Cerpen Risman A Rachman
"Ayah, hari ini kita ke Kapal Apung, yuk?!"
Kapal Apung? Hmmm...mungkin maksudnya Kapal PLTD Apung. Kapal milik PLN itu memang ada tapi tidak bersandar di pelabuhan Ulee Lheu. Kapal berbobot 2600 ton, dengan panjang 63 meter dan lebar 19 meter itu "bersandar" di Punge Blang Cut, Banda Aceh.
"Tapi, untuk apa ke sana? Bukankah sudah dua kali ke sana? Untuk apa lagi" bisik hatiku.
"Yuk, ayah. Kita ke sana. Nanti keburu ramai orang naik."
Oh, iya. Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap tanggal 26 Desember, orang-orang memilih mendatangi datang ke lokasi kapal yang dibuat di Finlandia, 1966. Bukan karena mau berangkat, tidak juga karena mengantar keberangkatan sanak famili atau kerabat naik haji. Orang-orang hanya berkunjung.
26 Desember adalah hari Aceh dihempas tsunami. Banda Aceh adalah salah satu daerah yang paling parah rusak akibat terjangan tsunami dari gempa berkuatan 9.3 skala richter. Diperkirakan 30 ribu jiwa meninggal. Di kuburan massal tsunami Ulee Lheu saja dimakamkan 14 ribu lebih korban tsunami. Kapal PLTD Apung adalah bukti dahsyatnya kekuatan tsunami Aceh, khususnya di Banda Aceh.
"Tuh, kan. Sudah ramai orang. Ayah, apa hari ini kapal akan berangkat? Kita, berangkat juga, kan?!"
Sudah 7 tahun Kapal PLTD Apung yang pernah bertugas di Pontianak dan Bali itu melakukan "misi penjemputan." Tapi, yang "dijemput" hanya datang dan naik. Sebentar saja, mereka lalu turun lagi meninggalkan kapal bermesin Wartsila itu.
"Ayo, ayah! Itu, orang-orang sudah pada naik. Yuk, yah! Kita naik ke kapal. Nanti keburu berangkat."
Anakku, Delila (8) memang masih terlalu kecil untuk memahami kalau kapal tidak berangkat. Orang-orang naik ke kapal PLTD Apung bukan untuk berangkat. Apa yang dilihatnya di pelabuhan Ulee Lheu tidak sama dengan apa yang dilihatnya di sini. Rasanya, terlalu berat jika harus menjelaskannya secara simbolis.
Beberapa hari lalu, dalam Khutbah Jumat, sang khatib terlihat pesimis soal kemauan hijrah para elit Aceh dari spirit dan etik konflik ke spirit dan etik damai dan demokratis dalam kerangka martabat Aceh. Aku bisa mengerti kerisauan sang khatib itu. Pilkada Aceh yang berjalan di atas perseteruan menjadi bukti betapa elit Aceh tidak bisa menjadi pemimpin damai. Perang, memang sudah usai. Tapi, tanpa kepemimpinan damai, usaha meraih masa depan Aceh lebih baik, terancam.
"Sepertinya, kapal juga tidak berangkat kali ini, nak."
"Kenapa, ayah?! Bukankah orang-orang sudah datang. Kita juga sudah di sini. Ada yang ditunggu lagi?"
"Kapal masih menunggu. Menunggu dengan setia, nak."
"Siapa yang ditunggu, yah? Dan, mengapa masih harus menunggu?"
"Kita semua menunggu Sang Pemimpin. Sang Pemimpinlah yang akan menjadi nahkhoda dan beliaulah yang akan membunyikan sirine tanda keberangkatan, nak. Kita semua akan hijrah bersama dengan Sang Pemimpin."
"Maksud ayah, gubernur?"
"Kita baru punya bupati, walikota dan gubernur. Kita belum punya Sang Pemimpin, nak."
"Kenapa tidak ayah saja yang jadi Sang Pemimpin? Jadi tidak perlu menunggu lama lagi."
"Ayah, bukan siapa-siapa di Aceh, nak. Jadi, sudah cukup dengan menjadi ayah bagi anak-anak ayah saja."
"Iya, ayah. Dedek juga setia menunggu."
Sumber: Kompas, 31 Januari 2012
31 Januari 2012
Setia Menunggu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar