Membaca adalah salah satu hobi saya. Sejak di bangku SD, saya sudah
membiasakan diri untuk rajin membaca, terutama buku-buku pelajaran. Saat itu saya sadar bahwa saya tidak pintar.
Dibanding teman-teman lain, saya termasuk ketinggalan. Sebagian besar
teman-teman saya sudah ‘mencicipi’ belajar membaca dan menulis di bangku TK.
Saya hanya merasakan menjadi murid TK selama seminggu. Ketika orang tua
memutuskan untuk memindahkan saya dari TK ke SD, otomatis perbekalan akademik
sayapun kurang. Seminggu di TK hanya diisi dengan kegiatan bermain dan
bernyanyi. Saya merasa sedih dan malu karena baru mengenal alfabetis di kelas
satu SD. Tapi saya tidak bisa menuntut orang tua saya yang buta huruf untuk
memintarkan saya sejak dini. Saya bersyukur, mereka tetap menyekolahkan saya.
Saya hanya perlu berusaha sedikit lebih keras untuk mengejar ketertinggalan
itu. Belajar tekun dan rajin membaca menjadi solusinya. Meskipun tidak pernah
mendapat peringkat pertama, saya berhasil lulus dengan NEM tertinggi.
Kegemaran membaca saya berlanjut ke SMP. Di SD, bacaan saya terbatas pada
buku pelajaran, dongeng dan majalah anak-anak. Saat SMP, bacaan saya bertambah,
mulai dari komik, majalah remaja, tabloid, cerpen dan buku nonfiksi. Ketika
menginjak SMA, variasi bacaan semakin bertambah lagi, seperti novel, buku
terjemahan sampai majalah politik. Dan sampai sekarangpun, membaca tetap
menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan saya.
Salah satu tempat yang sering saya kunjungi demi memuaskan hobi itu adalah
perpusda Sragen. Koleksi buku di perpusda Sragen yang begitu bervariasi membuat
saya betah berlama-lama di sana. Biasanya saya meminjam dua buku untuk
seminggu. Lalu mengembalikan dan menukarkannya dengan judul yang lain. Begitu
terus, sambung-menyambung. Para penjaga perpusda Sragen yang begitu ramah dan
terbuka melayani juga membuat senang saat berkunjung.
Ketika membaca berbagai macam buku itu, kadang saya terkagum-kagum dengan
isinya. Bahkan sempat terpikir betapa pintar sang penulisnya. Lalu saya
mengkhayal, betapa kerennya jika suatu hari nanti nama saya juga tertera pada cover sebuah buku. Ah, mimpi yang
absurd! Tapi, diam-diam perjuangan itupun dimulai. Dengan modal nekat, saya
mulai mengikuti berbagai lomba menulis di media sosial yang jika lolos,
naskahnya akan dibukukan. Sekali dua kali gagal, justru semakin menguatkan
tekad. Setelah beberapa kali mencoba, ada juga satu dua yang lolos. Akhirnya,
sayapun punya antologi (satu buku yang ditulis rame-rame) hasil lomba. Tapi
saya belum puas, karena mimpi saya adalah memiliki buku yang ditulis sendiri.
Tak ada cara lain. Saya harus lebih tekun dari sebelumnya. Lalu saya mulai
menulis beberapa cerpen dan nekat mengirimkannya kepada penerbit. Setelah
menunggu beberapa bulan, saya mendapat surat penolakan. Lalu saya merombak
naskah tersebut dan mengirimkan kembali kepada penerbit yang berbeda. Hasilnya
ditolak lagi. Dengan kecewa, saya baca ulang tulisan-tulisan saya. Oh, ternyata
memang jelek sekali.
Belajar dari pengalaman itu, saya mulai memerhatikan teori dan teknik
menulis. Meskipun bisa dipelajari secara autodidak, tapi saya butuh seseorang
dengan hobi yang sama untuk dapat memberikan penilaian dan masukan. Lalu saya
bergabung dengan sebuah komunitas menulis di kota Solo. Di sana, saya ditantang
untuk menulis satu buku selama enam bulan. Awalnya saya ragu dan tidak percaya
diri. Tapi karena sesama anggota saling memotivasi, akhirnya semangat itu
muncul.
Perjuangan mewujudkan mimpi itupun berlanjut. Selama sebulan penuh, saya
mencari referensi di perpusda Sragen. Lalu sebulan kemudian, saya mulai membuat
outline. Sisa waktu empat bulan, saya
gunakan untuk mengembangkannya menjadi naskah utuh. Selama kurun waktu enam
bulan itu, hampir tiap weekend saya
habiskan di perpusda Sragen. Bahkan ada satu buku yang saya pinjam selama enam
bulan berturut-turut, dengan catatan seminggu sekali dikembalikan dan
diperpanjang lagi waktu peminjamannya.
Setelah naskah selesai, saya mengirimkannya pada sebuah penerbit di kota
Solo. Hasilnya, lagi-lagi penolakan yang saya dapatkan. Naskah itupun saya
tarik dan mulai merevisinya. Lalu saya mengirimkan kembali ke sebuah penerbit
di Jakarta. Rasanya seperti mimpi, ketika editornya mengabarkan bahwa naskah
saya diterima. Sujud syukur saya panjatkan kepada Allah atas kemurahanNya.
Saya kembali bersyukur karena proses terbit buku solo nonfiksi pertama
saya yang berjudul ‘Friendship Never Ends’
hanya memakan waktu selama enam bulan. September 2012 menjadi bulan bersejarah.
Akhirnya nama saya tertera pada cover buku
sendiri. Yang lebih membahagiakan lagi, buku saya diterbitkan oleh Quanta, lini
islami dari penerbit Elex Media Komputindo, bagian dari Kompas Gramedia Grup.
Saat saya menerima bukti terbitnya, satu hal yang terpikir adalah saya
harus menyumbangkan salah satunya untuk perpusda Sragen. Saya senyum-senyum
sendiri saat menyerahkan buku itu kepada petugas perpusda Sragen. Dalam hati
saya bersorak, “inilah hasil menghabiskan weekend
selama enam bulan di sini!” Ah, semoga buku saya masih ada di perpusda Sragen
dan memberi manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Terima kasih kepada perpusda Sragen yang telah membantu mewujudkan mimpi
saya. Saat ini, saya sedang giat-giatnya mengumpulkan buku apa saja. Kelak,
saya ingin mewujudkan mimpi lain yang terinspirasi olehmu juga, yaitu
mendirikan taman bacaan. Saya bermimpi, generasi penerus bangsa ini mempunyai
minat baca yang tinggi seperti penduduk negara Jepang. Saya percaya, dengan
minat baca yang tinggi, kemampuan otak untuk berpikir maju juga semakin
terasah. Bukankah maju tidaknya suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sumber
daya manusianya? Mari kita mulai dengan membaca. Manfaatkan
perpustakaan-perpustakaan daerah untuk terus melejitkan potensi diri!
*****
Nama : Santi Artanti
Alamat : Sukomarto RT 01/08 No.2 Jetak, Sidoharjo, Sragen, 57281
Penulis : Frendship Never Ends
0 komentar:
Posting Komentar