Cerpen Sabiq Carebesth
Langit malam itu seperti biasanya. Beberapa saat malam seperti petang di sore hari yang terik, beberapa saat kemudian malam begitu kelam seperti bayangan setiap orang tentang kematian paling pedih pada suatu waktu kiamat yang datang terburu-buru. Tahun-tahun terakhir cuaca memang cepat berubah.
Bagi kota ini segala hal bisa saja terselip dan terjadi. Di kota inilah orang belajar menjadi terbiasa mengambil jarak untuk dirinya sendiri; pada ketika ramai seperti biasanya seorang mungkin mnejauhkan dirinya entah ke dunia yang mana, pada ketika lengang jalanan dan sayup malam memulai sihirnya yang sunyi, sejanak lalu seorang lari mencari keramaian, atau hanya kesunyiannya sendiri.
Demikianlah orang-orang di kota ini mencari sesuatu dan berusaha menemukannya dengan cara yang paling absurd, mungkin sesuatu untuk dirinya sendiri, sesuatu yang begitu sunyi, begitu kecil namun begitu damai; sesuatu yang terselip diantara...
“Sudah berapa lama kau menjalani kesepianmu?” Orang mengira buat apa menjadi sepi, tapi kau tetap saja pada getaranmu untuk memahami sepimu sendiri, memang sepi itu ada dalam dirimu, mungkin kau ciptakan sendiri, mungkin kota ini membuatmu begitu, mungkin sesuatu dimasa lalumu, mungkin saja mungkin, bukan? Pertanyaan semacam itu, dikota yang ramai ini, selayaknya diajukan oleh segelas kopi, cokelat, atau bir, atau segelas wine. Orang-orang yang merasa sepi dan terus berlari mencari kesepian yang lain.
Abusrd bukan? Memang kota ini dengan segala jarak dengan penghuninya membuat buanga-bunga keabsurdan mekar begitu rupa.
“Sekarang bagaimana?” ujar perempuan itu dengan nada suara gugup, tapi tetap menjaga intonasi suaranya dengan nafasnya yang setengah memburu. Perempuan itu duduk pada sebuah tempat yang digemarinya dibalakang rumahnya dekat sebuah dapur di sebelah rak berisi ratusan buku kegemarannya.
“Kau mengerti kebahagiaan itu, sekarang?” ujarnya lagi sambil menyalakan kompor, diletakkannya panci berisi air, beberapa saat kemudian tampak mendidih. Dan ia terus bicara seperti seorang sedang mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang begitu lama disimpannya. Pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh dirinya sendiri. “Kau pergi begitu jauh dan begitu lama, apa kau menemukan sesuatu, bisakah kau mengisahkannya padaku? Kan kau tahu, aku selalu senang mendengarkanmu. Lagi pula aku tahu, kau merasa menemukan tempat yang tepat dalam diriku untuk mengisahkan sesuatu, kau bahagia karena kau merasa didengarkan.” Ujar perempuan itu lagi.
Ia meletakkan segelas cokelatnya, duduk mengaduk lalu berusaha menenangkan dirinya sendiri. Matanya sejurus menatap dalam-dalam kepada lelaki dihadapannya, kekasih terdalam yang bisa membuatnya mennagis atau tersenyum dalam saat yang nyaris bersamaan. Kekasih yang cintanya sudah membuatnya menjadi lemah dan renta.
Jam dinding pada sudut tembok ruangan dapurnya itu berdentang, terdengar lemah dan renta, waktu tak terasa jadi larut, pukul dua malam. Tatapan matanya makin terasa kabur, tapi ia teguh pada pandangan matanya yang mulai setengah berkaca-kaca. Terasa berat menanggung beban pada kelopak matanya.
“Perpisahan kita waktu itu, tak kusangka aku masih mengenangnya, dan hari ini semua itu begitu indah, kau tahu kenapa?” ujar lelaki itu, suaranya ragu. “Kenapa?” tukas perempuan itu cepat. “Sejak itu aku meirndukanmu, hatiku teringat padamu, berusaha mengenang dan memberi tempat sepatutnya kau mendapat tempat.” jawab lelaki itu. “Hanya itu?” ketus perempuan itu kembali. “Sejak perpisahan itu, aku tak tak lagi menunggu apa pun tentang kita.” Ujar lelaki itu dengan suara memburu. “Kenapa?” “Segala yang kuimpikan tentangmu kini menjadi harapan; tak perduli kau menunggu atau pun tidak.” “Hanya itu?” “Kurasa aku mencintaimu?” “Kau egois!!” “Kenapa ?” “Dulu kau meninggalkanku pun tidak pernah kau beri tahu kau mencintaiku? Itu menyakiti hatiku. Walau aku tidak marah padamu, aku tidak bisa untuk marah begitu rupa padamu.” “Maafkan aku.” “Tentu saja, aku tidak menganggapmu salah.” “Lalu?” “Tidak apa.” “Kau tidak berubah seperti dulu, kau sangat keras kepala.” “Kadang hanya itu satu-satunya cara untuk dapat bertahan..” “Bertahan?” “Dari sepi, yang tidak pernah dapat kau pahami. Bertahan hidup sebaik-baiknya, agar dapat bisa menunggu dan berharap; seperti kita duduk dan bicara sekarang. Hanya itu yang bisa kulakukan, aku tak ingin merasa kecewa dan lemah yang membuatmu menjadi bersalah. Bagaimana pun aku selalu berusaha menemukan cara bahwa kau menguatkanku, setidaknya yang pernah kulewati denganmu.”
