Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


29 Februari 2012

Akira San

Cerpen Janu Jolang

Wanita Jepang itu selalu duduk di sushi bar, berbincang akrab dengan kepala sushi chefnya Nyoman, di sebuah restoran Jepang di daerah Manhattan New York.

Akira lain dari kebanyakan wanita Jepang yang biasa dididik orangtuanya untuk selalu menjaga jarak dengan orang lain, karena itu tentang sebuah kehormatan diri, untuk tak terlalu akrab dan tertawa berlebihan, tangan harus menutup ke mulut. Nyoman merasa kaget karena sepanjang 12 tahun bekerja dibelakang sushi bar tak ada seorang wanita Jepangpun yang sengaja duduk di sushi bar kecuali Akira.


Andai ada yang menggugurkan kemustahilan itu atau secara kebetulan menjadikannya mungkin, itu karena alasan sederhana tatkala Akira terheran - heran melihat sajian tuna roll pesanannya berbentuk bunga Sakura. Akira lalu minta pindah duduk di sushi bar. Setahu Akira hanya kakeknyalah yang bilang sushi bunga Sakura ini khusus ditata spesial untuk cucu kesayangannya, keluar dari pakem menata sushi yang diagonal. Dan perkenalanpun akhirnya terjadi. Mereka bercakap dalam bahasa Inggris.

“Where did you learn sushi?”, tanya Akira
“He was a head sushi chef at this restaurant, Mr Ito ”, jawab Nyoman Akira berpenampilan seperti anak muda Harajuku. Mewakili generasi pemberontak yang penuh semangat, mereka bebas berdandan apapun, atau model rambut apapun, tak ada trend rambut Lady Di memperbaharui era Kucir Kuda, atau potong rambut Poni lebih tua usianya dari rambut Demi Moore. Semuanya membaur jadi satu. Tak ada kata kuno alias ketinggalan jaman dalam kamus Harajuku.

“Akira San kerja di mana?”, tanya Nyoman
“Aku hanya berkunjung. Urusan bisnis. Summer besok aku balik ke Jepang.”

Akira tinggal di apartemen seberang jalan. Ia selalu menyempatkan mampir untuk makan malam sambil ngobrol dan memperhatikan Nyoman membuat sushi, seolah ia kembali mengenang masa kecilnya ketika diakhir pekan seharian ia bercengkerama dengan kakeknya pemilik kedai sushi di Ueno.

Kakeknya mengiris ikan tuna tipis tipis, atau memotong seekor ikan Salmon, dan ia selalu mendapatkan panggang kepala Salmon yang lezat untuk makan siangnya. Tapi Akira selalu jijik ketika kakeknya sedang mengurusi liver ikan Monk, ikan purba berwajah monster yang hanya diambil hati atau ekornya, dan sisanya dibuang begitu saja. Liver ikan Monk dipenuhi cacing cacing yang masih hidup, dan kakeknya mencabuti satu-satu dengan pinset. Akira menjerit ketika kakeknya menakut nakuti dirinya sambil menyodorkan cacing itu ke mukanya.

Bagi Nyoman, profesi Sushi Chef hanya sekedar pekerjaan, sekedar mencari uang buat hidup di perantauan. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya Sushi sebagai sesuatu yang serius, penuh detil dan indah. Orang Jepang paling bisa membuat sesuatu yang simpel menjadi spesial, berharga mahal, memberi kesan seolah-olah perpaduan cita rasa makanan dan budaya bercitra tinggi.

Membuat gulungan sushi bagi Nyoman sekedar menaburkan segenggam nasi di atas lembaran Nori lantas meratakannya dengan jari jemarinya, sesederhana gerakan memijit, tapi barangkali bagi ahli kuliner seolah membayangkan gerakan jari jemari rumit yang memainkan piano Beethoven Symphony No. 5. Atau Akira melihatnya seolah gerakan tangan Nyoman memijit-mijit lehernya, menepuk-nepuk serta mengelus bahunya dengan lembut. Semua itu baru disadari Nyoman karena Akira telah mengajarkan keindahan itu.

 Bagi orang Jepang seusia Akira -- generasi setelah Perang Dunia II, dia menyandang beban moral tersendiri ketika Tuan Wang asal China secara sengaja mengungkit-ungkit pembantaian tentara Jepang di China. Atau cerita Nyoman tentang slogan “Saudara Tua” saat Jepang masuk Indonesia. Mereka datang dengan propaganda yang bersahabat: Jepang pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia dan Jepang cahaya Asia, tapi tentara Jenderal Hitoshi Imamura itu kemudian tega merampas dan memperkosa saudara mudanya, bahkan membunuh mereka dengan kejam.

“Maafkan aku Nyoman. Aku tak mempelajari sejarah, maafkan aku yang bodoh ini.”

“Ooh maaf Akira San, aku sekedar bercerita, tapi kalau itu membuatmu merasa nggak nyaman ...”, kata Nyoman. Ia menyadari Akira San merasa terintimidasi.

Raut mukanya merana seolah menunjukkan permintaan maaf atas kekejaman tentara Jepang kakek moyangnya dahulu.

Bagi Nyoman Akira tak pernah sekejam tentara Jepang, atau berusaha mempropagandakan dirinya sebagai Saudara Tua seperti tahun 1942, tapi sungguh perhatian dan kasih sayang Akira dirasakan benar benar sebagai saudara tuanya. Nyoman sangat menghormati Akira, maka dibelakang namanya ia selalu menambahkan San. Akira San, ungkapan hormat untuk seseorang yang dituakan. Akira San sungguh merupakan jelmaan Dewi Cinta sekaligus kakak perempuan yang tak pernah dimilikinya.

“Watashiwa Akira San o aishite imas”, Nyoman gugup mengutarakan cintanya pada Akira.
Akira tersenyum, “ Where do yo learn Japanese, Nyoman?” Dewi Cinta itu sungguh tenang seolah badai Tsunami takkan pernah membuatnya takut, Nyoman hanyalah badai asmara seorang lelaki lugu yang gelombangnya takkan menelannya, memporakporandakan, atau membuatnya binasa.

Pertemuan singkat itu telah menaburkan benih-benih cinta diantara dua anak manusia, berbeda bangsa, budaya, bahkan dimasa lampau pernah punya sejarah kelam penjajahan. Seolah cerita cinta selalu menghapus beribu-ribu dendam, amarah, melebur sekat-sekat perbedaan, dan selalu menemukan jalan untuk bersatu.

Akira sungguh sangat suka melihat cara Nyoman menyayat ikan Ekor Kuning. Sayatan pisau baja birunya itu tipis, tegas, dan ngilu melihatnya. Apalagi ketika pisau itu beraksi memotong daun bawang sungguh irisan itu tipis – tipis dengan gerakan pisau yang maju mundur sangat cepat, secepat kilat di musim hujan, mata Akira tak mampu mengikuti gerakannya, dan kecepatan itu membuatnya terperangah. Dengan cara berbeda pisau itu bisa mencacah timun dengan garang, menghasilkan setumpuk timun irisan jullien, sungguh irisan itu tipis dan sangat rapi. Nyoman memainkan pisau baja birunya sesempurna Samurai memainkan pedangnya.

Mereka berdua baru mendarat di Narita, transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali. Malam telah larut. Dengan taxi limosin mereka pergi ke Tokyo. Dalam hingar bingar lampu iklan Shinjuku, diantara karaoke bar yang berserakan dan mesin-mesin pachinko yang diawasi geng Yakuza kedua pasang jiwa yang dimabuk asmara itu menerobos di sela-sela pejalan kaki, menyeberangi zebra cross yang saling berhimpitan akibat sempitnya persimpangan jalan, beberapa dari mereka adalah pegawai kantor masih dengan pakaian jas lengkap sambil menenteng tas kantor yang sempoyongan sehabis menenggak sake. Dua sejoli itu menelusuri lorong gang dan menjumpai sebuah kedai ikan Fugu. Ya .. waktu makan malam telah tiba. Menu ikan Fugu adalah sebuah tantangan yang mendebarkan bagi Nyoman.

Akira kalem dan suka menentang bahaya. Ikan Fugu alias ikan Balon adalah ikan beracun yang dalam darah dan organ pencernaannya sanggup membunuh 30 orang sekaligus. Kekuatan racun itu 1200 kali lebih mematikan dibandingkan cianida. Sebut saja mulai dari aktor Kabuki ternama yang mati hingga gelandangan yang mengais sampah di sudut taman Ueno. Menu ini sampai kapanpun dilarang masuk dapur Kerajaan..
“Lets try Fugu 5 Ways “, kata Akira. Lima hidangan kenikmatan sekaligus mematikan. Hati Nyoman berdebar-debar ketika di meja telah tersedia irisan tipis ikan Fugu mentah tertata rapi melingkar dalam piring keramik.

“Try it Nyoman .. “, Akira seolah menantang nyalinya.

Nyoman ragu-ragu, hatinya berdebar-debar. Untuk apa aku memakan ikan itu, lantas mati, dan tak bisa bertemu Akira lagi? Apakah Akira sengaja ingin meracuninya? Atau ingin mengejeknya karena ia seorang penakut? Andai ia disuruh memilih, mending ia akan memesan sup ramen atau belut panggang saja.

Akira kemudian mengambil sehelai dengan sumpitnya dan memasukkan ikan Fugu itu ke dalam mulutnya.
"Is it good?” tanya Nyoman.

"Ouuuuch ... deadly good Nyoman,” desah Akira sambil memejamkan matanya.

Akira kemudian mengambil lagi dan disodorkan ke mulut Nyoman, ia mengunyah perlahan lahan daging itu dengan berdebar-debar. Rasanya renyah dimulut dan kenyal ketika dikunyah.

Adrenalinnya tiba-tiba mengisyaratkan sebuah bahaya sama persis ketika orang Jawa nekat dan mati karena makan Tempe Bongkrek. Atau ketika Fugu goreng dengan sake manis itu masuk ke mulutnya, Nyoman mencecap rasa gurih yang mencekam seolah merasakan buah terlarang di Taman Eden. Akira membawa Nyoman ke tingkat ekstasi yang mendebarkan.

“Wooow .. it is killing me ... it's so goood Akira San”, kata Nyoman seolah berlagak sebagai si Pemberani.
Dan ketika Akira menantang Nyoman untuk menikmati sajian terakhir, Fugu rebus campur sawi dan jamur, Nyoman merasakan kenyalnya daging itu membuat urat lehernya meregang kesakitan. Sejenak Nyoman memegang kepala bagian  belakangnya, mengira racun tetrodotoxin sedang merenggut nyawanya, tapi kemudian Akira mengatakan racun Fugu hanya melumpuhkan otot-otot pernafasan.

Nyoman merasa lega. Diteguknya sake entah sudah berapa sloki, tubuhnya setengah melayang. Nyoman meracau sambil menirukan adegan lucu kartun Burt Simpsons, “Poison poison tasty fish.”
Bagi Nyoman itu adalah pengalaman sensasional yang tak terlupakan.Sebuah puncak rasa sekaligus mendebarkan. Orang rela menantang bahaya bahkan rela menukar nyawanya.

Kedua sejoli itu mabuk berat, keluar kedai dan berjalan gontai karena pengaruh berbotol-botol sake Otokoyama, juga kelelahan perjalanan New York - Tokyo yang hampir 12 jam, dan taklama mereka menemukan Love love Hotel, hotel murahan untuk percintaan sesaat. Mereka tergeletak dalam kamar sempit dan tertidur pulas sambil berpelukan.

Akira tak pernah lepas dari syal yang selalu melingkari lehernya. Biar musim berganti empat kali, ia akan memadukan syal yang dipakainya dengan jaket musim dinginnya. Atau tank top musim panas yang memperlihatkan busung dadanya, dipadu celana pendek sepangkal paha, maka kesempurnaan akan terlihat ketika orang-orang mengetahui cara berjalannya yang mirip setengah bebek, dan setengahnya macan lapar. Semuanya terasa indah karena dia seorang Harajuku, itulah ciri Akira, bahkan ketika dia memakai kawat gigi sedangkan giginya sudah rapi bagi ukuran orang Jepang, dan ia selalu mengganti warna karetnya setiap dua bulan sekali, orang menyadari bahwa itu sebagian dari gaya Akira. Ketika Nyoman menyadari ada sisa daging Wagyu yang lembut telah berpindah ke mulutnya, ia mengutuk dalam hati -- ini gara-gara trend kawat gigi Akiralah sehingga ia mendapati sisa-sisa daging dalam mulutnya.

Pesawat mereka telah mendarat di Bandara Ngurah Rai. Nyoman tak sabar ingin cepat sampai kampung halamannya, tak sabar ingin bertemu ibunya, mengenalkan Akira pada keluarganya. Atau tak sabar ingin bermain ke pura di tengah pantai di desanya saat air sedang surut, ketika ia bermain bersama teman-teman masa kecilnya, ketika melihat ibu mereka berjalan beriringan dengan kain kebaya warna warni membawa sesajian di atas kepala dan bersembahyang di pura untuk memohon agar dagangannya laris. Juga ketika turis-turis meminta berkah dari air suci, atau kemudian mereka berlari - lari menuju tebing-tebing pantai dan di bawah pohon kamboja mereka menikmati pemandangan saat matahari tenggelam. Sangat indah dan mentakjubkan.

Atau ketika warga kampungnya membuat boneka raksasa dengan muka seram, berambut gimbal, gigi bertaring tapi mempunyai payudara yang montok, seolah boneka raksasa itu mewakili roh jahat yang menggoda sekaligus mematikan, untuk kemudian pada malam harinya warga kampung mengarak Ogoh-ogoh itu keliling desa dan kemudian membakarnya. Akira sangat menikmati ritual itu sambil berpegangan erat di lengan Nyoman.

Hari-hari terasa indah bagi mereka, ingin rasanya waktu berhenti, atau berjalan secara slow motion, secara perlahan, sehingga mereka berdua dapat memaknai keindahan itu. Nyoman mengajak Akira ke sebuah pura kecil di tetangga desanya. Ada mata air tak pernah kering selama beratus-ratus tahun yang dipagar jeruji besi, juga batu-batu lonjong yang dibebat kain putih sehingga mirip bayi yang digeletakkan berjajar.

“Balik badanmu Akira San. Pegang koin ini dan pejamkan matamu. Mintalah sesuatu yang kamu inginkan kepada Dewa. Setelah itu jentikkan koin ditanganmu ke kolam di belakangmu. Dewa akan mengabulkan permintaanmu andai koin itu masuk ke kolam.”

Akira melakukan apa yang diperintah Nyoman, memejamkan mata dan melemparkan koin itu dan berhasil masuk ke dalam kolam. Nyoman kemudian melakukan hal yang sama dan berhasil. Keduanya bergembira layaknya kakak adik yang baru menemukan permainan mengasyikkan. Akira bagi Nyoman adalah “partner in crime”, kakak yang selalu melindunginya, kakak yang selalu menyelamatkan dirinya dari amarah bapak

ibunya. Ia tak pernah mengeluarkan ancaman seperti ibunya yang tak tahan melihat kebandelannya. Juga tak pernah mengecewakan dirinya dengan bilang tidak kepadanya.

“Akira san, aku memohon pada Dewa ingin menikahimu.”

Akira tersipu sambil tak percaya, "Really?? Permintaan kita sama Nyoman. Semoga Dewa mengabulkannya.”Malam sedang purnama, air pasang, ombak ganas menggulung, gemuruhnya memecah batu karang, badai menghempas memporak porandakan rumah-rumah kayu. Dalam kerlip cahaya lampion, wanita berkimono putih itu mengiris ikan tipis - tipis, lantas dengan hati-hati mencelup sedikit kecap asin lalu cuka dan memberikan pada dirinya. Sudah berkali-kali Nyoman mengimpikan Akira dalam tidurnya. Mimpi buruk itu selalu muncul menggantikan perbincangan yang telah lama tak dilakukan mereka berdua.

Ketika Nyoman menelpon, Akira lebih sering mengatakan,“ Aku sedang sibuk, Nyoman.”

Nyoman lantas teringat perpisahan terakhir mereka di Bandara Sukarno Hatta ketika Akira akan pulang ke Tokyo dan Nyoman balik ke New York. Nyoman tak mengira Akira yang biasanya tenang dan tegar tiba-tiba tak kuasa meneteskan airmatanya dan memeluk Nyoman erat sekali seolah tak ingin berpisah.

Kesedihan itu tergambar seolah mereka takkan pernah bertemu lagi. “Como si fuera esta noche la ultima vez”, sepertinya malam itu adalah pertemuan terakhir mereka. Sepertinya rintihan itu mirip Andre Bocelli saat menyentuh nada tinggi diakhir birama Besame Mucho, benar-benar menahan kesedihan yang amat dalam untuk tak bertemu lagi.

Waktu merubah segalanya.

Andai benar sangkaan Nyoman bahwa cahaya akan luruh oleh kekuatan gravitasi, maka cahaya cinta Akira mulai meluruh secepat cahaya melintasi Tokyo - New York yang datangnya bertubi-tubi 27 kali sedetik. Nyoman merasakan seolah ia ditampar api cinta yang membuat dirinya petinju KO akibat pukulan bertubi-tubi. Cinta itu membakar jiwa raganya bahkan ketika musim dingin tiba, cinta itu mampu melelehkan gundukan – gundukan salju di perbukitan.

Lama kelamaan Nyoman merasakan cahaya cinta itu mulai melemah ketika melintasi Mongolia, Kazakhtan, Austria, Prancis, dan luruh ketika menyeberangi Samudera Atlantik tertarik oleh kekuatan maha dahsyat ke dalam palung-palung yang dalam dan beku.

Ketika telpon berdering dan Akira memberitahu Nyoman bahwa dirinya telah menjalin hubungan cinta dengan lelaki lain. Nyoman tiba-tiba patah hati. Hatinya bergemuruh seperti gunung Merapi ingin meletupkan lahar, membuat dadanya ingin meledak. Beribu kupu-kupu terbang memenuhi perutnya.
“Why ... Akira San?”

“Aku tak kuat menanggung derita cinta berpisah jauh darimu Nyoman.”

“You always sing to me Akira San, I will be right here waiting for you. Do you remember?”
“Forgive me Nyoman.... I am sorry ...”

Terdengar nada telpon putus. Nyoman termangu. Hatinya kembali melayang ke masa lampau ingat tatkala ia menggaris nama mereka berdua di pasir pantai, berlari-lari mendekat ke air mata suci dan meminta berkah dari para pendeta, membasuh wajah dengan keduabelah tangannya, berjingkat-jingkat menuju gua tempat ular laut penunggu pura, dan tiba-tiba Akira pergi begitu saja meninggalkannya.

Nyoman sangat marah. Akira telah meninggalkan ia dalam kesendirian di pura itu. Ia ingin segera memburunya pulang ke rumah. Dan tatkala Nyoman menemui Akira sedang asyik bermain dengan boneka kesayangannya. Ia ingin segera menghambur menumpahkan kemarahannya, memukuli sekenanya, sampai puas, sampai lelah, dan ia lantas mendekap Akira, menyandarkan kepalanya pada dadanya, sambil menangis sesenggukan.

Nyoman merasakan kesepian yang mendalam. Baru kali ini ia merasa nyali merantaunya hilang setelah 12 tahun bekerja di Amerika. Masa depannya seolah kelam, bahkan ia sampai ketakutan memikirkan hari esok. Nyoman ingin waktu berhenti diam saja, tak bergerak. Tak ada esok atau lusa.

Entah sudah berapa lama Nyoman dalam kemurungan, tapi kemudian ia teringat ibunya, juga tanah Bali dimana ia lahir. Mereka mengajarkan sebuah kearifan dalam norma-norma keluarga. Kakak punya derajat yang dituakan, dihormati, ia adalah Nyoman anak ketiga, masih ada Made dan Wayan di atasnya. Ada hak istimewa sebagai kakak, hak yang tak bisa disanggah. Apapun tindakan yang diperbuat seorang kakak, Nyoman akhirnya menerima keadaan itu apa adanya, “taken for granted”, menerima Akira San dalam hirarki keluarga. Akira san adalah Harajuku. Tak ada istilah kuno atau ketinggalan jaman dalam hidupnya. Apapun itu sebuah kenangan indah, yang ada sekarang hanyalah semangat masa kininya.

Nyoman berusaha tegar, lagu sederhana dengan melodi ajaib dan indah Sukiyaki, Kyu Sakamoto dengan liriknya yang lugu menuntun kesedihannya untuk menepi.

Aku harus tengadah ketika berjalan (sambil bersiul)
Biar airmataku tak jatuh
Karena mengenang hari hari indah musim semi itu
Dan malam ini aku kesepian
Menghitung kaburnya bintang – bintang di langit (sambil bersiul)
Lewat air mataku yang menggenang
Karena mengenang hari-hari indah musim panas
Dan malam ini aku kesepian
Kebahagiaan bersandar di atas awan, Kebahagiaan ada di atas langit
Aku berjalan sambil menangis
Kesedihan terpancar pada bintang-bintang, Kepedihan terpancar pada cahaya bulan
Washington DC, Februari 20, 2012
Janu Jolang, Pengasuh Blog Suara Rantau, http://suararantau.blogspot.com

Sumber: Kompas, 28 Februari 2012 

0 komentar:

Posting Komentar