Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


22 Februari 2012

Penggalan Cerita Lama

Cerpen Aftar Ryan

TIBA-tiba semuanya menjadi berbeda. Awalnya aku ragu. Tapi dialah yang memancingku untuk mengatakannya. Entahlah, apakah aku harus bahagia karena dia telah tahu. Atau malah harus malu. Tapi yang pasti kini dia telah mengetahui sebuah perasaan yang telah tersimpan dengan rapinya dalam kurun waktu yang cukup lama. Ya, karena sesungguhnya perasaan ini hanya aku dan seorang saudaraku saja yang tahu.

Perasaan yang membawaku untuk mengatakannya kini pada sosok yang telah lama aku kagumi. Sosok yang sejujurnya bukanlah seseorang yang teramat istimewa, namun ku akui dia telah mampu menggugah sepenggal perasaanku untuknya.


Ah, dia bukanlah sosok istimewa. Dia hanyalah seorang laki-laki biasa. Tapi dialah yang telah menciptakan sebuah perasaan yang nyaris sempurna. Dia yang selama ini selalu membuat detak jantungku berdegup keras. Saat waktu yang membawa pertemuan. Saat dimana ketika aku secara tak sengaja mencari-carinya.

Sosoknya yang sederhana, namun telah mampu menempatkan dirinya dalam tingkatan laki-laki yang pantas untuk hanya sekedar dilihat dan kemudian dikagumi. Dan aku, mungkin aku bukanlah orang pertama yang turut mengaguminya. Sepertinya teman-temanku juga menyimpan sesuatu yang sama denganku padanya.

 Namun sama halnya denganku, teramat malu untuk diungkapkan. Dia memang bukan sosok laki-laki yang tampan. Tapi dia punya sesuatu yang bisa memerangkap sebuah perasaan itu.

Semua bermula dari sebuah pertemuan tak terkirakan. Pertemuan yang terjadi setelah jarak dan waktu memisahkan. Meski sejujurnya aku tak pernah yakin akan bertemu lagi, sebab dari awalpun tak pernah ada isyarat yang terhubung, hanya karena tak pernah ada keberanian untuk saling mengungkapkan hingga, akhirnya semua tampak nyata di hari ini. Disaat pertemuan ini tercipta.

TIBA-tiba semuanya menjadi berbeda. Awalnya hanyalah obrolan biasa tentang masa lalu. Tapi tiba-tiba saja darinya aku menjadi paham. Ada segurat kenangan lalu yang begitu membekas dalam ingatan dan rasa. Dan sesungguhnya akupun merasakan sesuatu yang berbeda. Jauh, jauh sebelum hari ini ada. Jauh sebelum pertemuan ini tercipta. Jauh ketika aku mengenalnya dari hanya sekedar sorot mata yang terpaut. Jauh ketika aku sadar ada sesuatu yang menarik perhatianku untuk mengenalnya lebih dekat, lebih dalam. Tapi tak pernah ada seorangpun yang tahu tentang sebuah perasaan itu. Perasaan yang pernah bersemayam hanya sekedar untuk menggodaku dan hanya tersimpan dengan sangat rapinya diantara sulaman hari-hari yang telah berlalu.

Ah, dia hanya seorang perempuan biasa. Tapi dia telah bisa mempermainkan hembusan nafas keharuman tentang sebuah rasa yang begitu mengusik dinding batinku,  yang telah mempermainkan hembusan angin cemburu, bahkan saat ketika ada seseorang yang sama-sama menyukainya. Entahlah, padahal dia bukanlah sosok yang begitu sangat kukenal. Dialah sosok yang selama ini menciptakan rasa penasaranku atas semua sikap dan tingkah lakunya. Dialah sosok yang membawaku menyibak tabir lamunan atas sikap diamnya, atas sikap santunnya, atas sikap pemalunya, serta pandangan matanya yang tak pernah mau menatap mataku ketika aku memberanikan diri untuk hanya sekedar mengajaknya berbincang.

Semua bermula dari sebuah pertemuan tak terkirakan. Pertemuan yang terjadi setelah jarak dan waktu memisahkan. Meski sejujurnya aku tak pernah yakin akan bertemu lagi, karena dari awalpun tak pernah ada isyarat yang terhubung, karena tak pernah ada keberanian untuk saling mengungkapkan hingga akhirnya semua tampak nyata di hari ini. Disaat pertemuan ini tercipta.

HENING. Tiba-tiba semua menjadi tak karuan. Begitu berkecamuk berjuta perasaan yang tak tentu. Aku membatin. Kenapa pertemuan dan perasaan itu harus terjadi dan terungkap sekarang. Kenapa tidak sejak dulu saja. Sejak semua belum berubah. Sejak semuanya masih mungkin untuk terjadi. Tidak seperti sekarang. Betapapun dalamnya perasaan itu. Meskipun sama-sama saling memiliki rasa ketertarikan. Tapi semuanya begitu sulit untuk terwujud. Semuanya terasa hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Meskipun tak ada yang tidak mungkin, tapi kurasa teramat sulit untuk terjadi.

Sudah hampir seminggu pertemuan ini terjadi. Di tempat inilah, di tepi danau dekat taman kota. Tempat dimana aku dulu sering bermain dengan sahabat-sahabatku. Dan setelah pertemuan pertama itu, dia sering mengajakku untuk bertemu lagi, hampir setiap hari. Sungguh, pertemuan ini aku rasa seharusnya tak pernah ada jika hanya akan memperburuk keadaan. Tapi, aku tak bisa menampiknya.

Dia adalah kakak seniorku ketika kuliah dulu. Sebenarnya aku tak mengenalnya begitu dekat. Hanya saja dia memang bisa dekat dengan siapa saja. Gaya bicaranya menandakan kedewasaan. Dan terus terang, terkadang aku suka memperhatikannya ketika dia bicara dalam sebuah forum. Bahkan tak jarang aku suka mencuri-curi pandang kearahnya. Dia orang yang humoris, karena tak jarang gaya bahasanya selalu mengundang senyum dan tawa lawan bicaranya. Penampilannya tak ada yang istimewa. Namun entah kekuatan dari mana hingga aku bisa memiliki sebuah perasaan yang aneh terhadapnya. Ah, dunia memang selalu menyimpan misteri dan menyimpan rahasia setiap makhluk yang mendiaminya.

KALUT. Aku tak mengerti dengan apa yang kusangsikan. Jika saja aku tahu perasaannya sejak dulu. Mungkin keadaan tak kan seperti ini. Pastilah aku berada dalam sebuah perjalanan hidup yang lain. Kini pikiranku disesaki pernyataan-pernyataan ”jika saja”. Jika saja semua bisa terulang kembali. Jika saja aku mampu menciptakan mesin waktu. Jika saja aku bisa memutar balikan takdir. Mungkin keadaan akan lain, tak akan seperti sekarang ini.

Sudah hampir seminggu pertemuan ini terjadi. Di tempat inilah, di tepi danau dekat taman kota. Tempat dimana aku dulu sering melihatnya ketika dia bermain dengan sahabat-sahabatnya. Dan setelah pertemuan pertama itu, aku sering mengajaknya untuk bertemu kembali, hampir setiap hari. Sungguh, pertemuan ini aku rasa seharusnya tak pernah ada jika hanya akan memperburuk keadaan. Tapi, sungguh aku tak bisa menampiknya.

Dia adalah adik kelasku saat kuliah dulu. Sebenarnya aku tak mengenalnya begitu dekat dan baik. Namun ternyata takdir berkata lain. Perasaan itu timbul saat di suatu pagi aku berjumpa dengannya di sebuah persimpangan jalan ketika sama-sama hendak pergi ke kampus. Dari situlah aku tahu. Dia bukanlah perempuan biasa. Ada sesuatu yang lain ketika pertemuan itu terjadi. Atas dasar sikap diam dan pemalunya itulah, dia mampu mengusik rasa penasaranku atasnya.

Dia. Kini hadir dengan kematangan yang begitu berarti. Wajar jika aku terkesan dengan semua perubahan yang ada pada dirinya kini. Dia begitu anggun dan dewasa. Tak terlihat lagi wajah pemalu yang sering dia tampakkan dulu. Kurasa aku telah menyia-nyiakan satu penggalan kisah yang kini tak mungkin kembali. Ah, kini aku hanya bisa meratapi nasib, bahwa dulu aku telah menjadi seorang laki-laki pengecut yang tak berani mengenalnya lebih dekat.

OH, apa yang aku rasakan ini? Tak mudah ternyata untuk mempertahankan apa yang telah ku bangun beberapa tahun belakangan ini. Tapi, sepertinya aku tak bisa terlena dengan keadaan ini. Hari ini. Aku rasa semuanya sudah jelas. Aku tak mungkin memberikan perasaan ini untuknya. Aku memang tertarik dan pernah terbersit untuk menjadi bagian dari hidupnya. Tapi, aku tidak bisa. Kini semuanya sudah berbeda. Bagaimanapun aku harus mengakui bahwa kini aku telah menjadi seorang istri dari suamiku, dan menjadi seorang ibu dari anak semata wayangku. Aku tak bisa. Aku hanya bisa berkata lirih padanya bahwa aku tak bisa menjadi bagian dari hidupnya. Meski pernyataanku ini harus diiringi bulir air mata yang tak sengaja menetes begitu saja.

Sekuat tenaga aku harus menghapus sekecil apapun bentuknya rasa penyesalan. Karena aku pikir tak ada yang harus disesali. Semua sudah menjadi suratan. Aku harus membuang jauh berjuta kenangan yang pernah singgah. Tentangnya. Tentangku. Dan tentang sebuah perasaan itu. Kini aku harus meneruskan jalan cerita yang terhenti ini bersama suamiku. Aku harus terus menyulam hari dengan cita-cita yang pernah diucapkan pada saat pernikahanku dulu.

Dan dia. Ah, dia kini telah menjadi penggalan masa lalu yang sudah seharusnya tak kan pernah terkuak lagi. Biarlah. Biarlah waktu yang memiliki masa-masa indah itu.

AKU tertegun. Tak dapat kusaksikan bulir air mata itu mengaliri wajahnya. Ingin aku menyekanya. Tapi ku urungkan. Kali ini aku baru merasakan rasa sayang yang teramat sangat. Sesungguhnya bukan hanya dia yang merasakan ini. Mungkin dia tak kan pernah tahu hancurnya perasaanku. Banyak memang kisah yang tak ku ketahui tentangnya setelah perpisahan panjang itu. Dan mungkin, diapun tak banyak tahu tentang kisahku setelah perpisahan panjang itu. Kini, di tempat ini, aku hanya bisa meratap dalam diam. Aku hanya bisa menghembuskan napas panjang ketika pertemuan ini harus diakhiri. Terlebih ketika tak sengaja istriku datang ketempat ini. Tepat ketika dia menangis, saat jemari lentiknya menggenggam erat jemariku.
Bandung, Februari 2011

*)Aftar Ryan, seorang graphic designer dan penikmat sastra yang berkediaman di Bandung.

Sumber: Kompas, 20 Februari 2012

0 komentar:

Posting Komentar