Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


29 April 2013

T e m a n

Oleh SAMUEL MULIA
Suatu hari saya membaca tweet seorang teman yang berbunyi: It is not about how many friends you have. It’s about how many friends you can rely on. Membaca itu saya me-retweet begini. Jangan pernah memercayai siapa pun. Manusia itu berubah!


Penikam dan ditikam
Tak lama setelah itu saya membaca kembali sebuah pesan soal pertemanan. Begini. Teman itu ada yang asli dan ada yang palsu. Teman baik itu akan selalu melindungimu dari hal-hal buruk. Sahabat sejati itu akan membuatmu bangkit pada saat kamu tidak mampu berdiri.

Dulu saya suka bingung dengan istilah manusia antisosial. Namun, belakangan saya jadi berpikir ulang setelah dua teman menghantam saya dari belakang. Mungkin sebaiknya menjadi antisosial ketimbang menjadi naik pitam karena menjadi makhluk yang sosial atau terlalu sosial.

Setelah peristiwa di atas, saya memutuskan tak memusuhi mereka, tetapi menjaga jarak yang sangat berjarak. Setelah mengambil keputusan itu, saya sendiri menjadi bingung. Apakah istilah teman itu masih bisa berlaku dalam kasus seperti yang saya alami ini. Musuh tidak, berteman pun tidak.

Mengapa mereka menjadi penikam dari belakang? Saya mencoba berpikir dan menyimpulkan begini. Bisa jadi mereka tidak mau dan atau tidak mampu menempatkan diri mereka di posisi saya. Karena tidak mau dan atau tidak mampu, mereka menyimpulkan bahwa saya ini begini, saya itu beginu. Kemudian melalui ketidakmampuan dan ketidakmauan itu mereka menganggap bahwa yang disimpulkan itu benar adanya dan memercayai itu sebagai sebuah kebenaran.

Dan kehancuran terbesar adalah kebenaran yang belum tentu benar itu disebarluaskan dari mulut ke mulut sampai ke sosial media dan mendarat di gendang telinga saya yang belakangan suka budek. Namun, dalam masalah ini kebudekan yang biasanya terjadi, KO seketika setelah membaca soal penikaman itu.

Kemudian saya bercerita kepada seorang teman bahwa saya mengalami masalah ini. Teman saya yang kebetulan mengenal kedua penikam itu mengatakan bahwa saya harus mengerti jika kedua penikam itu supersensitif.

Nasihatnya itu membuat saya berpikir dan bukan berkeinginan membalas dendam. Begini. Bagaimana seseorang bisa bermodalkan keegoisan yang sangat masuk ke sebuah ranah pertemanan? Kalau mereka sensitif, tidakkah mereka juga seyogianya berpikir bahwa yang mampu sensitif dalam artian mudah tersinggung itu bukan hanya mereka berdua saja?
Mengapa hanya saya yang harus mengerti mereka? Mengapa mereka juga tidak melakukan hal yang sama untuk mengerti saya sebelum dengan entengnya menyebarkan kebenaran yang tidak benar itu? Apakah peristiwa semacam itu sebuah cara untuk mempraktikkan secara nyata bahwa saya harus mengasihi mereka yang menikam?
Di suatu malam, saya bercakap-cakap lagi dengan seorang teman lainnya dan berencana untuk berlibur bersama. Setelah sekian jam berlangsung, teman saya mendadak kaget sambil berkata begini, ”Aduh, kita kok enggak ngajak…(menyebut nama seseorang yang punya nilai ambang ketersinggungan rendah sekali). Ntar dia marah lho.”

Sepulang dari acara makan malam itu, saya berpikir, alangkah hebatnya seorang yang disebut teman sehingga mampu membuat teman sendiri menjadi keder. Saya berpikir, bukankah yang namanya pertemanan itu tak sama dengan memiliki? Tak berarti selalu harus bersama-sama senantiasa kecuali Anda atau saya memang pada dasarnya tak punya teman?
Bahwa seorang teman berhak melakukan apa yang disukai tanpa rasa ketakutan. Ia berhak untuk bepergian kemana saja tanpa harus melibatkan teman yang itu-itu saja, bahkan tak perlu meminta izin bepergian bukan? Saya jadi berpikir, pertemanan macam apakah itu? Wajar atau di bawah todongan belati?

Buat saya, teman itu hanya sebuah medium menyalurkan aktivitas sosial seseorang. Ia bukan sebuah tempat berutang. Ia bukan sebuah sansak dari ketidakmatangan jiwa, dari kesakitan batin seseorang. Teman apa pun jenisnya bukankah seyogianya sebuah taman bermain yang menyenangkan dan bukan sebuah neraka yang menyesakkan dada?

Mungkin saya terlalu naif untuk mencita-citakan hal itu terjadi di dunia ini. Mungkin yang benar saya harus menerima bahwa di dunia ini memang ada yang asli dan yang palsu.

Mungkin untuk menjadi seorang teman yang baik seyogianya seseorang harus menjadi manusia yang tidak kekurangan cinta sehingga ia menjadi mudah merengek untuk memenuhi kekurangannya itu kepada orang lain.

Sumber: Kompas, 28 April 2013

0 komentar:

Posting Komentar