Oleh: Abimardha Kurniawan
Sekilas, judul buku ini terlihat provokatif, karena seolah-olah menampilkan dua kultur yang saling berhadapan dan beroposisi, yakni Islam Melayu dan Jawa Islam, kendati ada unsur Islam pada keduanya. Memang, Islam yang berkembang di masing-masing kultur punya wajah kontras. Namun, keduanya tak saling serang laiknya dua lelaki gempal yang saling adu jotos di arena tinju. Keduanya tumbuh dalam lingkup masing-masing.
Penulis buku ini, Maharsi Resi, menjabarkan perbedaan tersebut dalam domain sastra sejarah yang dihasilkan masing-masing kultur: Melayu dengan Sejarah Melayu (SM), dan Jawa dengan Babad Tanah Jawa (BTJ). Kedua teks berasal dari masa ketika pengaruh Islam sudah mengakar hingga ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Beberapa ahli menyebutkan bahwa Islam punya peran sebagai pencetus lahirnya genre sastra sejarah di Nusantara, walau sebenarnya pendapat ini cukup bias.
Di Jawa, pada masa sebelum Islam berkembang sedemikian rupa, telah ada genre semacam ini. Sebutlah karya-karya seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, Kidung Sorandaka, Rangga Lawe, sekedar menyebut beberapa, punya muatan historis karena merupakan representasi simbolis kehidupan di lingkungan kraton Majapahit. Kakawin Desawarnana (Nagarakr?tagama) gubahan Prapañca, walaupun oleh pengarangnya sendiri tidak dimaksudkan sebagai karya sastra (sejarah), melaikan cuma deskripsi wilayah, oleh para sarjana yang hidup berabad-abad setelahnya dicap punya nilai sejarah yang tinggi. Juga Pararaton yang sering dijadikan rujukan untuk telaah kritis seputar sejarah kerajaan Jawa, mulai berdirinya dinasti Rajasa (Ken Angrok) hingga zaman Majapahit. Sedangkan di Melayu, sangat jarang ditemukan peninggalan pra-Islam semacam itu, meski jejaknya bisa ditemukan dalam teks-teks yang dihasilkan dan berkembang di masa Islam.