Judul : Suara di Balik Prahara; Berbagai Narasi Tentang Trgedi ‘65
Penulis : Baskara T. Wardaya, SJ
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta
Tahun : Desember 2011
Tebal : 398 hlm
Harga : Rp 55.000
Peresensi : Rafi’uddin*
Di akhir tahun 2011 bulan terakhir setidaknya ada beberapa peristiwa yang menjadi isu nasional. Antara lain Aksi bakar diri salah satu mahasiswa Univesitas Bung Karno Jakarta Sondang Hutagalung, pembantaian di Mesuji dan pembunuhan yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat. Ketiga hal tersebut termasuk rentetan peristiwa yang masih sarat di Negeri ini. Perjalanan sejarah Indonesia seolah tidak bisa dilepaskan dari tragedi-tragedi yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Misalnya pada era 1960-an, pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno yang sedang digoncang oleh permainan politik kekuasaan saat itu. Sehingga berbagai persoalan terakumulasi dan menjadi persoalan yang sangat alot menyandera bangsa ini.
Sebagaimana yang tercatat dalam buku Suara di Balik Prahara; berbagai narasi tentang "Tragedi ’65" ini, ada dua peristiwa besar yang sampai dewasa ini belum terhapus dari panggung sejarah. Pertama, adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari di Jakarta yang melibakan tujuh perwira tinggi militer sebagai korban pada masa itu. Kedua, adalah peristiwa pembantaian massal yang mulai terjadi di Jawa Tengah pada pekan ketiga bulan Oktober 1965, hingga berlanjut pada bulan November 1965 di Jawa Timur dan pada bulan Desember di Bali. Pada peristiwa yang kedua, memakan ratusan ribu warga sipil yang tinggalnya tersebar di berbagai tempat di tanah air Indonesia.
Penulis pahami, tragedi pada ’65 merupakan tragedi yang terjadi secara tidak jelas dan tidak mempunyai landasan hukum secara legal. Sehingga mayoritas yang menjadi korban mereka tidak dimintai alasan yang jelas, tanpa ada penjelasan dari korban. Hanya sebuah nama yang sama dengan orang yang di cari tetapi tidak ditemukan, akhirnya namanya yang sama dianggap dan ditangkap. Sebagai negara hukum harus ditemukan kebenarannya seseuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Misalnya seperti yang dialami oleh Mujilah salah seorang gadis yang berumur 14 tahun menjadi korban tanpa alasan yang jelas.
Hanya saja antara nama yang dicarinya sama dengan nama seorang Gadis desa tersebut, Murjilah. Murjilah langsung dinaikkan ke truk kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Korban lain, seorang pemuda usia 19 tahun ditahan lalu dibuang ke pulau Buru, ada juga mantan pejuang kemerdekaan yang mandapat perlakuan serupa. Bahkan berbagai siksaan diterima oleh korban yang nyaris di luar batas-batas perikemanusiaan.
Buku ini memang berbeda dengan buku-buku sejarah yang serupa. Fakta-fakta sejarah yang diungkap dalam buku ini dipaparkan dengan menarasikan suatu pristiwa sejarah dengan mengikutsertakan beberapa orang menjadi saksi terhadap tejadinya tragedi ’65 maupun orang yang menjadi korban pada masa itu. Lebih dari itu pula bagaimana mereka merefleksikan dan memaknai apa yang telah disaksikan dan dialami menurut perspektif masing-masing.
Secara khusus buku ini mengajak pembaca untuk menyimak kembali hiruk pikuk prahara tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965-1966 secara konprehensif. Dengan narasi-narasi sejarah yang diungkapkan dalam buku ini dapat mengambil pelajaran khususnya bagi generasi bangsa supaya bangsa ini tidak lagi terperosok pada tragedi-tragedi yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kajian sejarah Indonesia khususnya yang berkenaan dengan tragedi ’65, buku yang ditulis Baskara T. Wardaya, SJ, akan sangat mendukung. Karena narasi-narasi yang diungkapkan diambil dari pihak yang menjadi korban langsung dari tragedi kemanusiaan pada dahulu dan diambil dari pihak saksi yang melihat secara sadar atas pristiwa yang berlangsung seputar trgedi ’65, tetapi tidak terlibat dalam histeria pelanggaran HAM yang terjadi saat itu. Sehingga fakta sejarah yang diungkapkan lebih akurat dengan disertai bahasa-bahasa yang mudah dipahami. Membaca buku ini pembaca akan diajak berpikir mengenai diri kita sebagai geerasi bangsa yang berdiri di Tanah air Indonesia.
*Rafi’uddin, resonsor Lembaga Kajian Sinergi Yogkatarta (LKSY)
Sumber: Kompas, 6 Januari 2012
06 Januari 2012
Mengungkap Makna Tragedi '65
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar