- Oleh Muh Ma'rufin Sudibyo
Tatkala Ratu Saba’ dan rombongan dalam perjalanan memenuhi undangan, singgasana takhtanya dipindah secepat kilat ke istana Sulaiman. Betapa terkejut sang ratu kala menyadari singgasananya telah berada di istana Sulaiman. Atas kesediaannya meninggalkan kepercayaan lama, sang ratu dihadiahi istana baru: istana Balqis, yang adalah Candi Ratu Boko. Singgasananya bersama singgasana Sulaiman beserta relief aparatnya tersimpan di Haykal Sulaiman atau Masjidil Aqsha, yang adalah Candi Borobudur.
Paparan tersebut adalah gagasan KH Fahmi Basya’, dosen UIN Sunan Gunungjati Bandung, tentang Candi Borobudur sebagai Masjidil Aqsha. Gagasan itu diturunkan berdasar dua pendekatan. Pertama, lewat analisis ayat-ayat Alquran secara numeris berbasis klaim matematika modern yang menyimpulkan ada bilangan-bilangan istimewa hasil kelipatan angka 19 yang secara geometris membentuk susunan mirip piramida/punden berundak.
Candi Borobudur adalah satu-satunya bangunan kuno di Indonesia (bahkan di Asia Tenggara) yang berbentuk mirip pundek berundak. Posisi stupa-stupanya pun bisa ditafsirkan berdasar bilangan-bilangan istimewa itu. Kedua, berdasar pendekatan transliterasi toponimi (nama daerah).
Nama Sulaiman dianggap berubah menjadi Sleman, Saba’ menjadi Sobo dan akhirnya Wonosobo, sementara Ratu Balqis menjadi Ratu Boko.
Gagasan Candi Borobudur sebagai Masjidil Aqsha mendapat sambutan hangat. Ada yang menyebut itu bukti peradaban Indonesia jauh lebih tua ketimbang yang selama ini diduga dan mengaitkannya dengan peradaban Atlantis yang dihipotesiskan Dr Arsiyo Santos. Ada yang menganggapnya sebagai bukti tanah Jawa tak kalah religius dibanding tanah Arab sehingga layak bila ada rasul diutus ke sini. Dalam ranah praksis, ada yang mulai menziarahi Candi Borobudur dan memperlakukannya sebagai Masjidil Aqsha.
Tanpa Bukti
Ilmu pengetahuan mengatur sebuah gagasan hanyalah hipotesis (dugaan), yang akan menemukan kebenaran dan menjadi teori baru tatkala didukung bukti sahih dan reliabel dari penelitian independen. Jika tiada bukti, selamanya gagasan itu hanya dugaan tak berdasar. Di sinilah gagasan tersebut menemui batu sandungan. Dari ranah arkeologi, prasasti Ugarit di Tell el-Amarna (Irak) dari masa 1400 SM menyebutkan keberadaan kota Urusalem, nama lama dari Yerusyalayim atau Yerusalem. Di kota itu terdapat batu suci Ya’kub atau sakhrakh, tempat Nabi YaÃkub AS menerima wahyu pertama.
Di atas sakhrakh itulah dibangun Haykal Sulaiman atau Masjidil Aqsha pada masa kenabian Sulaiman AS, yang menurut pertanggalan radioaktif terjadi sekitar abad ke-9 SM.
Sementara Candi Borobudur dibangun abad ke-9 M, yang semula dirancang sebagai candi Hindu, namun transfer kekuasaan belakangan membuatnya dikonversi menjadi candi Buddha. Jadi ada selisih waktu sangat besar (1.800 tahun) antara masa kenabian Sulaiman AS dan pendirian Candi Borobudur. Jika Candi Borobudur “dipaksakan” berdiri pada abad ke-9 SM, selain ketiadaan artefak arkeologis pendukung, secara geologis pun musykil.
Mengingat, saat itu kawasan Borobudur dan sekitarnya masih terbenam di kedalaman Danau Borobudur purba, produk terbendungnya aliran Kali Progo oleh sebagian lereng Gunung Merapi yang runtuh sebagai debris avalanche akibat letusan lateral katastrofik sebagaimana dipaparkan Newhall dan kawan-kawan (2000).
Sebuah bangunan suci didirikan tidak untuk ditinggalkan, namun untuk dipakai masyarakat. Sepeninggal Sulaiman AS, masyarakatnya mengalami episode pahit invasi Chaldea yang dipimpin Raja Nebukadnezzar II pada 586 SM yang menghancurleburkan Haykal Sulaiman. Setelah dibangun kembali, Haykal Sulaiman lagi-lagi diratakan pada 70 M saat terjadi invasi kedua (invasi Romawi) yang dipimpin Jenderal Titus dan disusul Kaisar Hadrianus.
Kedua invasi itu melibatkan kekuatan amat besar yang sangat tercatat dalam sejarah. Namun tiada bukti keduanya berlangsung di wilayah Borobudur dan sekitarnya, baik berdasar tinggalan arkeologis maupun catatan independen seperti berita mancanegara (misalnya berita China). Fakta itu melemahkan gagasan tersebut.
Akhirnya, secara teologis gagasan itu tak bisa diterima. Riwayat al-Barra’ menegaskan ketika berlangsung pemindahan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Kakbah, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan dengan berputar mengubah arah dalam shalat. Perputaran itu (yang mencapai 157 derajat atau hampir setengah lingkaran) takkan terjadi jika Masjidil Aqsha di Candi Borobudur, sebab Candi Borobudur berada di arah tenggara bila dilihat dari Madinah. Jadi, bila berpindah arah ke Kakbah hanya bergeser sedikit (maksimum 60 derajat) dan tidak berputar.
Penegasan letak Masjidil Aqsha ada di Yerusalem diperkuat oleh Khalifah Umar bin Khattab RA pascapenaklukan kota itu. Beliau berhasil mengidentifikasi ciri-ciri sakhrakh sebagai batu di puncak bukit Muriah sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. (51)
- M Ma’rufin Sudibyo, astronom alumnus Teknik Fisika UGM, bertugas pada Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen
Sumber: Suara Merdeka, 30 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar