Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


15 September 2011

Kapan Penguasa Peduli Perpustakaan ?



Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Hampir empat tahun usia Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007. Namun hal ini belum mampu memberi dampak signifikan terhadap perkembangan dunia perpustakaan di tanah air. Nasib dunia perpustakaan di negeri ini tidak seindah sejumlah predikat yang disandangnya. Gudang ilmu, jendela dunia, jantungnya pendidikan, dan samudera pengetahuan merupakan rayuan manis sekaligus gombal untuk menyanjung dunia perpustakaan. Mengapa ? Sejumlah sanjungan tersebut tidak  pernah menjelma di alam realitas. Ia hanya berkeliaran di alam imajiner yang disebut dengan harapan, impian, cita-cita, dan obsesi.
Lihatlah dunia pendidikan kita ! Dunia yang memiliki hobi gonta-ganti kurikulum ini belum sepenuhnya memberi perpustakaan ruang yang memadai untuk menyemai minat baca anak-anak didik. Perpustakaan dipojokkan dalam “ruang sisa”, “ruang sempit”, sekaligus  “ruang terbelakang “. Bahkan terkadang tidak diberi ruang sama sekali dalam sebuah dunia yang menurut para pembesar negeri  mampu mencerdaskan bangsa.
Di beberapa Sekolah Dasar perpustakaan benar-benar menjelma menjadi “gudang ilmu”. Mungkin karena begitu cintanya dengan “gudang ilmu” , para pendidik di sekolah itu sampai lupa membuka pintu ruang perpustakaan. Sehari, …seminggu,.. sebulan, …..dan mungkin setahun ruang perpustakaan dibiarkan terkunci rapat. Betul-betul menjadi gudang ilmu, yang “tersucikan” dari sentuhan tangan anak manusia, …sayang sekali …bukan gedung ilmu.
Lalu,…apakah kondisi perpustakaan di sekolah lanjutan lebih baik ? Ternyata setali tiga uang. Meskipun para “raja kecil” di SMP dan SMA ini selalu  berkendaraan roda empat setelah “naik tahta”, nasib perpustakaan tak kunjung mengalami kenaikan martabat.          Perpustakaan dibiarkan “hidup segan, mati tak mau”. Raja kecil selalu melantunkan lagu “tak ada dana” tatkala disinggung untuk menghias perpustakaan dengan deretan buku-buku bermutu. Ia sudah cukup senang dengan hiasan buku-buku paket yang betul-betul terpaketkan itu karena isinya sudah kadaluwarsa.
Ia seolah lupa pernah menarik “1001” macam pungutan dari anak didik dengan berbagai label untuk kepentingan pendidikan. Dana BOS yang ada sekarang pun ketika berjumpa dengan perpustakaan akan segera memalingkan muka dengan sigapnya.
Sekarang mari kita lanjutkan  perjalanan ke pendidikan tinggi. Perguruan tinggi di Indonesia ternyata tidak dapat menjadi teladan dalam mengelola perpustakaan. Menurut Ketua FPPTI Abdul Rahman Soleh idealnya setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana sebanyak 5% dari bujet untuk perpustakaan.
Namun, berdasarkan survei, hanya lima perguruan tinggi yang telah mengalokasikan dana sebanyak 5% untuk perpustakaan, sisanya mengalokasikan dana di bawah 5%. Bahkan, 40% dari perguruan tinggi mengalokasikan dana di bawah 2%. Hasil survai tersebut juga mengungkapkan bahwa buku di perpustakaan perguruan tinggi kebanyakan sudah kedaluwarsa. (Media Indonesia, 24 September 2003)
Potret buram dunia perpustakaan di tanah air sejatinya merupakan refleksi dari potret penguasa bangsa ini. Penguasa yang lebih mengutamakan kulit daripada isi. Penguasa yang selalu mengaku suka membaca buku namun tidak pernah peduli dengan perpustakaan. Penguasa yang selalu menghemat anggaran untuk perpustakaan, namun menghambur-hamburkan uang rakyat untuk studi banding ke ke luar negeri.  Jangan heran pula jika biaya pengadaan mobil dinas jauh lebih besar daripada biaya pengadaan koleksi baru untuk perpustakaan.
Ya, Tuhanku ! Mengapa semua elemen penguasa seolah tidak ada yang peduli terhadap perpustakaan ? Perpustakaan seolah telah menjadi monster yang menakutkan bagi  para pembesar negeri. Tanyakan pada para pustakawan, sudahkah para penguasa menjadi contoh yang baik bagi rakyat menjadi pengunjung setia perpustakaan ? Pernahkah beliau yang terhormat itu menginjakkan kaki sekali saja di gedung ilmu ini?
Jika belum, harap maklum jika mereka menganggap perpustakaan sebagai “dunia lain”.  Perpustakaan dalam kamus hidup mereka mungkin sekedar “gudang buku”, “tempat pembuangan”, “ruang berdebu”, “arena pengangguran” dan lukisan serba hitam lainnya.
Lukisan serba hitam ini mengakibatkan mereka lupa bahwa perpustakaan  memerlukan gedung, anggaran, sumber daya manusia, buku baru, teknologi informasi, dan fasilitas yang memadai untuk menjadi rumah belajar masyarakat.
Ketidakpedulian penguasa terhadap perpustakaan menjadikan posisi perpustakaan “atas kena bawah kena”. Sangat sulit bagi sebuah perpustakaan untuk memuaskan tuntutan masyarakat sementara political will penguasa tidak pernah memuaskan perpustakaan.       Alangkah indahnya jika suatu saat penguasa kita memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan sebagaimana penguasa Khilafah Bani Abasiyah (750 – 1258 M). Masa itu yang merupakan masa keemasan ilmu pengetahuan, ditandai dengan perhatian pemerintah yang tinggi terhadap perpustakaan.
Penguasa saat itu melukis perpustakaan dengan tinta emas. Salah satu perpustakaan yang terkenal dan terbesar adalah Baitul Hikmah. Pustakawan pada zaman itu merupakan jabatan yang prestisius. Tidak ada orang yang bisa bekerja di perpustakaan, kecuali memiliki tradisi membaca, menulis , dan keilmuan yang kuat. Tidak ada orang yang merasa terbuang di perpustakaan. Ilmuwan Matematika Al Khawarizmi merupakan salah satu contoh ilmuwan sekaligus pustakawan yang lahir pada masa itu.
Mereka adalah para ilmuwan yang bekerja di perpustakaan Baitul Hikmah. Mereka adalah Ilmuwan-Pustakawan. Saat itu keberadaan perpustakaan dan buku sangat dihormati, bahkan jabatan pustakawan saat itu menjadi primadona. pustakawan memperoleh gaji yang sangat besar dari pemerintah
Peradaban Yunani kuno yang kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan perpustakaan yang prestisius pada zamannya. Pisistratus, tercatat sebagai orang yang pertama kali mendirikan perpustakaan di Yunani pada abad 6 SM. Pada periode selanjutnya orang-orang Athena sudah mulai memiliki koleksi buku-buku pribadi. Ketika tokoh filsafat Aristoteles hidup ( 384 – 322 SM) telah mendirikan sebuah perpustakaan yang ia maksudkan sebagai pusat penelitian dan pendidikan pengikut-pengikutnya. 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Joglosemar, 15 September 2011
* Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Binalitbang (Pembinaan, Penelitian, dan Pengembangan) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN . Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.

0 komentar:

Posting Komentar