Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


13 September 2011

Aku Bukan Pujangga

Cerpen Cosmas Kopong Beda

“Aku tak pandai menulis puisi. Aku juga bukan pria yang romantis. Aku tak biasa memberikan kembang dan puisi kepada kekasihku. Aku mencintai mereka apa adanya. Tak pernah aku berbohong soal hati. −Novi, kenapa mesti kamu meminta kembang, sayang?”  Sebagai hadiah ulang tahunmu. Sedangkan aku tak punya duit untuk membeli kembangnya, manisku.”

Aku tak pandai menulis puisi, sayang. Aku rasa, pertama kali kita di pertemukan, aku sudah membicarakan itu. Jauh sebelum kita resmi menjadi sepasang kekasih. Bagaimana dengan sikapmu yang sekarang?” Aku tak paham. Meninta puisi dan seikat kembang melati putih untuk kado ulang tahunmu nanti. Aku bukan Chairil Anwar, si binatang jalang yang pandai menulis puisi itu. Aku juga bukan penjual kembang.


Sebulan sebelum hari ulang tahunmu, kamu sudah merengek meminta kado. Sedangkan aku tak punya duit yang cukup untuk membeli kembangnya. Aku juga akan kebingungan menuliskan puisinya. Sudah tiga tahun kita menjadi sepasang kekasih, harusnya kamu tahu dan mengerti semuanya tentang aku. Kalau kekasihmu ini bukanlah seorang pujangga. Setelah ulang tahunmu nanti, aku akan meminangmu. Dan sebulan kemuadian aku akan menikahimu. Tak seharusnya kamu meminta yang macam-macam. Apakah kesetian itu harus kita ukur dengan kembang dan puisi? Kurang setiakah, aku sekarang? Aku setia dan sudah siap untuk menikahimu. Apalagi yang kurang dariku?

Maumu, semua permintaanmu harus kuturuti. Jika apa yang kamu minta aku tak sanggup, bagaimanakah itu, sayang
Aku tak pernah meminta banyak darimu. Aku hanya meminta agar kamu bisa paham dengan hidup yang kita jalani sekarang ini. Tidak seharusnya ‘kan, sayang. Kado ulang tahunmu kembang melati dan puisi. Sedangkan ulang tahunmu, sebelum-sebelumnya, tak pernah kamu meminta yang macam-macam. Lalu, ada apa dengan sekarang ini? Jika memang ada alasan lain untuk menunda pernikahan kita, terus terang saja, sayangku. Aku tak mau nanti akan menjadi sebuah persoalan dalam rumah tangga kita.

Sudah aku bilang, bahwa aku tak pandai menulis puisi, tapi karena aku mencintaimu aku akan meminta para penyair untuk membuatkan puisi. Yang nanti akan aku berikan untukmu. Dan kembangnya akan aku usahakan untuk mendapatkannya. Aku mengirim pesan singkat untukmu. Bisakah kembangnya diganti dengan kembang lain? Aku ada mawar putih di halaman depan rumahku. Maukah kamu dengan mawar putih? Tapi kamu tak pernah membalasnya. Tidak apa, akan aku usahakan mendapatkan melati putih untukmu.

Sehari sebelum hari ulang tahunmu, aku datang ke rumahmu dan membawakan semuanya sesuai permintaanmu. Kamu tersenyum manis. Dua pasang lesung pipimu terlihat jelas di sana. Gigi putihmu nampak indah dari balik bibirmu yang merah jambu. Kamu memang manis sayang di mataku, tapi kuharap kamu tak usah meminta yang macam-macam lagi. Aku tak suka itu. Sesuatu yang kita tak sanggup, tidak usahlah kita paksakan, sayang. Kuharap kamu bisa mengerti. Ini untuk pertama kali dan  terakhir kalinya. “Sayang ! engkau memanggilku mesrah. “Ada apa?” “Kamu tahu, bukan?” “Tidak.” “Kenapa?” “Kembang melatimu ini bukan untukku, sayang.” “Tapi, kalau puisi untukku.” “Lalu, kembangnya untuk siapa?” “Ini ‘kan khusus buat kamu yang berulang tahun hari ini.” “Ayo, kita ke makamnya ibu !” Kamu mengajakku menuju makam ibumu yang tak jauh dari rumahmu. Kira-kira satu kilometer jauhnya. Kita tempuh dengan jalan kaki melewati rindang pohon-pohon taman.”

 “Ibumu berulang tahun hari ini, ya?” Tanyaku penasara. “Tidak! Jawabmu singkat.”   “Lalu, kenapa kita mesti ke makam ibumu dan membawakan kembang melati putih yang      seharusnya untukmu?” “Apakah kita tidak jadi menikah? Kamu balik bertanya. “Jadi.” “Itulah tujuannya kita ke makam ibu. Agar nanti−acara pertungan kita dan acara nikah kita berlangsung lancar. Kita minta restu dari ibu, lanjutmu. Sekarang baru aku paham atas semuanya ini. Kembang melati yang seharusnya kubelikan untukmu, ternyata bukan, gumanku dalam hati.” “Kamu tidak keberatan ‘kan, sayang?” “Tentu, tidak.” “Bagaimana dengan puisi yang untukmu?” “Bagus?” “Aku belum membacanya, sayang.” “Kamu minta penyair mana yang menuliskan untukkmu?” “Oh, rahasia.” “Atau mungkin kamu mengambil sajak Chiril Anwar.” “Coba saja nanti kamu baca, sayang.” “Betul ‘kan?” “Lihat saja nanti, setelah kamu membacanya. Jika kamu mengenal penyairnya. Kamu beri tahu aku.”

Sekarang kita telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Sebenarnya aku tak pernah bermimpi untuk memilikimu. Aku dari keluarga tak berada, sedangkan kamu cantik dan dari keluarga berada. Tapi cinta yang tulus itu memang tak pernah melihat berapa tinggi timbunan harta yang ada di sana. Cinta yang tulus itu adalah saling menerimah satu sama lainnya. Kau menerimahku dan aku juga menerimahmu. Novi, aku masih ingat kata-katamu, sayang  “Harta, kecantikan dan ketampanan itu bukanlah milik kita, maka tak pantaslah kita menyombongkanya. Tapi akan menjadi pantas bila kita mensyukurinya.” Aku tetap ingat sayang akan kata-katamu ini.

Tanah Kusir, Juli 2011  

Sumber: Kompas, 12 September 2011

0 komentar:

Posting Komentar