Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


04 Juni 2011

Kampus (Bukan) Pabrik Pengangguran

  • Oleh Bonnie Eko Bani
’’Sekolah dhuwur-dhuwur, akhire mung nganggur!’’
Kita sering mendengar ungkapan itu dalam keseharian di masyarakat. Hal itu menggambarkan keprihatinan -untuk tidak mengatakan kegemasan-masyarakat, melihat banyak sarjana yang menganggur.

Setelah lulus dari kampus, banyak dari mereka yang mengedarkan ijazah ke berbagai perusahaan. Hasilnya, perusahaan menolaknya sebagai karyawan baru.


Jumlah sarjana pengangguran bertambah setiap tahun. Data Biro Pusat Statistik (Agustus, 2010) menunjukkan, sebanyak 8,32 juta penduduk Indonesia berstatus pengangguran. Dari jumlah itu, 24,7 persen adalah lulusan kampus yang berijazah diploma (12,7 persen) dan sarjana (11,92 persen). Penyebabnya, saat mulai belajar di kampus, mahasiswa mendapat wejangan kuno yang menjadi logika umum masyarakat. ’’Belajar yang rajin agar nilainya baik, dan setelah lulus mendapat pekerjaan yang gajinya tinggi.’’

Namun, mahasiswa sering menyalahartikan pesan itu.
Mereka hanya berfokus pada upaya meraih nilai (IPK) tinggi, dan lupa mengembangkan soft skill yang -menurut hasil penelitian Harvard University- 80 persen menentukan kesuksesan seseorang di dunia kerja. Sarjana menganggur, karena soft skill-nya rendah.

Pabrik Pengangguran

Di sisi lain, kampus juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah pengangguran sarjana. Beberapa kalangan mengatakan, kampus adalah pabrik pengangguran yang produktif. Hal itu setidaknya dikarenakan empat faktor.
Pertama, kampus tidak memberi jaminan atau garansi mendapatkan pekerjaan kepada para lulusannya. Kedua, kampus tidak memetakan (melakukan survei) kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha tiap tahun. Proyeksi permintaan dan penawaran dunia usaha 3 - 5 tahun ke depan pun tidak dilakukan.

Ketiga, relevansi kurikulum kampus dengan dunia usaha njomplang. Terjadi ketimpangan dan ketidaksejajaran (mismatch) antara dunia usaha dengan kampus. Keempat, pengembangan soft skill di kampus tidak tersistematisasi dalam aktivitas akademik (kurikulum) ataupun kegiatan ekstrakurikuler, sehingga tidak aneh lulusan kampus tidak mampu memenuhi tuntutan dunia usaha. Tenaga kerja sarjana/diploma melimpah, tetapi soft skill-nya rendah. Employability skill tidak ditumbuhkan dalam aktivitas akademik kampus.

Employability skill adalah kemampuan dasar untuk mendapatkan, mempertahankan dan mengerjakan pekerjaan dengan baik. Kemampuan ini meliputi hard skill berupa information-communication-technology (ICT) skill, numeracy & literacy skill ( interpretasi data dan angka), dan language skill (Inggris, China dan Jepang).
Sementara, soft skill yang dibutuhkan dunia usaha meliputi  manajemen diri, bekerja dalam tim, inisiatif dan terobosan pemikiran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi efeketif, perencanaan dan pengorganisasian pekerjaan.

Memasuki dekade kedua abad 21 ini, sudah saatnya kampus mengubah paradigma pengelolaannya, agar mampu menghasilkan lulusan sarjana yang penuh integritas, memiliki hard dan soft skill yang dibutuhkan dunia usaha, dan memiliki kemampuan daya saing global.
Untuk menjembatani dunia usaha dan kampus, model pendekatan pengelola kampus di Amerika Serikat (AS) ataupun Jepang, bisa menjadi rujukan kampus di Tanah Air. Tentunya, dengan beberapa penyesuaian dan tidak mengadopsinya mentah-mentah.

Di Academy of Art University (AAU) San Fransisco, AS, pengelola kampus melakukan model pendekatan ’’Job First’’. Pengelola AAU membekali mahasiswanya berbagai skill (terutama soft) yang dibutuhkan perusahaan yang akan memberi pekerjaan. (24)

—Bonnie Eko Bani, mantan aktivis BEM UMS, sekarang pegiat Leksodi (Lembaga Kajian Sosial & Pendidikan), Solo

Sumber: Suara Merdeka, 4 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar