Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


11 April 2013

Dompet untuk Ibu

Cerpen J Ghoury
Ratih kecil berlari kencang sekencang-kencangnya. Sesekali Ia menengok ke belakang sambil memegang dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak kencang sekencang larinya. Di semak-semak pembatas jalan dan got akhirnya Ia menelusupkan tubuhnya untuk bersembunyi. Masih memegang dada dan sesuatu  dalam genggamannya.


Ratih, bocah berusia delapan tahun itu hidup bersama Kiswanti-ibunya, satu-satunya orang yang sayang padanya. Ia tak kenal siapa ayahnya, karena telah meninggalkannya sejak ia belum lahir. Meski ibunya bilang ayahnya meninggal, Ratih lebih percaya pada omongan orang-orang di lingkungan kumuh itu bahwa ayahnya dipenjara karena membunuh pedagang daging di Pasar Kliwon. Ratih lebih sering mendengar cerita tentang ayahnya dari tetangga-tetangganya daripada dari Ibunya. Ratih tak begitu mengerti tentang membunuh, tapi katanya itu perbuatan yang jahat sekali, karena membuat orang lain harus dikubur. Itu menakutkan sekali, pasti gelap dan dingin di bawah tanah sana. Ratih sering menutup telinga dengan kedua tangannya sambil merem jika teringat hal ini seolah bisa mengusir bayang-bayang menakutnya tentang kuburan..yang..hitam,..dingin..dan..gelap.
Ratih tak lagi menanyakan atau mengatakan hal ini pada ibunya seperti dulu. Ia tak ingin ibunya bersedih, karena Ratih tau, wajah Ibunya selalu berubah jadi kaku dan matanya berair jika berbicara tentang Ayah. Ratih sangat sayang pada Ibunya dan tak ingin..ibunya..menangis.

Meskipun sangat ingin, Ratih tak bersekolah. Meskipun sangat ingin, terutama jika melihat teman-teman sebayanya berangkat pagi-pagi memakai baju merah putih, hanya sekali ia menyampaikan keinginannya tersebut pada ibunya. Wajah ibunya berubah murung seperti saat Ia bertanya tentang ayahnya. Ya sudahlah, Ratih pikir bisa makan dan sempat bermain setiap hari saja sudah sangat bagus. Ratih bisa sembunyikan mimpinya untuk bersekolah sejak beberapa waktu yang lalu.

Kiswanti tidaklah seperti wanita-wanita yang ada di tanggalan-tanggalan pemberian tetangganya, tapi bagi Ratih ibunya sangatlah cantik. Ketika ibunya membelai rambut dan mengelus kepalanya sebelum Ia tidur, bercerita tentang seorang putri di negeri bintang dan pangeran dari kerajaan bulan. Kata Ibunya, Ratih harus jadi anak yang baik agar nanti masuk surga. Tak boleh berbohong, tak boleh mencuri karena itu adalah dosa. Orang dosa nanti masuk neraka. Di neraka orang yang suka berbohong lidahnya akan disetrika dan yang mencuri tangannya akan dipotong oleh malaikat penghukum. Sejak itu Ratih tidak lagi berbohong dan berjanji tak akan mencuri. Ratih takut lidanya disetrika atau.tangannya.dipotong...Pasti.sakit.sekali.

Akhir-akhir ini, Kiswanti tak lagi membelai dan mengelus rambut Ratih. Ibunya lebih sering duluan tidur ketimbang Ratih. Mungkin kelelahan karena seharian mencuci dan menyetrika baju milik tetangga yang membayar ibunya. Dengan uang yang dibayarkan tetangga itulah mereka membeli nasi dan lauk untuk makan sehari-hari. Mereka, Ratih dan Ibunya, tak bisa lagi mencari uang dengan berjualan gorengan, karena nyaris tidak mampu membeli minyak tanah dan minyak goreng untuk membuatnya.

Hari itu Kiswanti menyuruhnya untuk menggantikan ibunya mencuci di rumah Bu Gito, yang rumahnya ada di kampung sebelah. Kata Ibunya, Ia sedang sakit kepala. Ratih yang setiap hari membantu ibunya mencuci berangkat ke rumah Bu Gito sendirian. Meski harus mengeluarkan tenaga lebih keras, ratih tidak mengeluh. Ia tak ingin Bu Gito mengeluh karena cuciannya tak bersih. Bu Gito terkenal sangat teliti meneliti hasil cucian dan..setrikaan..dari..buruh..cucinya.

Sore hari setelah menyetrika baju cucian kemarin yang baru kering dijemur, Ratih pulang membawa makanan pemberian bu Gito. Ratih senang sekali dan berdoa semoga cuciannya hari ini tak membuat bu Gito kecewa.

Kiswanti telah menunggunya di rumah. Menunggu sambil berbaring di atas kasur yang kapuknya mencuat ke mana-mana. Meski terlihat layu, Kiswanti tersenyum melihat putrinya pulang. Tak mandi atau makan lebih dahulu, Ratih langsung mengambil makanan pemberian bu Gito lalu bersiap menyuapi ibunya. Ratih lihat makanan tadi malam yang Ia harap dimakan ibunya pagi ini tak bergerak sedikitpun dari meja disamping dipan. Isinya..pun..tak..berkurang..sama..sekali.
Kiswanti terbatuk-batuk saat Ratih menyuapkan makanan. Melihat wajah Ratih yang khawatir, Kiswanti tersenyum berusaha menenangkan anaknya.

”Tidak apa-apa. Ibu tidak apa-apa”, Ratih hanya mengangguk dan mengulurkan air putih dalam cangkir plastik yang kusam oleh noda teh. Kiswanti meminumnya pelan sekali, namun tetap tak dapat mencegah rasa gatal yang kembali menggelitik tenggorokannya. Kiswanti terbatuk tak terkendali. Tangan kanannya menekan dada dan tangan kirinya berada diatas mulut dan hidungnya. Ia terbatuk terus hingga badannya terguncang. Rambut panjangnya yang menipis basah karena keringat lepek menempel dikulit kepalanya. Ratih meringis mendengar suara batuk ibunya yang seperti ban motor yang berdecit karena direm mendadak. Terkadang keluar bunyi seperti peluit yang ditiupkan dari dadanya dan terdengar keluar melalui mulut ibunya. Ratih takut, batuk ibunya tak akan..berhenti.
”Ibu...” Suara Ratih tercekat. Air mata mengabutkan pandangannya. Kiswanti memaksakan dirinya tersenyum, mencari-cari alasan agar Ratih meninggalkannya. Ia merasakan cairan asin beraroma anyir keluar dari tenggorokannya. Kiswanti tau dirinya berdarah, dan tak ingin Ratih melihatnya, mengetahuinya.

”Ratih.. uhuk khuk.. pergilah mandi, uhuk uhhuk, lalu makan” Untuk bicara pun Kiswanti sangat kesulitan. Dengan enggan, Ratih menuruti ibunya, yang langsung mengambil serbet didekatnya dan mengusap mulutnya. Dipandanginya kain itu dan menyadari, darah yang keluar makin banyak dan berwarna lebih gelap dari yang sebelumnya. Disembunyikannya serbet itu dibawah kasur dekat kepalanya, bersama serbet atau sobekan kain dengan noda darah lainnya.

Beberapa hari berlalu dan Kiswanti belum juga membaik. Kiswanti bahkan tak mampu lagi untuk sekedar duduk. Obat batuk yang Ratih beli di warung tidak membantu. Ratih mengusulkan agar ibunya mau dibawa ke puskesmas, tempat dimana Ratih biasanya dibawa ibunya saat sedang sakit. Nanti Ratih akan minta tolong Bu Gito agar mengantarkan, tapi Kiswanti menolak usul itu. Tak baik merepotkan orang, katanya. Selain itu, Kiswanti tahu, mereka tak punya uang lagi, kecuali untuk makan.

Pagi hari, Ratih berniat berpamitan sebelum berangkat ke rumah Bu Gito namun mengurungkannya. Dilihatnya Kiswanti masih pulas tertidur. Menyalami dan mencium tangan seperti biasa, mungkin tidak akan mengganggu Ibu, pikir Ratih. Lalu diraihnya tangan Kiswanti pelan-pelan untuk menciumnya, berhati-hati agar tidak membangunkannya. Ratih mendekatkan wajahnya ke kasur, tak peduli dengan bau kakus yang menyeruak, sejak Ibunya tak bisa mengendalikan kecing dan beraknya. Tangan ibunya dingin, dan agak kencang, kaku. Ratih pikir mungkin ibunya kedinginan. Ditariknya kain tipis kumal untuk menyelimuti tubuh ibunya sebelum akhirnya Ia berangkat menuju rumah Bu Gito.

Sesampainya di rumah Bu Gito, Ratih mendapati rumah yang terkunci. Ia baru ingat, kemarin Bu Gito memang sempat mengatakan ada rencana akan ke kampung suaminya untuk nyadran. Ratih pun  berjalan menjauh dari rumah bu Gito yang terkunci. Ratih berjalan tanpa arah. Ia tak punya uang, belum makan dan sedih teringat pada ibunya yang kini wajahnya sudah seperti orang lain. Kurus seperti tengkorak yang berbalut selembar kulit. Kami butuh uang, pikir Ratih.

Seperti lampu yang tiba-tiba menyala dalam gelap, mata Ratih terhenti pada sebuah dompet kulit yang tergeletak begitu saja pada kursi kayu di depan warung Bu Sardi yang masih tutup. Kursi itu berada diantara meja kayu dan tembok, jadi dompet itu lumayan tersembunyi. Orang tak akan melihatnya kecuali berada di sisi kursi panjang ini. Mungkin itu milik salah satu pelanggan Bu Sardi.
Jantung Ratih berdebar-debar dan perutnya mendadak mulas. Ratih melihat ke kanan dan ke kiri dan mendekatkan kakinya ke arah dompet coklat itu. Dilihatnya beberapa anak-anak menggendong keranjang besar untuk berangkat memulung, tapi tak ada yang memperhatikannya. Ada ibu-ibu yang menyapu halaman, tapi terlalu jauh untuk dapat melihat apa yang dilakukan Ratih. Ratih berjalan perlahan-lahan. Perutnya makin melilit, keringat dingin mulai muncul dipunggung kecilnya. Rasa tegang dan takut menyelimutinya. Ia teringat kata-kata ibunya, bahwa mencuri itu dosa. Bergidik Ratih membayangkan tangannya akan dipotong nanti di neraka, tapi tak apa asal ibunya bisa minum obat. Selain itu, Ratih kan tidak mencuri, pikirnya. Ia menemukannya. Bukan mencuri.

Selangkah lagi. Hap. Dompet coklat berhasil Ratih raih. Ratih tak tahu, apa yang ada didalamnya. Ratih cuma berharap akan ada cukup uang, supaya Ia bisa beli obat untuk ibunya. Dadanya bergemuruh dan tangannya gemetaran karena takut campur tegang. Jantungnya hampir meloncat saat seorang lelaki meneriakinya dengan lantang.

”Heiii, bocah!!”, kaget dan ketakutan, Ratih berlari meninggalkan tempat itu. Berlari dan terus berlari, tak berfikir akan kemana, yang penting berlari. Sepertinya lelaki tadi tak mengejarnya, tapi Ratih tak yakin.

Ratih kecil berlari kencang sekencang-kencangnya. Sesekali Ia menengok ke belakang sambil memegang dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak kencang, sekencang larinya. Di semak-semak pembatas jalan dan got akhirnya Ia menelusupkan tubuhnya untuk bersembunyi. Masih memegang dada dan sesuatu dalam genggamannya.

Selama hampir satu jam Ratih bersembunyi. Tak ada suara lelaki yang memanggilnya lagi. Sejenak Ratih menyesali tindakannya, tapi Ia teringat ibunya. Digenggamnya dompet kulit itu makin kuat. Sepertinya sudah aman, batin Ratih. Ia kembali berlari menuju rumahnya setelah sebelumnya celingak-celinguk kanan kiri memastikan tak ada yang memperhatikannya.
Terengah-engah Ratih akhirnya sampai di Rumah.  Wajahnya tegang dan berkeringat, namun ada senyum di bibirnya.

”Ibu. Ratih bawa uang. Ayo kita ke puskesmas”, Ratih bicara begitu berada di dekat ibunya yang masih terbaring dengan posisi sama saat Ratih meninggalkannya pagi tadi. Kiswanti diam saja, tidak bergerak.

”Ibu.. Ibu.. bangun Bu. Lihat, Ratih bawa dompet, pasti ada banyak uang di dalamnya ” Ratih menyentuh lengan kurus ibunya untuk membangunkannya, sedikit terkejut karena tubuh ibunya sangat dingin dan kaku. Terlalu kaku, pikir Ratih.

”Ibu! Ibu bangun!!”, Ratih mulai berteriak panik. Berpikir mungkin ibunya sudah meninggal tapi tidak mau menerimanya. Ditempelkan kupingnya ke dada ibunya, berusaha menemukan detak disana, seperti yang kadang Ia lihat di sinetron di rumah tetangga. Ia tak mendengar apapun.
”Ibu.. ini ada uang bu! Ratih punya uang! Ibu harus bangun. Ibu akan sembuh. Nanti ibu akan jualan lagi. Ibu akan baik-baik saja!” Ratih berteriak dan mulai mengguncang-guncang badan ibunya, namun Kiswanti bergeming. Tidak menunjukkan reaksi apapun.
”Ibuu..” suara Ratih serak, tercekat memanggil ibunya. Ratih menoleh ke arah pintu saat ada suara-suara didepan rumahnya.

”Itu dia anaknya,” lelaki yang tadi meneriakinya menunjuk ke arah Ratih sambil berbicara pada beberapa orang. Wajahnya terlihat marah dan keras.
Nanar mata Ratih melihat ke wajah pucat Ibunya lalu ke arah kerumunan orang di luar rumahnya, lalu ke arah ibunya lagi. Air matanya meleleh.
”Ibu...bangun” dengan berlinang airmata Ia berbisik. Dompet yang sedari tadi digenggamnya terjatuh ke lantai begitu saja.

-Selesai

Sumber: Kompas, 10 April 2013

0 komentar:

Posting Komentar