Nafasnya menyesak, perempuan itu menutup buku dihadapannya, merapikan beberapa yang lain, meletakanya pada tempat biasanya. Cokelat kegemarannya tinggal separuh. Hangatnya berlalu. Ia mulai membenci rasanya, ia tak suka cokelat pada gelasnya jadi dingin.
“Kata-katamu sangat gelap. Aku minta maaf padamu.” Lelaki itu berkata. Sebatang rokoknya yang padam disulutnya kembali. Nafasnya dalam. “Untuk apa, kau tahu aku tidak akan menyalahkanmu.” Balas perempuan itu cepat seperti sudah tahu apa yang akan dikatakan lelaki itu. “Kadang seorang harus meminta maaf.” Ujar lelaki itu. “Aku ingat kata-katamu.” Katanya lagi. “Ah, kau memang sangat egois. Bahkan kau tidak pernah merasa bersalah setelah apa yang kau lakukan. Tapi tetap saja aku tidak bisa untuk tidak memaafkan sejak pertamanya.” “Kenapa.” “Aku menghormati setiap pilihan dan impian yang di pilih olehmu, kau laki-lakiku..Aku hanya berharap sekarang kau tidak kemana-mana lagi, itu saja.” “Kau sangat manja." “Sepuluh tahun? Aku memang bukan seorang perempuan yang kuat mempertahankan cinta, sendirian…”
Malam terus berjalan menjauh, remang pagi dikejauhan menyemburatkan mega-mega, perempuan itu makin tak kuasa menahan perasaannya sendiri, ia tampak makin lelah. Sekali ini ia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan emosisonal. Ia sebenarnya tak suka merokok, ia hanya ingin mengusir sedikit kegelisahannya walau ia tahu hal itu tidak akan dapat dilakukan oleh sebatang rokoknya. Kegelisahan itu ada dalam dirinya sendiri.
“Kau tahu,” ujar Perempuan itu sambil menghembuskan nafasnya yang mengepulkan asap putih dari batang rokok yang tak lepas dibibirnya. “ada saat paling sulit yang kulewati selama tidak ada kau. Tapi kau harus tahu, saat paling sulit yang mesti kutanggung adalah saat aku tahu anak lelakiku, anakmu, yang dulu bagimu menjadi impian paling mendalam akan semua hasrat yang berdesir dalam segenap anganan manis yang bisa kau dambakan; harus lahir tanpa kau ada untuk memberinya senyuman pertama. Di mana jemarimu saat aku meregangkan tubuhku untuk melahirkan kebahagiannmu, di mana tatapanmu yang kuharap menguatkanku saat kematian seperti tiang gantungan yang telanjang di depan mataku; tapi tetap tak seberapa dengan rasa sakit yang harus ditanggung hatiku, saat……” suara itu tiba-tiba tertahan, entah sebab apa.
Tiba-tiba perempuan itu sesenggukan sejadi-jadinya, air matanya tumpah deras, dadanya menyesak dan sebatang rokok di antara jemarinya nyaris membakar jemarinya tanpa ia sadari.
Tapi dalam beberapa saat hanya ada keheningan, kemudian tak ada jawaban, tak ada kata-kata; angin malam mengabarkan hawa dingin yang seperti biasanya, angin yang mengabarkan padanya untuk terbangun, memasak dan memandikan bayi lelakinya.
Hanya jam di dinding yang berdentang, jam empat pagi hari. Kemudian memang tak ada suara yang tadi, suara lelaki itu tak pernah terdengar kembali. Perempuan itu makin sesenggukan, sebatang dua batang entah berapa batang disulutnya kembali rokoknya, ia terbata-bata bertanya entah pada siapa sampai akhirnya sutera cahaya mentari pagi menyadarkannya, ia sedang bicara dengan dirinya sendiri.
Lelakinya memang tidak akan pernah kembali. Lelakinya telah mati. Dan ia tak pernah tahu harus berapa lama lagi, sepanjang malam, pada waktu-waktu yang biasa, ia harus bicara dengan dirinya sendiri, seolah segelas cokelat di hadapannya adalah lelakinya.
Sabiq Carebesth,
Jakarta, 21 April 2011
Sumber: Kompas, 21 Juli 2011
22 Juli 2011
Monolog Kesunyian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar