Cerpen Bre Redana
Pundakku ditepuk orang. Aku menoleh. Begini: pada kehidupan sehari-hariku belakangan, makin sulit aku mengenali seseorang di tempat tak terduga. Tempat tak terduga itu maksudnya konteks. Konteks itulah yang biasanya kugunakan untuk melokalisir seseorang. Termasuk di dalamnya misalnya pada kesempatan apa aku mengenalnya, dimana, kapan, serta kaitan-kaitan lain yang memudahkanku untuk mengingat siapa dia.
Terlebih, kalau kusempitkan pada wanita. Wanita sekarang di mataku sama saja: potongan rambutnya (yang kemudian berpengaruh pada bentuk dan ukuran kepalanya), pakaiannya, tasnya, dan lain-lain. Aku lebih mudah mengenali merek sepatu mereka daripada identitas diri mereka.
Kali ini perkecualian. Waktu, tempat, semuanya sungguh tak ada hubungan dengan konteks dia yang pernah kukenal. Bahkan dia sudah hampir hilang—tidak saja dari pengharapanku, tetapi pikiranku.
Lihat saja: ini Kumbasari. Sebuah pasar tradisional di Denpasar, Bali, tempat jualan sayur-mayur, ikan, daging, dan lain-lain termasuk bunga—yang kusebut terakhir ini yang membawaku kemari. Sementara kami dulu berhubungan di Jakarta. Kapan? Dua puluh, 25, atau 30 tahun lalu? Hanya pada momen seperti ini aku berkesadaran umur. Sepanjang perkiraan waktu seperti kusebut tadi kami tidak pernah bertemu lagi.
Anehnya, seketika aku bisa mengenalinya.
Aku terheran-heran. Tak percaya pada penglihatan sendiri. Dia di sini, di pasar Kumbasari, malam hari, saat aku membaui wangi aneka kembang yang diturunkan dari truk dari Kintamani.
“Heran?” tanyanya.
“Kamu juga heran?” aku balik bertanya.
Dari hendak berjabat tangan, secara spontan kami jadi saling merapatkan tubuh. Ia mengusap-usap punggungku. Aku mengusap-usap lengannya. Sudah agak kendor. Ukuran tingginya tetap—ya, pertumbuhan tinggi seseorang berakhir pada masa remaja. Dulu aku mengenal dia setelah ia melampui masa remaja, bahkan sudah beranak satu. Kesesuaian tinggi kami berdua itulah yang dulu sering kami banggakan, merasa hubungan sangat ideal. Posisi apa saja enak: berdiri, miring, tidur.
“Kamu tak bertambah tinggi,” selorohku.
“Pinggang kamu juga tidak jadi tambah gendut. Tetap enak dipeluk,” ucapnya.
“Masih mau?” tanyaku.
“Mana bisa menolak...” ujarnya disertai tatapan mata itu, yang harus kusebut: agak nakal.
Kami berdua tertawa. Baru setelah itu sadar, dan saling bertanya kabar, kenapa di sini, dimana tinggal, hidup macam apa yang dijalani sekarang, siapa pasangan hidup, kenapa istrimu tidak ikut (kujawab ia tidak suka ke pasar), kenapa pula suamimu tidak ikut, aku balik bertanya (ia menjawab sambil tertawa, katanya ke pasar adalah tugasnya), dan lain-lain.
Dia punya dua tanggal kelahiran. Atau jangan-jangan lebih. Aku geli mengingatnya.
Pada zamannya ia terkenal—sangat terkenal, sebagian orang pasti masih mengingat namanya. Ia primadona dari panggung kesenian tradisional. Kelompok kesenian yang melambungkan namanya serta beberapa nama lain itu tak kalah populer pada zamannya. Sebuah buku pernah ditulis, meriwayatkan perjalanan kelompok tersebut.
Dari panggung kesenian rakyat, beberapa pemain kemudian sempat main beberapa film layar lebar. Tentu saja termasuk sang primadona yang kuceritakan—yang namanya ditulis besar-besar di poster film. Sutradaranya bukan sutradara sembarangan. Sekarang sudah meninggal. Aku datang waktu kremasi jenazahnya.
Produksi film itu yang mempertemukanku dengannya. Aku berkeliaran di lokasi shooting—sebuah studio besar di Jakarta Selatan—di antara sebagian besar crew yang kukenal akrab. Yang paling kuingat—kutahu ini sebagian menjadi gosip di kalangan kami kemudian—usai sebuah pengambilan gambar berdurasi panjang ia seperti kehilangan dirinya. Itukah yang disebut ekstasi peran?
Tiba-tiba ia menjerit, minta disetubuhi. Tempatnya memungkinkan. Hanya kami berdua di tempat itu ketika peristiwa kuceritakan ini terjadi. Diam-diam aku memang menguntit dan selalu di sekitarnya. Jujur, aku tertarik padanya. Meski singkat, kami melakukan dengan menggelegak. Seperti tabrakan kereta diesel.
Wuiihhh, dia tergolek dengan pakaian berantakan, mengatur napas kembali, sembari bibir menyungging senyum. Aku buru-buru membereskan pakaian sendiri, dari peristiwa tak terduga dan tak terlupakan itu. Ia membereskan diri kemudian, sembari menyulut rokok.
Setelah itu, kami sering melakukannya. Tanpa perlu alasan. Hanya butuh tempat.
Seperti kusinggung di atas, waktu itu dia sudah punya satu anak. Umurnya sekitar dua tahun. Tak jelas hubungannya dengan bapak dari anaknya, namun setidaknya waktu itu mereka masih tinggal serumah. Rumah mereka di Jakarta Selatan.
Pada kesempatan khusus, kadang pengin juga aku berdua dengannya. Kesempatan khusus, bukan asal-asalan, supaya hubungan punya alasan—meski sedikit dan tak seberapa. Tidak cuma gituan.
Ia gembira ketika pada hari yang ia sebut sebagai ulang tahunnya kami bisa berdua. Kami makan berdua. Tidak bisa lama-lama. Bisa kumaklumi. Pasti ia butuh waktu bersama keluarga. Hubungan kami, sebutlah, hanya sekunder.
Baru belakangan, jauh hari seusai hubungan kami tadi jadi kenangan, ada lelaki yang bercerita padaku bahwa ia punya pengalaman serupa yang kualami dengannya. Kami lalu mencocok-cocokkan pengalaman kami berdua. Tentu—dan tentu saja aku juga minta maaf kalau ini menyinggung perasaan kepantasan Anda—kami bertukar cerita sembari tertawa-tawa.
Persis seperti kualami, dia juga bercerita mencoba menciptakan kesempatan istimewa pada hari ulang tahun primadona kami ini.
“Kuingat, waktu itu tanggal 12 Januari. Pas Jakarta selalu hujan,” katanya. Dia hendak mengasosiasikan perempuan ini dengan hujan dan hawa dingin. Apalagi yang kemudian enak dilakukan, Saudara-saudara...
Kusergah. Ingatannya pasti salah. Ulang tahunnya bukan tanggal 12. Seingatku tanggal 18.
Kami saling ngotot mengenai ingatan kami masing-masing. Kemudian pecah tawa kami. Mungkin primadona ini bahkan masih memiliki beberapa tanggal lagi, untuk menyenangkan pihak yang lain lagi. Terus terang, kami agak kurang paham dunia sandiwara.
Primadona yang dulu itu sekarang berdiri di hadapanku di pasar Kumbasari. Konkrit, real. Bukan ilusi Facebook. Masih tersisa kecantikannya.
Kami menepi, berbincang di warung kopi di sudut pasar di pinggir Tukat Badung. Katanya sudah hampir 10 tahun ia tinggal di Bali. Bersama pasangan yang ia sebut suami, ia mengaku tinggal di daerah Sesetan. Mereka buka warung makan. Ia biasa belanja kemari setiap malam. Ohhh...
“Ayo mampir,” ajaknya.
Setelah beres urusan pasar, kami pun menuju rumahnya. Lucu juga, hubungan tanpa alasan melahirkan keakraban seperti ini. Kami menelusuri jalanan Denpasar yang sepi.
“Setelah pohon besar yang disarungi itu belok kiri,” katanya padaku menunjukkan arah.
Rumahnya tak jauh dari pertigaan. Daerah ini seperti pasar. Di dekat dia ada model-model rumah yang tampaknya juga dijadikan tempat usaha.
“Ramai kalau siang,” katanya.
Kami melangkah masuk rumah. Dia ribut berseru membangunkan seisi rumah, termasuk pembantu yang segera mengurusi semua barang belanjaan. Seorang pemuda, dengan rambut kusut keluar kamar.
“Ini suamiku,” katanya mengenalkan pemuda ini.
Dia menyalamiku, sambil tersenyum dan mengucak-ucak mata.
Aku ia perkenalkan sebagai “sahabat lama”, sudah seperti saudara.
Pemuda yang kuduga seusia anaknya itu minta izin, masuk kamar lagi.
“Bagaimana kabar Adira?” kataku padanya, menanyakan kabar anaknya. Masih kuingat, nama anaknya Adira, panggilannya Dira.
Ia tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan. Kelihatannya tahu maksudku.
“Ya, dia seusia Dira. Lebih muda setahun,” bisiknya. “Dira sekarang sudah kerja di Batam. Sudah punya istri, punya anak. Aku sudah jadi nenek,” ucapnya. “Masih mau sama nenek-nenek...” tambahnya dengan lirikan khas matanya.
Dia tak berubah. Masih tersimpan magnet di situ. Aku cuma bisa tertawa.
Sudah dini hari ketika aku kembali ke vila tempat kami menginap di daerah Krobokan. Istriku sudah pulas. Selalu seperti itu tidurnya. Seakan tak ada masalah di dunia.
“Tadi malam jadi kemana?” tanyanya saat kami berdua breakfast. “Ke klub-klub di sekitar sini, apa ke Kumbasari?”
“Ke Kumbasari,” jawabku.
Meski dia sendiri tidak suka tempat yang disebutnya becek seperti keadaan umumnya pasar-pasar tradisional, tapi ia memaklumi kesukaanku, menelusuri tempat-tempat yang sering kujelaskan padanya, tempat dimana aku menyerap daya hidup.
“Bagaimana pasar Kumbasari tadi malam?”
“Wangi bunga.”
Suwung Kangin, Januari 2012
Sumber: Kompas, 16 Januari 2012
16 Januari 2012
Wangi Bunga Kumbasari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar