- Oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy : Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Mungkin ada yang memandang aksi dengan sebelah mata, padahal itu juga pengabdian. Dalam debat bertajuk “Talk Less Do More” (21 Mei 2011), misalnya, disebutkan “perbuatan itu (aksi) tak membuahkan hasil. Hanya membuang waktu dan tenaga”. Apakah faktanya demikian?
Sekadar meluruskan: tak ada yang sia-sia. Masih tergores dalam memori kita reformasi 1998. Terlepas dari betapa alot perwujudan demokrasi sampai sekarang, bukankah itu hasil keringat mahasiswa? Bukankah lebih baik bersuara daripada hanya diam menyaksikan rakyat hidup nelangsa? So, apa salah memanfaatkan waktu untuk memperjuangkan aspirasi? Toh, aksi punya durasi. Maka sebaiknya kembalikan saja ke individu masing-masing karena itu pilihan.
Next. Ada juga alternatif berupa kegiatan sosial. Kegiatan itu dapat dialokasikan untuk orang kurang mampu atau korban bencana. Misalnya, kegiatan sosial di barak pengungsian korban lahar dingin Merapi tahun lalu. Di sana kita dapat membantu korban, baik berupa tenaga maupun dukungan moral.
Alternatif segar lain adalah edukasi. Edukasi untuk mencerdaskan ke-hidupan bangsa dapat dilakukan dengan terjun langsung ke masyarakat atau melalui media massa. Mengapa media massa? Sebab, media massa adalah pilar demokrasi keempat (setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang keberadaannya harus dioptimalkan. Apalagi itu sesuai dengan fungsi media massa, yakni informasi, hiburan, kontrol sosial, dan edukasi.
Jadi banyak alternatif pengabdian. Mungkin selain aksi, kegiatan sosial, dan edukasi masih banyak alternatif lain. Semua itu harus bersinergi. Sungguh, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki negeri ini. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia! (51)
Sumber: Suara Merdeka, 28 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar