Oleh Maria Rosari Dwi Putri
"Saya suka serem sama anak STM, takut kalau lihat mereka bergerombol. Takut tiba-tiba ketemu musuhnya lalu tawuran," kata Mersita Sari, mahasiswi pada satu perguruan tinggi swasta di Jakarta..
Sebagian besar orang yang ditanya, menyuarakan kesan serupa dengan Mersita tentang STM (Sekolah Teknik Menengah) yang bersama SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) dan semua sekolah kejuran lain kini menjadi satu nama saja, Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK.
Sepanjang 2011, tawuran yang melibatkan anak SMK memang masih terjadi, tapi statistiknya jauh lebih rendah dibanding masa-masa sebelumnya.
Banyak kalangan yang mengapresiasi perkembangan ini.
"Dulu STM yang senang tawuran. tapi sekarang jarang tuh mendengar mereka tawuran. Saya justru bangga sama STM yang sekarang produktif," kata Rifki Amirullah, petugas keamanan di sebuah rumah sakit, yang tetap menyebut SMK bidang teknik dengan STM.
Rifki menunjuk prestasi-prestasi besar yang memang berhasil diciptakan SMK belakangan ini, mulai memproduksi laptop, motor, mobil, sampai pesawat terbang.
Di mulai dari heboh yang diciptakan anak-anak SMK 2 Surakarta sukses membuat mobil Sport Utility Vehicle (SUV) berkapasitas mesin 1500 cc yang dinamai mereka dengan "Kiat Esemka", sampai inovasi-inovasi lain yang diciptakan SMK lainnya, seperti SMKN 29 Jakarta yang sukses merakit pesawat terbang.
Sepertinya SMK telah menanggalkan embel-embel suka berkelahi dan tawuran. Banyak dari mereka bisa dengan cepat mengubah citra seperti dilakukan SMKN 29 Jakarta yang pada 1990an hingga 2000 tak bisa melepaskan diri dari predikat tawuran.
ANTARA News berusaha menyelami atmosfer baru nan positif itu dengan menyambangi SMKN 29 Jakarta.
Bersua Jabiru
Seperti umumnya SMK bagian teknik, mayoritas penghuni SMKN 29 adalah laki-laki. Namun tak ada kesan sangar seperti dulu digambarkan orang-orang mengenai siswa-siswa STM.
Begitu memasuki pintu gerbang berpayungkan pohon rindang, seorang satpam berseragam hitam menyapa ANTARA News. Senyum menyertainya.
Masuk area sekolah, para pelajar pria duduk bergerombol. Mereka membaca buku, majalah, tapi ada juga yang cuma mengobrol.
Beberapa saat kemudian, karena waktu duhur tiba, seluruh siswa laki-laki yang beragama Islam memenuhi satu musola. Setiap istirahat kedua pada pukul 12.00 WIB dan pada saat jam pulang sekolah pukul 15.00 WIB, mereka selalu salat berjamaah.
Ketika bersua dengan guru, para remaja ini selalu memberi sapa. Cium hormat pada punggung tangan sang guru selalu menyertai sapa mereka.
“Sopan santun, budi pekerti, kedisiplinan kami terapkan di sekolah ini," kata Maruli Tua, alumnus SMK 29, yang mengajar Gasturbin Engine dan Maintenance Practice. Maruli juga staf humas sekolah itu.
Agak sulit menemukan pelajar perempuan di sekolah yang 95 persen pelajarnya laki-laki itu, apalagi corak seragam mereka sama. Atasan menyerupai kemeja TNI Angkatan Udara dan celana berwarna biru kehitaman adalah seragam mereka.
"Saya senang bersekolah di sini, tidak ada perbedaannya kok," ujar Salsabila, siswi kelas 10 AP1.
Salsabila adalah satu dari beberapa pelajar perempuan yang ikut membidani Jabiru. Ya Jabiru, pesawat yang ramai dibicarakan orang itu. Pesawat yang bisa memuat empat orang ini masih dipercantik di sebuah garasi tertutup di halaman belakang sekolah.
"Yang merakit pesawat Jabiru J430 ini seratus persen siswa siswi kami," ujar Ahmad Budiman, guru mata pelajaran Aircraft System yang juga Ketua Pelaksana Perakitan Jabiru.
Mereka bekerjasama dengan tenaga ahli dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), maskapai penerbangan, dan TNI AU.
Keinginan sekolah untuk praktik dengan pesawat asli berbuah manis setelah Direktorat Pengembangan dan Pembinaan SMK memodali sekolah ini.
Hampir seluruh siswa kelas X hingga XII berperan serta dalam perakitan pesawat berbahan komposit ini. "Ada 200 siswa yang merakit Jabiru. 20 siswa setiap harinya, terbagi dalam dua shift atau jadwal perakitan," papar Ahmad.
Proses penyelesaian Jabiru sudah pada tahap 95 persen. Tanggal 29 Januari nanti, Jabiru akan ditunjukkan kepada Gubernur DKI Jakarta.
"Kami juga akan memamerkan Jabiru di Monas, supaya masyarakat dapat melihatnya secara langsung," ujar Ahmad.
Maruli berharap, Jabiru nanti menjadi wahana transportasi antarpulau kecil di Indonesia.
Jadi mekanik
Seperti pada SMK-SMK lainnya, SMK 29 juga menekankan praktik. "Tujuh puluh persen mata pelajaran di sekolah ini adalah mata pelajaran produktif," ujar Maruli.
Sisanya adalah mata pelajaran normatif dan adaptif sebagai pengetahuan dasar umum untuk siswa.
SMK 29 sendiri memiliki beberapa bengkel produksi baik untuk praktik, dan 30 ruang kelas yang setiap kelas menampung 36 anak. Total siswa yang belajar di sekolah ini adalah 850.
Mereka diwajibkan mengenakan seragam "montir" saat praktik di bengkel. "Tidak boleh masuk bengkel kalau tidak pakai seragam montir," kata Maruli.
Selesai berpraktik di bengkel, siswa akan membereskan dan membersihkan kembali ruang bengkel, sehingga kelas selanjutnya bisa menggunakannya.
"Kedisiplinan dan tanggung jawab inilah yang harus terus dijaga, untuk menjauhkan mereka dari tawuran," ujar Laelasari, guru pengasuh ekstrakurikuler Aeromodeling.
Ternyata ini bukan hanya keinginan guru dan sekolah, siswa-siswanya juga begitu. "Saya nggak mau ikut tawuran, saya ke sini ingin mengejar mimpi. Jadi seorang mekanik pesawat terbang," ujar Ramdan Sugara, siswa kelas 10 AP4.
Teman sekelasnya, Ramdan, Adhitia Topan Rizky menyambung, "Saya ingin jadi pilot yang tahu mesin pesawat."
Sumber: Kompas, 18 Januari 2012
21 Januari 2012
Kami Ingin Mengejar Mimpi, Bukan Tawuran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar