Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


02 Januari 2014

Resolusi 2014 : Mengobarkan Budaya Baca Penguasa!!!

Budaya baca rakyat Indonesia hingga saat ini masih dinilai rendah. Data-data berikut ini menguatkan pernyataan ini.

Berdasarkan indeks baca nasional, indeks minat baca nasional hanya 0,01. Bila dibadingkan dengan negara-negara maju, angka ini terpaut jauh. Sebab rata-rata indeks baca di negara tersebut antara 0.45 sampai dengan 0,62.
Indonesia sendiri untuk minat baca menduduki urutan ketiga dari bawah di dunia. Membaca yang belum menjadi budaya dan lebih senang dengan budaya tutur serta menonton, ditenggarai menjadi penyebabnya [1]
 
International Education Achievement (IEA) meneliti kualitas membaca anak-anak pada 31 negara yang terbesar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Hasil survey tersebut menunjukan bahwa kualitas membaca anak-anak Indonesia menduduki urutan ke 29 dari 31 Negara yang diteliti.[2]
Minat baca masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah, karena indeks membaca kita hanya 0,001. Artinya dari seribu penduduk hanya 1 orang yang punya minat baca tinggi. Bandingkan dengan indeks minat baca di Singapura yang mencapai 0,45 yang artinya dari seratus penduduk ada 45 orang yang memiki minat baca buku.
Lalu bagaimana dengan minat membaca anak-anak didik kita? Jika kita bandingkan dengan Negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, mereka memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari. Sementara di Negara berkembang,termasuk Indonesia, hanya 2 jam setiap hari.
Di samping itu para siswa kita tidak pernah wajibkan membaca buku bacaan dalam jumlah tertentu sebelum mereka lulus sekolah. Di beberapa Negara maju, siswa SMA berkewajiban menamatkan buku bacaan dengan jumlah tertentu sebelum mereka lulus sekolah.
Negara-negara seperti Jerman, Prancis dan Belanda mewajibkan siswanya harus menamatkan 22-32 judul buku, Jepang 15 buku, Malaysia 6 judul buku, Singapura 6 judul buku, Thailand 5 judul buku, sedangakan di Indonesia sejak tahun 1950 hingga sekarang tidak ada kewajiban untuk menamatkan satu judul buku pun sebagai salah satu syarat untuk lulus sekolah.
Kondisi ini sangat diperparah dengan budaya bertutur kita yang masih dominan, sehingga tidak ada pembelajaran secara tertulis yang dapat menimbulkan budaya membaca. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila indeks kualitas SDM (Human Development Index/HDI) di Indonesia berdasarkan hasil survey UNDP hanya menempati peringkat ke -117 dari 175 negara. [3]
Budaya tutur dan menonton selalu menjadi kambing hitam ketika media massa memberitakan tentang budaya baca bangsa ini yang masih rendah. Budaya lisan dan menonton bisa berjalan seiring dengan budaya baca tanpa harus mematikan salah satunya. Jerman, Prancis, dan Amerika adalah sebuah peradaban yang juga memiliki budaya lisan dan menonton. Hanya saja, pemerintahan mereka sangat antusias dalam membangun budaya baca. Proses membangun budaya baca berjalan secara sistematis dengan memudahkan rakyat dalam mengakses buku-buku yang bermutu antara lain melalui perpustakaan.
Inilah yang tidak terjadi di negeri tercinta ini. Pemerintah baik pusat maupun daerah kurang serius dalam membangun budaya baca. Dengan kata lain pemerintahan yang berbudaya baca rendah akan melahirkan rakyat yang juga berbudaya baca rendah. Karena pemerintah tidak memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mengakses buku dengan mudah. Tidak ada rencana strategis yang nyata dalam membudayakan minat baca. Prosesi membangun budaya baca baru sebatas pada kegiatan seremonial dalam bentuk pencanangan gerakan membaca.
Dalam catatan penulis, pemerintah sudah berulang kali melakukan pencanangan gerakan membaca di negeri tercinta ini. Kampanye membaca selama ini lebih terkesan sebagai ajang tebar pesona. Pemerintahan orde baru mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (14 September 1997), pemerintahan Megawati mencanangkan Gerakan Membaca Nasional (12 November 2003), dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat (17 Mei 2006).
