Oleh Alfan Alfian
Ramadhan sebentar lagi. Sekali-sekali, bolehlah saya mengisi pengajian di sini –walaupun saya bukan dan tidak ada potongan jadi ustadz atau kiai.
Sering ada kiasan ramadhan itu bulan peragian, bulan untuk jadi kepompong, untuk akhirnya keluar jadi kupu-kupu. Menjadi kepompong itu, menjadi manusia asketik, yang menjaga jarak dengan dunia, meskipun tak harus kehilangan jejak, alias masih menapak. Semua orang bisa menjadi sufi, menjadi manusia asketik itu, bahkan di tengah keramaian sekalipun. Manusia asketik tak harus sembunyi di gua-gua.
Kesadaran Ketuhanan itu dasar utamanya. Tuhan itu jauh bila engkau menjauh, dan dekat bila engkau mendekat –ini lagunya Bimbo. Pertanyaan utama ini penting untuk kita munculkan kapan pun dan di manapun : dalam urusan kita sehari-hari, kesibukan kita yang tidak karu-karuan ini, di manakah Tuhan kita letakkan? Di dalam kotak, di luar kotak, di dalam ruangan tertentu, atau bagaimana?
Tidak berarti saya menganjurkan agar Tuhan di bawa-bawa untuk kepentingan tertentu (politisasi Tuhan), menindas atau mencederai yang lain atas nama Tuhan. Tidak berarti pula harus meninggalkan kewajaran nalar-rasional kita pula, dan lantas taklid buta terhadap apa yang diyakinkan orang sebagai “super-religius”.
Tapi, yang cukup netral adalah, saya hendak menggarisbawahi bahwa Tuhan itu ada (karena saya bukan atheis) dan kesadaran keilahian kita mestinya tetap mengemuka.
Cara untuk memelihara kesadaran keilahian alias religiusitas kita bermacam-macam.
Nasruddin Hoja punya satu dari sekian variasi cara menumbuhkan religiusitas itu, walaupun lucu, kalau bukan terkesan konyol. Kira-kira ceritanya begini : suatu hari, pintu rumah Nasruddin diketuk seseorang, dan ternyata orang itu bermaksud meminta sumbangan alias sedekah.
Nasruddin menyambutnya dengan ramah, dan mengusulkan agar tamunya itu mau bersama-sama dirinya naik ke atap rumahnya.
Dengan susah payah, keduanya berhasil duduk di atas rumah Nasruddin, tetapi lantas sang peminta-minta nanya, apa maksud Nasruddin dengan aksinya itu. “Saudaraku,” kata Nasruddin, “tengadahkan tanganmu, mari aku bantu untuk minta sumbangan langsung sama Tuhan!”
Sang peminta sumbangan dongkol. Dan dengan susah payah turun dari atap rumah Nasruddin dan sambil ngomel-ngomel, “Aku mau minta uang, kok di kasih Tuhan”. Nasruddin berkata lirih, “Semakin tidak paham aku, bukannya ia tadi minta sumbangan, dan aku sudah berusaha ajak meminta langsung sama Tuhan, kok marah marah!”
Tak diduga sama sekali, Nasruddin memunculkan Tuhan dalam adegan lucu itu, padahal sang peminta sumbangan itu serius: harapannya Nasruddin memberinya uang.
Bagi Nasruddin Tuhan itu sang maha pemberi rezeki. Peminta sumbangan itu mungkin juga paham, tetapi bagaimana mungkin bisa minta uang langsung dari Tuhan?
Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang propaganda anti-Tuhan ke siswa-siswa taman kanak-kanak begini: Ibu gurunya nanya, apakah Tuhan itu ada? Siswanya menjawab ada. Gurunya bilang lagi, kalau Tuhan itu ada, apakah kalian bisa meminta sesuatu pada-Nya? Siswanya menjawab, bisa, Tuhan maha pemberi.
Kalau Tuhan maha pemberi, kata gurunya, coba pejamkan mata kalian, tengadahkan tangan, dan mintalah permen pada-Nya. Para siswa TK itu melaksanakan perintah gurunya. Sesaat kemudian gurunya, memerintah agar membuka mata masing-masing, dan berkata: adakah permen di tangan kalian? Tentu saja tidak ada permen di tangan para siswa.
Kemudian gurunya bilang lagi, coba pejamkan mata kalian, tengadahkan tangan, dan mintalah permen pada Ibu guru kalian. Para siswa TK itu melaksanakan perintah gurunya. Sesaat kemudian gurunya, memerintah agar membuka mata masing-masing, dan berkata: adakah permen di tangan kalian? Para siswa menjawab, ada. Mereka gembira sekali dikasih permen.
Nah, anak-anakku sekalian, kalau begitu Tuhan itu tidak ada, apalagi disebut sebagai maha pemberi. Itu omong kosong. Yang bisa memberi siapa? Para siswa menjawab, Ibu Guru!
Kita yang beragama, tidak perlu meragukan keberadaan Tuhan, karena memang buktinya banyak sekali –dan tentu saja tidak dapat digagalkan dengan ilustrasi di atas. Tuhan memang memiliki hukum-hukumnya sendiri, dan itu pula berlaku dalam soal rezeki.
Ingat tidak dongeng nenek dan ikan gabus di bacaan kita pada masa Sekolah Dasar. Kira-kira ceritanya begini: Sang nenek penyelamat ikan gabus itu, berdoa agar diberi rezeki oleh Tuhan dan tiba-tiba sekarung uang jatuh melalui genting rumahnya.
Ada tetangganya yang kikir, yang mengintip kejadian itu, ikut-ikutan melakukan hal yang sama: tetapi yang jatuh dari atap rumahnya adalah sekarung batu-bata, dan menimpa tubuhnya.
Pesan moral cerita itu sebenarnya terletak pada ketulusan yang berbuah manis versus kekikiran yang berbuah runyam.
Kalau Tuhan kasih uang langsung ke siapa saja yang meminta, lalu apa bedanya dengan kasir di bank atau bendahara partai? Mekanisme penyebaran rezeki itu ajaib. Bisakah seorang sopir taxi menentukan penumpangnya ada di mana dan di titik-titik mana, ketika sedang menggelandang di jalanan?
Bisakah pemain sepakbola itu menggariskan nasibnya sebagai yang menang atau kalah, dalam arti menentukan pergerakan bola sedemikian rupa sehingga pertandingan sepakbola hanyalah sebuah tontonan biasa saja tanpa kejutan-kejutan?
Karenanya rencana manusia selalu tidak dapat berjalan dengan pasti. Makanya, Tim Sukses sebuah kongres partai selalu punya plan A, plan B, bahkan sampai plan Z.
Di level lain, orang sering mengeluh tentang Tuhan yang gagal menolong dirinya, sebagai seorang penganggur yang berputus asa. Si penganggur, padahal ya dia itu terdidik, tamatan universitas terpandang pula, mengeluh, “Tuhan ini bagaimana sih, kok betapa tidak adilnya terhadap diriku. Tuhan macam apa kalau begitu yang demikian itu?”
Saya bukan ahli filsafat agama dan pandai berdiskusi soal-soal filosofis keagamaan, dan mungkin tidak dapat menjelaskan secara memuaskan tentang keluh kesah : kalau Tuhan maha adil, mengapa kehidupan di dunia masih sedemikian rupa diwarnai oleh ketidakadilan? Kalau Tuhan maha pemurah dan pemberi, mengapa banyak yang hidup miskin?
Tapi, agama juga mengajarkan konsep bersyukur. Betapapun kondisi kita, sepantasnyalah kita bersyukur dan berserah.
Tuhan memberi kesempatan episode dunia. Dunia hanya sementara. Apa-apa yang kita miliki sejatinya bukan milik kita. Apa-apa yang kita miliki pinjaman. Kelak Tuhan ambil semua. Dan, karenanya kita tak boleh sombong.
Nah, bulan ramadhan ini adalah kesempatan baik bagi kita untuk merenung. Manfaatkan bulan spiritual itu dengan baik. Wallahua’lam. (***)
M ALFAN ALFIAN, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta.
Sumber: Kompas, 25 Juli 2011
28 Juli 2011
T u h a n
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar