
— FS Swantoro, peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
Sumber: Suara Merdeka, 18 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar