Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Selesai sudah polemik tentang nasib 1.700 orang tenaga Job Training (JT) di Pemerintah Kabupaten Sragen. Akhirnya, Pemerintah Kabupaten Sragen resmi memutuskan untuk tidak memperpanjang masa kontrak tenaga JT di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sragen terhitung mulai tanggal 2 Januari 2012 ini. Argumentasi dari keputusan ini karena keberadaan tenaga JT melanggar ketentuan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Dalam peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi,dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu melainkan sebagai sebuah renungan agar “kecelakaan sejarah” dalam bidang kepegawaian ini tidak terulang di masa depan. Bagi penulis yang sudah lama berinteraksi dengan teman-teman JT, kejadian ini sangat memilukan menembus relung-relung nurani kemanusiaan kita.
Namun peraturan tetaplah peraturan yang harus tetap ditaati dan dilaksanakan meskipun pahit rasanya. Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi semua pihak agar dalam bekerja untuk bangsa dan negara senantiasa berpegang dan berjalan sesuai peraturan yang ada. Jangan sekali-kali dilanggar.
Kondisi kepegawaian di negeri ini mungkin paling semrawut di dunia. Ada beberapa kasta dalam bidang kepegawaian. PNS/CPNS, tenaga honorer kategori 1, tenaga honorer kategori 2, PTT (Pegawai Tidak Tetap), GTT (Guru Tidak Tetap), WB (Wiyata Bakti), THL (Tenaga Harian Lepas) dan kalau di Sragen ditambah satu lagi JT (Job Training).
Istilah JT, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti latihan kerja, mungkin hanya ada di Kabupaten Sragen. Dalam surat keputusan pengangkatan tenaga JT, sudah tertera bahwa tenaga JT tidak berhak menuntut gaji dan tidak ada jaminan untuk menjadi CPNS. Namun, jumlah JT yang mencapai angka cukup fantastis 1.700 orang menunjukkan bahwa ada yang salah dengan pola pikir bangsa ini. Menjadi tenaga JT dipahami sebagai salah satu proses menuju CPNS. Suatu pekerjaan yang sangat diidolakan oleh semua lapisan masyarakat.
Pola pengajaran dan pendidikan sejak dari sekolah dasar hingga menengah atas secara tak sadar juga menyiapkan peserta didik untuk menjadi PNS. Perguruan tinggi tak jauh berbeda. Mahasiswa tidak disiapkan untuk menjadi wirausahawan namun disiapkan untuk menjadi karyawan baik PNS maupun swasta. Niat orang tua menyekolahkan anak di perguruan tinggi rata-rata agar setelah lulus kuliah dapat menjadi PNS. Jika belum menjadi PNS, seorang sarjana diaggap belum mencapai kesuksesan.
Paradigma seperti ini sudah saatnya diubah. Sekolah adalah untuk mendapatkan ilmu dan meningkatkan wawasan berpikir. Sama sekali tak ada hubungannya dengan keharusan menjadi PNS. Fakultas Peternakan diharapkan dapat menghasilkan peternak-peternak yang cerdas dan kreatif daripada mereka yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Fakultas Ekonomi mestinya menghasilkan sarjana-sarjana yang siap menjadi pengusaha maupun wirausahawan bukan sekedar pekerja kantoran.
Selama ini faktanya, sebagian besar sarjana ekonomi kita tidak menjadi wirausahawan. Sebagian besar sarjana peternakan kita tidak menjadi peternak berdasi. Sebagian besar sarjana pertanian kita tidak menjadi petani berdasi. Mungkin selama ini perguruan tinggi hanya mengajarkan teori beternak, teori ekonomi, teori pertanian dan teori teknik. Untuk itu, perguruan tinggi perlu mengajarkan ilmu praktik, ilmu aplikatif, dan ilmu “lapangan”. Karakter para pengajarnya juga harus mau berubah dari orang-orang “teoritis” belaka menjadi praktisi.
Fenomena kasus JT juga mencerminkan adanya analisa kebutuhan pegawai yang masih menyimpan banyak kelemahan. Antara kebutuhan di lapangan dan formasi kebutuhan pegawai masih ada jurang pemisah yang cukup lebar. Selain itu, distribusi jumlah PNS masih belum merata di setiap instansi. Ada instansi yang kelebihan jumlah PNS, namun juga ada yang kekurangan jumlah PNS.
Di sekolah-sekolah daerah terpencil, jumlah guru PNS masih minim. Sehingga akhirnya kepala sekolah mengambil kebijakan sendiri dengan mengangkat “TTS (Tenaga Tanpa Status)”. Lahirnya “TTS” ini terkadang karena keadaan darurat yaitu rasio yang tidak seimbang antara jumlah peserta didik dengan guru.
Demikian juga dengan kebutuhan pustakawan PNS di perpustakaan sekolah yang hingga saat ini masih nihil di Kabupaten Sragen. Saat ini, terdapat 134 sekolah yang sudah mendapat DAK (Dana Alokasi Khusus) Perpustakaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berupa gedung lengkap dengan koleksi bukunya.
Perpustakaan sekolah seperti ini tentu saja membutuhkan pustakawan PNS untuk mengelola dengan baik sesuai peraturan yang ada. Hikmah dari kasus ini adalah perlu analisa kebutuhan pegawai sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan bukan analisa di atas kertas saja. Utamakan pengadaan tenaga teknis fungsional daripada tenaga administrasi umum.
Selama ini cukup banyak JT yang direkrut karena memiliki keahlian di bidang teknologi informasi (TI), sementara di sisi lain, jumlah PNS yang menguasai bidang ini masih minimalis. Ketiadaan JT mesti harus diikuti dengan peningkatan kualitas keahlian PNS. Kunjungilah perpustakaan untuk meningkatkan kualitas diri.
Selain itu, etos kerja PNS juga harus ditingkatkan. Diakui atau tidak, keberadaan JT mempengaruhi etos kerja PNS. Mereka seperti merasa “keenakan” karena dalam bekerja dibantu para tenaga JT ini. Ironisnya lagi, kinerja tenaga JT kadang-kadang melebihi kinerja para PNS yang sudah digaji oleh negara.
Kepada semua tenaga JT, khususnya dari perpustakaan, saya ucapkan terima kasih telah memberikan bantuan tenaga dan pikiran untuk kemajuan dunia perpustakaan di Kabupaten Sragen. Yakinlah bahwa rezeki Allah bertebaran di langit dan di bumi. Selamat berjuang, Sobat ! Jasamu akan selalu kukenang !
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Binalitbang Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008
Artikel ini telah dimuat di Solo Pos, 4 Januari 2012
mrinding bacanya......
BalasHapusJT juga manusia.