Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


17 April 2013

Izinkan Aku Menjadi Presiden Sekali lagi

Cerpen Dodiek Adyttya Dwiwanto

“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”


Teriakan mendukung Paduka Yang Mulia Tuan Presiden terus diteriakkan para pendukung setianya (katanya sih setia).  Sedianya Tuan Presiden akan berkampanye untuk mencalonkan diri (lagi) sebagai presiden dalam pemilihan umum yang akan datang.

Katanya untuk melanjutkan program pembangunan yang telah dijalankan.  Katanya ingin mengentaskan kemiskinan, padahal yang harus dientaskan seharusnya adalah orang-orang miskin bukan kemiskinan.  Katanya ingin mengantarkan negara tinggal landas atau malah tinggal kandas dalam menghadapi era persaingan bebas.  Wuih, ngeri kan?
Juga tentunya melanjutkan program memperkaya keuangan pribadi.  Memperkaya pundi-pundi tabungan keluarga, sahabat, kerabat, kolega dan semua orang yang mau menjilat Paduka Yang Mulia Tuan Presiden.
Panggung dan mimbar untuk berkampanye pun telah disediakan.  Luasnya mencapai 10 meter kali 20 meter.  Panggung luas untuk menggambarkan kemegahan, kejayaan dan kedigdayaan Paduka Yang Mulia Tuan Presiden.  Sound system sengaja dipesan dari luar negeri supaya saat Paduka Yang Mulia Tuan Presiden bisa berpidato dan mengumbar-umbar janji membuai rakyat dengan megahnya.  Ya kalau bisa mirip konser Rolling Stone atau U 2 yang selalu menggelegar.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Kata-kata itu masih diteriakkan massa yang menunggu kedatangan pemimpin sejati mereka.  Pemimpin sejati yang benar-benar mereka dambakan selama ini.  Pemimpin yang (katanya) mengerti tentang keadaan nasib para orang kecil yang tertindas dan terpinggirkan.  Pemimpin yang (katanya) bakal membawa bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.  Pemimpin yang (katanya) dipilih dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Massa masih saja berteriak meski panas matahari memanggang mereka.  Kerongkongan yang kering tak menghalangi niat untuk menghadiri acara ini, mendengarkan pidato kampanye Tuan Presiden.  Bermandikan keringat, orang-orang masih meneriakkan dukungan buat Tuan Presiden, masih mengibarkan bendera-bendera partai, masih membawa spanduk-spanduk, masih memakai atribut partai.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Menjelang tengah hari, diberitahukan kalau Tuan Presiden telah tiba di lokasi.  Massa pun makin keras meneriakkan dukungan bagi Tuan Presiden tak peduli panas makin meranggas.  Pokoknya harus mendengarkan pidato Paduka Yang Mulia Tuan Presiden.
Panggung tiba-tiba disesaki para pengawal Tuan Presiden yang berseragam jas hitam.  Men in black.  Ya mirip dengan pasukan Secret Service yang biasa mengawal Presiden Amerika Serikat.
Semua memeriksa sekeliling, siapa tahu ada yang iseng menaruh bom atau malah ada sniper alias penembak jitu yang usil ingin menembak Tuan Presiden.  Lagi pula sudah banyak pemimpin negara yang mati konyol yang ditembak orang tak dikenal.  Seperti Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy yang mati ditembak saat berpawai di Texas.  Presiden Mesir, Anwar Sadat juga koit ditembak anggota pasukan militernya.  Nah, begitu juga dengan Perdana Menteri India Indira Gandhi yang tewas ditembak pengawal pribadinya.  Bahkan, putra kesayangan Indira, Rajiv Gandhi malah mati dibom oleh militan.  Para pengawal Tuan Presiden enggak mau dong kalau hal serupa juga terjadi di sini.
Selain ancaman yang  canggih tadi, siapa tahu ada gangguan-gangguan kecil lainnya.  Seperti mungkin ada pendukung partai lain yang ikut hadir menyelinap di antara kerumunan massa dan kemudian iseng melemparkan sandal jepit.  Siapa tahu enggak puas dengan kebijakan Tuan Presiden selama ini makanya melemparkan sandal jepit atau apa saja yang dirasa bisa dilempar!
Setelah dirasa aman, keluar Tuan Presiden untuk tampil di atas panggung.  Teriakan pun makin menggema.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Tuan Presiden melambaikan tangannya kepada para pendukung setianya.  Sesekali ia merentangkan kedua tangannya atau malah mengepalkan tinjunya ke udara.  Massa pun mengikuti gerakan Tuan Presiden dengan mengepalkan tinju ke udara sambil berteriak, juga melompat-lompat.
Massa tiba-tiba tenang ketika Tuan Presiden memberikan tanda.  Gemuruh suara tiba-tiba berubah senyap.
“Rakyatku, massa setiaku, pendukungku, konstituenku!” teriak Tuan Presiden dengan lantang.
Massa mendengarkan dengan saksama dan dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya.  Seraya mendengarkan, massa mengibarkan bendera dan atribut partai lainnya.
“Rakyatku, pendukungku.  Hari ini kampanye nasional untuk pemilihan presiden dan wakil presiden akan dimulai serentak di penjuru negeri.  Hari ini, di tempat ini, di hadapan kalian sebagai saksi, saya akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden empat tahun mendatang!”
Seperti ada yang memberikan komando, serentak massa kembali berteriak-teriak.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
“Saya akan meneruskan pembangunan yang telah saya lakukan empat periode sebelumnya.  Saya terus lanjutkan hingga negeri makmur, aman, damai sejahtera!”
Massa kembali berteriak.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Tuan Presiden merasa di atas angin.  Ia merasa akan terpilih kembali.  Sederetan orang setia Tuan Presiden juga terlihat senang dengan massa yang terlihat antusias mendukung kampanye ini.
Sudah jelas sangat antusias lantaran setiap orang alias perkepala akan mendapatkan lima puluh ribu rupiah, sebungkus nasi warteg, air mineral, kaus bertuliskan partai, topi, payung dan lain sebagainya.  Kebanyakan dari massa yang penganggur, setengah penganggur, ibu rumah tangga, dan wong cilik lainnya sudah pasti tidak keberatan untuk sekadar tampil seharian di lapangan terbuka yang panas dan kemudian meneriakkan dukungan kepada Tuan Presiden.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Teriakan terus menggema di seantero lapangan.  Tuan Presiden masih menikmati teriakan yang mengelu-elukan dirinya.  Begitu juga dengan orang-orang setia Tuan Presiden.
Tuan Presiden memberikan tanda kepada massa agar kembali tenang.  Tuan Presiden ingin kembali melanjutkan pidatonya.
“Saya sangat senang dengan dukungan yang kalian berikan!  Saya sungguh terharu.  Saya tidak mengira kalau sambutan kalian kepada saya sungguh luar biasa.  Saya tidak menyangka kalau cinta kalian kepada pemimpinnya begitu besar!  Saya sungguh terharu.  Saya sangat bersyukur diberikan pendukung yang sangat setia.”
Massa masih mendengarkan dengan setia pidato dari Tuan Presiden.  Mentari memanggang mereka semua yang hadir di lapangan dengan begitu sempurna.  Sebentar lagi semua yang hadir akan garing seperti kerupuk.
“Saya yakin kalau dengan restu dan dukungan dari kalian semua, saya akan kembali menjabat sebagai Presiden.  Saya juga yakin kalau partai kesayangan kita akan menjadi partai yang terus berkuasa di negeri ini!”
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Teriakan-teriakan kembali menggema di seantero lapangan yang disesaki massa pendukung (yang kata setianya) kepada Tuan Presiden.
Tuan Presiden semakin senang melihat massa yang terlihat antusias.  Begitu juga dengan orang-orang terdekat Tuan Presiden.  Sementara para pengawal Tuan Presiden alis men in black semakin terlihat waspada.  Lihat kanan kiri.  Lirik atas bawah.  Tengok depan belakang.  Siapa tahu ada yang mau mencelakakan Tuan Presiden.
“Kalian ingin saya jadi Presiden lagi?”
“Sudah pasti!  Tentu!”
“Kalian ingin saya meneruskan pembangunan?”
“Tentu!  Kami tidak keberatan!”
“Kalian ingin maju bersama saya?  Bukan dengan kandidat lain?”
“Tentu!  Sudah pasti!”
“Kalian ingin terus berjuang bersama partai saya?”
“Pasti!  Tentu!”
Tuan Presiden semakin riang melihat massa semakin antusias.  Orang-orang partai juga puas.  Massa yang mereka mobilisasi ternyata patuh dengan baik.
Panas semakin meranggas.  Sinar mentari membakar kulit.  Warna kulit massa kini semakin gosong.  Tetapi mereka belum beranjak karena belum mendapatkan sajian utama : hiburan pentas dangdut, makan siang dan uang limapuluh ribuan.
Tuan Presiden dan rombongan juga kepanasan.  Atap panggung tidak cukup sakti menahan sinar dan udara yang sangat panas.  Tetapi mereka juga belum beranjak karena masih menikmati puasnya dielu-elukan massa pendukung setia.
Sesaat Tuan Presiden ingin melanjutkan pidato, tiga biduan cantik dengan baju macan tampak bersiap diri menuju panggung.  Beberapa orang yang melihat langsung antusias.  Ternyata hiburan dangdutnya adalah tiga penyanyi tersohor yang suka memakai baju minim saat pentas.  Dari segelintir orang menyebarkan kabar ke sebelahnya, ke belakang, ke depan, dan ramailah massa kalau tiga penyanyi dangdut sensual akan segera tampil.  Padahal pidato Tuan Presiden belumlah usai.
“Rakyatku!”
“Dangdut!  Dangdut!  Dangdut!”
“Rakyatku!  Apakah kalian...?”
“Dangdut!  Dangdut!  Dangdut!”
Teriakan ingin hiburan menggema!
Tuan Presiden mutung dibuatnya.  Mendadak seorang penasihat politik Presiden berbisik ke arah Tuan Presiden.
“Rakyatku semua!  Sudah saatnya saya membalas budi kalian dengan suguhan hiburan!  Tiga penyanyi cantik akan menghibur kalian semua!  Sambutlah dengan meriah!”
Massa langsung menyambut dengan antusias ketiga penyanyi sensual itu dan melupakan sejenak pidato Tuan Presiden yang sejatinya belum selesai.  Mereka tidak lagi peduli!  Yang mereka inginkan di tengah terik mentari adalah sedikit goyangan hot dan kalau perlu tidak lagi mengindahkan norma kesopanan.
Tuan Presiden bergegas menuju ke arah panggung didampingi para anggota staf dan asisten pribadinya plus para pengawal.
“Sialan!  Aku belum selesai berpidato, mereka malah minta dangdut!  Tidak hormat sama Presiden!” umpat Tuan Presiden.
“Sabar, pak!  Kita berikan saja apa yang mereka mau!  Toh mereka hanya meminta dangdut.  Lantas setelah itu dengan makan siang dan sedikit uang, mereka bisa ditenangkan.  Massa negeri ini mudah ditebak, Bapak Presiden!” ujar penasihat politik senior Tuan Presiden.
“Hmm, benar juga!  Kita tinggalkan saja tempat ini.  Panas sekali!  Bisa-bisa nanti kita garing seperti ikan asin!”

Rombongan Tuan Presiden segera meninggalkan arena kampanye.  Massa tidak peduli.  Mereka tengah tenggelam dalam goyangan hot tiga biduan dangdut.
Satu jam berlalu.

Tidak ada lagi goyangan hot di atas panggung.  Massa juga sudah pulang membawa nasi bungkus dan selembar uang lima puluh ribuan.  Mereka senang.  Begitu juga dengan ketiga penyanyi dangdut yang akan menerima bayaran sangat besar selama masa kampanye.  Tidak ketinggalan Tuan Presiden yang kini sudah berada di kediamannya, sangat senang bisa dielu-elukan massanya.
Tidak ada yang tersisa di lapangan ini, kecuali sebuah panggung besar tempat Tuan Presiden berkampanye, tempat ketiga biduan dangdut melenggak-lenggokan tubuh sensualnya.
Tidak ada yang tampak lagi di sini, kecuali beberapa orang pemulung yang tampak senang dengan sisa-sisa sampah.  Ada topi, kaus, atribut lainnya, minuman yang tertinggal dan masih penuh, beberapa bungkus nasi yang ditinggal begitu saja dan masih bisa dimakan, masih banyak lagi termasuk ribuan banner dan spanduk bertuliskan “Izinkan Aku Menjadi Presiden Sekali Lagi!”
Semuanya kini hanya menjadi sampah!

Jakarta, 23 Januari 2003 – 20 Februari 2006 – 15 Maret 2007
Dodiek Adyttya Dwiwanto.  Lulusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada.  Tulisan-tulisannya seperti cerita pendek, resensi buku, dan artikel sepak bola dimuat di sejumlah media cetak nasional.  Saat ini, bekerja sebagai humas di sebuah perusahaan, selain juga menjadi kolumnis sepak bola di sebuah media cetak nasional.

Sumber : Kompas, 16 April 2013

0 komentar:

Posting Komentar