Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


16 September 2011

Mbela Wong Cilik Melalui Perpustakaan


pas fotoedit.jpg
Oleh : Romi Febriyanto Saputro[i]



Beberapa waktu lalu, Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman memberi pengarahan kepada para pimpinan SKPD dan para PNS lainnya agar mampu menerjemahkan konsep keberpihakan terhadap wong cilik. Dia menyontohkan bukti riil keberpihakan pemerintah kepada orang kecil yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, yakni dengan memberikan 333 netbook kepada para siswa miskin berprestasi.
“Konsep mbela wong cilik itu harus diwujudkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah-red) dan APBD 2012 mendatang. Tujuan pembangunan bukan untuk membahagiakan bupati, tetapi bersama-sama memberikan yang terbaik bagi rakyat (Solopos, 5 September 2011) 
Mbela Wong Cilik, saat ini merupakan konsep yang menjadi program Pemerintah Kabupaten Sragen. Tulisan ini mencoba menerjemahkan konsep keberpihakan kepada rakyat kecil ini dari sudut pandang bidang perpustakaan.
Kemiskinan merupakan problem utama wong cilik di negeri ini. Angka kemiskinan di Kabupaten Sragen diprediksi naik sekitar 16 persen pada tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen  memprediksi sebanyak 104.800 kepala keluarga (KK) atau 40 persen dari jumlah KK sebanyak 262.000 masuk kategori KK miskin. Jumlah KK miskin tersebut meningkat 16 persen dibanding jumlah KK miskin hasil pendataan tahun 2008 atau meningkat 10 persen dari data KK miskin tahun 2005.
Kemiskinan menyebabkan akses wong cilik terhadap layanan pendidikan,  kesehatan, dan  kesejahteraan ekonomi  menjadi terbatas. Tentu kita masih ingat dengan kritikan Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan “Orang Miskin Dilarang Sekolah” yang mewakili potret pedih wong cilik di Indonesia.
Selama ini penanganan kemiskinan di tanah air terjebak pada program sesaat yang tidak berkesinambungan. Program beras untuk rakyat miskin (raskin) sekedar menghasilkan wong cilik yang menjual beras “raskin” karena kualitasnya memang terkadang memprihatinkan. Bantuan tunai untuk rakyat miskin tidak menghasilkan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil kecuali sekedar uang penyambung hidup semata bagi wong cilik. Dampak program sosial ini akan menimbulkan efek ketergantungan pada rakyat miskin dan bukan pemberdayaan.
Model penanggulangan kemiskinan seperti ini perlu diubah. Berikanlah kail pada wong cilik dan jangan berikan ikan belaka. Kail itu adalah literasi informasi. Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan.
Di banyak negara, di mana angka kemiskinan  tinggi, tingkat literasi cenderung rendah. Literasi menyebabkan tingkat penghasilan perkapita rendah. Seperti yang terjadi di  Banglades, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari 78  persen penduduknya, penghasilan per hari di bawah 2 dollar AS.
Literasi informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan, mengkomunikasikan dan mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah yang dihadapi.
Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Literasi informasi merupakan jiwa sebuah perpustakaan. Perpustakaan Nasional RI melukiskan kemampuan informatif ini dalam logonya yang terdiri dari : buku terbuka;  nyala obor; dua tangan terkatup dengan lima jari menopang; lima dasar penunjang dan lima sinar memancar dengan latar belakang lingkaran warna biru.
  Buku terbuka melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang. Nyala obor melambangkan pelita dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dua tangan terkatup dengan lima jari menopang melambangkan ilmu pengetahuan baru dapat dicapai melalui pembinaan pendidikan seutuhnya dengan ditunjang oleh sarana pustaka yang lengkap. Lima dasar penunjang dan lima sinar memancar melambangkan dasar falsafah Pancasila dalam ilmu pengetahuan menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang berguna bagi nusa dan bangsa.
 Latar belakang lingkaran melambangkan kebulatan tekad dalam usaha mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan warna biru adalah warna yang memiliki sifat tenang dan memberikan kesan kedalaman. Jadi, pengertian warna biru pada logo Perpustakaan Nasional RI ialah ketenangan berpikir, dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki merupakan landasan pengabdian kepada masyarakat, nusa dan bangsa.
Perpustakaan merupakan sarana bagi wong cilik untuk mengembangkan kemampuan informatifnya. Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.
            Mbela wong cilik harus diartikan dengan memberdayakan wong cilik agar dapat meningkatkan kemampuan informatifnya sehingga setara dengan wong gedhe. Jika untuk membaca buku wong gedhe  bisa  dengan jalan membeli buku, maka untuk wong cilik cukup meminjam buku di perpustakaan. Wong cilik jelas akan mengalami kesulitan untuk membeli buku. Mengingat untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan saja mereka mengalami kesulitan.
            Kebijakan mbela wong cilik artinya pemerintah berkomitmen untuk menghadirkan jendela dunia tak hanya di ibu kota kabupaten saja melainkan di kampung, dukuh, desa, dan kecamatan.
            Mbela wong cilik dapat dimulai dengan mendirikan 20 perpustakaan kecamatan yang akan menjadi pelopor untuk melahirkan perpustakaan desa, perpustakaan rumah ibadah, perpustakaan masyarakat, dan taman bacaan masyarakat.  Menyuruh rakyat rajin membaca tanpa menyediakan bahan bacaan yang memadai di perpustakaan sama dengan ilusi belaka.
            Jika wong cilik sudah gemar membaca maka cakrawala pengetahuan mereka akan meningkat. Tumbuhnya cakrawala pengetahuan inilah yang akan menjadi obat perangsang guna meningkatkan kesejahteraan wong cilik. Lalu, dimana peran wong gedhe ?  Wong gedhe yang katanya sering membeli buku – namun terkadang juga lupa membacanya – bisa menyumbangkan bukunya di perpustakaan.
            Bagi wong gedhe yang tidak suka membeli dan membaca buku masih terbuka kesempatan untuk mbela wong cilik dengan menjadi donator tetap bagi perpustakaan. Agar perpustakaan tidak kehilangan nafas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
            Mari kita mbela wong cilik dengan perpustakaan ! Samakah orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui ?
**Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 15 September 2011


[i] Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.

0 komentar:

Posting Komentar