Wakil Presiden Boediono pada 27 Oktober 2011 mencanangkan Gerakan Nasional Pembudayaan Gemar Membaca. Menindaklanjuti gerakan di atas Perpustakaan Nasional RI menggelar acara Roadshow Perpustakaan Nasional RI 2012 yang berupa deklarasi gerakan membaca nasional di beberapa provinsi.
Aneka gerakan membaca di atas ternyata belum mampu memberikan perubahan yang berarti terhadap budaya membaca di tanah air. Gerakan membaca seolah berhenti seiring dengan selesainya waktu pencanangan. Tidak ada gerakan inovatif dan kreatif dalam mendongkrak budaya baca. Yang ada hanya gerakan rutinitas persis sama ketika belum ada pencanangan gerakan membaca.
Untuk itu diperlukan “Resolusi Luar Biasa” untuk mengobarkan budaya baca penguasa agar melahirkan rakyat yang berkobar-kobar dalam membaca. Rakyat yang memiliki stamina dan energi yang luar biasa dalam membaca seolah mereka baru minum kratingdaeng.
Adapun “Resolusi Luar Biasa” ini adalah pertama, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk membaca. Berhentilah menyalahkan rakyat sebagai biang kerok rendahnya minat baca. Karena biang keroknya adalah pemerintah sendiri yang lemah, letih, lesu, dan kurang berstamina dalam membudayakan membaca. Pemerintah perlu minum “kratingdaeng” budaya baca.
Untuk mewujudkan hal ini pemerintah harus mendirikan perpustakaan di setiap kabupaten, kecamatan dan desa. Selama ini pemerintah dan terutama pemerintah daerah kabupaten/kota masih setengah hati dalam membangun perpustakaan. Otonomi daerah semakin menyurutkan langkah untuk membangun perpustakaan. Jangankan untuk membangun perpustakaan desa, perpustakaan umum kabupaten/kota pun saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan.
Menurut Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal. Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara Merdeka, 16 November 2011).
Kabupaten maupun kota merupakan wilayah kerja yang sebenarnya dari perpustakaan. Perpustakaan dengan tugas utamanya memberdayakan masyarakat dengan membaca sering menghadapi kendala ketika program dari Perpustakaan Nasional RI hendak diaplikasikan di tingkat kabupaten/kota. Rencana yang sudah disusun matang di tingkat pusat menjadi mentah kembali ketika berbenturan dengan kebijakan pemerintah kabupaten/kota.[4]
Urusan perpustakaan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan bidang perpustakaan di daerah adalah tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Perpustakaan bukan sekedar lembaga papan nama yang ada sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Perpustakaan adalah lembaga yang didirikan untuk memberdayakan masyarakat kabupaten/kota.
Dahulu kala, pernah ada seorang bupati yang dengan enteng berkata, “ Aku malu dengan kondisi gedung perpustakaan daerah ”. Rupanya beliau yang terhormat lupa bahwa keberadaan gedung perpustakaan daerah adalah bagian dari tanggung jawabnya. Hilangnya rasa tanggung jawab inilah yang menghambat pelaksanaan program perpustakaan di daerah. Ironisnya, di tanah air amnesia tanggung jawab ini telah menjadi budaya sebagian besar pimpinan kabupaten/kota.[5]
Kedua, memberikan anggaran dan sarana-prasarana perpustakaan yang memadai. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan diamanahkan bahwa pemerintah (pusat dan daerah) wajib memberikan anggaran yang memadai kepada perpustakaan. Ini artinya, segala hal yang diperlukan oleh perpustakaan untuk tugas suci membudayakan membaca di kalangan masyarakat harus dipenuhi. [6]
Ironisnya, banyak pemerintah kabupaten/kota yang mengabaikan hal ini. Lihat saja anggaran APBD Kabupaten/Kota di tanah air ! Nominal yang dianggarkan untuk pengadaan buku di perpustakaan masih jauh dari angka minimal kebutuhan. Tanpa disadari banyak pemerintah daerah yang menghancurkan minat baca masyarakatnya dengan memberi anggaran minim untuk perpustakaan.
Dengan anggaran seadanya, perpustakaan tak akan mampu membeli buku-buku baru sesuai dengan keinginan masyarakat. Akibatnya, masyarakat akan merasa bosan dengan perpustakaan karena koleksi bukunya kurang mengikuti perkembangan zaman.
Sementara itu, di Kota Surakarta nasib perpustakaan daerah semakin tidak jelas. Karena dari dulu dibiarkan hidup nomaden,selalu direncanakan berpindah-pindah tempat. Seolah tak memiliki pelabuhan terakhir untuk membangun hidupnya. Di Karanganyar, nasib perpustakaan daerah semakin merana karena di pindah ke lokasi bekas rumah sakit. Akibatnya, jumlah pengunjung menurun drastis.[7]
Meskipun demikian ada juga pemerintah kabupaten/kota yang memberikan perhatian dan dukungan memadai kepada perpustakaan daerah. Sragen, Lubuk Linggau, Wonosobo, Kota Malang, Batang, dan Kota Surabaya merupakan sedikit contoh pemerintah daerah yang memberikan apresiasi kepada perpustakaan.
Ketiga, memberikan sumber daya manusia yang memadai kepada perpustakaan. Menurut Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal. Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara Merdeka, 16 November 2011).
Sampai saat ini masih cukup banyak pemerintah kabupaten/kota yang menganggap perpustakaan sekedar “tong sampah”. Tempat untuk membuang pejabat-pejabat yang “gagal dalam tugas”, “melakukan kesalahan”, dan “sudah tidak produktif lagi”.
Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota masih dipandang sebagai tempat hukuman bagi para PNS yang bermasalah. Bahkan para pejabat yang dimutasi di perpustakaan umum karena kewajaran proses mutasi masih sering dipersepsikan memiliki kesalahan besar sehingga harus dibina dan bertaubat di perpustakaan.
Kalangan birokrasi juga masih memiliki pandangan meremehkan terhadap dunia perpustakaan. Seolah perpustakaan merupakan tempat yang tidak memiliki pekerjaan penting. Pandangan menyesatkan ini menunjukkan betapa piciknya pola pikir bangsa ini yang menganggap membaca dan buku bukan merupakan bagian dari elemen pembangunan bangsa.[8]
Tokoh sekelas Jokowi pun masih menganut “paham” ini. Bahkan Jokowi yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta membuat kebijakan yang kontroversial dengan menempatkan pejabat yang dianggap tak cakap menjadi walikota di Badan Perpustakaan dan Arsip DKI Jakarta. Suatu langkah yang mengundang rasa gregetan insan dunia perpustakaan di tanah air.
Keempat, memberikan status kelembagaan yang terhormat kepada perpustakaan. Di tanah air, bentuk kelembagaan perpustakaan umum kabupaten/kota cukup beraneka ragam. Sebagian besar berbentuk kantor gabungan perpustakaan dan arsip. Hanya sebagian kecil yang berdiri sendiri sebagai kantor (eselon III/a) seperti yang dilaksanakan di Sragen, Kota Malang dan Wonosobo.
Bentuk kelembagaan yang direkomendasikan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah kantor mandiri dengan eselon III/a. Bentuk kelembagaan yang berbeda-beda jelas akan menyulitkan Perpustakaan Nasional RI untuk mengambil kebijakan di daerah. Diakui atau tidak derajad eselonisasi suatu SKPD merupakan indikator tinggi - rendahnya perhatian yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Budaya baca bangsa ini yang masih rendah tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan memberikan bentuk kelembagaan seadanya saja.
Kelembagaan yang memadai ini diharapkan akan terus tumbuh ke bawah dengan melahirkan UPT Perpustakaan Kecamatan, UPT Perpustakaan Desa, dan UPT Perpustakaan Sekolah.
Inilah langkah sistematis untuk membangun budaya membaca, menghadirkan perpustakaan yang utuh bukan “pincang” hingga ke pelosok desa. Lengkap dengan dukungan anggaran, pustakawan, dan sarana-prasarana yang memadai.
Oleh : Romi Febriyanto Saputro, SIP
Sragen, 28 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar